BRIGHTBURN Review

“Hypothetical questions get hypothetical answers.”

 

 

 

Berandai-andai memang menyenangkan, kita semua suka melakukannya. Makanya filter ‘gender-swap’ di snapchat langsung ngehits. Berpikir hipotetikal berarti bermain dengan imajinasi. Orang-orang pintar seperti Einstein menghargai kekayaan imajinasi sebagai bentuk dari kecerdasan. Karena dengan berimajinasi, kita mendorong diri sendiri untuk berpikir di luar kotak, di arena yang jauh lebih luas. Ide cerita film Brightburn yang sangat menarik ini terlahir dari andai-andai pembuatnya. Dari imajinasi kreatif yang berusaha membayangkan peristiwa asal muasal superhero dalam cahaya yang jauh, jauh, lebih gelap. Yakni bagaimana jika suami-istri Kent mengadopsi bayi alien super yang jahat kelakuan, alih-alih baik hati.

Bagi Tori Breyer yang diperankan oleh Elizabeth Banks, andai-andai bukan semata imajinasi. Melainkan juga sebuah harapan. Tori dan suaminya sangat pengen dikarunai anak. Dari buku-buku yang disorot pada adegan pembuka, kita lantas mengerti usaha yang mereka lakukan urung membuahkan hasil. Bukan bintang jatuh yang kemudian mengabulkan harapan mereka. Tetapi sebuah meteor. Berisi seorang bayi laki-laki! Tori dan suami membesarkan anak yang mereka beri nama Brandon layaknya anak kandung sendiri. Bahkan ketika Brandon menunjukkan gelagat mengerikan. Yang jelas-jelas bukan perilaku anak baru gede yang biasa. Orang-orang di sekitar keluarga tersebut satu persatu mendapat musibah aneh. Dengan semua ‘bukti’ mengarah ke Brandon pun, Tori tetap kekeuh dengan andai-andainya, bahwa Brandon adalah buah hati kesayangan yang harus ia lindungi.

teman-temanmu gak tau bahwa mereka baru saja meledek seorang alien, Nak

 

Dalam menyampaikan premis unik tersebut, Brightburn menjelma menjadi horor aksi. Penggemar adegan-adegan berdarah akan menyukai film ini. Anggota tubuh yang remuk, wajah dengan mulut literally menganga (karena rahangnya hancur), akan menghiasi layar. Dan cerita tak butuh waktu yang lama untuk sampai ke bagian-bagian sadis tersebut. Yang justru menunjukkan kelemahan yang dipunya oleh film ini. Meskipun dia punya cukup banyak gaya untuk menghadirkan horor kekerasan, film ini tidak banyak bermain dengan penceritaan. Ataupun dengan gagasan ceritanya sendiri.

Sebagai pembanding, kita bisa melihat film The Prodigy (2019) yang juga bicara tentang keluarga yang dikaruniai anak jenius yang bermasalah kelam. Nyaris denyut per-denyut kisah dalam kedua film ini mirip. Anak pintar yang menjadi violent. Bermasalah di sekolah. Menyakiti binatang. Dipanggil untuk konseling. Mengancam konselornya. Lebih banyak orang menderita. Ibu yang akhirnya mengambil tindakan. Bahkan endingnya memberikan kesan yang serupa, dan sama-sama menantang kita untuk minta sekuel. Dua film ini seperti dipotong dari kain yang sama. Hanya beda latar tokohnya. Dalam Brightburn, si anak beneran seorang monster, dan orangtuanya adalah orangtua angkat. Latar yang sebenarnya lebih dari cukup untuk menghasilkan cerita dengan perbedaan masalah yang mendasar. Namun film ini tidak tampak benar-benar tertarik untuk menggali lebih dalam. Mereka hanya bermain di permukaan. Persoalan anak angkat itu tak pernah menjadi prioritas. Film hanya ingin mewujudkan imajinasi mengerikan seperti apa ketika seorang superman cilik menjadi monster super pembunuh.

