BUMI MANUSIA Review

“Be afraid not to try”

 

 

Sebagai novel, Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer sempat dilarang beredar karena penguasa Orde Baru mengaitkan buku dan pengarangnya dengan paham Marxisme-Leninisme alias ajaran komunis. Sebagai film, Bumi Manusia yang ditulis oleh Salman Aristo dan disutradarai oleh Hanung Bramantyo sempat dihujat karena tokoh utamanya diberitakan bakal dimainkan oleh Iqbaal ‘Dilan’ Ramadhan. Maan, lihatlah ketika orang mencoba berkarya, pasti bakal ada saja halangannya. Beruntung, tidak ada orang-orang di balik Bumi Manusia yang berprinsip seperti Homer Simpsons. Yang takut sebelum benar-benar mencoba.

Malahan, film ini adalah tentang mencoba itu sendiri. Tokoh-tokohnya berhadapan dengan kenyataan bahwa seberapapun kuatnya mereka mencoba, resiko gagal dan kalah dan semakin nelangsa itu tidak semakin berkurang. Film berkata jangan takut untuk terus mencoba, untuk melihat kehormatan dalam perbuatan untuk mencoba melakukan sesuatu menuju yang lebih baik. Indonesia pernah dijajah. Lama sekali. Bayangkan jika pahlawan-pahlawan takut mati – takut untuk mencoba menggapai kemerdekaan. 

 

Hanung Bramantyo jelas tidak gentar. Malahan he actually did a really great job as a director here. Keraguan beberapa penggemar novel aslinya akan kemampuan Iqbaal memerankan Minke terpatahkan dengan manis. Dan bukan hanya Iqbaal, pemain-pemain muda seperti Mawar Eva de Jongh yang berperan sebagai Annelies bermain dahsyat. Tantangannya di sini sangat berat, Mawar dituntut bermain dengan ekspresi dan tokohnya benar-benar ‘tertutup’ oleh gejolak mental; itu semua tersampaikan dengan sangat mulus. Dia juga disuruh beradegan jatuh, hihihi lucu sekali. Kuhitung ada empat kali Annelies ini beradegan lagi jalan gak taunya jatuh. Lima kalo ditambah satu adegan dia jatuh saat sedang duduk. Tokoh teman-teman Minke juga ditangani tidak main-main, pemeran-pemeran mereka menampilkan performa yang jauh dari kelas ‘sinetron’. Aktor yang lebih senior juga enggak kalah edannya. Sha Ine Febriyanti  benar-benar seperti ditakdirkan untuk bermain sebagai Nyai Ontosoroh. Meskipun karakternya mirip sama Nyai di film Nyai/A Woman from Java (2016) garapan Garin Nugroho – latar belakangnya sama, statusnya sama, keadaan suaminya sama Sha Ine memberikan nafas tersendiri yang menguar kuat. Dia bahkan tampak lebih dominan ketimbang Minke. Hanung really directs the shit out of everyone. Maka aku yakinkan kepada para penggemar novel Bumi Manusia yang mungkin masih was-was; Tokoh-tokoh favorit kalian berada di tangan yang benar. Aman. Hidup. Bernyawa dengan penuh karakter.

Mereka bilang, Saya Minke!

 

Menghidupkan zaman sebelum masa kolonial, film ini tampak sungguh menawan. Tampilan visual seperti ini memang sudah diharapkan dari produksi Falcon Pictures yang berbudget gede. Jadi mungkin porsi pujian lebih besar baiknya kita sampaikan kepada usaha menghidupkan keadaan sosial cerita ini. Bumi Manusia semarak oleh ragam bahasa (melayu, belanda, jawa, madura, dan sedikit cina) dan tingkatan sosial yang tergambar tanpa tedeng aling-aling. Satu frame menunjukkan orang pribumi dan anjing duduk bareng di depan dinding tempat makan yang bertuliskan “Pribumi dan hewan dilarang masuk” Sejak dari adegan pertama film sudah melandaskan tangga sosial yang bekerja di lingkungan cerita; tempat di mana karakter-karakter kita hidup. Yang lantas menjadi device utama untuk kemunculan konflik-konflik. Bumi Manusia memang dijual sebagai kisah cinta tragis antara Minke dan Annelies. Tapi konteks kehidupan sosial yang menjadi habitat tokoh-tokohnyalah yang membuat film ini menarik dan menantang untuk disaksikan. Karena mirip dengan kehidupan kita sekarang.

