IQRO: MY UNIVERSE Review

“Finding a better way to live”

 

 

Semesta film Iqro: My Universe tampak seperti tempat yang lebih-baik untuk ditinggali. The girls here are kickin’ ass in a science fair! Periode cerita ini berlangsung memang tidak gamblang disebutkan, tapi kita semua bisa berharap dunia tempat tinggal Aqilla adalah masa depan yang baik yang enggak jauh-jauh amat dari dunia kita sekarang. Kenapa aku bilang masa depan? Karena di film ini kita melihat ilmu pengetahuan dan agama berjalan saling bersisian, saling dukung mendukung. Tidak ada yang ribut mempermasalahkan bentrokan ilmu agama dengan sains di lingkungan Aqilla. Sah-sah saja untuk anak perempuan, berhijab, pengen menjadi astronot. Aqilla tidak dicurigai pengen bikin bom ketika membuat roket. It seems like a perfect place to live.

Tapi sepengetahuan Aqilla, Bumi semakin rusak. Lewat narasi ia menceritakan keinginannya untuk menemukan planet hunian baru, yang lebih baik, supaya semua orang bisa pindah ke sana. Makanya Aqilla getol banget pengen jadi astronot beneran. Ia percaya dengan pindah, maka hidup akan menjadi lebih baik. Begitu ia menemukan lomba vlog berhadiah kunjungan ke pusat pelatihan astronot, Aqilla langsung semangat untuk ikutan. Tapi opa (kakek) Aqilla yang menginspirasinya menjadi astronot, tidak bisa diajak bikin vlog sebab beliau pindah bertugas ke Inggris. Hanya ada satu cara lagi supaya Aqilla bisa terpilih. Yakni membuat vlog bersama astronot wanita Indonesia, Tsurayya. Aqilla bekerja keras supaya mendapat approval dari Tsurayya, hingga berdampak ke prestasinya sekolah. Aqilla tidak peduli. Dia harus menang supaya impiannya jadi astronot yang menemukan tempat tinggal baru bisa terwujud, sekaligus mengalahkan saingannya di sekolah. Cita-cita memang harus tinggi, tapi Aqilla terlalu sibuk sama hal-hal yang jauh di atas, sehingga melupakan hal yang lebih penting, yang berada lebih dekat di darat.

Aku enggak nonton film Iqro yang pertama, tapi kupikir film itu pastilah banyak diminati sehingga cerita anak-anak ini dibuatkan sekuelnya. Dan dari apa yang kulihat pada film kedua ini, Iqro bisa jadi memang semesta khusus film-film yang baik. Film ini akan mengajarkan kepada anak-anak seperti Aqilla untuk berani mengejar cita-cita. Iqro: My Universe juga bekerja dalam level spiritual alias rohani, karena apa yang tampak di luar sebagai cerita anak yang ingin menjadi astronot supaya bisa mencari planet yang lebih baik sebenarnya berbicara tentang fenomena khas yang relevan dengan pemeluk agama Islam sekarang ini; soal hijrah. Kendati begitu, film ini juga tidak serta mengekslusifkan diri. Sutradara Iqbal Alfajri membahas hijrah dalam konteks yang universal. Film simply menyebutnya sebagai pindah, dan selain Aqilla kita mendapat dua contoh kasus hijrah lagi yang paralel dan mendukung sebagai pembelajaran ‘pindah’ yang diinginkan oleh Aqilla. Pertama, subplot si opa yang pindah ke Inggris yang menurut Aqilla meninggalkan dirinya, yang kemudian si opa dihadapkan pada pilihan untuk kembali ke negara yang lebih membutuhkan atau tetap di sana. Kedua, subplot kerabat Aqilla yang baru saja pindah dari desa ke kota, yang bakal harus memilih menjadi beban ayahnya dengan belajar di pesantren atau kembali ke desa.

Aqilla harus menyadari bahwa ini bukan soal mencari tempat yang lebih baik, melainkan membuat tempat tinggal menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang. Yaitu dengan melakukan kebaikan yang dimulai dari perbaikan sikap diri sendiri. Karena hijrah sesungguhnya adalah pergi meninggalkan yang buruk dan mendatangi yang baik-baik.

