MANTAN MANTEN Review

“Love is not a war to have win or lose; It’s DIVINE.”

 

 

 

Dalam menjalin hubungan percintaan, jalan yang ditempuh tidak selamanya mulus. Malah mungkin saja jalannya buntu. Kadang ada yang udah deket, tapi kemudian ada masalah ‘kecil’, sehingga kembali menjadi seperti orang asing. Yang berpaling muka bila saling bertatap mata. Ada juga yang udah lengket banget, tapi ternyata nikahnya sama orang lain. Cara orang berdamai dengan mantan pun berbeda-beda. Ada yang nguatin diri tetep temenan. Ada yang langsung ngeblok. Malah ada juga yang nekat datang ke nikahan mantannya sambil nyolong curhat lewat nyanyi di panggung. Lucu sebenarnya, karena kenapa pula kita mau ‘berdamai’ sama mantan?

Film Mantan Manten yang digarap oleh sutradara baru Farishad I. Latjuba seperti hadir untuk menjawab pertanyaan tersebut. Kenapa kita musti-banget berdamai dengan mantan. Bukanlah lebih mudah menjauhi, dan diam-diam ngestalk kehidupannya – berharap mereka mendapat pengganti yang tak-lebih baik dari kita. Melalui kisah kehidupan seorang wanita karir bernama Yasnina (Atiqah Hasiholan berhasil mendaratkan tokoh yang penuh ego lewat permainan ekspresi) yang sudah ditipu oleh rekan kerja, sehingga terpaksa menjadi pemaes alias penata rias (paes) pengantin Jawa, lalu ultimately ditikung cintanya, kita akan dibuat mengerti bahwasanya berdamai dengan mantan itu sebenarnya adalah berdamai dengan diri sendiri. Mengikhlaskan dalam film ini berarti mampu menatap mantan kita dengan pandangan yang tak-lagi penuh endapan kecewa, atau onggokan harapan, dan mungkin dendam.

Terkadang apa yang kita anggap kemenangan bisa berarti kehilangan. Tidak ada yang namanya mutlak menang atau kalah dalam cinta. Cinta bukan soal itu, karena sejatinya bukan kompetisi. Bukan juga soal investasi yang harus mendapat balasan keuntungan. Satu-satunya ‘kalah’ dalam cinta justru bukan ketika kita tidak mendapatkan yang kita cintai, melainkan ketika kita kehilangan hidup – siapa kita yang sebenarnya – saat berusaha memiliki yang kita cintai.

 

cinta bukan tawar menawar

 

Untuk sebuah cerita yang dikembangkan dari satu peristiwa yang bikin baper sejuta umat, Mantan Manten surprisingly tampil matang. Enggak receh. Tidak lebay. Film ini tidak menganggap remeh penontonnya. Right off the bat, kita dicemplungkan ke dunia profesional Yasnina yang bekerja di gedung-gedung tinggi. Dialog yang berbahasa inggris, istilah-istilah investasi dan perbankan (correct me if I’m wrong, karena to be honest aku tidak mengerti setengah hal yang diucapkan oleh tokoh kita di awal-awal), mengalir deras tak peduli apakah penonton mengerti atau tidak. Film tidak pernah berhenti untuk menjelaskan bahkan ketika suara cerita bergeser menjadi soal budaya pengantin Jawa. Treatment ini benar-benar membuat film menjadi sejajar dengan tokoh Yasnina itu sendiri; seorang yang intens, determinan, dan all-business.

Sebenarnya bukan masalah film tidak memberi penjelasan tentang istilah-istilah di dalam dunianya, malahan bisa saja menjadi berat oleh eksposisi. Namun tentu saja hal tersebut menjadikan bagian awal film cukup ‘beban’ untuk ditelan bulat-bulat. Terutama oleh penonton yang mengira cerita bakal sekasual judul filmnya. Lumayan susah untuk mengikuti dan berpegangan pada tokoh utama. And at first, she’s not a very likeable character either. Tapi kita tetep dipaksa untuk menjadi peduli padanya saat dia terlibat kasus, yang sejatinya bertindak sebagai kejadian yang memulai benturan pada perjalanan plotnya. Tone ceritanya pun mendadak akan menjadi sangat berbenturan begitu kita sampai pada aftermath kasus yang menimpa Yasnina. Dari yang modern, ke sesuatu yang lebih tradisional. Dari keuangan menjadi pernikahan, apa yang menghubungkannya? Satu-satunya yang tampak menghubungkan kedua itu – kenapa harus pemaes – adalah karena ceritanya berunsur mantan yang jadi pengantin. Selain tokoh Yasnina yang menggunakan mindset perbankan/investasi yang ia tahu ke dalam masalah pengantin, kita tidak bisa benar-benar menemukan alasan kenapa kerjaan tokohnya harus begitu dan nantinya dia harus belajar adat pernikahan Jawa. Romance mengambil kursi depan, di belakangnya ada drama, dan kemudian film juga berusaha memasukkan komedi. Dan sedikit sentuhan surealis yang hadir dari elemen budaya. Semua tersebut dilakukan dengan pacing yang nyaris tidak ada. Film berjalan begitu saja, seolah melompat dari satu sekuen cerita ke cerita lainnya.