Minke hidup pada masa peradaban Barat lagi maju-majunya. Gaya hidup Eropa pun dijunjung tinggi oleh masyarakat. Minke salah satu yang kagum pada peradaban Barat tersebut. Dia menyebut dirinya, yang pribumi anak bupati, sebagai manusia modern. Dia tidak mau terikat peraturan. Teman karibnya adalah seorang campuran (Indo) yang disebut bakal jadi orang pertama yang mencuci darah pribuminya saat teknologi cuci darah itu ditemukan. Tapi Minke tak bisa lari dari kenyataan kulitnya gelap, rambutnya hitam, badannya kecil. Minke adalah bangsa jajahan yang mencoba menjadi kaum kulit putih yang berada di puncak kelas sosial. Minke belajar keras, ia menghapal peradaban modern dan sejarah-sejarah kaum penjajah. Ketika dia bertemu dengan Annalies dan Nyai Ontosoroh-lah, pandangan dirinya terhadap semua itu mulai berubah. Annalies adalah Indo berwajah bule (cantik kayak dewi, kalo boleh mengutip kata Minke) yang dengan naifnya mencoba untuk mewujudkan mimpinya dianggap sebagai pribumi. Sedangkan ibunya, Ontosoroh, adalah istri tak-sah dari pedagang Belanda (gelar Nyai hanyalah sebutan yang lebih sopan untuk kata ‘gundik’) yang di mata Minke sudah mencapai posisi yang ia idam-idamkan; sejajar dengan bangsawan Eropa. Perkenalan itu membawa Minke kepada pandangan bahwa sikap dan mutu orang tidak diukur berdasarkan bahasa yang diucapkan, pakaian yang dikenakan, warna kulit-mata-rambut, dan apapun itu yang selama ini ia percaya.

Karena diadaptasi dari novel setebal lebih dari tiga ratus halaman, dengan banyak tokoh di sekitar tiga sentral (Minke – Annalies – Ontosoroh), film melakukan banyak manuver untuk memasukkan elemen-elemen yang sejatinya bikin pembaca sejati yang nonton ini bakal ngamuk jika ditinggalkan. Backstory tokoh dimunculkan dalam flashback-flashback yang berusaha tampil berbeda dari kebanyakan. Enggak sekedar membuat frame blur atau dengan bunyi ‘krincing-krincing’. Set up dilakukan dengan sangat baik sehingga kita jadi langsung mengerti hubungan dan derita yang harus ditanggung oleh para tokoh sembari tetap mencoba membuat hidup lebih baik. Setelah midpoint – sekitar Minke setuju untuk menjadi ‘dokter’ dari penyakit aneh Annelies – intens cerita semakin naik. Ada lebih banyak sejarah tokoh yang terungkap. Untuk tidak menspoil terlalu banyak; Keluarga Annelies benar-benar fucked up, alias celaka. Peran Minke semakin kalah dominan sebab dia hanya sekadar beraksi terhadap kejadian-kejadian yang menimpa Annelies dan keluarga.

“Dunia saya; bumi, manusia dan segala persoalannya”.. mas Minke sudah coba jadi hippie belum?

