WEATHERING WITH YOU Review

“Always bring your own sunshine”

 

 

Ada banyak hal yang bisa dilalukan ketika cuaca cerah. Anak kecil dapat bermain di taman. Ibu-ibu bisa belanja ke pasar. Penjual dagangan bisa berjualan ke pasar. Beragam festival bisa digelar. Semua aktivitas kita berjalan dengan lancar. Makanya tak sedikit yang mengaitkan moodnya dengan cuaca. Terbangun saat mendung, kita bisa saja menggerutu seharian mengingat banyaknya rencana yang bakal batal, atau terlambat. Terutama jika kita sudah mencuci kendaraan haha.. Anime teranyar dari Makoto Shinkai mengeksplorasi soal hubungan manusia dengan lain. Pada mulanya, film ini akan mengamini bahwa hidup manusia sangat tergantung pada cuaca. Namun lewat perjalanan tokohnya, kepercayaan tersebut semakin ditantang. Dan pada akhirnya menyugestikan satu jawaban; bukan soal cuacanya, melainkan soal siapa yang ada di dekat kita ketika hujan itu mengguyur.

Ini adalah musim panas teraneh di Tokyo. Bulan Agustus di sana begitu basah karena hujan setiap hari. Jelas bukan waktu yang tepat untuk pelancong yang ingin menikmati matahari. Tapi Hodaka bukan pelancong. Cowok enam-belas tahun ini bermaksud menetap di kota. bagi Hodaka, tempat pelariannya itu menjadi semakin dingin saja. Kesusahan mencari kerja dengan uang saku yang semakin berkurang, Hodaka menemukan dirinya dalam tampungan editor majalah hiburan yang khusus meliput fenomena-fenomena spiritual. Dalam salah satu tugasnya, Hodaka disuruh untuk mencari keberadaan ‘Sunshine Girl’, cewek yang menurut kepercayaan Shinto dapat memanggil matahari. Relationship manis antara Hodaka dengan Hina – si cewek pawang hujan – inilah yang menjadi fokus utama cerita. Yang bakal membuat emosi kita turun naik. Karena kekuatan matahari Hina ternyata punya konsekuensi menyedihkan.

kemudian kita sadar di mata kita juga turun hujan yang amat deras

 

 

Sejak Your Name (2016), aku sudah jatuh cinta sama anime buatan Shinkai. Film itu pencapaiannya sungguh luar biasa, membahas kultur remaja Jepang modern dengan magisnya kepercayaan dan ritual tradisional dalam cara yang sangat tak-biasa, film tersebut nomor-satu di daftar Top Movies of 2016 ku. Salah satu dari sedikit sekali film yang mendapat 9 bintang-emas di blog ini. Jadi wajar saja aku sangat menggelinjang sekaligus waspada saat masuk ke bioskop untuk menonton Weathering with You. Standar yang udah diset terlalu tinggi. Malah Shinkai sendiri sempat dilaporkan merasa canggung oleh dahsyatnya pujian yang ia tuai untuk Your Name. Shinkai, lewat Weathering with You, ingin menunjukkan kepada kita bahwa masih banyak lagi kemagisan yang bisa dieksplorasi. Ia tidak akan berhenti dan puas di satu titik. Semua itu terefleksi dalam seratus-dua-belas menit film ini. Weathering with You disusun masih dengan elemen-elemen yang menjadi ciri khas Shinkai – yang membuat Your Name begitu menawan. Star-crossed lovers, mitos dan kepercayaan tradisional yang menjadi roda gigi utama narasi, komentar terhadap sosial kontemporer Jepang, animasi hand drawn (didukung oleh komputer) yang bikin melongo. Tapi kali ini, Shinkai mengusung cerita yang lebih straightforward, yang membuat filmnya terasa lebih ngepop.

