DARK PHOENIX Review

“The kids who need the most love will ask for it in the most unloving of ways.”

 

 

Dengan segala kesemrawutan X-Men Cinematic Universe, paling tidak ada dua hal yang kita ketahui tetap kontinu. Pertama; Jean Grey tidak bisa mengendalikan kekuatannya. Dan kedua; masalah tersebut dapat membuat cewek ini menjadi jahat.

Hidup selama lebih dari sembilan-belas tahun, sebelas film X-Men dibuat secara estafet dari pembuat satu ke pembuat lain. Sayangnya, film-film ini tampaknya hanya dibangun oleh harapan masing-masing pembuat tersebut untuk menghapus ‘jejak’ yang terdahulu. Karena, apparently, membuang sesuatu toh memang lebih gampang daripada mengikatnya ke sesuatu yang baru. Makanya, cerita X-Men kemudian begitu bernapsu untuk membahas ‘kembali ke masa lalu’; mereka ingin me-reboot secara halus. Hasilnya tentu saja kita yang bingung dengan segala ketidakkonsistenan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak-terjawab oleh logika. Dark Phoenix actually mengeksplorasi ulang cerita Jean Grey yang sudah pernah diceritakan pada X-Men: The Last Stand (2006). Jean Grey punya kekuatan begitu besar, namun dia sendiri begitu insecure dengan kemampuan dan statusnya sebagai mutant, sehingga kombinasi dua hal tersebut menjadi luar biasa berbahaya. Mengancam keutuhan dunia beneran. Serta keutuhan dunia impian Profesor X, di mana manusia dan mutant hidup saling bekerja sama. Visi sutradara Simon Kinberg dalam debut film panjangnya ini adalah menjadikan Dark Phoenix sebagai penutup franchise yang benar-benar intriguing dan kelam.

Sayangnya, perwujudan dari visi tersebut sungguh datar dan tidak benar-benar menarik karena Dark Phoenix ternyata enggak jauh lebih dalem dari Last Stand dalam mengeksplorasi cerita ini. Narasi yang diucapkan oleh Jean Grey tentang evolusi yang membungkus cerita ini terdengar out-of-place dan gak benar-benar nyambung sama tema dan apa yang menjadi journey dari Grey. Seharusnya film ini mengangkat pertanyaan lebih kompleks dari keadaan Jean Grey. Apakah dia bisa tetap bersama dengan orang-orang yang ia cintai dengan kekuatan yang ia miliki jika ia memilih untuk menerima kekuatan tersebut. Film seharusnya menekankan kepada keadaan jiwa Grey sendiri yang bertanya kepada dirinya apakah dia masih bisa menganggap rekan-rekan sebagai keluarga setelah semua kenyataan yang ia ketahui. Opening film ini tampak seperti sudah akan mengambil jalan yang benar. Film membahas soal baik dan jahat sebenarnya cuma masalah pilihan, bukan masalah kemampuan yang kau punya. Kita bisa saja hanya punya pulpen, dan tetap melakukan hal keji seperti membunuh orang dengan pulpen tersebut jika kita memilih begitu. Yang film ini tawarkan kepada kita adalah tokoh utama yang harus memilih untuk berbuat baik atau berbuat jahat dengan ‘hadiah’ yang ia terima – ini ultimate choice banget, pilihan yang harus dibuat oleh Jean Grey personal dan dalem sekali. Tapi film memilih untuk lebih mengedepankan serangan alien. Tidak benar-benar banyak melakukan sesuatu yang baru dan berbobot dari kondisi psikologi Grey. Kita hanya melihat dia menangis meringkuk berhujan-hujan, kemudian curhat ke berbagai orang, dan meledak marah, menyebabkan kemalangan secara tak-sengaja, dan membuat marah lebih banyak orang – same old basic stuff.

Menonton ini aku memutuskan untuk tidak memikirkan kontinuitas, karena sesungguhnya justru kontinuitas itu yang paling mengancam dunia film ini – ketimbang alien, ataupun kekuatan Jean Grey. Aku bermaksud menikmati film ini sebagai cerita solo. Dan bahkan melihatnya seperti demikian pun, film ini lemah karena dangkalnya pengeksplorasian tersebut.

franchise X-Men tidak peduli soal kesinambungan, and so should you.

