MATIANAK Review

“Blessed are the merciful, for they will be shown mercy”

 

 

 

Siapa yang menanamkan kebaikan, dia akan menuai – coba tebak – kebaikan juga. Jika kita menunjukkan kasih sayang yang begitu besar, dengan tulus, kita akan disentuh balik oleh kasih sayang yang tak kalah hangat. Sungguh merupakan kalimat yang positif untuk mengajarkan kebaikan kepada sesama manusia. Siapa sangka, dalam debut pertamanya sebagai seorang sutradara, aktor Derby Romero berhasil membuat perbuatan positif tersebut jadi punya undertone yang mengerikan.

 

Ina (juga menjalani debutnya dalam horor, Cinta Laura Kiehl punya presence yang kuat) besar tanpa orangtua di panti asuhan kini tumbuh menjadi wanita yang benar-benar cinta dan peduli kepada anak-anak yatim piatu yang diasuhnya. Film menunjukkan hangatnya hubungan yang terjalin di antara Ina dengan anak-anak. Dan anak-anak itu juga respek dan peduli padanya. Hingga kemudian Andy, satu-satunya korban yang selamat dari insiden yang menewaskan satu keluarga, ditempatkan ke panti mereka. Andy anak yang aneh. Dia jarang ngomong. Anjing takut kepadanya. Kejadian-kejadian seram bermunculan bersamaan dengan kehadiran Andy di tengah-tengah mereka. Andy dijauhi. Oleh anak-anak, maupun oleh pengasuh. Kecuali Ina. Actually, Ina-lah yang justru menjamin Andy tinggal di sana saat pemilik panti menolak untuk menerimanya. Menyebut dengan tegas dirinya yang bertanggungjawab atas Andy.

Babak pertama dan kedua film ini bergulir dengan menyenangkan untuk diikuti. Pesona cerita memang sepertinya terletak pada interaksi tokoh, baik itu Ina yang memposisikan dirinya sebagai ‘big sis’ kepada anak-anak. Maupun sesama anak-anak itu sendiri. Kehidupan dalam film ini terbangun dengan tidak melupakan napas horornya. Bagaimana anak kecil melihat gudang sebagai tempat yang menyeramkan, dan mereka mengarang-ngarang cerita untuk saling menakuti (biar takutnya sendiri gak keliatan!), kemudian saling menantang untuk masuk ke gudang – buatku momen-momen seperti begini yang membuat film hidup. Tone ceritanya bercampur dengan mulus. Kita boleh jadi tertawa melihat tingkah tokoh cilik, bisa juga sedikit tersentuh melihat aksi yang dilakukan oleh Ina demi anak-anak asuhnya, sekaligus tetap was-was dengan horor yang bakal terjadi. Bangunan horor, petunjuk untuk twist di akhir, semuanya terjalin di dalam cerita.

si Andy mirip Ocho kecil di film live-action manga 20th Century Boys (2008)

 

Meskipun banyak tokoh anak-anak, tapi film ini jelas bukan untuk konsumsi anak-anak. Film cukup bijak untuk langsung memberitahuk kita gambaran atmosfer mereka right at the beginning of the movie. Ya, memang sih, sudah jadi adat jelek penonton untuk gak terlalu musingin kategori-umur film – kita sesama penonton tidak bisa berbuat banyak jika bioskop sendiri pun tidak tegas. Tapi serius deh, untuk horor yang satu ini, aku sarankan orang-orang dewasa untuk mematuhi dan peka terhadap rambu-rambunya. Jangan bawa anak kecil nonton film ini. Kasian mereka, bisa trauma. Level kekerasan dan gore pada film ini berada di level yang tinggi, sehingga nyaris bisa disebut sebagai body horror. Ada gambar-gambar disturbing seperti hantu anak kecil dengan usus terburai. Mayat manusia bergelimang darah dengan posisi anggota tubuh yang bikin meringis. Dan tokoh-tokoh anak kecil tadi; mereka ada dalam cerita bukan sekadar untuk teriak-teriak ketakutan. Cerita benar-benar tak pandang bulu dalam memilih korbannya. Semua adegan pembunuhan yang dalam film ini memang dilakukan off-screen, kamera bakal berpaling dari ‘momen klimaks’ tapi tetap saja masih ada suara, dan aftermath, yang bakal membuat imajinasi kita meliar. Dan percayalah imajinasi kita kadang lebih kuat daripada gambar yang disuapi, malahan horor-horor yang bagus selalu menerapkan hal ini; tidak memperlihatkan yang krusial dan membiarkan penonton bergidik sendiri tanpa bisa keluar dari imajinasi di dalam kepalanya.

