GRETA Review

“It is better to be alone than in bad company.”

 

 

 

Kota gede itu kejam. New York terutama. Kalo gak percaya tanya aja ama Homer Simpons atau ke Jess di New Girl. Bengong dikit, antrian kita bisa diserobot. Polos dikit, kita bisa ditipu. Dicopet. Everyone just mind their own business. Makanya ketika Frances McCullen (Chloe Grace Moretz kudu mainin banyak rentang emosi dengan cepat) mengatakan kepada teman sekamarnya bahwa ia bermaksud mengembalikan dompet yang ia temukan di kereta ke alamat si empunya dompet, Frances lantas dipandang aneh, “Ngapain baik banget sih kenal juga enggak” ujar si teman.

Mungkin bukan hanya Frances yang harus dengerin ‘nasehat’ dari temannya tersebut. Kita juga mungkin sebaiknya lebih berhati-hati dalam menunjukkan kepedulian kepada orang tak dikenal. Belum lama ini, viral di twitter seorang wanita yang mengajak followernya untuk tidak beramah-ramah kepada bapak-bapak yang mengajak ngobrol di tempat umum. Terdengar kasar sih memang. Gimana kalo si bapak beneran lagi butuh bantuan? Masak gak diladeni. Tapi kalo diladeni bisa-bisa malah terjadi pelehan? Itulah point film ini. Bahwa mungkin memang dunia kita sudah jadi begitu mencurigakannya, sudah menjadi tempat yang sudah menakutkan di mana kebaikan dianggap sebagai kelemahan. Yang lantas dilahap dan diperas keuntungan darinya.

Frances dalam film Greta diset sebagai karakter yang rapuh secara emosional. Dia yang bukan anak gaul New York merasa kurang cocok bareng teman-teman seusianya, dia cuma punya satu sahabat yakni si teman sekamar. Pekerjaannya sebagai karyawan di restoran mewah menyimbolkan gimana dia serves society dengan segala kebaikan. Dan sebagai pemanis, Frances dituliskan sebagai gadis yang baru saja kehilangan ibu. Bertemu Greta, si pemilik dompet, bagi Frances adalah seperti bertemu pengganti ibunda. Dia memanggil wanita beraksen Perancis itu sahabat. Dia menemani Greta (Isabelle Huppert menjadikan film ini sebagai lapangan bermain pribadinya) sehari-hari; minum teh di rumahnya, dengerin wanita tersebut main piano. Dan jika terdengar suara gedoran dari balik tembok, Frances akan ngecuekin suara yang bagi kita jelas-jelas adalah ‘alarm tanda bahaya’ tersebut karena dia percaya pada Greta; Itu cuma tetangga yang lagi renovasi rumah.

Film Great garapan Neil Jordan ini menganjurkan kita untuk tidak menjadi senaif Frances. Ramah harus, tapi jangan sampai begitu mudahnya terattach kepada orang baru karena bisa saja mereka sebenarnya bukan teman yang mereka cari.

 

kau bilang dirimu seperti permen karet? Well, aku makan permen karet untuk sarapan setiap hari

 

 