 

Film benar-benar mencoba untuk memberikan ‘kerjaan’ kepada tokoh utamanya. Minke yang cerdas diperlihatkan menulis sebagai upaya perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan Belanda terhadap keluarga Annalies. Seolah ada perang jurnalistik antara dia dengan temannya. Montase dari Minke menulis menggunakan nama pena, hingga dia berani menggunakan nama asli, dilakukan untuk membuat Minke ada kerjaan. Dalam film akan ada dua adegan persidangan, dan Minke terlibat di dalamnya. Tapi tidak benar-benar banyak yang ia lakukan karena drama dan konflik datang menghujam pihak Annelies dan Ontosoroh. Hal menarik terjadi di mereka, bukan lagi pada Minke. But film really tried. Hingga ada satu dialog yang menyebut Minke berhasil menyelesaikan kasusnya di persidangan. Padahal kenyataannya adalah Minke tidak melakukan hal penting; kasusnya selesai karena salah satu tersangka mengaku begitu saja. Dan ada satu ketika Minke mendadak menulis tentang hukum Islam. Film menggambarkan dia brilian karena mengadu hukum Eropa dengan hukum Islam. Ini menarik sebenarnya, hanya saja soal Islam tidak dibangun sedari awal. Minke tidak diperlihatkan berhubungan dengan agama, namun tahu-tahu dia menulis tentang Islam. Yang pada akhirnya elemen ini terasa lebih seperti untuk menunjukkan desperatenya seseorang ketika ia mencoba untuk melakukan sesuatu.

Pun begitu, perlawanan Minke dan Ontosoroh terhadap Belanda terasa tidak masuk akal. Kita bisa paham mereka merasa diperlakukan tidak adil. Apalagi konteksnya adalah mereka yang pribumi sedang berurusan dengan Belanda si kulit putih puncak rantai makanan. Secara natural kita akan mendukung dan bersimpati pada pihak yang kelihatan lebih susah; mereka baik, pihak yang satunya jahat. Kita memang harus mencoba tapi mbok ya harus sesuai, jangan baper. I mean, yang Minke lakukan ialah dia berusaha menjegal hukum yang sah. Beberapa kali aku malah mengiyakan tuntutan Belanda, karena yang mereka pinta lebih masuk akal dibanding pembelaan Minke. Status Ontosoroh yang tidak dinikahi sah tentu membuat ia tidak punya hak legal terhadap anaknya yang bapaknya Belanda. Tentu hukum Belanda yang dipakai karena tentu saja Belanda ingin melindungi hak warga negaranya. Tapi perlawanan Minke seolah mengotakkan peradaban dan ilmu pengetahuan bisa dilawan dengan kemanusiaan dan agama. Belanda yang mutakhir harus tetap dipandang jahat meski ia hanya mau mengantarkan dokter dari pihak mereka kepada Annalies. Dan ini mendapat sedikit perlawanan dari naskah yang mengetengahkan “Belanda gila sama parahnya dengan pribumi gila”. Ada kesan seolah film ingin membuat kita melihat bahwa yang ‘jahat’ itu sesungguhnya adalah pribumi yang gila-barat.

Sepanjang durasi film ada banyak hal-hal yang megecoh pada film ini. Yang membuatku jadi berpikir yang tidak-tidak, seperti seolah tertanam hal-hal lucu, padahal mungkin film tidak meniatkan seperti itu. Dan pikiran itu timbul karena film seolah mengarah ke sana. Seperti misalnya soal penyakit Annelies. Ada adegan-adegan yang menekankan tentang penularan penyakit sifilis yang bakal membuat kita menghubungkan ini kepada Annelies. Ataupun soal Annelies yang tampak seperti meminta ibunya menikah dengan Minke. Kenapa aku bisa mikir ke sana? Karena di adegan perkenalan, Minke dibuat lebih terpesona melihat Ontosoroh ketimbang melihat Annelies. Dan kemudian sepanjang cerita, Minke diledek jadi simpanan seorang Nyai. setiap kali Minke diundang datang, keluarga Annelies ribut – saling bertengkar. Kalo aku Minke aku bakal curiga jangan-jangan mereka semua lagi belajar sandiwara dan aku diundang sebagai penonton percobaan. Heck, saat Surhoof dengan jelas tampak cemburu meski dia bilang hanya suka cewek Belanda tulen, aku langsung kepikiran jangan-jangan Surhoff – yang menggoda Minke dengan “Ih kamu bau” – sebenarnya cemburu sama Annelies… Sukurlah soal Surhoof ini eventually beneran dibahas oleh cerita.