Ketika The Prodigy mengandalkan lebih banyak kepada penampilan akting untuk menghadirkan keseraman yang bergaung merasuk ke dalam diri kita, sutradara David Yarovesky lebih memilih untuk bergantung berat kepada editing dan efek visual untuk menciptakan sosok monster bertopeng dalam Brightburn. Musik dalam film ini bisa menjadi sangat keras karena ia adalah gabungan dari jumpscare dan ledakan-ledakan aksi. Pemilihan musik ini membuat kita berada dalam situasi yang sulit; karena kita butuh adegan aksi untuk bersuara menggelegar, tapinya film ini menggabungkan aksi tersebut dengan horor, dan kita gak pernah suka horor yang suaranya bikin jantung copot. The Prodigy menggunakan teknik dramatic irony – membuat kita tahu lebih banyak daripada ibu dalam cerita tersebut – sehingga kita semakin peduli sebab kita mengerti betul sejauh apa usaha yang ia lakukan untuk melindungi anaknya, kita bersimpati meski kita tahu yang ia lakukan tidak bisa dibilang benar. Sedangkan Brightburn bercerita dengan lempeng. Penuh oleh trope dan klise dari elemen ‘evil kid’. Tori ditulis sebagai karakter dengan satu kebohongan yang ia percaya; bahwa Brandon adalah anaknya, bahwa Brandon adalah anak yang baik, hanya saja ‘cela’ tokohnya ini tidak pernah mengundang rasa simpati kita. Malah jatohnya annoying. Karena kita melihat Tori sebenarnya sudah tahu, dan film tidak membuat hal menarik untuk menunjukkan dia membohongi diri sendiri, dia tidak pernah tampak seperti melindungi, lebih seperti keras kepala.

Film ini gagal untuk mengangkat moral yang berusaha mereka selipkan ke dalam imajinasi liar premis ceritanya. Bukannya menjadi anti-hero, film ini malah jadi seperti anti-keluarga. Yang mengatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa mengendalikan orang yang bukan darah daging kita, kita tidak akan mengerti mereka, karena kita dan mereka begitu berbeda. Kita tidak bisa terus membohongi diri karena cepat atau lambat kenyataan akan menghantam dengan keras. Kemudian meledakkan kita.

 

Tidak sanggup membuat simpati jatuh ke Tori, maka setelah midpoint film memindahkan fokus cerita kepada Brandon yang sudah tidak bisa mundur lagi menjadi dirinya yang dulu. Tapi kita pun akan susah sekali untuk bersimpati kepada tokoh ini. Kita tidak bisa merasa kasihan kepadanya. Karena film membuat tokoh ini murni jahat. Dia bahkan bukan anti-hero. Brandon tidak ditulis seperti Bezita yang membunuh banyak orang untuk memancing Goku bertarung supaya dia bisa menjadi lebih kuat lagi karena dia percaya hanya dia yang Pangeran Saiya-lah yang dapat mengalahkan Manusia Iblis Buu dan menyelamatkan Bumi. Brandon tidak ditulis seperti Carrie yang mengamuk menghabisi teman-teman sekelasnya karena dia sudah dibully dan dipermalukan di depan mereka semua. Brandon cuma diledek, apakah itu berarti dia pantas untuk balas dendam? tentu tidak. Satu-satunya usaha film untuk membuat Brandon tampak simpatik adalah dengan membuat dia seperti lupa-diri ketika melakukan hal mengerikan, seolah ada yang mempengaruhinya, seolah ada dua jiwa di dalam sana – kayak The Prodigy. Namun tentu saja elemen tersebut seperti dijejelin masuk gitu aja karena gak make sense kenapa bisa ada dua. Kenapa gak ditulis dia amnesia aja sekalian, bikin dia berjuang melawan siapa dirinya yang sebenarnya. Buat perjuangan dalam diri Brandon, antara dia yang baik karena dibesarkan penuh kasih sayang dengan dirinya yang asli – seorang monster superpower. Sayangnya film ini tidak seperti itu. Ketika Brandon melakukan hal sadis, ya hanya sadis. Jahat. Tidak ada layer dari tingkah lakunya. He’s one dimensional jahat ketika sudah total menjadi monster. Alasan dia menjadi seperti demikian tidak ditulis simpatik.

Film benar-benar tidak mengerti bahwa mereka perlu untuk membuat kedua tokoh ini tampil simpatik. Untuk membuat hubungan antara Tori dan Brandon bekerja, dinamika mereka harus dirancang oleh film. Mereka harus dibentrokkan. Tetapi dua tokoh tersebut berjalan sendiri-sendiri. Jadi, tidak ada yang bisa kita dukung di antara dua tokoh sentral; Tori dan Brandon. If anything, aku lebih simpatik sama suami Tori, tapi pun tokoh ini tidak benar-benar punya arc. Tokoh-tokoh yang lain hanya ada di sana untuk menambah jumlah korban dan/atau melakukan hal-hal simpel nan bego karena naskah menyuruh mereka untuk berbuat demikian. I mean, guru BP (BP atau BK sih, aku gak tau bedanya ahaha) mana yang ngasih ponakannya senjata api sebagai hadiah ulangtahun? Mana ada orang dewasa yang ngasih anak-anak pistol.

well, kecuali saat lebaran.