 

ketika kau ngajakin bikin vlog dan nyuruh narsumnya megangin kamera

 

Really, Aqilla’s story is not half bad. Tentu, lapisan terluarnya ditampilkan sebagai cerita hubungan anak dengan mentor yang lebih tua, yang ‘galak’, tapi toh paling tidak hubungan utama cerita ini bertumpu pada pasangan yang tak-biasa; seorang anak dengan astronot wanita. Paling enggak, ini menceritakan dunia astronot yang tidak semua orang tau. Atau malah mau peduli untuk mencari tahu. Ada banyak hal yang mestinya bisa digali dan diintegralkan dengan gagasan cerita. Momen-momen seperti Aqilla latihan ala astronot; berjalan di dalam air, running an errand mencari benda-benda yang penting untuk penelitian antariksa. Film harusnya lebih memperbanyak soal ini. Tapi sayangnya, film seperti tidak tahu apa yang mereka punya. Tokoh Aqilla sebenarnya tergambar menarik. Dia gigih, dia punya attitude yang mungkin membuatnya tampak sengak tapi cocok dengan pembelajaran yang bakal karakternya dapatkan. Aqilla kabur dari rumah, bohong sama ibu, hanya supaya bisa ketemuan sama Bu Tsurayya – padahal ini ceritanya lagi bulan puasa loh. Aku dulu waktu kecil sempat bercita-cita jadi astronot, dan melihat Aqilla di film ini aku malu sendiri tidak benar-benar serius mengejar cita-cita tersebut. Aisha Nurra Datau yang memerankannya juga gak ancur aktingnya. Dia seharusnya bisa menjadi salah satu ikon anak-anak jaman now. Pembuat film yang lebih kompeten akan mengeksplorasi relasi Aqilla dan Tsurayya habis-habisan, menantang Aisha untuk beradu akting dengan Maudy Koesnaedi dalam level yang berbeda.

Tapi film ini tidak melakukan apa-apa terhadap keunikan yang ia punya. Latar bulan puasa, budaya rohani tidak pernah benar-benar dicuatkan. Kita hanya melihat mereka berbuka dan makan sahur. Dan sesekali mengaji. Menyebutkan ayat-ayat yang dijadikan sumber perkembangan ilmu pengetahuan. Itupun dilakukan dengan paparan semata. Tidak ada arahan yang spesial digunakan untuk mengakomodir cerita yang unik ini.

Mentang-mentang judulnya Iqro (sepertinya lebih mengacu kepada kitab yang dibaca anak-anak pengajian alih-alih kata Iqra yang berarti bacalah), film ini diceritakan dengan sangat tekstual. Formula cerita dimainkan dengan standar; sedikit nilai plus ketika film berusaha semaksimal mungkin mengaitkan subplot-subplot – namun plot utama si Aqilla benar-benar biasa. Seperti membaca buku cetak pelajaran. Pengetahuan dan keilmuan astronot disebut begitu saja. Bayangkan melihat anak yang bersemangat berinteraksi dengan mentor yang sok cuek; seharusnya bisa mengasyikkan. Akan tetapi film malah memberi mereka dialog tentang penjelasan kegunaan bunga Chrysantemum dan zat-zat kimia. Jadinya membosankan. Dialog film ini memang sangat parah. Hampir seperti penulisnya tidak tahu bagaimana cara merangkai dialog yang menarik. Dialog dalam film sebaiknya – SEHARUSNYA – hanya digunakan antara untuk memajukan plot atau untuk menunjukkan karakter. Dialog dalam film ini jarang sekali berfungsi seperti demikian.

saking biasanya nonton film ini rasanya kayak naik roller coaster yang tak mampu membuat kita berteriak

 

Terlalu banyak dialog yang berisi eksposisi alias penjelasan yang enggak penting karena kita semua sudah tahu. Kayak dialog papa Aqilla menjelaskan ke mama soal pencurian barang-barang di museum. Literally yang diucapkan papa adalah ringkasan apa yang sudah kita lihat di adegan sebelumnya. Sungguh adegan yang mubazir. Kita sudah tahu apa yang terjadi, masing-masing kita sudah melihat kejadiannya dengan mata kepala sendiri, I mean, anak kecil yang nonton juga pasti ngerti sama kejadian tersebut – siapa yang bersalah, siapa yang nolongin, siapa yang enggak sengaja terlibat. Jadi kenapa harus ada dialog yang menginfokan rangkuman kejadian tersebut. Ini yang penonton kita apa mamanya Aqilla. Di menjelang pertengahan ada yang lebih parah dari itu. Aqilla buka puasa ke rumah kakaknya, mereka bertemu untuk pertama kalinya, dan dialog yang dimainkan oleh dua tokoh ini adalah… Aqilla menceritakan ulang semua kejadian yang sudah kita tonton hingga di titik itu. Ikut lomba vlog, opanya pergi ke Inggris, dia berusaha minta vlog kepada Tsurayya, empat puluh lima menit kejadian yang sudah kita saksikan dirangkum dalam percakapan Aqilla dengan kakaknya.