Ketika selesai menonton ini, dalam perjalanan menuju mall lain untuk menonton Perburuan (2019), aku memikirkan ulang cerita. Apa yang sebenarnya jadi pertanyaan utama pada narasi. Apa yang dijawab terakhir sebagai kesimpulan. Juga rentetan kejadian-kejadian pada Bumi Manusia. A whole lot of them. Yang ternyata tidak semuanya terbahas tuntas. So in retrospect, aku bertanya kepada diri sendiri; apa cerita ini benar-benar harus untuk menjadi tiga jam. Tidakkah ada elemen yang bisa dihilangkan tanpa mengubah tujuan cerita. Tidakkah ada tokoh yang mestinya bisa dirangkum supaya tidak ada yang muncul dan hilang tanpa penjelasan. Tentunya adaptasi tidak harus menyadur utuh semua materi asli kan.

 

 

Yang jelas, film berhasil menangkap daya tarik dari cerita ini. Konteks sosial yang masih saja relevan, hubungan cinta yang manis walaupun tragsi (in fact, semakin tragis semakin manis), menghidupkan tokoh-tokoh yang dicintai oleh pembaca novelnya. Dan tentu saja dialog yang quotable banget. Hanya saja penceritaan sepertinya bisa dilakukan dengan lebih efisien. Ada banyak karakter, Mellema, Mellema, yang membuat cerita melemah karena Minke si tokoh utama tidak lagi sesignifikan mereka. Seharusnya penyesuaian yang lebih dilakukan di sini. Tapi ini tetaplah sebuah film yang epik, tidak banyak yang berani tampil sebesar ini. Jikapun mulai merasa bosan, jangan khawatir karena kita masih bisa menemukan lucu-lucu yang tak sengaja tersirat (kuharap tak-sengaja) di dalam cerita.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for BUMI MANUSIA

 

Comments

  1. newadityaap says:

    Tadi keluar dari bioskop merasa banyak gak ngerti plotnya karena belum baca novelnya, dan berpikir bahwa film ini lebih baik dibagi menjadi 2 film masing-masing 100 menitan saja, toh konflik panasnya pun ada 2 kan? Ada tokoh yang tiba-tiba datang, hilang, atau muncul lagi, dan kurang dibahasnya keluarga Minke dari Jawa memang dilematis. Kalau gak dihadirkan, konflik dalam diri Minke gak akan kerasa betul juga akan menyulut emosi penggemar novelnya. Kalau ditampilkan, ya masalah ke durasi film yang kepanjangan.

    Btw ikutan lomba kritik/artikel film dari Kemendikbud kah?

    • arya says:

      Minke kurang personal karena konflik inner dia sebenarnya udah selesai di adegan pidato (diam-diam mewakili) ayahnya itu, sebagian besar cerita jadi tentang Ontosoroh dan Annalies

      Ikutan sih rencana, tapi aku belum ngirim hahaha

  2. Ady Bagus says:

    jujur setelah lihat trailer dan pemeran minke jd kurang tertarik nonton, tone film yg kekinian, properti serta kostum yang semuanya keliatan baru, aktor yg dipaksakan jd minke krn popularitas, tp ga tau ya, menurut bang arya gimana hehe

    • arya says:

      sepertinya memang sengaja dipilih, dan ditampilkan, atas dasar kepopuleran, ceritanya pengen dibuat jadi pop.. buatku sih oke-oke aja kalo mau dibuat begitu

    • arya says:

      ahahaha paling aneh pas dia nangis sambil marah di dekat-dekat akhir hihi… Tapi ini sebenarnya ajang pembuktian juga, kalo setelah film ini Iqbaal masih disapa Dilan, alih-alih Minke, berarti kurang kuat membentuknya

      kalo analies, ternyata cukup kasihan ya, aku baca ada artikel yang nyebut dia beneran didorong ampe jatuh sama Hanung biar ekspresinya sakit itu dapet hahaha… suka deh kalo ada director pake metode unik kayak gini, jadi keinget ‘totalnya’ perlakuan Kubrick ama Hitchcock ke aktor-aktor mereka dulu 😀