Tapi yang sebenarnya membuat film ini kuat dan menyenangkan untuk disimak adalah karakter-karakternya. Mereka semua enggak mau kalah sama visual yang ditampilkan; sama-sama penuh warna. Interaksi mereka sangat natural, dan masing-masing punya pesona sendiri. Hina misalnya. Cewek yang mendapat kekuatan bisa meredakan hujan dengan memanggil matahari keluar dari balik awan, on top of that dia cantik dan baik. Sosok pasangan idaman. Yang benar-benar ditulis sebagai personifikasi dari apa-apa yang dibutuhkan oleh Hodaka. Huna cukup magis dan fantastis untuk bisa beneran ada di dunia nyata, tapi film berhasil untuk tidak membuat tokoh ini jatuh ke dalam trope manic pixie dream girl. Hina tidak berada di sana hanya untuk membuat Hodaka menjadi orang yang lebih baik. Dia tidak hadir sebagai jawaban dari fantasi tokoh cowok. Hina diberikan karakter dan background dan konflik yang membuatnya tampak seperti orang beneran. Bicara soal trope manic pixie, film actually berhasil dua kali menyiasati supaya tokohnya tidak tampak seperti ini. Ada satu sosok wanita ‘idaman’ lagi yang berperan penting dalam perjalanan Hodaka. Sosok kakak paling perfect sedunia. Tapi lagi-lagi, film punya perhatian dan pemahaman lebih, tokoh ini diberikan cerita latar yang mendongkrak fungsinya lebih dari sekedar device.

Yang membuatku terkejut adalah tiga karakter dalam film ini ditempatkan pada posisi yang mirip sama posisi dan hubungan antara tokoh Minke, Ontosoroh, dan Annelies dalam film adaptasi novel Pram; Bumi Manusia (2019). Sebelum kalian mencak-mencak protes dan teriak “Apaan!”, aku mau ingetin dulu bahwa dua film ini meski beda wujud, adalah sama-sama mengedepankan soal romansa. Jadi garis perbandingan yang kutarik enggak benar-benar long reach. Hina is absolutely Annelies, dari posisinya sebagai love interest dan pilihan yang ia buat. Konflik sebenarnya adalah tentang mereka, mereka yang membuat keputusan yang membuka kesempatan untuk tokoh utama beraksi. Padanan Nyai Ontosoroh dalam film ini adalah Tuan Suga, bos majalah yang menampung Hodaka; pribadi yang sudah mengarungi apa yang sedang tokoh utama lewati. Sosok yang menjadi semacam mentor yang dipedomani oleh tokoh utama. Yang membantu tokoh utama karena ia mengingatkan mereka akan mereka sendiri. Dan Hodako tidak lain tidak bukan adalah Minke. Mereka sama-sama pergi dari kehidupan mereka yang lama. Dan menemukan cinta, untuk kemudian harus bersiap karena yang mereka cintai punya konflik jadi mereka harus melakukan apapun untuk mencegah konflik itu terjadi. Perbedaan yang benar-benar menjauhkan dua film ini adalah cara film memperlakukan tokoh utamanya. Yang berkaitan dengan arahan. Weathering with You lebih bijaksana memberikan aksi kepada Hodaka, sehingga dia tetap terlihat dominan dan terus punya sesuatu untuk dilakukan. Hodaka beraksi dengan mengejar, dengan berusaha menyelamatkan Hina. Kita beneran diperlihatkan perjuangannya. Tidak seperti Bumi Manusia yang hanya sesekali menyematkan montase Minke duduk menulis sebagai bentuk aksi dari tokoh ini.

Hodaka, seperti Minke, acapkali terasa lebih seperti mekanisme untuk majunya plot ketimbang karakter utama. Tapi film terus menggenjot Hodaka supaya aksi yang ia lakukan benar-benar terlihat dan intens. Kita tidak pernah tahu pasti kenapa dia memilih ke Tokyo, tapi film berhasil membuat kita peduli lewat subteks anak remaja di dunia orang dewasa, di mana kita selalu melihat Hodaka susah untuk ngapa-ngapain bahkan untuk cari kerja. Saat Hodaka dibantu, film akan menemukan cara untuk tetap membuat tokoh ini aktif. Seperti saat dikejar polisi, dia dianterin pake skuter. Film ‘menyuruh’ air untuk membanjiri jalan sehingga Hodaka harus turun dan berlari dengan kakinya sendiri menuju tempat Hina – dan harus berpacu dengan waktu, pula. Film ini melakukan kerja yang sangat memuaskan untuk membuat karakter-karakternya penting dan mencuat keluar dari trope atau mitos yang mengurung.

mentari menyala di sini, di sini di dalam hatiku~

 

Dunia tempat mereka bernapas pun turut dibangun dengan mendekati kenyataan. Shinkai seperti mengajak penonton untuk berandai jika suatu saat bencana hujan dan banjir tersebut beneran terjadi di Tokyo. Karena beberapa tempat di film ini adalah tempat yang nyata, yang didesain mengikuti wujud aslinya. Film menampilkan toko-toko yang ada di dunia kita. Kita melihat ada McDonald’s, ada lagu versi asli dari yang pernah dinyanyikan oleh JKT48. Dan tentu saja, kita tidak bisa mangkir dari kenyataan bahwa di dunia kita pun superstition dan mitos masih dipercaya hingga sekarang. Tokyo dalam film ini sudah hadir seperti karakter sendiri. Pada akhir film kita melihat bukan hanya Hodaka dan teman-teman yang berubah menjadi pribadi yang lebih baik, dengan pandangan dan sikap yang lebih bijaksana. Melainkan seluruh kota juga. Tokyo yang tadinya menganggap hujan di musim panas adalah fenomena aneh dan banjir adalah bencana, berubah menjadi kota yang lebih adaptable. Yang tetap menjalankan aktivitasnya tanpa mengeluh.

