PARIBAN: IDOLA DARI TANAH JAWA Review

“Every story has a beginning, a middle, and an end.”

 

 

 

Ini bakal jadi kali terakhir aku nonton-dan-ngereview ‘film-film’ kayak Benyamin Biang Kerok (2018) dan Pariban: Idola dari Tanah Jawa. Aku pikir semua sudah berakhir ketika episode sambungan Biang Kerok urung ditayangkan di bioskop. Aku pikir pembuat film Indonesia sudah menyadari betapa insulting-nya membuat tontonan seperti yang ‘film’ itu lakukan bagi para penonton bioskop. Kupikir, ya sepertinya perfilman Indonesia masih waras. Tapi ternyata di 2019 ini muncullah Pariban.

Serius, deh, ini mengkhawatirkan. Aku takut sekali kalo ke depan nanti bioskop-bioskop Indonesia diisi oleh video-video panjang komersil yang tak lagi mengindahkan seni pembuatan film serta pengetahuan penulisan naskah, alih-alih film beneran. Jadi aku berharap karya (kalo bisa dibilang sebagai suatu karya) seperti ini stop dibuat sampai di sini. Aku tidak ingin menonton yang seperti ini lagi di bioskop, dan kupikir para penonton pun menginginkan hal yang sama. Kita ke bioskop untuk menonton film. Kita bicara tentang film yang ditonton supaya roda kemajuan itu terus bergulir. Kita menginginkan film-film yang bagus bisa tercipta. Pariban, sama seperti halnya ‘film’ Biang Kerok, adalah kemunduran sinema tanah-air. Jangan sampai ada lagi yang seperti ini. Makanya kali ini biarlah. Aku ingin menekankan, menjelaskan lebih detil poin-poin yang kutulis dalam review Biang Kerok. Biar dua ini cukup menjadi pembelajaran – dan pengingat.

Supaya kita semua dapat melihat bahwa film Pariban ini (juga) bukanlah sebuah film.

“Halo~, Halo Moan… Sekarang telah menjadi produk komersil, Pari-ban! parah sekali”

 

Pariban datang dari orang yang membuat film Love for Sale, salah satu film 2018 yang masuk ke dalam daftar Delapan-Besar Terbaikku di tahun itu. Satu-satunya film Indonesia yang masuk dalam daftar Delapan-Besar Terbaikku tahun itu! It was on the top-three!!! Andibachtiar Yusuf, what happened, mas? Molo adong na salah ini ya, aku gak tahu apa yang terjadi di balik dapur produksi mereka. Tapi kupikir kita memang tidak bisa begitu saja menilai film dari pembuat atau pemain. Toh yang Biang Kerok itu juga dibuat dengan kolaborasi sutradara dan aktor jajaran terdepan dunia film kita. Yang paling terdepan, malah. I mean, belum tentu serta-merta biang keroknya adalah mereka. I really don’t know. Dalam Pariban juga, aku menghormati para pembuat dan pemain film yang profesional sekali. Mulai dari Ganindra Bimo hingga Rizky Mocil; aktingnya enggak ada yang main-main, meski mereka memang tampak have fun sekali memerankan tokoh masing-masing. Enggak gampang tentunya memainkan karakter yang berasal dari latar budaya yang berbeda dari keseharian. Dan juga sebaliknya; actually menyenangkan melihat beberapa aktor seperti Atiqah Hasiholan yang berakting dalam ‘habitat’ asli mereka.