Aku berharap mereka ngerem sedikit sih. Bukan untuk menjelaskan. Melainkan untuk memberikan ruang bernapas, ruang untuk cerita menghasilkan efek sebelum lanjut ke sekuen yang lain. Maksudku, perpindahan dari mendendam dan berniat mencari uang ke diharuskan belajar paes tidak benar-benar terasa punya impact. Hubungan antara Yasnina dengan budhe Marjanti yang jadi semacam mentornya, dengan undertone seorang anak yang mendapat pengganti ibu, seharusnya ini yang jadi salah satu kunci penting cerita karena pengalaman Yasnina bersama si ibu lah yang eventually membentuk dirinya menjadi pribadi yang baru, tapi film malah menunjukkan perkembangan ini dalam montase Yasnina belajar ogah-ogahan teknik dan filosofi Paes. Kita harusnya melihat perkembangan Yasnina lebih lama, menurutku cerita akan bisa mencapai titik maksimal jika durasinya diperpanjang. Dan didedikasikan untuk menggambarkan transisi tokoh Yasnina dengan lebih mendalam. Sehingga ketika dia mengambil posisi yang diwariskan oleh Budhe, terasa lebih genuine – bukan lagi terasa hanya karena tertulis di naskah sudah waktunya begitu. Tapi aku pikir, film sengaja mempercepat paruh pertama film karena mereka tahu materi yang mereka ceritakan sudah cukup berat, sehingga mereka ingin buru-buru untuk sampai ke bagian akhir yang merupakan punchline dari cerita.

padahal penganten kan mestinya ojo kesusu

 

Bahkan, melihat dari punchline cerita – babak akhir cerita, film tampak seperti enggak yakin harus mengambil tone yang seperti apa. Mereka ingin supaya penonton ikutan sedih, haru, baper karena keadaan yang harus dijalani oleh Yasnina. Akan tetapi dari segi narasi sendiri, seharusnya bagian akhir itu adalah titik di mana Yasnina sudah bisa mengikhlaskan sehingga mestinya tidak ada lagi baper-baperan. Plot film bergerak dari pertanyaan apakah Yasnina bisa memenangkan ‘pertempuran’ untuk kemudian terjawab di akhir babak kedua dan pertanyaan berubah menjadi apakah Yasnina bisa mengikhlaskan. Progres ceritanya naturally adalah Yasnina sudah menjadi ‘kuat’, dia bisa memimpin prosesi dengan lapang hati karena dia sudah menang dalam hidupnya meskipun dia tidak mendapat yang ia inginkan. Secara visual, film melakukan hal tersebut dengan sangat indah. Kita melihat pandangan matanya berbenturan dengan mata mantannya. Bagaimana matanya seperti memberikan restu. Sungguh menguatkan. Akan tetapi musiknya dimainkan seolah menyuruh penonton untuk merasa kasihan dan baper terhadap Yasnina. Ini menjadikan kita tidak berada di dalam sepatu Yasnina.

Momen-momen yang diniatkan sebagai komedi – untuk membuat film jatohnya enggak serius amat – juga menurutku mestinya bisa dicampurkan dengan lebih menyatu lagi. Banyak adegan komedi yang terasa dishoehorn alih-alih hadir alami di dalam cerita. Kepentingannya pun terpampang dengan gamblang. Pada adegan Yasnina baru sampe di rumah budhe di Tawangmangu, ada seseorang bermotor yang datang ke sana, dan kemudian mereka berdua terlibat dialog yang lucu, dan keduanya berakhir pergi bersama menuju tempat pesta budhe. Adegan ini kelihatan banget untuk nampilin komedi dan memberikan ‘kemudahan’ bagi Yasnina, karena kemunculan si pemuda bermotor tersebut sama sekali gak natural. I mean, kenapa dia datang ke rumah itu padahal ia tahu budhe gak ada di rumah dan dia sendiri juga semestinya ada di tempat pesta. Menurutku jika memang khawatir film menjadi berat sehingga harus ada yang ngelucu, mestinya porsi komedinya bisa dicampurkan dengan lebih mulus lagi. Seperti elemen budaya yang mengalir halus menjadi lebih dari sekadar tempelan. Tokoh-tokoh dalam film ini terikat oleh budaya, dan meski mereka menyadari hal tersebut sepenuhnya, mereka-mereka yang bisa dikatakan punya power tersebut tetap tidak bisa menggeliat keluar dari adat budaya.