Di sinilah Chloe Grace Moretz menunjukkan kemampuannya menghidupkan seorang tokoh menjadi sangat simpatik. Di atas kertas, Frances sebenarnya dapat dengan mudah menjadi tokoh yang annoying. Karena di awal-awal film, dia selalu membuat keputusan yang bego, regarding to Greta. Ada begitu banyak tanda-tanda bahwa Great adalah tokoh yang enggak beres. Namun bisa dibilang, Frances terlalu baper untuk melihat semua itu. Bahkan jika ternyata Greta bukan orang jahat, Frances ini sudah kelewatan baeknya. Bukan hanya terlalu baik kepada Greta kayak Lala pada BomBom di sinetron Bidadari, Frances ini juga luar biasa pedulinya sama binatang. Ada satu adegan ketika dia mestinya menjauh dari rumah Greta, tapi Frances justru balik lantaran ia mengkhawatirkan anjing peliharaan Greta yang ia bantu pilihkan untuk adopsi. Plot-poin cerita film ini bergerak karena tokoh utama kita ini mengambil keputusan-keputusan berdasarkan perasaan seperti demikian. Yang gak bakal work kalo tokoh utamanya enggak menjelma menjadi sangat simpatik dengan reason yang jelas. Moretz berhasil menggapai semua itu. Penampilan aktingnya sangat meyakinkan. Alih-alih kesel kita malah kasihan melihatnya. Kita itu khawatir akan keselamatannya. Bukan cuma emosional, Moretz juga bermain fisik di sini. Tokoh Frances adalah tokoh dengan tingkat kesulitan yang cukup demanding, dan Moretz berhasil menjawab semua tantangannya.

Aksen palsu dan segala kekakuan tokoh Greta; it’s all by design. Setiap kali Greta muncul di layar, melakukan sesuatu – mengatakan sesuatu, kita tahu ada sesuatu yang gak bener. Like, perasaan gue gak enak nih.. Seperti Greta yang bermain piano, Isabelle Huppert sesungguhnya sukses berat mengenai setiap ‘nada’ yang diminta untuk membuat tokoh Greta tampil ‘mengerikan’. Backstory yang diberikan kepada tokoh ini pada akhirnya berubah menjadi catatan kejahatan, dan itu bukan jadi masalah lantaran tokoh ini sepertinya tidak perlu alasan untuk menjadi seperti dirinya sekarang. Dia edan luar-dalam. Film tidak berlama-lama menyimpan siapa sebenarnya Greta, apa yang bisa ia lakukan, dan ini bagus karena memang kekuatan utama film ini terletak pada kedua pemain utama dan bagaimana aksi-reaksi terjadi di antara mereka. Benar-benar bikin gak enak melihat Frances yang terus menjauh namun dikejar dan malah ditodong ‘sombong’ balik oleh Greta. One time, Greta berdiri diam seharian di pinggir jalan, memandang Frances yang lagi bekerja. Kita melihat betapa mengerikannya efek perbuatan tersebut kepada Frances. Jangankan itu, jumlah missed call dari Greta aja sudah cukup untuk membuat kita bergidik – bahkan mungkin retrospeksi; pernahkah kita membuat orang lain merasa seperti Frances?

Adakalanya kita harus selektif dalam memilih teman. Karena memiliki banyak teman tidak selamanya menyenangkan. Daripada bersama-sama dengan orang yang hanya ingin memanfaatkan, yang lebih banyak ruginya, toh masih lebih baik jika kita sendirian dan tak terluka.

 

 

Film akan menjadi sangat menarik jika terus mengeksplorasi hubungan semacam demikian. Menggali psikologi kedua sudut pandang ini; orang yang gak nyaman di-stalk, dan orang ‘gila’ yang merasa diperlakukan tidak adil karena ditinggal tanpa alasan. Dan lapisan yang membuatnya unik adalah hubungan mereka bukan hubungan romansa. Bukan antara cowok yang naksir berat ama cewek atau semacamnya. Melainkan antara anak yang gak punya ibu dengan seorang ibu-ibu yang sudah lama tinggal sendirian. Dinamika menarik tersebut sayangnya harus berhenti. Lantaran sepertinya sang sutradara yang pernah menang Oscar untuk penulisan skenario film The Crying Game (1992) – film yang bercerita tentang cowok yang menjadi temenan dengan cewek teroris yang menahannya – tidak benar-benar memahami relung resah perihal dua wanita. Peran cowok memang nyaris absen dalam film Greta. Memang cukup aneh, cerita tentang wanita tapi semuanya digarap oleh pria. Berani? Mungkin bisa dibilang lancang. Bicara dari pengalaman; aku bikin film pendek Gelap Jelita (2019) tentang cewek remaja lagi mau berangkat sekolah aja merasa perlu untuk meminta ‘nasehat’, jadi aku meminta tolong temenku yang cewek untuk jadi semacam art director untuk memastikan filmnya benar-benar relate dan menghormati cewek itu sendiri.

cewek dari venus; venus flytrap.