Melalui pengorbanan, film ini mengingatkan ketergantungan kita juga adalah pada orang yang kita cintai. Ketika kita hidup bersama mereka, kebahagian mereka adalah kebahagian kita, dan begitu juga sebaliknya. Makanya saat hujan, bukan berarti tidak ada matahari. Kita bisa menjadi matahari bagi orang-orang di sekitar kita. Mereka pun menjadi matahari bagi sekitar mereka. Tidak peduli usia, dari mana, dan siapa, kita semua semestinya menerangi dan menghangatkan bagi sesama. 

 

While Bumi Manusia hadir lebih berani dan menantang dengan memperlihatkan ‘kegagalan’, Weathering with You tampil lebih pop lagi dengan membuat ceritanya berakhir dengan happy. Dan eventually membuat keseluruhan presentasinya jadi kurang nendang. Terutama menuju ending; ada titik saat aku merasa filmnya sudah berakhir ternyata masih berlanjut. Tapi sepertinya itu memang disengaja sebagai epilog. Karena dilihat dari cara film ini bercerita, Weathering with You pada beberapa waktu sering ‘menutup layar’ dengan menampilkan blackscreen, untuk kemudian dilanjutkan lagi dengan dialog, seolah menjadi bagian-bagian cerita yang sengaja dipisah. Cerita yang lebih lurus dan tidak serumit Your Name menyisakan cukup banyak aspek-aspek yang belum terjawab, seperti origin makhluk transparan yang muncul saat hujan ataupun soal pistol yang ‘kebetulan’ ada, tapi buatku itu semua hanya kekurangan minor yang bahkan mungkin sebenarnya adalah komentar pembuat mengenai keadaan lingkungan sosial di sudut kota Tokyo dan gambaran soal kepercayaan penduduk.

 

 

Siapa sangka cerita pawang hujan bisa teramat romantis? Tampil lebih ringan dan lebih crowd-pleasing, film ini meriah oleh karakter dan visual yang menawan. Dialog-dialog eksposisi tidak pernah memberatkan karena dituturkan dengan begitu mulus oleh tokoh-tokoh yang mengundang simpati. Musik yang digunakan, bahkan kemunculan cameo dari Your Name, membuat film menjadi semakin mengasyikkan terutama untuk yang mengikuti Shinkai dan pop-culture Jepang. Dan itu bukan masalah. Film tidak harus selalu berkiblat pada Hollywood. Malahan film ini kental budaya lokal. Memfantasikan bencana alam yang beneran bisa terjadi, sebagai bentuk peringatan. Film ini sarat muatan, meskipun bagi beberapa orang ke-straightforward-an ceritanya membuat film ini jadi terlihat simpel dan ‘menyederhanakan’. namun dirinya memang amat lovable buat semua kalangan penonton. Kalo mau nyebut kekurangan, sepertinya cuma ada satu; film ini masih belum bisa mengalahkan standar tinggi yang sudah diset oleh film Makoto Shinkai sebelumnya.
The Palace of Wisdom gives 8.5 gold stars out of 10 for WEATHERING WITH YOU

 

 

 

 

 

Comments

  1. irfan says:

    ini film anime jepang pertama yg aku tonton dan wow..melebihi ekspektasi, aku ga nyangka kl anime semenarik ini haha

    kl soal ikan aku belum punya pendapat sih mas, tp kl gestur silau Hina aku malah ngerasa mungkin dia (selain ngecek apakah tugasnya sudah dilakukan dg baik atau tidak as a weather girl xD) lagi memastikan apakah tangannya semakin transparan krn konsekuensi pekerjaannya hehe
    krn sepertinya transparan dimulai dr badan, jadi mungkin kl tangan udah transparan berarti kemampuan dia udah mau abis ya

    yg jelas, aku jadi semakin penasaran sm your name mas hehe must watch sepertinya xD