Niat pembuatannya sebenarnya cukup bagus. Pariban mengangkat budaya Sumatera Utara. Aku suka, aku besar cukup dekat dengan orang-orang Batak, keluargaku sendiri ada yang orang Batak. Aku familiar dengan sapaan dan candaan kayak lae, bodat, kenlap! Film ini memberitahu kita satu informasi baru. Memperkenalkan tradisi perjodohan khas Batak, yang basically adalah pernikahan antarsepupu – yang memiliki marga keluarga yang sama. Lewat arahan komedi, ‘film’ menunjukkan kepada kita gimana sistem pariban ini kadang menjadi momok, namun juga seringkali menjadi langkah ampuh dan aman untuk mendapatkan jodoh. Dalam yang ngakunya film ini kita melihat seorang pemuda asli batak tapi lahir di Jakarta, bernama Halomoan yang dituntut mamaknya untuk segera menikah. Lantaran rumor-rumor miring mulai terdengar seputar Moan. Maka, Moan berangkat ke kampungnya di pinggir danau Toba, untuk menemui paribannya – Uli. Elemen fish out of water pun mewarnai cerita tatkala Moan yang perjaka gaul ibukota tinggal berakrab-akrab ria dengan penduduk lokal di sana. ‘Film’ cukup bijak untuk tidak berkubang di penggalian stereotype – orang batak suka main catur dikorporasikan dengan lucu masuk ke dalam cerita – dan memberikan kesempatan penduduk cerita untuk berkembang dalam archetype. Kita melihat batak yang ngomong keras dan kadang kasar tidak selalu ‘jahat’. ‘Film’ ingin menarik budaya, menunjukkannya ke dunia, dan mendukungnya dengan teknologi yang modern. Aku terus menunggu ‘film’ mengangkat pertanyaan dan gagasan tersendiri soal adat pariban, bahkan mungkin menantang eksistensinya. Namun adegan-adegan dengan tokoh yang bereaksi relevan terhadap pariban itu sendiri, sayangnya, ditampilkan minimalis sekali.

Hanya ada satu adegan Uli, wanita modern yang cerdas, menunjukkan sedikit ketidaksetujuannya terhadap pariban. ‘Film’ ternyata lebih tertarik untuk mengisi durasi dengan sebanyak mungkin komedi yang bisa mereka pancing dari cara ngomong dan kosakata khas orang Batak yang lucu. Sebagian besar waktu memang didedikasikan untuk persaingan cinta antara Moan dengan Binsar, bujang asli sono yang mengaku Romeo-Butetan dengan Uli. Bahkan buatku ‘film’ juga melewatkan kesempatan dalam penggarapan si Binsar. Tokoh ini bisa menjadi menarik karena dia actually melambangkan orang asli Batak yang melawan sistem Pariban; Binsar menolak ‘kalah’ dari Moan yang merasa menang dengan status paribannya. Dinamika tiga tokoh sentral ini memang punya aroma menarik, tapi ‘film’ tidak benar-benar menggali mereka. ‘Film’ berhasil membuat Moan yang berlatar eksistensi kompleks ini (dia dipanggil Batak KW oleh orang-orang kampung) menjadi tokoh yang biasa-biasa aja. Kenapa Moan mau-maunya disuruh nemui paribannya aja tidak terjelaskan dengan menarik. Tidak ada stake bagi Moan. Moan seorang pria kaya yang modern, tukang bikin aplikasi, dia punya tujuh pacar sesuai hari. Jadi dia bukannya gak laku, gak mampu nikah. He just doesn’t want to. Tidak ada motivasi dalam diri tokoh ini. Tidak ada intensitas kita menontonnya. Barulah ketika bertemu Uli, dia mengeset goal – untuk menjadikannya istri, memenangkan pertandingan melawan Binsar. It takes a really long time buat karakter Moan berpindah dari satu titik ke titik berikutnya. Penulisan karakternya seperti berjalan di tempat.

kalo dia mau, Moan bisa bikin aplikasi cari-jodoh yang sesuai ama preference dirinya

 

Semua itu karena ‘film’ ini sesungguhnya punya agenda yang mengerikan dalam menyampaikan ceritanya. Yakni membagi diri menjadi dua. Such an evil corporate move! Biarkan penonton membayar dua kali untuk satu cerita. Alih-alih mempertontonkan cerita yang utuh, potong di tengah, buat jadi bersambung supaya penonton datang dan membayar lagi. Aku bukannya bilang sebuah film gak boleh bersambung, hanya saja lakukanlah dengan benar. Tutup arc tokohnya, baru kemudian lanjutkan terserah mau berapa kali sekuel.