 

Momen-momen bersinar datang dari sekuen-sekuen aksi. Favoritku adalah bagian di awal ketika para anggota X-Men menggunakan masing-masing kemampuan mereka untuk bekerja sama menolong pesawat ulang-alik di luar angkasa. Mungkin film menyadari bahwa appeal X-Men terletak pada kemampuan khusus yang berbeda-beda pada setiap mutant. Sehingga film tidak benar-benar menjadikan sisi drama psikologis sebagai fokus utama. Mereka ingin mengakhiri semua ini dengan ledakan dan pertempuran di sana sini. Adegan pertarungan terakhir di kereta api yang seru itu kelihatan banget ditambah/direshoot – Grey dan tokohnya Chastain melakukan interaksi yang merupakan pengulangan dari adegan sebelumnya – karena film merasa masih kurang seru.

Dilihat dari jajaran penampil akting, film ini solid. Aku gak bisa bilang metode yang dilakukan James McAvoy, Michael Fassbender, Jennifer Lawrence, dan banyak nama beken lain pendukung film ini, untuk menghidupkan peran mereka jelek. Hanya saja naskah tidak banyak memberikan ruang gerak. Dialog mereka terlalu gamblang. Jessica Chastain memberikan kemampuan terprofesionalnya menghidupkan karakter alien kayu yang ingin memanfaatkan kekuatan Jean Grey, tapi tokoh ini begitu standar sehingga kita tidak punya niat untuk peduli lebih jauh terhadap dirinya.

Sophie Turner sebagai Jean Grey juga sebenarnya enggak jelek. Dia menunjukkan kemampuan berpindah rentang emosi yang cukup jauh dengan begitu singkat. Film menuntutnya sering melakukan hal tersebut, dan Turner beneran terlihat menyeramkan dengan CGI yang membuat uratnya tampak seperti kabel-kabel merah yang siap meledak. Akan tetapi naskahlah membuatnya tampak lebih seperti robot korslet ketimbang manusia yang sedang berkecamuk ya pikiran, ya kekuatannya. Jean Grey yang menyeberang ke sisi jahat harusnya adalah soal emosi yang powerful, yang relatable, kegalauan paripurna tentang keberadaaan dan fungsi diri sendiri. Dark Phoenix berkelit dari membahas itu. Instead, kejadian yang kita lihat bentuknya selalu Jean Grey memilih tindakan dan orang yang berinteraksi dengannya mengambil reaksi terhadap aksinya. Film kemudian fokus pada reaksi orang tersebut. Kejadian dalam film ini kumpulan dari aksi-reaksi tersebut. Kita hanya melihat sedikit pembahasan dari Jean Grey dan fokus ke dampaknya terhadap tokoh lain. Kita tidak melihat Grey memikirkan kembali apa yang baru saja ia lakukan. Tokoh lainlah yang harus mengusahakan penyelesaian, yang memberikan jawaban kepada Grey.

dark twist dari kata-kata motivasi “kau dapat melakukan apapun yang kau pikirkan”

 

Mungkin Jean Grey tepatnya bukan seperti robot ataupun bom waktu. Melainkan lebih seperti anak kecil. Bocah insecure yang memancing perhatian dengan berbuat nakal. Dalam adegan pembuka di mobil bersama kedua orangtuanya, kita melihat ibu dan ayah Grey agak ‘pelit’ menunjukkan kasih sayang kepadanya. Setelah dewasa pun, kenyataan menghantam dan kita tahu apa yang menimpa Grey jelas bukan termasuk ke dalam kategori ‘cinta kasih orangtua’. Jean Grey tampak seperti seorang anak yang kebanyakan dilarang dan diberikan aturan. Jadi dia berteriak, merengek. Ngamuk. Dia pengen dimengerti tapi gak tau bagaimana mempersembahkan dirinya. Tergantung kepada orang tua atau orang dewasalah memikirkan cara yang terbaik untuk mengajak anak seperti ini berbicara; untuk membujuknya. Makanya film ini segimanapun serunya adegan berantem (cuma film ini yang bisa membuat menyeberang jalan sebagai panggung tawuran mutant), penyelesaian masalahnya selalu adalah mengajak Jean bicara baek-baek. Makanya arc yang paling digali secara emosional justru adalah milik Profesor X.