    • arya says:

      ah iya bener juga ya, mungkin ada hubungannya dengan tubuh yang jadi transparan itu, dia diam-diam ngecek biar enggak ketahuan orang

      wah must watch banget Your Name, mitos dan dunianya lebih kompleks lagi, mainin dua periode jaman juga

      • Æsir says:

        Kalo menurutku sih enggak gitu soalnya si hina sendiri aja juga baru tau pas dikasih tau ama si cewek(lupa namanya)yg ada di taman itu kan,padahal sebelum dikasih tau dia udah sering ngangkat tangannya

  2. Jojoj says:

    Kalo dibandingin. Your name emg ini sangat simple dan ga se megah your name dgn meteor lah dll
    Yg paling nyentuh pas screening tgl 21 gw nonton itu studio 1 GI hampir full dan penonton teriak histeris pas
    2 karakter ikonik Your Name muncul bahkan gw sempet lompat dr kursi hahaha

  3. Chris says:

    Berhubung kalimat terakhirnya diakhiri dengan pertanyaan soal ikan-ikan air hujan dan gestur silaunya Hina, aku tergerak membagikan ini, dan kayaknya bakalan panjang xD

    Jadi kalo dipahami dari sudut pandang orang Jepang, film ini lebih kaya akan konteks dan subteks (dibandingkan Kimi no Na wa), mengingat pada tahun 2018, Jepang sempat mengalami kebanjiran parah dan menyebabkan banjir besar di beberapa daerah (kecuali Tokyo, dan sejak ‘bencana’ di 2018 ini, Tokyo diperketat saluran perairannya untuk mencegah banjir itu sendiri), jadi ini akan sangat relatable buat mereka. Secara kebetulan, tahun 2018 juga di bulan Agustusnya itu mereka mengalami hujan yang enggak biasa, lebih lama dari biasanya. Belum lagi Shinkai punya kebiasaan menyimpan clue di dalam nama karakternya sendiri, sebagai sebuah simbolisme dan juga kaitannya dengan hal-hal lain, dan aku juga yakin, pemilihan nama Hina Amano serta Morishima Hodaka punya makna tersendiri.

    Mulai dari nama, kanji untuk Hina Amano adalah 天野陽菜 dan huruf pertamanya 天 berarti langit atau surga, kemudian huruf kedua 野 itu berarti matahari, jadi ada maksud secara ga langsung kalo Hina Amano ini memang representasi dewa matahari, yang kalo dihubungkan ke mitologi Jepang, dia ini melambangkan Amaterasu atau dewa matahari (karena huruf 天 juga dipake dalam penulisan Amaterasu). Amaterasu sendiri berasal dari kata Amateru yang berarti bersinar di surga. Amaterasu si sun goddess dalam mitologi Jepang memang bergender perempuan, dan uniknya lagi, Amaterasu memang punya adik laki-laki bernama Susanoo yang merupakan storm god. Bukan kebetulan juga si Nagi, adiknya Hina punya kanji 天野凪 yang sama-sama menggunakan huruf 天 di namanya, jadi ceritanya memang Hina dan Nagi seperti representasi Amaterasu dan Susanoo.

    Hina memperoleh kekuatannya ini ketika dia melewati Torii Gate atau gerbang merah di atas gedung, dan kalo ga salah gestur silaunya itu pertama kali dilakukan setelah pertemuan dengan Hodaka, ketika dia mencerahkan langit untuk pertama kalinya di depan orang lain.

    Jadi menurutku, gestur silau ini bisa semacam menunjukkan terima kasih kepada Amaterasu. Kemungkinan lainnya adalah itu semacam berterima kasih pada dewa atau roh yang udah enggak ada, bisa diasumsikan ibunya, karena Hina kan di awal film ada ibunya yang sudah terbaring sakit dan ketika cerita sudah berlanjut, ternyata sudah meninggal. Di bulan Agustus (setting waktu cerita di film ini berlangsung), ada hari raya Obon, itu adalah minggu-minggu yang dipercaya orang Jepang sebagai kembalinya ‘ancestral spirits’ dan biasanya para keluarga kembali mengunjungi makam keluarga untuk mengingat mereka (ada adegan di pertengahan film ketika seorang nenek bilang sama Hina untuk bakar dupa buat orang tuanya). Kalo ga salah di adegan itu juga Hina nyebut soal ada cahaya yang berkumpul di suatu tempat, jadi mungkin juga roh ibunya yang memberi kekuatan ke Hina lewat Torii Gate di awal, yang pasti semua berkaitan dengan ‘higher power’ entah Amaterasu, entah ibunya, yang sayangnya film ini ga jelaskan dengan detil. Kurang lebih itu interpretasiku soal gestur silaunya Hina.