  3. Irfan Satya Aji says:

    Karakter minke rasanya tidak tercerita dg baik ya mas, soalnya rasanya hampir selalu hanya bereaksi dr masalah nyai/annelies. Banyak juga adegan Minke selalu (berusaha) melawan belanda dg teriak, literally rasanya minke teriak mulu dg emosional, tp selalu mentah begitu saja dg terlalu mudah jd terlihat minke sebetulnya lemah cmiiw hehe

    • arya says:

      haha iya setuju, aku enggak tahu apakah di novelnya juga begitu, tapi aku merasa Minke teriak-teriak marah ini ide filmnya untuk menunjukkan tokohnya beraksi.. karena cuma itu aksi yang bisa dilakukan tokoh Minke. Karena yang sebenarnya berkonflik itu ya si Ontosoroh dan Annelies. Yang beraksi si Nyai, yang membela diri si Nyai

      ngomong-ngomong soal aksi, ada satu lagi yang lucu menurutku : fakta bahwa Nyai ngebius Annelies dengan dosis berlebih! (kata dokter belanda pas dikirim ke sana) hahaha, did she try to kill her? jelas aja Belanda meragukan Nyai sebagai ibu xD

      • irfan says:

        nah berarti ga cuma aku yg kerasa ya, perasaan minke itu suaranya keras tp aksinya cenderung mentah dg mudah hehe kesannya dia jadi powerless gitu

        soal yg bius itu juga ga dijelasin detail ya, apa dr dokter keluarga, apa dr nyai nya. aku bahkan ga ada pikiran ke arah nyai mau ngeswitch off annelies xD

        robert juga kaya tau2 ilang gitu aja ya, kaya ga lengkap gitu ceritanya hehe

        • arya says:

          tapi kan either way, dokter gak mungkin bo’ong. Aku ngakak pas lihat dokter dari Belanda kaget Ann diheavily-sedate oleh Nyai, terus kemudian adegannya normal-normal aja, seolah dokter Belandanya yang lebay. Mungkin adegan ini lebih lengkap diceritain di buku, tapi mestinya gak usah disebutin aja sih di film soal bius-bius, soalnya bisa tertangkap lain oleh penonton haha

          soal sifilis dan Robert juga; Kalo Robert kena, terus dia perkosa Ann, berarti Ann kena juga dong? Trus Minke ketularan juga dong? kan serem underlinenya.. hapus aja soal penyakit itu mendingan xD

      • irfan says:

        sepertinya kesimpulannya adalah tidak perlu semua adegan yg ada di novel dimasukkan ke film ya mas. apalagi kl malah menciptakan ambiguitas ke penonton hehe

        dan soal sifilis tu mayoritas penonton di sebelah2ku juga komentarnya “loh berarti minke juga kena dong?” eh tp smp film kelar masalah sifilis ini menguap aja haha

        • arya says:

          hahaha tuh kan bukan aku doang yang mikirnya jadi ke minke kena juga..

          iya setuju begitu sih, daripada memperlihatkan sesuatu tapi kemudian gak berujung memuaskan dan tak benar-benar menambah untuk gagasan dan plot, mending dihilangin aja.. kayak Harry Potter yang ngilangin Peeves si Poltergeist, padahal tokoh itu populer sekali tapi karena gak ada penjelasan soal keberadaannya, gak ada backstory, pada adaptasi filmnya ya dihapus aja tokoh itu, dianggap tak pernah ada

    • El says:

      Bantu jawab dari apa yg aku baca di novelnya.
      1. Masalah bius, di film emang nggak diterangkan secara detail. Kalau di novel, yg ngasih bius itu dokter Martinet, dokter keluarga Mellema. Dengan tujuan, supaya Annelies nggak ngerasain sakitnya. Itu sudah dilakukan waktu awal Minke “diciduk” dan dibawa pulang ke Kota B. Tapi waktu yg terakhir sampai ketahuan dokter dari Gubermen, emang sebelumnya juga dibius lagi sama dokter Martinet
      2. Masalah sipilis, si Robert tertular sipilis dari Maiko pas dia disuruh nyari ket di kantor polisi Surabaya. Dan diperkosa sebelum Annelies ketemu sama Minke. Jadi, Robert nggak nularin sipilis ke Annelies

