AMBU Review

“Maturity doesn’t mean age.”

 

 

Dunia emang lagi panas. Orang pada emosian. Sekarang setiap argumen dapat dengan cepat berubah menjadi kontes tinggi-tinggian suara. Di mana-mana dapat dijumpai orang berantem. Di diskotik. Di jalanan. Di rumah Nona. Ibu dan ayahnya yang padahal udah enggak serumah lagi, selalu berantem setiap kali si ayah datang minta duit. Kayak orang pacaran aja. Nona sendiri juga sering sih, jutek-jutekan sama ibunya. Tapi kan dia memang masih anak SMA. Salah ibunya sendiri enggak mau berusaha ngertiin dia. Nona yang lebih suka keluar malam itu mana bisa tau kalo ibunya ternyata sudah menjual bisnis katering, mobil, hingga rumah mereka. Sehingga kini Nona dibawa sang ibu pergi ke rumah nenek di kampung Baduy, yang btw bahkan Nona enggak tahu nenek ternyata masih hidup! Sialnya, ternyata nenek Nona juga jutek banget. Lebih dari ibu. Uh, mana tahan Nona tinggal di kampungnya yang banyak aturan. Mana betah Nona di rumah ngeliat nenek ngobrol dingin-dinginan ama ibu, Nona juga gak ngerti mereka ngomongin apa! Ibu gak pernah ngertiin Nona. Gak pernah nanya Nona maunya apa. Masa iya Nona mesti tinggal selamanya di kampung sama nenek yang galak sih?

filmnya kayak desa Smurf; banyak warna birunya

 

Bagi Nona, Ambu adalah cerita fish-out-of-water. Secara mendadak, dia harus meninggalkan zona nyamannya di kota, di tempat di mana dia bisa menghindari ibu dengan gampang. Nona adalah kita dalam film ini. Yang menonton masalah yang terjadi di antara ibu dan neneknya. Berkaitan dengan masa lalu yang tidak ia ketahui karena keluarga Nona adalah keluarga yang turun temurun takut untuk menghadapi konflik. Mereka lebih memilih tidak bertanya duluan, dan jika terdesak, maka akan mulai bersifat agresif. Alih-alih menanyakan langsung, Nona lebih nyaman bertanya kepada tetangga di kampung. Dalam membahas tentang betapa beratnya kadang komunikasi di dalam keluarga, film juga sekalian mengajak kita – lewat Nona – melihat fenomena lain. Yakni tentang menikah dalam usia muda. Cerita dalam film ini mengambil tempat di lingkungan kampung Baduy, di mana normal bagi seseorang di sana untuk menikah saat berusia belasan tahun. Meskipun film menyebut sekarang ada batasan usia untuk pernikahan dalam adat di kampung mereka dan nikah dini itu terjadi di masa lalu, cerita film ini tetap terasa dekat dan happening. Relevan. Karena toh belakangan lumayan marak kita temui ajakan untuk menikah muda di sosial media. Film ini berkapasitas untuk menjadi jendela supaya kita dapat melihat salah satu kemungkinan yang bisa terjadi jika sepasang muda-mudi memilih untuk menikah muda. Dan tentu saja, bagaimana dampaknya terhadap keluarga besar mereka. Nona sendiri adalah seorang anak muda yang terlahir dari pasangan yang menikah di usia belia. Makanya jangan heran kenapa film ngecast Laudya Cynthia Bella sebagai ibu dari Lutesha, padahal usia mereka tidak terpaut begitu jauh.

Nikah muda berkaitan dengan sebab kenapa komunikasi dalam keluarga Nona bisa broken seperti demikian. Karena pelaku-pelaku rumah tangganya masih belum cukup dewasa. Secara emosional, tentunya. Yang ingin dikatakan oleh Ambu adalah kadang kita belum cukup matang untuk bisa melihat kita masih gagal dalam usaha bertumbuh untuk menjadi dewasa. Bukan hanya orang-orang yang secara fisik masih muda yang gemar berantem. Karena memang enggak gampang untuk mencapai kematangan emosional. 

 

Nona harus belajar untuk menjadi dewasa, dialah yang punya tantangan paling berat untuk hal tersebut karena dia masih remaja. Ketika ibu bahkan neneknya gagal, Nona dituntut harus berhasil. Karena jika tidak, dia sendiri yang akan paling banyak kehilangan. Gedenya stake dan konflik inilah yang membuat Nona dipilih sebagai tokoh utama cerita, meski memang naskah seharusnya bisa dikembangkan dengan lebih mengangkat dirinya sebagai protagonis. Nona kebanyakan bereaksi ketimbang beraksi. Tidak sampai pertengahan cerita dia baru benar-benar fully aware pada apa yang terjadi. Pada separuh awal, cerita akan membawa kita selang seling; Antara ibu dan nenek yang berusaha come in terms dengan apa yang sudah terjadi di masa lalu yang membuat hubungan mereka renggang, dengan Nona yang menjalani hidup baru di desa, juga ada sedikit elemen romansa. Dua tersebut tidak terasa paralel hingga midpoint.