 

 

Babak terakhir film ini benar-benar nendang. This could be a very strong narrative, on top of gampang untuk relevan. Tapi film seperti kehilangan percaya diri dengan cerita yang ia angkat. Terburu-buru di separuh awal, melewatkan kesempatan untuk mengembangkan relasi yang menjadi hati utama cerita, hanya karena filmnya tidak mau tampil terlalu berat. Menurutku cerita akan bisa bekerja lebih baik jika diberikan waktu dan ruang untuk berkembang. Akan tetapi yang kita dapatkan di paruh awal tersebut masih terasa seperti loncatan tahap-tahap sekuen plot yang sebetulnya masih bisa dikembangkan lagi. Dunianya pun kurang immersive karena selain tiga tokoh yang jadi sentral cerita – Yasnina, Budhe Marjanti (itu juga mestinya lebih banyak lagi adegan Yasnina dengan si ibu) dan Bapak Arifin – tokoh-tokoh yang lain kurang motivasi dan seperti ada di sana karena diperlukan oleh naskah.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for MANTAN MANTEN.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Sudah berapa nih mantan kalian? Ada yang masih temenan gak? Menurut kalian kenapa lebih gampang untuk enggak temenan ama mantan?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

  1. Avant Garde says:

    menarik reviewnya, saya jadi berkesimpulan di karya pertama Farishad Latjuba (siapanya Sophia Latjuba yak) ini di awal2 maksain cerita, baru di tengah awak selow.. tp bingung mau bikin ending yak… semoga karya2 berikutnya makin ketje… judulnya kok jadi remeh ya kalo pake Mantan Manten, kayak peristiwa yg lagi hot aja nih wkwkw… ada yg artis yg jadi mantan, ada artis yg akhirnya jadi manten hehe,,

  2. Ulik says:

    Adegan yg nina pertama nyampe itu sebenernya dodit ambil kotak rokok buat bude besarin baju yg gak muat .
    Kalau gua rata2 masih baik ama mantan bahkan yg sudah jadi manten karena seru kalau buat dia baoer karena ingat masa2 pacaran

    • arya says:

      oiya juga ya, dia datang urusan rokok itu

      mantan itu harus dijaga supaya kalo kita sukses dapat ganti yang jauh lebih baik, dia bisa tahu dan menyesal ahahaha #balasdendamterselubung

  3. Avant Garde says:

    belum nih, tp entar pengen nonton ah hehe.. ada atiqah soalnya 🙂 saya lebih suka baca review, spoiler gak masalah, baru nonton ehehehe.. asal jgn banyak2 spoilernya

  4. Avant Garde says:

    di kota kecil di pelosok jambi kak, mudah2an tau dimana jambi ya haha, soalnya banyak yg gak tau :p

    film pertama saya juga jaman kuliah, itupun diajak temen2 NOMAT (kalo tau istilah ini bisa jadi kita satu generasi wkwk) inget banget dulu nonton 007, casino royale…

  5. Andung says:

    min review film yg lagi gonjang-ganjing di medsos dong min HELLBOY.. katanya kan banyak yg ngamuk2 sensornya kasar..

  6. Aaron says:

    Pengen nonton film ini tapi sayangnya cepat banget turun layar dan jam tayangnya gak ada yang cocok 🙁 . Kadang penasaran sama selera penonton Indonesia, film begini seharusnya diberi kesempatan lebih. Ditunggu review Ave Maryam Mas Arya

  7. Albert says:

    Aku ga gitu merasa dapat sih alasan kenapa Yasnina harus mau menjadi Paes mantannya. Yang paling ganjal dia marah ketika budhe ga bilang mau jadi paes Surya. Tapi tiba2 dia balik lagi bawa koper. Ga merasa dapat aja kenapa tiba2 dia maafin budhe sebelum tahu Budhe meninggal. Ya setelah Budhe meninggal bisa kurasakan sih untuk menghormati budhenya jadi dia melanjutkan. Tapi secara umum ga baper saya nontonnya.

    • arya says:

      iya sih, aku juga ngerasa ada yang kurang saat dia marah trus tau-tau balik lagi ke rumah budhe.. alasan dia kembali lagi, entah dia yang mau minta maaf atau apa, gak terang tergambar di film. Satu adegan aja jelasin ini, buat nyambungin feel nya ya, mungkin pake si dodit itu apa gimana, aneh juga soalnya ada tokoh keluar dari film gitu aja

      • Albert says:

        Aku ingat dia bawa koper jadi pasti mau balik tinggal sama budhe lagi. Mungkin dia ga ada tujuan lagi secara dia jg ga ada uang? Atau dia sadar tempat satu2nya sekarang sama budhe karena dia punya pekerjaan sekaligus teman?

        • arya says:

          sepertinya memang salah satu dari dua itu, atau mungkin ada hubungannya dengan yasnina kepikiran arti mimpi labirinnya itu, dia sadar dari sana..

  8. Di Samping Hujan says:

    Makasih reviewnya Kak.
    Sejujurnya sampe sekarang aku belum nonton. Kayaknya di bioskop daerahku udah turun semua wkwkw.
    6/10? Berarti gak jelek-jelek amat. Dilist deh, buat streaming. Kepingin tahu aku nangeees apa nggak, wkwkw

Leave a Reply