  4. nyapurnama says:

    yeaaayyy udah ada reviewnyaaa. Aku emang nungguin reviewnya mas Arya ini sebelum memutuskan untuk nonton, dan untungnya bagus ya wkwkwkw
    soalnya novelnya terlalu epic, jadi ku udah janji untuk nggak punya ekspektasi apa-apa =))
    sip deh, lusa ke bioskop. tengkyu mas Aryaaa

  5. Albert says:

    Ternyata hak asuh direbut juga ya. Kukira cuma harta yang bakal direbut istri resmi. Menurutku biasanya istri tua benci sama istri muda, kok mau diwarisi anaknya ya? Iya itu Annelies sakit apa ya kok tidur terus, jangan2 memang sengaja mau dibunuh? :O .

    Perburuan bagus ga mas? Aku ragu2 mau nonton, review mas Arya juga belum kubaca takut spoiler hehehe.

    • arya says:

      Apa mungkin perkataan si dokter itu bukan pernyataan ngecie-ciein semata? Annelies sakit ‘cinta’ ama Minke, hanya Minke yang bisa jadi dokter buat Ann hahaha.. makanya sakitnya tiba-tiba, sembuhnya pun tiba-tiba.. Lucu sih si Annelies xD

      Perburuan bisa dinikmati, asal nontonnya jangan setelah bertigajam ria nonton Bumi Manusia. Saranku, kalo mau maraton, nontonlah Perburuan duluan

      • Albert says:

        Itu yang perkosa Anneilies siapa ya mas? Kakaknya atau temennya Minke yang pertama kenalin? Dokternya kepo banget ya tanya2 udah tidur dan siapa yang pertama hehehe.

        • arya says:

          namanya sama-sama Robert sih ya ahahaha, aku pun sempet ragu siapa, tapi kemudian dokternya ngomentar “celakalah keluarga ini”, ya berarti Robert kakaknya kalo gitu hehehe

  6. Aaron says:

    Jadi ragu untuk menonton film ini karena sosok Minke yang kurang meyakinkan, pemeran pendukung yang terkesan hafal naskah dari ulasan yang ada. Takut kecewa ini bakal berada di level Van Der Wijck atau bahkan lebih parah.

      • Aaron says:

        Kalau begitu, diputuskan untuk membaca novelnya ketimbang menonton filmnya. Sama Kartini bagusan mana Mas Arya? Sama2 film garapan Hanung

        • arya says:

          kalo film kan sebenarnya sama aja kita menonton bacaan sutradara terhadap novelnya, jadi ya bisa lebih asik baca novelnya sendiri sih

          buatku bagusan Kartini, less risky sih, tapi tokoh utamanya lebih kuat dan penceritaannya lebih terfokus

  7. Febrian says:

    Sama banget, Bang, yg tentang hukum Islam. Sebelumnya ga pernah diceritain bersentuhan sama agama, eh ujuk2 ada hukum agama yg mau dijadiin solusi plus orang2 agama yg ngebela Minke dan keluarga Nyai. Saya dalam hati sampe bilang, “naon ih..” hahahaha… Pertengahannya ngerasa bosen ga sih, Bang? Soalnya saya sampe liat2 hape, dan itu biasanya indikator saya kalo nonton film terus bosen. Hehehe… Di akhir baru deh mulai enak lagi. Hhmmm, 6,5 mah not bad lah ya..