Pada beberapa titik cerita, posisi tokoh utama bisa disematkan ke ibu, atau ke nenek. Ibu yang punya motivasi paling jelas sedari masuk babak kedua. Tapi tokoh ini punya rahasia sehingga kita tidak bisa terus berada di sudut pandangnya. Nenek atau Ambu yang diperankan menakjubkan oleh Widyawati adalah tokoh yang melakukan keputusan-keputusan besar yang menggerakkan alur, tapi motivasinya gak terlalu jelas sebab dia masuk di cerita karena keputusan dari tokoh lain. Di antara tiga tokoh sentral ini, Nona adalah tokoh yang keberadaannya paling konsisten, dia juga yang harus kehilangan satu benda yang paling ia sayangi, kejadian di akhir cerita juga terjadi berkat ulahnya, tapi dia tetap kurang kuat karena naskah seperti membagi-bagi porsi. Ini menurutku masalah yang cukup lumrah terjadi kepada cerita yang ingin menunjukkan tiga sudut pandang sebagai poros tengah. Alih-alih tetap meletakkan kendali; plot poin yang menjadi majunya cerita harusnya tetap pada satu orang sudut pandang utama, Ambu malah membagi porsi di plot poin ini sehingga tiga-tiganya malah sama-sama kurang kuat sebagai tokoh utama.

Melihat tokoh-tokoh ini berusaha rekonek sangat mengundang simpati. Posisi ibu yang ingin meminta kembali perhatian nenek, sekaligus ingin anaknya menunjukkan cinta kepada dirinya. Momen saat kita menyadari Nona kepada ibunya adalah refleksi ibu kepada nenek saat mereka masih muda dulu. Film punya momen-momen kuat. Treatment interaksi antartokoh sangat dipertimbangkan. Kamera juga peka sekali menangkap hal tersebut dengan cara yang indah. Misalnya seperti shot dari atas rumah yang memperlihatkan tiga tokoh ini, berada di ruangan terpisah, tapi saling memikirkan keadaan masing-masing. Film ini punya visualstorytelling yang sangat engaging dan elegan. Permainan cahayanya juga menawan, meski untuk aspek ini aku gak mau komentar banyak karena belum yakin apakah cahaya itu alami atau hasil efek suntingan. Namun apa yang mereka shot; semuanya cantik. Secantik permainan aktingnya.

kopernya kayak beneran berat.. atau mungkin memang berat, makanya urat di tangan ibu pada keluar

 

Namun semua pencapaian teknis tersebut bisa dengan gampang teroverlook, lantaran film agak terlalu menonjolkan bagian-bagian yang dramatis. Film ini gemar sama adegan menangis. Bahkan ketika Nona tidak menangis pun, adegannya sebenarnya sedang tangis-menangis. Sepuluh menit pertama jor-joran untuk memeras air mata kita. Ini tentunya dapat menjadi penyebab turn-off buat beberapa penonton. Di bagian selang-seling antara Nona dengan ibu dan nenek yang kutuliskan tadi, tone sedih dengan tone curious ini terasa gak nyampur sehingga aku merasa terlepas setiap kali cerita berpindah. Musiknya juga lumayan over. I mean, kalo di layar sudah ada adegan orang terduduk sambil berurai airmata setelah dibentak oleh anaknya, menggunakan musik yang sedih membuat keseluruhannya terasa overkill. Pancingan dramatisasinya ini menurutku seharusnya bisa lebih diatur lagi pacingnya. Karena film ini sebenarnya punya selera humor yang unik.

Bukan hanya pada Enditha yang memainkan tokoh Hapsa; sahabat kecil ibu Nona, candaan dilontarkan. Melainkan juga pada bagian-bagian yang begitu subtil. Seperti ketika film berulang kali bermain-main dengan antisipasi kita “wah jangan-jangan si itu mati”, ternyata tidak. Keimmaturean Nona, sifat yang penting bagi tokoh ini, juga salah satu kelucuan yang digambarkan dengan menarik. Persona tokohnya ini konsisten, perubahan besar pada dirinya adalah perubahan value yang benar-benar menunjukkan kematangan. Dan menurutku transformasi Nona di film ini – progres tokohnya – tergambar dengan baik. Di awal-awal kita melihat dia berusaha nyalain lampu semprong, dengan memasukkan api dari atas corongnya. Di akhir, ketika dia mengetahui rahasia ibunya dan reaksinya punya undertone kocak “ini mandiinnya gimana..?” Dua tindakan itu mencerminkan sifat kekanakan Nona, tapi kita bisa merasakan value terhadap tindakannya itu sudah berbeda. Pertanyaan Nona di adegan menjelang akhir tadi justru menunjukkan reaksinya sebagai orang yang sudah lebih matang dalam menghadapi kenyataan; dia menggunakan kekanakannya sebagai coping mechanism, tidak lagi sebagai senjata ego.