Ini juga menunjukkan betapa uselessnya tokoh Kak Raudah yang diperankan oleh finalis Gadsam Adhitya Putri. Dan dia bukan satu-satunya tokoh tak-berguna dalam film ini, yang ‘tugas’ mereka cuma nyampein satu ayat atau ngasih satu benda, dan kemudian hilang hingga akhir cerita. Menjelang tamat, kan ceritanya hari raya tuh, nah bahkan tokoh-tokoh ini gak muncul lagi ikut merayakan lebaran bersama Aqilla. Aku mengerti bahwa mungkin tokoh-tokoh tersebut ‘penting’ karena punya peran di film pertama, tapi ya jangan dipaksain muncul juga kalo gak mampu memberikan banyak fungsi untuk mereka. Pastilah ada cara yang lebih baik, sehubungan dengan pemanfaatan karakter, untuk ngasih Aqilla satu benda atau satu informasi. Cerita ini sebenarnya mampu berdiri sendiri, hanya saja film memilih untuk membuatnya tak-lepas dari film yang pertama dengan tetap memasukkan tokoh-tokoh yang sebenarnya tak penting.

 

 

 

Sungguh berat rasanya buatku menulis ulasan ini, karena filmnya sendiri sebenarnya tergolong film yang bergagasan baik. Yang punya nilai untuk ditonton oleh anak-anak dan keluarga. Tapi penggarapannya sangat standar. This movie was so text-book, it barely has a soul. Kualitas penulisannya di bawah rata-rata. Banyak karakter tapi dialognya hanya berupa eksposisi dan rangkuman kejadian. Sehingga mereka semua jadi mubazir tidak berguna. Film ini bicara tentang tidaklah apa-apa untuk berusaha menggapai bintang setinggi-tingginya, planet kalo perlu, sayangnya dirinya sendiri tidak bertindak sesuai dengan prinsip tersebut. Film ini membidik rendah, tidak meroket ke angkasa.
The Palace of Wisdom gives 3 gold stars out of 10 for IQRO: MY UNIVERSE.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana sih pandangan kalian tentang hijrah? Apa pendapat kalian tentang tren hijrah yang marak dewasa ini?

Share with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Comments

  1. arya says:

    kalo mau ngajarin agama bagus sih mbak, teknisnya aja yang gak nyampe sama filmnya memang jadi ‘ceramah’.. toh anak-anak gak bakal peduli sama teknis haha

  2. newadityaap says:

    Saya nonton film ini karena film sebelumnya terbilang bagus dan memang fokus dalam ngajarin agama. Ceritanya tentang si Aqila yg mau melihat bintang pake teropong di Bosscha, tapi sama neneknya disuruh belajar ngaji dulu. Konflik di dalamnya pun agak serius, menyenggol masalah polusi cahaya dan pembangunan hotel di dekat Bosscha itu. Setelah menonton film yang ini, saya malah beranggapan bahwa film pertamanya lebih berhasil dalam mendidik dan membuat kita simpati dengan para tokohnya. FYI waktu tahun 2017, film ini suka diputar di Salman secara gratis.

    Kalau saya lihat kekurangan film ini ada di aspek ceritanya yang gak fokus di satu garis, sama seperti Si Doel the Movie 2, dan lebih baik sequel ini jadi semacam series yang berepisode-episode misalkan. Masalah yg ditemui Aqila dan ayahnya Fauzi pun relatif sepele dan penyelesaiannya tampak mudah saja. Jadi kalau menonton film ini untuk mencari drama yang greget, bukan di film ini tempatnya, mending nonton Dua Garis Biru saja :D. Kalau masalah film ini akhirnya jadi ceramah, ya memang tujuan rumah produksinya memang seperti itu mungkin.

    • arya says:

      iya sepertinya lebih cocok dijadikan series ya, karena tokoh-tokohnya banyak dan dengan begitu semuanya jadi bisa punya cerita.. persis kayak di Doel memang

Leave a Reply