Sebuah cerita haruslah punya awal, tengah, dan akhir. Kita melihat awal Moan yang didesak untuk segera cari calon bini, dia disuruh kenalan ama paribannya di kampung. Moan berangkat ke sana dengan confident bahwa dia bisa nikah kalo dia mau, karena dia kaya, tampan, dan besar. Set up awal cerita sudah bagus. Tengahnya berisi benturan-benturan karena ternyata banyak tentang asal daerahnya yang tidak Moan tahu, dan gimana dia mulai merasakan cinta beneran terhadap Uli. Karenanya Moan pun mencoba mengikuti aturan adat dan aturan mamaknya. Melihat arahan seteru Moan dengan Binsar, aku sudah siap untuk mendapatkan satu lagi cerita kegagalan yang manis – Moan was just too overconfident for his own good, dia terlalu aman dalam status pariban. Lalu, ternyata, dengan kurang ajarnya cerita diputus dengan sengaja pada bagian akhir, tepat di ambang pintu resolusi. Plot poin kedua cerita ini dijadikan cliffhanger. Perjalanan inner dan outer tokoh Moan sama sekali belum finish. Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh ‘film’ ini adalah mencabut kita keluar saat kita baru mau masuk ke klimaks. Menjadikan ceritanya tidak komplit. Membuatnya belum bisa disebut sebagai satu film. Karena you gotta to have a beginning, middle, and end walaupun urutannya bisa dibolak-balik. Pariban dan Biang Kerok hanya punya awal dan tengah. Mereka tidak punya syarat pertama suatu tontonan disebut sebagai film. Dan harusnya kita marah, karena jika kita membayar untuk satu film, maka kita harus dapat satu film utuh!

Pemotongan itu dilakukan dengan sengaja. Hanya karena mereka bisa, dan mau nyari untung belaka. I mean, bukan karena durasinya sudah kepanjangan maka mereka terpaksa memotong. Mungkin masih bisa sedikit dimaafkan kalo mereka sudah bercerita dengan efektif namun karena durasi yang terlalu panjang maka mereka memotong. Pariban sama sekali tidak efektif dalam mengisi durasinya. Sepuluh menit pertama adalah eksposisi yang dilakukan dengan sok lucu. Setiap orang ingin jadi kayak Deadpool sekarang. Menggunakan metode breaking the fourth wall, Moan akan sering bicara kepada kita. Hanya saja mereka lupa satu hal; mereka juga lupa meniru kemampuan kamera dalam bercerita dengan baik. Bicara langsung kepada penonton dalam Pariban dilakukan seperti video presentasi, untuk menjelaskan berbagai paparan seperti bagaimana aturan main adat pariban atau backstory Moan, mereka menggunakan adegan ilustrasi – entah itu adegan berupa sketsa atau animasi sederhana – yang membuat kita terlepas dari bangunan narasi. Kreatif tapi tidak berada di dalam bangunan cerita. Adegan tersebut bisa saja dibuang. Bandingkan dengan breaking the fourth wall pada Ferris Bueller; yang menarik kita masuk ke dalam cerita karena secara realtime kita diperlihatkan sisi sebenarnya dari si Ferris. Atau bandingkan dengan pada Deadpool; yang kita lihat pada layar adalah sesuatu yang tidak bisa dibuang, karena masuk ke dalam cerita, dan ditampilkan dengan menarik; masih ingat dong opening Deadpool? Permainan kamera dan editing dan visual humor yang tidak dimiliki oleh Pariban.