Karena di balik semua itu, film ini bisa kita anggap sebagai tutorial mendiamkan anak kecil yang mengamuk. Ketika kita menginginkan semua aman untuk anak kita – dalam kasus Prof. X; dia mau dunia jadi lebih baik untuk mutant generasi muda – kadang kita melupakan si anak itu sendiri. Ada banyak cara untuk gagal sebagai orangtua, dan orang-orang di sekitar Jean Grey melambangkan beberapa. Pelajaran pertamanya; jangan berbohong kepada mereka

 

Kita lebih konek secara emosi kepada Prof. X, Mystique, dan bahkan Magneto dibandingkan kepada Jean Grey. Kita mencoba untuk menolerir keputusan dan langkah-langkah yang mereka ambil. Sedangkan bagi si tokoh utama sendiri, kita tidak merasakan apa-apa – selain mungkin sedikit geram. Kita tidak mendukung aksinya. Kita tidak merasa kasihan kepadanya. Kita tidak peduli di akhir cerita itu dia berevolusi menjadi apa. Seperti halnya dengan rengekan anak kecil, kita hanya ingin masalah Grey cepat terselesaikan dengan mengharap para tokoh lain segera ‘menekan tombol yang benar’. Demikian hampanya pengembangan tokoh utama kita.

 

 

 

Tidak seemosional yang seharusnya bisa mereka capai. Tidak se-dark yang judulnya cantumkan. Tidak sebegitu banyak berbeda dengan cerita yang pernah mereka sampaikan sebelumnya. Film terakhir dari franchise yang sudah berjalan nyaris dua-puluh tahun ini membuat kita terbakar oleh api kekecewaan. Karena biasa aja, gak kerasa kayak final. Penghiburan berupa jajaran cast dan adegan-adegan aksi boleh jadi membuat kita menyukai film ini, namun secara penceritaan terasa hampa. Pesan dan narasinya terasa dipaksakan. Sungguh pilihan yang aneh yang diambil oleh Kinberg untuk menutup franchise ini. Atau mungkin semua ini adalah siasat, “Kill it with fire!”, supaya para penonton menjadi apatis dan secepatnya melupakan universe ini pernah ada sehingga reboot X-Men yang baru, dari Disney, bisa lantas dibuat.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for DARK PHOENIX.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa kalian setuju dengan ‘parenting’ ala Profesor X? Menurut kalian apa maksud X dari X-Men? Menurut kalian apakah X-Men perlu untuk dibuat ulang? Bagaimana kalian akan menyelamatkan X-Men kali ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

Comments

  1. Albert says:

    Aku kok lupa dulu Hank sama Magneto pernah cinta sama Raven apa enggak ya mas? Aku rada kaget pas Hank bilang I love you terus motivasi Magneto untuk ikut berantem karena cinta Raven juga.

      • Albert says:

        Iya rasanya canggung sih lihatnya. Rasanya ga ingat ada cinta2an gitu, apalagi trus dijadikan motivasi Hank dan Erik mau bunuh Jean. Tapi di sisi lain aku lebih dukung mereka sih daripada Charles yang kayaknya bener Raven lebih utamain kejayaan daripada keselamatan timnya.

        Sebetulnya apa Dark Phoenix memang dibuat untuk tutup X-men ya? Aku lupa juga duluan dibuatnya atau Fox dibeli Disney. Kuanggap aja film solo sih. Aku sih masih lumayan menikmati dengan ekspetasi rendah

        • arya says:

          Di First Class kalo gak salah Mystique dilihatin ada hubungan sama Hank dan Erik. Nightcrawler aja katanya anak Mystique kan, cuma di film gak pernah disinggung. Mungkin dia mau banyak-banyakan relationship ama Black Widow, biar pas mati orang pada sedih hahaha

          Iya, Dark Phoenix ini akhir dari X-Men universe….. yg dibuat oleh Fox. Hak X-Men udah dibeli ama Disney, jadi very highly film X-Men berikutnya bakal reboot lagi

      • Albert says:

        Oh iya kulihat lagi ternyata ada dikit di First Class. Lupa sih udah lama hehehe. Kapan nih MCU bakal reboot X-men ya