Film bahkan butuh tokoh yang one-dimensional jahat untuk menghantarkan tiga tokoh ini kepada resolusi cerita. Kalo tokoh yang diperankan oleh Baim Wong enggak muncul dan marah-marah, mukul-mukul, bikin keributan di kampung adat itu, tiga tokoh kita sampai sekarang masih belum eye-to-eye. Belum jujur sama rasa cinta terhadap masing-masing. Cerita menyugestikan mereka butuh untuk ribut gede supaya semua plong dan jelas. Mereka perlu ‘musuh yang sama’. Dan mengingat tiga tokoh kita adalah wanita, kemunculan cowok menjadi pembuka jalan, mungkin bakal membuat para feminis sedikit ketrigger. Bukan cuma satu tokoh ini loh. Ada satu lagi tokoh cowok yang fungsinya memang untuk membantu Nona supaya bisa melihat hidup dari sudut lain, demi menjadi pribadi yang lebih baik. Tokoh orang di kampung yang menemani Nona jalan-jalan berkeliling daerah sana setiap hari, yang jadi pelarian Nona dari ibu dan neneknya, si Jaya yang diperankan oleh Andri Mashadi bisa kategorikan sebagai trope manic pixie dream guy. Jaya adalah sosok pria sempurna, perwujudan laki-laki yang matang dan berpikiran dewasa, yang diidamkan oleh Nona karena yang selama ini ia lihat dalam hidupnya adalah pria-pria immature pengecut yang hobi mukul wanita. It would be nice jika Jaya diberikan konflik sendiri, sehingga kehadirannya tidak sekadar untuk membantu tokoh cewek

 

 

 

 

Sukses menjadikan adat budaya sebagai nafas cerita, film yang ditangani oleh sutradara Farid Dermawan tampak mengolah materi dan gagasannya dengan cukup matang. It has one of the better storytelling yang bisa kita dapatkan dalam drama-drama keluarga belakangan ini. Film punya sepatah dua patah kata yang akan membuat kita semakin menghargai ibu kita masing-masing. Yang terjadi pada film ini bisa saja lebih dekat kepada kita dari yang kita kira, meskipun kadang bisa terasa lebih seperti fantasi. Konfliknya dramatis banget. Arahannya jor-joran menguatkan kejadian-kejadian yang emosional. Yang beberapa bisa berujung ke hal-hal yang gak make sense buat beberapa orang. Kadang bisa agak terlalu intens. Membuat kita overlooked banyak hal-hal menarik lain yang dipunya oleh film ini. Beberapa karakter juga mestinya bisa ditulis dengan lebih baik lagi. Seperti kain-kain desa Baduy itu, film ini punya corak yang unik. Tapi tidak seperti kain-kain tersebut, film ini masih ditenun dengan kurang rapi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for AMBU. 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian, apa sih ciri-ciri orang yang tidak dewasa itu? Mengapa menurut kalian bersikap dewasa dalam suatu hubungan itu penting?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

Comments

    • khaliqabdi3 says:

      Ceritanya kan bulan puasa, jadi Bang Arya lagi baik hati, nggak boleh pelit. Kalo pelit ngasih rating ntar puasanya batal! Hahahaha

      Numpang nanya, di film ini alasan si Ibu nikah muda itu karena murni cinta (sesaat) atau hamil diluar nikah? Sorry, aku belum nonton filmnya!

      • arya says:

        pelit mah gabatal kali ahahaha

        nah di film itu sebenarnya disebutin si ayah adalah mahasiswa yang tugas di kampung mereka, ketemu si ibu yang masih 15 tahun. Mereka saling cinta tapi neneknya ga setuju. Ibu dan nenek berantem sehingga ibu mutusin keluar dari kampung, ikut ke jakarta. Soal hamilnya kapan atau beneran cinta dibuat open interpretasi, mungkin dia udah hamil atau enggak. Kalo aku sih lebih suka melihatnya si ibu sebenarnya gak cinta-cinta amat, cuma karena dilarang aja maka ia berontak, kabur, lalu beneran nikah – jadi sesuai sama tema mature/immature yang diangkat film

Leave a Reply