SUNYI Review

“Change the system from within.”

 

 

Sekolah dapat menjadi tempat yang mengerikan – sebuah neraka – bagi para siswa. Dan juga guru. Awi Suryadi menggarap Sunyi yang ia sadur dari kritik sistem pendidikan Korea Selatan berbungkus horor dengan memasukkan elemen-elemen yang lebih berakar pada keadaan di Indonesia. Yang membuat film ini tergolong sebuah adaptasi yang kreatif, yang tahu cara melakukan penyesuaian sehingga film tersebut menjadi tak-sepenuhnya sama sekaligus tetap memiliki ruh materi yang asli. Tapi pada satu titik, Awi juga membuat ceritanya menjadi lebih sederhana sehingga jika kita bandingkan, Sunyi terasa seperti snack-berisi-angin ketimbang Whispering Corridors (1998) yang begitu sarat sehingga masih terus bisik-bisik diperbincangkan hingga sekarang.

Yang dikomentari Awi dalam Sunyi sebenarnya bukan masalah yang baru-baru amat. Di saat media sosial dihebohkan dengan pertengkaran siswa dengan siswa, bahkan siswa mukulin guru, serta guru yang dipersalahkan karena menghukum siswanya yang bisa memantik perdebatan seberapa ‘besar’ hukuman mesti dijatuhkan, Awi mengajak kita mundur ke era reformasi Pak Gusdur dan membahas soal senioritas di balik dinding sekolah. Tapi mungkin justru di situlah letak seramnya. Permasalahan senioritas dari dulu sudah ada dan tidak pernah benar-benar hilang di lingkup pendidikan. Tradisi senior menggencet junior dengan kilah untuk membentuk karakter memang tampak sepele tapi terus menjadi momok. Bahkan ketika menonton film ini, kita bisa merasakan stakenya gak terlalu kuat. Alex Pranoto (Angga Yunanda sebagai protagonis-cowok adalah perubahan pertama yang langsung bisa kita rasakan dibanding film aslinya) merasa agak ngeri masuk ke sekolah Abdi Bangsa yang selain terkenal sebagai pencetak lulusan handalan, namun juga rame oleh isu tragedi kematian siswa karena perundungan oleh senior. Alex dan teman-teman kelas satu yang lainnya, kemudian kita lihat, diperlakukan persis sama dengan sebutan mereka; ‘budak’. Mereka harus tundukkan kepala, ucap salam setiap bertemu anak kelas dua. Mereka gak boleh menggunakan toilet. Gak diijinin makan di kantin. Dibentak kalo masuk perpus. Tapi toh sebenarnya tidak ada yang menyuruh untuk patuh, selain diancem gak bakal tergabung dalam lingkaran alumni alias dikucilkan seantero angkatan sekolah. Menontonnya dan berbicara di sini sebagai ‘penjahat angkatan’ karena suka ngeles dari jadwal ospek kuliah, bagiku stake dramatis film ini memang kurang dramatis. Alex bisa bolos kapan saja. Bahkan tokoh senior dalam film ini menyebut penderitaan anak-anak baru itu cuma setahun. Tapi kemudian aku menyadari, justru di sinilah letak poin utama film.

And also, buatku menarik karena belum lama ini kita juga mendapat film Pohon Terkenal (2019) yang memperlihatkan kenapa ada anak-anak muda yang rela memilih untuk masuk ke sistem yang mengospek dan meninggalkan kebebasan mereka di pintu gerbang. Kedua film ini – Sunyi dan Pohon Terkenal – bisa dijadikan pembanding, atau malah saling melengkapi, tergantung gimana kita masing-masing melihat senioritas itu sendiri.

Mangkir ngedumel gak setuju dari senioritas, maupun menguat-nguatkan mental menjalaninya, tidak akan mengobati masalah. Dibutuhkan seseorang seperti Alex; seseorang yang masuk ke dalam sistem dan dengan berani memutus rantainya dari dalam. Di akhir film kita melihat tindakan Alex-lah yang menghentikan tradisi di sekolahnya. Pilihan Alex untuk tidak meneruskan estafet dendam yang ultimately memberikan perubahan besar.