    • arya says:

      iya aku cukup ‘ngerasain’ tiga jamnya itu. Pas udah jelas konflik alias pertanyaan utamanya tentang perebutan Annelies, baru ceritanya jadi enak kembali untuk diikuti… Not bad, but also, not strong enough

  8. adam says:

    kalo aku sebagai pembaca semua novel pram ni film cuma tak kasi nilai 2. ceritanya loncat2 orang awam ga bakal ngerti sedahsyat apa novel ini. dikira cima kisah cinta2 an. isu sosial cuma buat tambahan aja. makin kecewa ma hanung semenjak film benyamin. ternuata dia overrated. nilai 2 aja cuma buat properti yg emang niat karena aku dah liat studio nya di jogja

    • arya says:

      hahaha, aku pernah lihat anekdot tentang ini di twitter; Katanya kalo orang yang dulu pernah dipenjara karena baca Bumi Manusia ngajak anaknya nonton film ini, maka si anak akan heran “kok papa bisa sampe dipenjara gara-gara roman begini doang?”

      apakah perbedaan antara kekuatan novel dengan kekuatan filmnya memang separah itu? XD
      jadi pengen baca bukunya, sih, aku

  9. noelapple says:

    Bagiku, nyawa utama di film ini adalah Sha Ine Febriyanti–Nyai Ontosoroh. Sedangkan Minke seperti tak lebih dari sekadar Dilan yang berkumis dan berbahasa Belanda. Bahkan rambutnya pun masih sama dengan Dilan. Aku hargai effort Iqbaal menggunakan Bahasa Belanda dan Jawa, tidak buruk dan tidak payah. Sayangnya (atau untungnya), Nyai Ontosoroh terlampau kuat untuk diambil alih dari fokus utama.

    • arya says:

      Karakter Ontosoroh terlalu kuat, beruntung aku dapat kesempatan nonton Nyai buatan Garin yang sudah seperti adaptasi lepas dari Bumi Manusia. Di film itu sudut pandang seorang Nyai (persis Ontosoroh) dijadikan fokus utama

  10. noelapple says:

    Ada bbrp sub-plot yg diabaikan dan dibiarkan menguap begitu saja. Ini:
    Apa motif A Tjong membunuh Herman Mellema?
    Siapa dan apa tujuan karakter mirip Wong di Dr. Strange yg dikejar oleh Darsam hingga ke rmh bordil?
    Annelies sakit apa, ini aku jg bingung?
    Dokter kiriman pengadilan menyatakan bahwa Annelies terlalu banyak dibius, jd apkh dr. Martinet sbnrnya jahat?
    Mungkin pembaca bukunya pny jawaban. Tp yg nonton film kan tak semuanya membaca. Ini adl cara memperlakukan plot yg betul2 abai dan seenaknya sendiri.

    • arya says:

      hahaha oh bener juga, si “suspicious fatso” itu mirip ama Wong, pantesan kayak familiar xD

      Motif A Tjong seperti diabaikan, malah sifilis yang diperjelas.. makanya ketika ada yang bilang film ini adaptasi sehormat-hormatnya, aku kurang setuju.. lah wong Hanung malah seperti ngajak kita bercanda dengan cerita ini melalui banyaknya subteks-subteks yang sengaja tak ia sebut atau malah sengaja ia tonjolkan setengah

    • El says:

      Di novel juga gak dijelasin apa motif Babah Ah Tjong apa.
      Dan juga siapa dan motif Si Gendut pun juga masih belum diketahui. Bahkan di novel ditulis, si gendut juga ngasih hadiah&surat pas Minke dan Annelies menikah.
      Feeling sih si gendut ini emang sengaja masuk ke rumah plesiran Babah Ah Tjong supaya tau kalau Herman Mellema bakalan mati di sana. Hehehe

      • arya says:

        kalo dari cara film menuturkan, seolah menyugestikan kalo si “suspicious fatso” adalah orang bayaran robert buat bunuh minke, since orang suruhan awal – si darsam – menolak..

  11. Victoria Sulistyowati says:

    Agak terganggu dengan setting tempatnya sih, kelihatan gak alami, masih kayak studio banget, warna catnya masih kelihatan baru banget, hihihi. (soalnya masih kebayang-bayang tanggal 17 kemarin baru lihat film Soegija yang setting tempatnya nampak okey dalam settingan gak lama pasca Kemerdekaan). Walaupun (tetep) bagus novelnya, tapi aku menghargai usaha keras Hanung Bramantyo dan tim buat menghidupkan film ini, dan sukses bikin aku keluar dari bioskop dengan berderai air mata hahaha.