Menurutku film ini sebenarnya tidak perlu untuk menjadi begitu loud untuk menjadi seram. Tapi mungkin karena belum terlalu pede, maka kita masih menjumpai fake jumpscare yang suara-suaranya bikin jantung copot. Padahal beberapa adegan ditangani dengan baik sehingga atmosfer seremnya itu kerasa. Film sempat bermain dengan lilin. Aku suka shot dari belakang mobil yang sedang berjalan dengan kanan-kiri pepohonan yang bergoyang tertiup angin, tapi goyangannya itu tampak patah-patah sehingga kesannya eerie banget. Aku juga suka bagian ketika Fatih Unru yang jadi salah satu anak panti terkurung di dalam gudang. Editing di bagian ini precise banget. Kamera membawa kita terpotong pindah dari Fatih yang berteriak ketakutan sambil menggedor pintu ke sosok hantu di belakangnya, dan semakin frantic pindahnya si hantu semakin mendekat. Intensitas horor saat sekuen adegan ini bekerja dengan sangat baik. Jumpscarenya pun bekerja dengan efektif dan benar-benar mengena kepada penonton – in a good way. Soal gore dan darahnya; kalian tahu aku suka. Kita juga sama-sama bisa melihat kenapa tone horornya harus memuncak ke arah sana. There’s something about showing mercy yang semakin ke sini semakin regresi, di mana tokoh utama kita harus dihadapkan dengan cara kerja dunia yang berlawanan secara ekstrim dengan keadaan ideal yang ia anut.

Tadinya kupikir MatiAnak bakal seperti The Orphanage (2007), horor Spanyol yang juga tentang wanita yang memilih mendedikasikan hidupnya bekerja di panti, dengan elemen gore. Mungkin memang gak benar-benar original, tapi masih bisalah bekerja dengan gayanya sendiri. Namun masuk babak ketiga, film ini ternyata lebih mirip ama Hereditary (2018) – dan musti kutambahkan, MatiAnak failed dalam usahanya untuk menjadi seperti horor buatan Ari Aster tersebut.

“Malu? Malu? Malu? Malu gak?”

 

Tadinya kupikir yang aneh dari film ini cuma kenapa Ina yang sejak kecil tumbuh dan gede di lingkungan panti asuhan lokal masih beraksen bule dan bukankah poin dari menjadi aktor adalah bermain bukan menjadi diri sendiri. Tapi di babak ketiga, setelah melihat di mana elemen-elemen cerita berkumpul, setelah jawaban dari plot poin mulai terlihat dan mengembang menjadi penjelasan, keanehan dalam film ini semakin banyak. Seolah film gak tahu bagaimana harus mengikat cerita sehingga punchline ataupun gagasan yang ada tadi itu menjadi kuat sebagai final. MatiAnak bisa kubilang sebagai salah satu horor dengan penyelesaian yang asal-selesai yang pernah kutonton. Aku tidak mengerti transformasi Ina; kenapa dia harus ‘ngalah’. Aku mengerti build up cerita berfokus kepada antara Ina dengan Andy, progresnya adalah sekarang Ina yang mendapat belas kasihan – kita melihat Ina yang semakin ke sini semakin galak, rambutnya semakin awut-awutan, tapi aku tetap tidak bisa melihat kenapa dia begitu cepat, katakanlah, menerima takdirnya. Seperti ada perlawanan atau satu momen penyadaran yang terskip oleh cerita. Ada adegan ketika Ina harus melukai seseorang, dia malahan sempat berantem dulu, yang mustinya adalah titik balik tokoh yang tadinya elok budi pekerti banget, tapi efeknya terasa terburu dan gak benar-benar mengena.