    Relasi lain soal kekuatan ‘cerah’nya Hina juga menyinggung kepercayaan orang Jepang soal “hare onna” (atau gadis pembawa cuaca cerah). Yang filmnya ga sebutkan (karena relevansi orang Jepang), ada juga istilah “ame otoko” (laki-laki pembawa cuaca hujan) yang secara ga langsung merupakan karakter si Hodaka. Pembuktian Hodaka sebagai “ame otoko” adalah waktu di kapal, ketika cuacanya mendadak hujan. Kemudian dia kasi nama kucingnya juga Ame (artinya hujan) dan ada scene juga mereka makan permen dari Hodaka, yang dalam bahasa Jepang, Ame juga bisa berarti permen. Bahkan si Hodaka bawa payung dengan boneka teru teru boozu (boneka penangkal hujan) bareng si Nagi. Nama Hodaka Morishima sendiri punya kanji 森嶋帆高 yang 2 huruf terakhirnya 帆高 berarti ‘mengarungi dengan jauh’ yang mungkin punya hubungan soal dia lari dari rumah atau berpetualang jauh.

    Untuk soal ikan-ikan transparan, aku masih belum yakin dan bisa pastiin ini dengan benar (perlu nonton sekali lagi), soalnya ini semacam kritik halus buat orang Jepang sendiri rasanya. Tokyo menurut sejarahnya merupakan desa pemancing dengan nama asli Edo dan kota ini dipenuhi dengan sungai dulunya. Di filmnya, ketika menjelang babak akhir disebutkan sama seorang nenek, katanya Tokyo memang dulunya perairan, jadi sebenarnya mungkin alam sedang mengembalikan segala sesuatu ke wujudnya semula. Perihal alam ini, orang Jepang juga mempercayai soal keseimbangan alam, sama seperti orang Bali dengan Tri Hita Karana-nya. Jadi mungkin bisa disimpulkan bahwa ikan-ikan transparan itu adalah roh-roh air halus dari dewa hujan/air (antara mitologi Kuraokami atau Suijin) yang dulunya tinggal di sungai perairan Edo (Tokyo), dan para ikan-ikan ini mungkin perwakilan dewa itu sendiri mau bawa balik si representasi Amaterasu (Hina). Film memunculkan wujud naga sekali waktu di museum (Keisuke dan Natsumi nanya sama seorang kakek dan anaknya soal nasib seorang gadis pembawa cuaca cerah) dan kalo enggak salah, itu adalah wujud Kuraokami (Rain God), cuma ada satu dewa lagi yang memang sifatnya kayak Yin Yang katanya dan aku ga terlalu inget hubungan Kuraokami dengan yang satu lagi itu.

    Nah, detil seperti ini sayangnya ga dijelaskan di filmnya (atau memang Shinkai sengaja bikin begitu, biar lebih universal dan ga terlalu membingungkan). Cuma waktu nonton kemarin, ga bisa ga inget soal beberapa sejarah dan mitologi Jepang yang pernah kudengar xD

    Semoga membantu mencerahkan ya dengan penjelasan panjang ini (yang sebenarnya bisa kubikin jadi 1 post terpisah) wkwk

    • arya says:

      wah bener-bener nih mas Chris! kalo tau ternyata ada yang mengerti sampai sekompleks ini subteks mitologinya mendingan aku kemaren bikin review barengan aja, Readers’ NeatPick ngajak mas Chris deh haha

      saat menonton memang tampak gestur silau itu seperti gestur yang penting sekali buat Hina, bahkan di poster pun Hina posenya gitu kan, makanya aku nanyain karena penarasan.. dan jawaban mas Chris memang make sense ama subteks dan perlambangan mitologinya

      makin kagum deh sama film ini, penamaan tokohnya juga sangat diperhatikan ya.. udah kayak mecahin teka-teki sandi di komik di detektif conan haha..

      jadi dilihat dari arti namanya, kalo dijadiin versi indonesia mungkin Hodaka namanya jadi Panji Kelana, Hina namanya Mentari Firdausi, dan Nagi jadi…. Halilintar Firdausi.. asiap xD

    • Ray says:

      ini yang menarik soal sebuah ‘karya seni’, tak terlepas film; bisa dimaksudkan universal, namun bagi segi segilintir penonton yang paham beragam refrensi serta makna simbolis yang terkandung didalamnya, ia akan lebih menyukai dan mengapresiasi terhadap karya tersebut. Sangat menarik pendapatnya, mas. mungkin saya engga sejauh itu dalam mengikuti kebudayaan, kepercayaan serta perkembangan masyarakat jepang; namun, bisa dirasakan refrensi-refrensi yang kental hubungannya dengan kehidupan masyarakat jepang tersebut, salah satu yang paling eksplisit, lukisan naga air tersebut.