 

selain penampakan film aslinya, di film ini kita juga melihat penampakan finalis Gadis Sampul 2015, horeee

 

 

Jika film aslinya lebih ke horor psikologis siswi-siswi di SMA khusus cewek; elemen misteri hantu yang ada di film tersebut sebenarnya lebih bertindak sebagai pemanis, maka Sunyi justru menjadikan hantu-hantuan sebagai jualan utama. Whispering Corridors menjadikan aspek supernatural sebagai metafora dari kengerian yang dirasakan oleh penghuni sekolah yang bagai terpenjara oleh sistem pendidikan yang terlalu menekan murid. Menciptakan kompetisi mengerikan di antara mereka. Memisahkan teman, menjadikan mereka saingan. Guru-guru yang galak (sengaja ataupun terpaksa) adalah pembully utama di dalam cerita. Secara esensi memang mengerikan sekali. Atmosfer kuno yang menguar dari sistem horor dunia pendidikan itu terasa menempel di setiap sudut-sudut kamera. Tapi film itu juga punya kelemahan, terutama bagian teknis karena teknologi yang belum secanggih sekarang, sutradaranya pun masih ‘pemula’ saat itu.

Di tangan Awi Suryadi yang sudah tidak asing lagi menghasilkan horor-horor box office, cerita Sunyi benar-benar bertumpu kepada hantu-hantu beserta kemunculan mereka yang mengagetkan. Actually, jumlah hantu film ini lebih banyak dari film aslinya, yang mana merupakan tambahan yang disambut baik oleh penonton Indonesia. Buatku juga gak masalah jika film ini memilih untuk mengedepankan hantu-hantu tersebut. Dengan teknologi kekinian, Awi juga sanggup menghadirkan adegan-adegan kematian yang lebih menghibur, aku terutama suka dengan adegan di kolam renang. Hanya saja, hantu-hantu ini memang kepentingan utamanya adalah sebagai alat supaya film bisa punya alasan untuk melakukan jumpscare. Menurutku mestinya hantu-hantu baru ini bisa digunakan lebih banyak untuk kepentingan cerita, tapi enggak, film ini mau pake jumpscare maka diciptakanlah mereka. Aku masih gak mengerti kenapa pembuat horor sekarang suka mengasosiasikan hantu dengan kaget, padahal mestinya hantu itu seram bukan ngagetin. Sebelum nonton ini, aku menonton lagi Whispering Corridors dan tidak sekalipun ada adegan jumpscare pada film itu. Ketika ada adegan seseorang berbalik dan dia melihat hantu di belakangnya, tidak ada suara musik menggelegar di latar. Melainkan sunyi. Kita melihat apa yang si tokoh lihat terpantul di kacamatanya, kemudian si tokoh memekik tanpa suara, dan kita merinding dibuat oleh adegan itu – bertanya-tanya siapa sebenarnya yang ia lihat tadi. Pada Sunyi, setiap kemunculan hantu dijamin bakal bikin jantung kita melompat protes. Dan ini akan menjadi kontras yang tak menguntungkan ketika film mulai mencoba menggambarkan suasana tempat tokoh ‘dikurung’.

Hantu-hantu dalam film ini bisa dianggap sebagai perlambangan dari dendam, ataupun sebagai perlambangan dari senior/tukang bully itu sendiri. Kita harus berani menghadapinya sebab terkadang sebenarnya mereka lebih butuh bantuan daripada kita.

 

but seriously, nobody likes a narc, Alex. Nobody.

 

Sunyi memang tidak mampu menggali kengerian dari konteks tradisi senioritas terhadap sosial sekolah itu sendiri. Ketika kita bicara suasana horor, yang dilakukan Awi hanyalah mengerahkan kamera untuk menangkap sudut-sudut sepi lorong koridor sekolah, dan kadang melakukan sudut miring (Dutch) supaya menghasilkan kesan eery. Usahanya tidak pernah meluas kepada suasana cerita itu sendiri. Sekolah yang terlihat modern dengan hidup gampang seperti masa kini padahal settingnya di awal tahun 2000an. Praktek-praktek senioritas itu tidak tergambarkan dengan baik, malah hanya disebutkan oleh Alex ketika mengisi buku jurnalnya. Dan ketika beberapa coba divisualkan, hasilnya tak menguar perasaan takut. Melainkan perasaan kesal terhadap senior-senior sok jago tersebut. Kita tidak merasakan gimana pengaruh senioritas menghantui murid-murid baru pada film ini.