 

Akan ada satu-dua yang bikin kita menggelinjang menonton film ini, terutama jika kita penggemar horor sadis. Premis ceritanya sendiri memang menarik. Film pun sepertinya sangat aware dengan premis tersebut, dan gak malu-malu dia memasukkan banyak hal yang bisa mengingatkan kita kepada Superman. Paduan horor dan aksi sebenarnya bukan pertama ini dilakukan, jadi film ini dituntut untuk punya gaya. Secara visual sih, dia memang cukup bergaya. Suara keras dan efek yang cukup mengerikan – meski adegan terbang keluar masuk rumah di babak akhir itu malah lebih mirip adegan film kartun. Namun secara penceritaan, film ini tampil biasa saja. Ceritanya maju begitu saja, dengan pengembangan ala kadar penuh oleh trope dan klise. Masing-masing tokohnya tidak mendapat keadilan dari segi penulisan. Tidak ada satupun yang mengundang simpati. Dan membuat kita duduk menyaksikan perjalanan tanpa ada yang bisa didukung; what a monster move!
The Palace of Wisdom gives 4 gold stars out of 10 for BRIGHTBURN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Andai-andai mengerikan seperti apa yang pernah terpikirkan oleh kalian? Dan bagaimana kira-kira kalian menjawab andai-andai tersebut?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

Comments

  1. Albert says:

    Ga jadi nonton Pariban akhirnya aku nonton Brightburn ini mas. Pas nonton sih rasanya logikanya masuk kenapa dia bunuh. Pacarnya kan karena dia dibikin jatuh pas di lapangan, mertuanya larang dia ketemu pacarnya, bibinya eh pamannnya karena mau kasih rekomendasi buruk ke sekolah, ortunya karena pengen bunuh dia.

    Banyak yang bilang bagus sih film ini cuma aku merasa apa yang kurang, mungkin bukan tipeku sih. AKu senengnya yang jahat jadi baik, seperti kata ibunya dia berkat, ada kebaikan dalam dirinya gitu. Iya baca review ini sedikit terjawab sih rasanya. Betul rasanya ibunya kurang simpati. Mungkin kalau dia mengakui Brandonnya jahat tapi tetap membela mati2an, bisa lebih dapat emosinya?

    • arya says:

      nah iya, kalo di prodigy kan gitu ibunya; ngakui anaknya jahat tapi tetap bela mati-matian.. di film ini ibunya ngeselin karena menolak melihat kenyataan haha

      alasan brandon ada sih memang, tapi tetep aja gak simpatik – ‘pacar’nya gak mau ama dia, pamannya cuma mau nganter dia pulang, bapaknya melakukan apa yang harusnya dilakukan oleh tokoh utama alias si ibu

  2. Febrian says:

    Setuju sama bang Arya. Film ini kayak, ada orang kuat tapi jahat. Udah gitu aja. Ga ada apa2nya lagi. Ga ada emosi yg dimainin, ga ada pikiran yg perlu digunain, ga ada simpati yg dimunculin. Yaudah, gitu aja. Tapi pas di akhir film, pas ada adegan2 berita tentang kerusakan, kayaknya ada anak lain yg mirip dia juga deh. Mungkin dia ga sendirian pas jatuh ke bumi. Sequel? Hhmmm…

    • arya says:

      “ada orang kuat tapi jahat. Udah gitu aja.” nah iya ini, bener banget. Cuma buat lihatin itu. Terus terakhir dibikin seolah-olah bakal ada universe/sekuelnya deh; trennya kayak gini semua film2 mainstream sekarang mah haha

      • Febrian says:

        Tren universe atau credit scene seolah bakal ada sekuelnya ini karena Marvel kah atau sebelumnya juga udah ada sih, Bang?

        • arya says:

          Iya, setahuku Marvel Studios yang memulai, mereka melakukannya dengan benar, trus sukes, banyak deh yang mau niruin.
          Tetapi mereka-mereka yang mau niru ini pengen untung gede kayak Marvel doang, yang mereka lihat cuma bikin dunia bersambung, masukkan si anu di film si anu. Lupa deh bikin film yang bener, lupa bikin cerita yang fokus dengan awal, tengah, dan akhir.
          Padahal kunci universe Marvel ini sukses itu adalah planning; waktu dan kesabaran. Dari 2000 hingga 2019, berlanjut ke depannya Marvel juga udah perencanaan. Mereka begitu sabar hingga adegan-adegan penyambungan itu mereka letakkan setelah kredit, supaya tidak mengganggu struktur/alur film utuhnya.

          Tapi sekarang, para peniru kebelet buat sukses juga, mereka buru-buru bikin dunia, introduce semua sekaligus, malah gak mau nunggu sampai kredit beres buat masukin adegan/teaser penyambung.

          Indonesia mau ikutan juga bikin kayak gini, dan ide hebat para penjual dagangan berkedok filmmaker di sini adalah bikin film yang bersambung; satu cerita dipotong jadi dua film supaya lebih irit bikin universe dan keuntungan lebih banyak kayak Benyamin Biang Kerok dan Pariban. Kacau! hahaha

      • Albert says:

        Dengar2 Indonesia juga mau bikin universe hero dunia wayang mas. Jagat Satria Dewa dimulai dari Gatotkaca. Kelihatannya direncanakan matang mau buat 8 film. Ya semoga aja lancar dan bagus kayak dunia MCU ya.