    • arya says:

      mungkin dikinclongin itu sengaja biar suasananya terasa kontemporer, meskipun seharusnya setnya di awal masa penjajahan.. karena salah satu gagasan ceritanya mengenai kejadian di dunia Minke itu relevan dengan kejadian di dunia sekarang; barat diagung-agungkan, pribumi dianggap kelas jelata

  12. Joe Lucas (@joe_lucas19) says:

    iya mungkin ya.

    coba gini deh, kalo kita sekarang lihat rumah peninggalan belanda, pasti terasa tua dan usang kan, tapi sebaliknya rumah kita yang masih baru pasti terasa kinclong. jangankan gtu, rumah yang sudah ada dari tahun 80/90an pasti juga udah terasa “vintage” kan?

    jadi memang kalo dari sudut pandang karakter dalam film itu, rumah mereka ya memang harus baru, begitu juga dengan sekolah atau banungan pemerintahan lainnya yang muncul di film itu. karena mereka ya hidup di zaman itu, bukan kita yang datang dari masa depan kayak gini

    nah jadi menurutku, itu salah perspektif kita aja yang menganggap rumah lama ya “harus” terasa Vintage. nanti coba deh, kalo rumah kita yang sekarang dilihat 20/30 tahun kedepan, ya pasti nanti juga terasa tua juga

    bagiku film ini sudah cukup baik dan realistis dalam menggambarkan suasana di era segitu. coba deh, jaman sekarang susah kayaknya cari set tempat yang masih asri tapi sekaligus ada infrastruktur yang memadai

    aku paham kenapa mereka menyebut Wonokromo dan Surabaya itu terasa jauh dan beda gtu. karena memang, kalo kamu orang Surabaya, pasti paham bedanya tengah kota sama pinggiran kota, selain jauh, peradaban yang dibangun itu jelas beda. jadi jelas, Surabaya itu memang terasa kayak kota, sedangkan Wonokromo terasa kayak desa. walaupun jaman sekarang ya sama2 padat sih, tapi coba deh bayangin jaman dulu. atau kalo gak, masih banyak bukti bangunan peninggalan Belanda yang cuma ada di daerah tengah dan utara kota, karena memang hanya daerah situ yang dibangun dan ramai soalnya dekat dengan pelabuhan Tanjung Perak

    sebetulnya bagiku film ini tuh cukup berani, jarang ada kan film indo yg durasinya 3 jam. tapi ya gitu film ini tuh terasa padat, tapi juga kopong. durasi yang panjang itu bukannya bisa menjelaskan banyak hal, malah terasa seperti kepanjangan, banyak sekali hal yang belum terjawab, serta kebingungan dalam menceritakan konteksnya. tokoh utama disini kan harusnya si MInke, tapi kadang dia malah seperti sedang bercerita POV 3, seolah kehadirannya disitu hanyalah sebuah kenangan atau cuma sekedar muncul aja, tanpa peran yang berarti

    aku sih gak baca novelnya, jadi pasti banyak gak taunya, dan aku cuma menyimpulkan dari apa yang film itu tampilkan. dan soal sejarah, aku juga cuma tau dikit2 doang
    overal 70% lah

    Sorry nyampah disini, harusnya komen di film Bumi Manusia, tapi ternyata gak bisa, katanya “nonce verification failed”

    • Arya says:

      Menarik, benar juga perspektif kita kudu disejajarkan dengan karakter ya, soalnya bagi mereka itu adalah present time, jadi ya kinclongnya itu yang mereka rasa yaa.
      Setuju juga, sepertinya karena film memilih menceritakan usaha-usaha Minke dengan montase. Sehingga kurang padat itu terasa. Kita hanya benar-benar ikut melihat Minke di momen-momen romans, bersama Annelies, dan sebagainya. Ketika masuk ke bagian Minke menulis, atau di luar romans, film membuat seperti pov 3 gitu, kita jadi nonton aja. Mungkin untuk bisa terasa padat, semua aspek yang dilalui Minke dalam narasi ini diberikan porsi atau cara bercerita yang sama telatennya.

      Bisa kok ini komennya masuk di Bumi Manusia 😀

Leave a Reply