Film seperti kebingungan menangani elemen cult pada ceritanya. Kita tidak pernah benar-benar mendapat sense yang pasti soal apa sih yang dikerjakan oleh mereka, how do they work, sebatas apa campur tangan mereka, karena dalam film ini juga terdapat sejumlah hantu yang gak jelas siapa, yang siapa. Ada hantu keluarga Andy, ada sosok hitam yang supposedly ‘Raja’ yang anggota cult sembah, tapi juga ada hantu nenek-nenek, terus entah hantu apa yang sempat merasuki anak-anak. Juga ada bagian investigasi. Ina mengunjungi rumah Andy untuk mencari petunjuk. Namun investigasi tersebut sungguhlah pointless karena hanya berujung pada sebuah flashback yang adegannya sendiri pretty much adegan yang kita saksikan di awal film. Ina tetap tidak tahu apa yang terjadi, later on jawaban diberikan kepadanya oleh tokoh yang lain. Agak sayang sih, soalnya di dua babak sebelumnya Ina dibuat cukup kuat – dia melakukan banyak pilihan, tapi ternyata dia tidak benar-benar melakukan aksi apa-apa saat penghujung cerita. Dan bicara soal pointless, aku sungguh tidak mengerti kepentingan tokoh Jaka selain untuk antar-jemput dan biar ada romance-nya barang sedikit.

 

 

 

Lumayan kuat di dua babak awal, namun keteteran di akhir. Ada banyak yang mestinya bisa lebih diefektifkan lagi. Aku benar-benar bengong di ending karena terasa maksain untuk berhenti di sana. Padahal masih ada pilihan untuk tokoh utamanya, tapi naskah mengharuskan dia untuk memilih itu tanpa banyak pertimbangan. Ini seperti ketika kita main video game, semua musuh sudah kalah, tinggal bos terakhirnya, dan kita malah milih untuk tidak melawan sang bos. Tapi, di balik semua itu, aku cukup senang horor sudah menjadi begitu hitsnya di sini sehingga memancing sisi kreatif dari pelaku perfilman muda. Asalkan semuanya mau belajar dan menantang diri sendiri, aku yakin tidak butuh waktu lama untuk kita mendapat Jordan Peele-Jordan Peele tanah air, ataupun horor yang benar-benar sejajar ama kualitas Hereditary
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MATIANAK.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Membesarkan orang yang mungkin bakal menjadi ‘musuh’ kita sih sudah biasa, tapi jika dibalik; maukah kalian mendapat belas kasihan dari orang yang kalian takuti?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

Comments

  1. Aaron says:

    Endingnya sendiri diusulkan oleh Cinta Laura saat menjalani adegan scene ending dan disetujui Derby. Di MD Interview, Cinta bilang kalau dia memberi banyak input terhadap dan endingnya biar penonton yang menyimpulkan sendiri.

    • arya says:

      Open-ended menarik sebenarnya, tapi di film ini rasanya ada yang keskip.. mungkin Derby sedikit kebingungan juga mencampurkan idenya dengan usulan Cinta sehingga babak tiga itu gak efektif, banyak adegan yang enggak padet sehingga Inanya sendiri jadi ketutupan, padahal di babak pertama dan kedua tokohnya ditulis solid

  2. arya says:

    aku pun setuju, kalo mau dibandingkan dengan Trio Baginda – terutama dengan dua nama yang disebut pertama itu – Derby masih lumayan lah, dan memang masih perlu pembuktian lagi. Di horor berikutnya tersebut dia bakalan ‘sama’ atau ada perubahan, gayanya juga mestinya bisa lebih terlihat – kalo ada haha… kalo enggak ya berarti dia memang tok niruin Orphanage, Hereditary, dsb.. Mungkin ending aslinya enggak open-ended kayak gini kali? Open-ended lebih menarik sebenarnya, cuma di film ini kayak ada yang keskip jadi transformasi Ina gak terasa, dan menurutku memang banyak tokoh yang gak perlu – siti yang keluar dari film, pak Gus, Jaka – mestinya bisa ditulis lebih baik

  3. dtraditya says:

    Trio Baginda ?? Ada Rocky Soraya hah gasalah tu.? Kualitas film Rocky Soraya jauh diatas Jose Purnomo dan Rizal Mantovani bro , maaf bukan hitmaker lover tapi memang sebagai penonton bisa membandingkan

    • arya says:

      ahahaha itu istilah mbaknya..

      Rocky punya gaya, dan dia sejauh ini masih better dari Jose dan Rizal. Tapi kalo aku, aku mau lebih banyak yang berbeda kayak Suzanna ketimbang lebih banyak The Doll yang stagnant.

  4. Garonk says:

    jadi si raja meninggalkan pengikut yg membangkitkannya, trus meng-convert si eneng.
    kok asa dangkal yaah menurutku,.. tapi ya sudahlah..

  5. arya says:

    sinematografi bagus karena ada duit dan alat/teknologi, sayang aja kalo gak dibarengi dengan cerita yang bagus juga haha… horor indonesia masih sebatas niru barat yang laku, makanya mandeg gak maju-maju xD

Leave a Reply