 

 

 

 

 

Dengan mengangkat materi tentang adat perjodohan antarsepupu di dunia modern, film ini ternyata hanya berfokus kepada cara bercerita yang sok lucu. Padahal enggak lucu. Sia-sia sudah penampilan yang bagus, dan sedikit pesan yang diselipin dalam dialog. Setiap cerita kudu punya awal, tengah, dan akhir. Dan kuharap film ini adalah awal, tengah, sekaligus akhir dari tren membuat film bersambung. Akan menjadi hari penuh duka bagi perfilman tanah air jika bioskop nantinya ramai oleh film-film yang dibuat dengan mindset sinetron kejar tayang. Film-film yang tak lagi dibuat berdasarkan pengetahuan terhadap sinema, seni penulisan skenario, melainkan insting mencari keuntungan sebesar-besarnya semata. Yang mana karya semacam ini tidak bisa disebut sebagai sebuah film. Jadi, berhenti membuat seperti ini, jangan sampai jadi tradisi.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for PARIBAN: IDOLA DARI TANAH JAWA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Buat yang pengen lebih banyak mendengar tentang film indonesia yang kini krisis ilmu pengetahuan, bisa tonton video dari channel Oblounge ini:

 

Bagaimana pendapat kalian tentang film bersambung ala Pariban dan Benyamin Biang Kerok?

Apakah menurut kalian film bersambung kayak gini perlu dilestarikan?

Dan karena filmnya takut-takut mengangkat; apakah menurut kalian budaya pariban perlu dilestarikan?

 

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

  1. Albert says:

    Maksudnya film ini ga punya ending mas? Gimana dibandingin Love for Sale, kan gantung juga itu endingnya? Aku belum nonton sih yang pariban ini. Jadi ragu-ragu hehehe.

    • arya says:

      Love for Sale endingnya bukan gantung, tapi terbuka untuk interpretasi masing-masing Richardnya pergi untuk apa. Ceritanya sendiri sudah menutup, Richard sudah sampai di end arc tokohnya, dia sudah pribadi yang berubah – contohnya; di awal dia gak mau pergi jauh-jauh dari tokonya, pergi nobar aja dia nyasar, di akhir cerita dia punya motor sendiri dan go on a trip by himself.

      Pariban gak punya ending. Cerita disudahi (dibuat bersambung) padahal Moan belum sampai di end arc tokohnya, dia belum berubah – masih sama dengan dia di awal cerita. Sebagai perbandingan, bayangkan kalo cerita Love for Sale diakhiri saat momen Richard sampai di ‘rumah’ Arini dan dikasih tau oleh si bapak kalo mereka itu aktor – tamat. Tidak akan ada resolusi jika berakhir di situ kan, arc Richard masih nanggung karena kita gak melihat apa yang ia lakukan sebagai pembelajaran dari semua itu. Love for Sale jadi jelek kalo dipotong seperti begitu. Nah, Pariban ini berakhir seperti demikian – tepat pada momen yang mestinya jadi pembelajaran buat Moan.

    • Albert says:

      Oh ya makasih mas. Kayaknya kuskip ajalah, mending nonton pikachu aja hahaha. Buat apa sih bikin film gantung gini ya. apa mau dibuat lanjutannya? Di sini aja layarnya cuma dikit padahal yang nayangin.

      • arya says:

        tiga bulan lagi katanya lanjutan filmnya tayang.. kan males ya, sengaja motong film gitu buat duit banget, at least bikin per sequel biar satu film tetap menutup dulu… emangnya kita ke bioskop mau nonton sinetron. Jangan ditonton deh, toh ini bukan film kok. Ntar ngerinya kalo yang kayak gini laku, bisa-bisa bioskop indonesia isinya sinetron bersambung semua

  2. Aaron says:

    Wow, gak nyangka bakal dapat rating 1 film ini. Menurutku film ini sepintas masih lebih mendingan daripada Si Biang Kerok itu yang minta ditabok. Kata Produser film Kerok-an, sekuelnya sedang diproses untuk tayang di bioskop. Skip deh film ini dan nonton Ambu di minggu depan.