      • Febrian says:

        Dan santer kabarnya, reboot nanti namanya ganti, udah ga pake X-Men lagi. Layak ditunggu sih. Semoga aja Jean Grey tetep ada, terus lawan Captain Marvel deh. Hahaha…

    • irfan says:

      kl ga salah, pas first class deh hank sm magneto keliatan ada benih2 suka sm mystique. tp kl dibilang cinta kayanya sih film ga menjelaskan sedalem itu hehe

      • irfan says:

        oh tambahan, bener nightcrawler anaknya mystique. tp bapaknya tu si azazel, tokoh mirip iblis satu geng sm kevin bacon di first class -yg kemudian dikabarkan mati sbg percobaan trask di days of future past-. itulah kenapa nightcrawler ekornya panjang, nurun dr bokapnya hehe

      • arya says:

        player juga ya si Mystique wkwkwk… Dengan kemampuan bisa berubah jadi siapapun, jangan-jangan dia juga pernah berubah jadi cowok dan pacaran ama cewek?!! xD

  2. tokiran says:

    Aku barusan nonton dark Phonix.. Gua tadi berdebat ma temen aku.. Kalau. Aku bilang
    Kalau film Ini Flashback ke.
    Masa lalu x-men.. Atau. Prequelnya.. Alias kisah masa muda jean grey CS
    Difilm dark phoenix kok tokoh mystique mati?
    Bukanny jean grey matinya ditangan wolfrine sesuai urutan filmnya
    .bagaimana mistique hidup lagi and bergabung jadi anggota magneto
    Dan jadi Jahat.. Didark phonix jean grey kmana.. Apakah mati?? Bukannya dia. Mati
    Ditangan wolfrine.. Bantu jawab min..
    Film xmen seh keren cuma emang dr segi cerita agak kurang

      • arya says:

        Yang bikin filmnya malas nyambungin, jadi aja dibikin cerita menghapus kejadian di masa lalu alias membuat timeline baru.. jadi setiap kali ada yang gak kontinu mereka tinggal bilang filmnya udah disoft reboot xD

    • arya says:

      kejadian di x-men trilogi yang original itu ditiadakan sama kejadian di Days of Future Past. Makanya jadi aneh dan ga nyambung semua hhahaha

  3. Ed says:

    Agak skeptis sama film ini pas liat review2 RT pada ancur semua. Eh pas nonton, buat saya pribadi sih filmya cukup oke, apalagi scoringnya hans zimmer bener2 mantep banget. Film ini jelas lebih oke dari apocalypse yang ampun CGI nya bener2 deh. Cuma dark phoenix ini endingnya kurang grande menurut saya, kurang gahar gitu sebagai film penutup. Sekuen di awal pas di space dan di kereta padahal cukup keren. Chastain cukup oke, cuma screen time nya kurang.. adegan mystique mati ya gitu aja, sayang banget harusnya bisa lebih emosional

  4. vin says:

    Anyway, THE NEW MUTANTS jd x kdudukan x d mana?
    Stlh LOGAN kh? Atau sblm FIRTS CLASS? Atau malah g jadi?
    Pengen bgt lihat idola ku Anya Taylor-Joy jd mutan.

    • arya says:

      setelah Logan sih sepertinya… katanya mundur jadi 2020, trus ada kabar juga dicancel. Gak tau deh, ntar aku WA Anya dulu yaa hihihi

  5. irfan says:

    xmen ini cukup all over the place sepertinya. di saat mcu bikin timeline serapi selogis mungkin, xmen agak bodo amat sm timeline yg udah ada.

    well pokonya ini udah kelar, semoga akan ada reboot xmen dr awal yg bener2 well planned krn sebenernya tokoh di xmen lebih menarik krn kemampuan2 masing2 yg amat spesifik – adegan di outer space misalnya –

    or simply, do we need mr. hugh jackman awake from the grave?wkwk

  6. sursur says:

    Mending Disney ngenalin xmen di mcu sekalian nunjukkin multiverse deh. Jadi xmen dibangun ulang dulu di universe yang beda sama mcu sekarang, nanti di saga berikutnya baru crossover universe. Sayang banget kalo xmen sama mcu disatuin cuman buat tawuran doang

Leave a Reply