  3. Dimas says:

    cuman 4/10 nih min? bagus ah filmnya.. genre superhero horror kan jarang ada daripada nunggu New Mutants yg jadwal rilisnya mundur terus..

    kalau untuk adegan yg butuh CGI ya harap maklum min bujet filmnya “cuman” 7 juta dolar(wikipedia)

    • arya says:

      Genre superheronya dari mana? hahaha.. film ini berangkat dari premis superman yang dikasih twist gelap, cuma itu. ceritanya sama sekali gak ada unsur superheronya. Ini horror tok; kalo mau distretch, ya horor yang banyak adegan aksi.

      Budget mah berapapun gak masalah, aku gak menilai dari nominalnya. Melainkan dari semaksimal apa mereka menggunakan budgetnya.

  4. KWL. says:

    Well, setelah banyak membaca review, saya gak jadi nonton brightburn. Kurang worth it. Padahal saya sedang haus horror. 🙁
    Alangkah baiknya jika menunggu bluray. *jng ditiru, gak baik ✌

  5. Irfan Satya Aji says:

    masalahnya emang si BB ini terlalu one-dimensional ya mas. setuju banget sm pendapat di atas- “orang kuat tp jahat dan udah gitu aja” hehe
    sulit sekali ngerasa care untuk semua karakter yg ada di film ini.

    tidak dijelaskan secara jelas detail BB juga, dari mana dia, siapa suara yg terus bujuk2 buat menguasai dunia, kenapa dia dikirim ke bumi, etc. mungkin ini pancingan agar penonton meminta sekuel? saya sih nggak haha

    btw nice one for comparing this film to bezita (dragon ball). krn waktu pertama kali liat dia dikirim ke bumi, instead of superman, aku malah ingetnya sm songoku haha apalagi pesawatnya bulet gitu wkwk

    • Febrian says:

      Sama, saya sih juga ga minta sekuel, hahaha… Bahkan pas nonton sampe ngeliat2 hape saking ga asiknya… Tapi saya sempet simpati sama bibinya yg juga konselor sekolah. Dia kerja profesional yg pasti seperti biasa kalo ada anak2 yg bermasalah, eh dibunuh. Diteror dulu malah. Batu banget dah tuh anak. 12 tahun dari bayi tinggal sama manusia biasa yg baik, masa ga ada sedikitpun sisi manusia yg muncul sih. Meh..

    • arya says:

      Hahaha iya, aku juga pas nonton ini ingatnya orang saiya di Dragon Ball sih; kan mereka juga dikirim ke planet-planet buat membunuh semua penghuni tersebut supaya planetnya bisa dijual ke Frieza. Mungkin memang lebih cocok dikatakan sebagai anti-Goku daripada anti-Superman, ya. Goku yang bisa berubah jadi monster kan akhirnya jadi baik banget setelah diasuh kakek angkat, beda sama BB yang nerimo saja sisi jahatnya.

  6. Albert says:

    Enggak mati sebelum dibunuh udah ketahuan pamannya akhirnya paman yg dibunuh. Dibilang ga ada sisi baiknya ya ya tepat juga. Dia sempat minta tolong bibinya buat ubah rekomen dia. Pas ayahnya minta maaf juga dia oke. Tapi ya baiknya dikit banget. Kayaknya dia merasa berkuasa banget setelah dapat power.

    • arya says:

      kurang pengkarakteran sih… mungkin kalo ditulis dia punya hobi, atau apa kek yang membuat dia kayak anak-anak normal, maka kita bisa sedikit simpati ama dia.. I mean, Jason Vorheess aja ada yang bikin kita ngerasa kasian juga kan sama dia haha.. tadinya kupikir dia bakal baik sama pamannya yang ngasih senapan, taunya enggak juga ahahaha

      • irfan says:

        tiap pembunuhan yg mahasadis itu juga kayanya tanpa alasan apa2 yak. ibunya temennya yg smp ditaruh di deket pesawatnya smp dibikin bolong gitu juga maksudnya apa deh. bener2 kurang penjelasan kayanya haha

        mungkin harusnya ibunya BB jedotin palanya BB dulu pas kecil, biar baik kaya goku wkwk

  7. tokiran says:

    Nyesel endingnya… Kirain si BB berhasil. Dieksekusi nyokap angkatnya.. Eh metong juga nyak nye…. Apakah film ini bersambung??
    Aku nonton film ini karena penasaran akhir filmnya kayak apa dan dikalahkan smaa siapa si anak jahat itu.. Jangan2 dia adeknya superman.. Satu bapak beda nyokap.. Hasil nikah siri..

Leave a Reply