    Mas Arya, ditunggu review film Ambu ya.

    • arya says:

      waduh gak kapok si biang kerok… garagara dia nih jadi ada bersambungsambung di tengah kayak gini di bioskop

      sippp, aku bakal nonton Ambu kok

  3. Avant Garde says:

    hahaha, iyak bang 😀 mungkin anggapan kreatornya, dengan memanfaatkan ceruk budaya lokal bakal rame filmnya gitu kali yak, padahal kalo motong filmnya aneh kayak gini jadi sebel juga liatnya yak….

    film bernuansa batak sejauh ini yg suka demi ucok (komedi) sama toba dream (mathias muchus/vino g bastian)

    • arya says:

      iya nih, bagus sih sebenarnya kalo pada bermain di budaya lokal. Tapi takutnya satu lagi tuh ntar malah banyak film yang bilangnya film budaya lokal tapi budaya lokalnya sendiri cuma jadi gimmick, enggak dieksplorasi, certianya enggak mengkaji lebih dalam dari hanya sebatas memperkenalkan.

      toba dream aku suka tuh, adegan terakhir di pondok di danau itu keren sih

  4. Avant Garde says:

    karena filmnya dipotong sih, jadi nggak tau ada apa di film kedua nanti, apa bakal dieksplorasi lebih soal topik pariban ini 🙂 makasih bang reviewnya..buat antisipasi kalo entar diputer di tv 😛

  5. Nicky says:

    Inti dari tukisan ini apa yah ?
    Saya entah kenapa susah mengerti makna blog tulisan ini.
    Pokok penulisan terpisah pisah dan tidak tau tujuan review ini menghimbau, mengkritik, atau apa ?
    Bisa perjelas sedikit ?

  6. Irfan Satya Aji says:

    aku belom nonton film ini, begitu juga dengan benyamin biang kerok. jujur mas, penasaran aku pengen tau film yg dipotong bersambung tu kaya apa (eh bukan film ding ding kl menurut njenengan wkwk)

    tp kayanya ga worth it ya mas nonton model film kaya gini? haha

    dan cukup kaget ternyata ini dari pembuat love for sale. apa mungkin ini model lain dari mas Hanung ya? kayanya ada film mas Hanung yg good as expected tp ada juga yg surprisingly awful gitu.

    • arya says:

      Bayangkan aja kalo Love for Sale disudahi begitu Arini hilang dan diketahui dia bukan ‘Arini’

      atau,
      kalo film Infinity War tapi tokoh utamanya bukan Thanos, tapi salah satu superhero

  7. Nova Sitinjak says:

    Aku asli org batak and I said.. I hate this movie..

    1) ini film kaya gak punya cerita..

    2) lebayy banget dengan logatnya.. entah memang krn aku asli batak medan yaa jd lgsg berasa “gak gurih” nya logatnya.. semuaa.. mulai dari Atiqah, si bapak nya Atiqah, rizky mocil, semuanya lah, terkesan maksa,, yg enak cuman emaknya si moan doang yg pas… krn maksa, jatuhnya jadi gak lucu.. org samosir sana aja gak gt2 banget logatnya..

    3) budaya batak ato pun wisata alam dantob jg mnurutku gak dpt.. budayanya cuman cerita, pariban itu bla bla bla.. tp gak jls lg slanjutnya.. pengambilan gambar dantob nya jg mnurutku biasa2 aja.. bagusan pengambilan gambar toba dreams kemana2 lah.. jd gak tau apa yg mau ditonjolkan di film ini..