Dan ini menjadikan dunia dalam filmnya tidak imersif, tidak terasa benar-benar hidup. Cerita Sunyi fokus kepada Alex. Hanya saja kita tidak pernah melihat dia bergaul dengan teman-teman sekelasnya. Tokoh yang diperankan oleh Amanda Rawles suspiciously absen pada sebagian besar narasi, dia sengaja dibuat seolah berada di luar cerita, sehingga penonton yang berpengalaman (apalagi yang udah pernah nonton film aslinya) pasti sudah menebak ‘siapa’ tokoh ini sebenarnya setelah dua-tiga adegan yang menampilkan interaksinya dengan Alex. Tiga senior ‘musuh’ Alex diberikan sedikit backstory (malah ada yang kayak si Bender di film 1985 The Breakfast Club)  tapi hanya sepintas lewat beberapa baris dialog. Kita melihat para senior sebagai ‘jahat’, tidak ada senior yang baik kepada Alex ataupun baik ketika di luar. Whispering Corridors punya satu tokoh guru yang tadinya murid di sekolah itu, dan si guru berusaha untuk mencari middle-ground antara tegas disiplin dengan manusiawi terhadap muridnya. Tidak ada tokoh yang seperti itu di Sunyi. Semua yang baik ada pada Alex, yang membuat tokoh ini jadi lumayan membosankan. Dan bahkan Alex seperti dipaksa oleh narasi karena satu-satunya alasan dia dihampiri hantu adalah karena dia punya kemampuan mistis turunan dari ayahnya. Dan ini menurutku perbedaan yang cukup aneh dari Sunyi terhadap Whispering Corridors. Pada film itu, hantunya bisa dilihat oleh semua orang. Dia ada di sekolah karena dia suka sekolah, dan dia gak mau ketahuan sudah meninggal, jadi dia mulai terpaksa membunuh, dia juga membunuh untuk melindungi teman sekelasnya. Pada Sunyi, revealing dan penjelasan si hantu terasa terburu-buru, twistnya juga kurang mengena karena sudah jelas sekali dari penanaman adegannya bahwa hanya Alex yang bisa melihat dia. Dan ini salah satu yang menyebabkan interaksi dalam film ini gak meluas ke teman-teman yang lain, yang membuat cerita jadi sempit sekali. Untuk sebuah kisah yang ingin menunjukkan senioritas sebagai sesuatu yang menakutkan, film ini lucunya tidak memperlihatkan semangat kerjasama. Ini adalah perjuangan tunggal, instead.

 

 

 

Film ini harusnya bisa menjadi suatu pandangan mengerikan tentang praktek senioritas di lingkungan sekolah, bagaimana praktek tersebut mempengaruhi murid-murid, bagaimana posisi guru di sistem tersebut. Tapi ceritanya ternyata diarahkan lebih kepada horor hantu-hantuan yang hanya gloss-over komentar dan situasi sosial tadi tanpa benar-benar menyelaminya. Tentu dia menawarkan solusi yang penonton masih bisa menangkap pesan tersebut, meskipun harus sambil terpekik-pekik dikagetin hantu, tapi ini menjadikannya terlalu sepele jika dibandingkan dengan film aslinya. Penggambaran senioritas dan bullying-nya juga bisa dibilang outdated jika dibandingkan dengan berita-berita edan yang kita baca belakangan. Film seharusnya bisa merangkul ini, dan menjadi sedikit lebih berbobot sehingga lebih banyak yang bisa penonton bawa pulang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for SUNYI.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian masih bisa menemukan praktek bully senioritas di lingkungan kalian? Kenapa menurut kalian hal tersebut masih terjadi?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Comments

    • arya says:

      hahaha oiya mirip! di Sajen juga hantunya juga balas dendam karena dibully kan ya, aku baru inget.. kalo dilihatlihat dari tokoh guru di Sajen, kayaknya film itu juga dapat pengaruh dari Whispering Corridors deh haha

      buat yang belum nonton Whispering Corridors, boleh tuh dibaca reviewnya

      • Aaron says:

        Ada yang bilang film ini punya kesamaan dengan Lentera Merah karya Hanung Bramantyo. Tokohnya sudah mati dan pada akhirnya balas dendam.

        • arya says:

          iya, denger-denger Lentera Merah lebih sarat konteksual soal PKI ya? aku belum nonton sih, tapi memang bisa jadi perbandingan yang bagus karena Sunyi punya setting era reformasi (tapi sayang kayaknya cuma jadi latar)

  1. arya says:

    Hahaha iya ketebak banget ya.. buatku ketebak salah satunya karena aneh aja, keliatan jelas dia gak punya teman di situ, interaksinya minim.. kalo di Corridors tokoh itu hantu enggak kentara karena hantunya berinteraksi normal dengan manusia lain, meskipun sebagian besar dia ngabisin waktu di belakang sekolah bersama tokoh utama.

    Buatku secara kreativitas adaptasi, Sunyi ini sudah cukup bagus sih – berani menyadur elemen – melakukan penyesuaian dengan keadaan lokal, gak cuma copy paste film aslinya. Hanya penggalian gagasan dan masalahnya saja yang kurang mendalam. Baru sebatas bully di antara senior-junior yang sudah digeneralisir seolah senior-junior itu udah kodratnya kayak anjing dan kucing. Sedangkan Corridors, film itu menjangkau ke persoalan sistem pendidikan di Korea Selatan dengan lebih luas.

Leave a Reply