 

Greta memang akhirnya meninggalkan ranah psikologi dan berkembang ke arah horor yang lebih general. That’s the downfall of this movie. Film ini tampak tidak bisa memenuhi janjinya sendiri. Mulai bermunculan klise-klise cerita horor stalking. Bahkan film mulai meminta kita untuk suspend our disbelief. Kejadian yang lagi relevan banget itu tidak lagi terasa nyata oleh sekuen-sekuen seperti Greta yang bisa mengikuti seseorang – memotret orang tersebut dari belakang, mulai dari klub hingga ke dalam bus, tanpa terlihat; seperti ninja. Banyak hal yang dilakukan oleh Greta kepada Frances dan tokoh yang lebih muda yang sukar untuk dipercaya; gimana bisa wanita tua seperti dia melakukan hal tersebut kepada anak muda? Seperti, kenapa jalannya bisa lebih cepat.

Babak ketiga film sudah completely meninggalkan persoalan si tokoh utama. Hampir seperti mereka menyelesaikan journey Frances dalam dua babak, dan babak ketiganya hanya homage untuk kejadian ala horor 90an. Babak terakhir film ini beneran terasa seperti hiasan saja. Kita tidak lagi mengikuti Frances; kita actually berada di sudut pandang karakter-karakter lain, termasuk si Greta sendiri. Bayangkan sekuen ‘pertarungan terakhir’ dalam film horor, nah babak ketiga Greta terasa seperti ‘pertarungan akhir’ yang dipanjangin duapuluh menitan. Completely mengubah arahan film. Dari yang tadinya nyaris seperti in-depth look of characters – materi film art lah kalo boleh dibilang – menjadi semacam horor ‘ditangkap pembunuh gila’ yang sukar dipercaya dan cenderung dilebay-lebaykan biar seru. Bukannya horor seperti demikian jelek, hanya saja tokoh utama seharusnya tetap aktif. I mean, bahkan tokoh utama film Misery (1999) yang kakinya udah patah aja masih bisa menyetir cerita dan tidak lantas berubah menjadi orang yang tidak bisa menyelamatkan diri sendiri.

 

 

 

But of course, thriller seperti demikian memanglah menarik. Bara suspens di dalam cerita masih terus dikipas menyala. Film ini jago dalam menangkap kengerian. Dua pemain utamanya pun bertindak sebagai pilar kembar yang kuat yang menopang penceritaan. Film seharusnya terus mengeksplorasi dinamika hubungan mereka. Tapi kita dapat merasakan limitasi pada penggarapan. Cerita seperti menghindari untuk menggali lebih dalam. Jadi, ia kembali muncul ke permukaan, dan stay bermain di sana. Menjadikan film menjadi serangan teror ‘orang gila’ biasa yang asik sesaat dan kita ignore di kemudian hari, sampai akhirnya terlupakan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for GRETA. 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian kebebasan orang lain itu penting? Apakah kamu pernah merasakan kebebasan kamu dibatasi?

Tell us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Comments

  1. Dimas says:

    bener-bener ngeri kalau kita di “tungguin” seharian di tempat kerja sama orang aneh.. dan ya,babak akhir film memang berubah jadi film thriller mainstream.

    • arya says:

      itu adegannya sumpah bikin gak-nyaman banget, terlebih fakta yang ditunjukkan film ini kalo orang beneran gitu mereka gak bisa ditangkap sama polisi kan, karena mereka belum berbuat salah.. gak kebayang kalo ada yang niruin begitu di dunia nyata hiiii

Leave a Reply