    4) lawakannya kasar dan jorok banget.. jujur, aku malah liat batak itu kok jd parah banget disini. coba main ke samosir sana.. liat pola lawakannya di samosir ato di medan lah.. enggak begitu2 banget lhoo.. emang suara besar, ngomong sering nge-gas, tp gak sejorok dan sekasar bgitu jg.. bukan aku anggap batakk udah “wah” banget yaa.. cuman rasanya kurang sreg aja klo membuat candaan yg dalam keseharian gak bgitu.. bedain lah dengan candaan ala boris di toba dreams.. beda kan..

    *Sial nya lagi,, aku menonton film ini bareng bapak mama ku (emang emakku yg minta nonton ini film)..kebayang kan rasanya nonton film jorok bgini dgn orang tua T_T

    • arya says:

      agak-agak kayak orang luar yang berusaha niruin logat batak kedengarannya, gitu ya mbak?

      Jatohnya lelucon dan inti cerita di film ini memang jadinya kayak gede-gedean ‘ucok’ saja antara Moan dengan Binsar. Sudut pandangnya jadi tidak imbang, terutama ketika mengangkat soal pariban itu sendiri

      hahaha kebayang jadi awkward banget pasti

      • Nova Sitinjak says:

        iyaapp.. logat nya batak bukan bgitu.. cuman mgkn klo luar org batak, enggak terlalu ngeh yaa..

        lawakannya sih mnurutku yg gak ok.. klo dr filmnya.. kayanya yg paling pengen ditonjolkan itu lawakannya.. tp udah logatnya gak pas, trus make komedi biru.. itu yg salah mnurutku.. gak cocok komedi biru dipake utk film kedaerahan.. krn kecenderungannya film daerah itu ditonton bareng keluarga, apalgi klo filmnya dr daerah asal.. (kaya emakku yg heboh minta nobar krn tau nya itu film settingnya di toba)

        • arya says:

          Oo ya ya, temen-temenku yang batak kalo lagi bercanda ya ngomongnya memang kayak di film itu, tapi mungkin di kehidupan sehari-hari – dalam konteks percakapan sehari-hari ndak kayak gitu kali logatnya ya mbak.. Jadinya film ini dibuat karena pengen melestarikan/menunjukkan budaya batak, tapi anehnya mereka melakukan itu dengan mempersembahkannya lebih seperti parodi dari budaya tersebut. Mungkin pikir mereka lebih gampang dijual kalo ‘menghibur’ seperti begini.

          Terus emak mbak reaksinya gimana setelah nonton? haha

      • Nova Sitinjak says:

        cba tanya temen2 mas wkt nonton film ini.. mreka bakal bilang ini logatnya gak..? klo yg udah sering ke daerah toba, pasti beda “feel” nya hehehe.. mirip kaya gt, tp tetap berasa maksa.. yg cocok logat nya, kaya emaknya si moan.. bingung saya jelasin bedanya hahaha.. yg bukan batak tp lmyn enak logat bataknya.. mgkn kaya Mathias Muchus dan Jajang C. Noer di toba dreams ato paling ok, si naga bonar Deddy Mizwar.. 😀 .

        emakku nyesel nontonnya hahaha… tp paling awkward ya sama bapakku.. mana pas nonton bapak di sblhku lgi.. asli.. stlh keluar dr bioskop.. gak ada omongin film ini sama skali.. anggap gak pernah nonton..

        klo pun mau dibuat lanjutannya.. byk dr film ini yg hrs dibenahi..

        • arya says:

          ahahaha ‘anggap gak pernah nonton’

          Lanjutannya sepertinya bakal gini juga, karena kalo dilihat dari adegan bersambungnya, besar kemungkinan sebenarnya mereka udah syut filmnya sampe habis. Cuma ya dibikin jadi dua penayangan. Lawakan, gambaran orang batak, dan segala aspeknya ya kayaknya sama-sama aja.

          Aku kayaknya memang gak bakal nonton sambungannya haha, kecuali kalo tiket yang film ini berlaku juga untuk film sambungannya xD

Leave a Reply