    • Ray says:

      ini yang menarik soal sebuah ‘karya seni’, tak terlepas film; bisa dimaksudkan universal, namun bagi segi segilintir penonton yang paham beragam refrensi serta makna simbolis yang terkandung didalamnya, ia akan lebih menyukai dan mengapresiasi terhadap karya tersebut. Sangat menarik pendapatnya, mas. mungkin saya engga sejauh itu dalam mengikuti kebudayaan, kepercayaan serta perkembangan masyarakat jepang; namun, bisa dirasakan refrensi-refrensi yang kental hubungannya dengan kehidupan masyarakat jepang tersebut, salah satu yang paling eksplisit, lukisan naga air tersebut.

      • arya says:

        ciri-ciri film bagus tuh; ditulis dengan struktur bener dan penokohan yang menarik sehingga buat yang awam pun asyik buat diikuti, sementara juga sarat oleh subteks dan referensi sehingga yang menonton dengan bekal pengetahuan pun merasa ikut terhormati

    • kireilanford says:

      Wah… Luar biasa penelusurannya.

      Artikel ini sendiri sudah menarik sekali untuk diikuti, bahkan komen nya sendiri punya bobot seperti ini.

      No wonder kalau begitu dalam makna dibalik film ini, karena Makoto Shinkai sensei sendiri adalah sarjana di bidang literatur jepang.

  4. tokiran says:

    sejak your name dpt bintang 9 diblog ini,,aku makin penasaran dengan karya Makoto Shinkai selanjutnya..dan taraaaaaaa….hadir cuy…tapi sayang saya tinggal dibangkabelitung kayaknya gak masuk deh dibioskop,,,tapi mau kompirin ah,,,sapa tau mreka mau tayangin,,,rating 8.5 rating yang hampir sempurna,.,dan wajib ditonton deh,,,udah lama mimin gak kasih rating film setinggi itu,,,ya ampun penasaran sekali saya dengan film ini…thanks min atas reviewnya

  5. Ray says:

    aku bisa disebut sebagai yang ‘ditengah’ diantar beragam ‘penilaian’ untuk film ini. dibilang menyukai atau sangat menyukai; tidak juga, dibilang tidak atau kurang menyukai pun juga tidak. After taste -nya cukup mengingatkan setelah nonton Your Name & Children Who Case Lost Voice, suka, namun dirasa ada yang kurang. Satu-satunya karya Shinkai yang bener kusuka itu;
    5 Centimeters Per Second – kisah romansa yang sangat ‘jujur’ serta poetic. ngomogin soal Tenki No Ko ini, sangat dirasakan Shinkai coba ‘mengupgrade’ skill kepenulisannya; nampak sangat banyak, actually, yang ingin dibahas; mulai dari potret kondisi masyarakat jepang kontemporer hingga saling keterkaitan antar manusia-alam. ia cukup berhasil dalam melakukannya, sedikit kendala, barangkali pada pemilihan akhir yang ‘main aman’, tak seperti biasanya. pun bicara soal visual & soundtrack/scoring, sedari awal karier sudah terlihat kepiawaian Shinkai dalam meracik kedua elemen itu; jadi, tak perlu diragukan lagi. in the end, menganggap Tenki No Ko nampak seperti ‘ode’ pada alam.

    • arya says:

      wah aku belum sempat-sempat nih berbubur 5 Centimeters Per Second padahal sejak Your Name aku penasaran ama film-film Shinkai… Weathering ni aja dibela-belain, actually anime pertama yang ditonton bioskop… biasanya cukup sabar nunggu di laptop xD

  6. kun kun says:

    Kalo kata saya sih lebih suka sama “5cm/second” dan “garden of Words” daripada “Your name” atau “Weathering With You” ini. Karena ceritanya ga ada embel-embel fantasi jadi lebih terasa real dan ngena di hati. Grafiknya juga ga kalah keren. apalagi scene taman di “Garden of Words” itu menyejukan mata dan hati, ahaha…

    • arya says:

      kalo aku suka Your Name karena bangunan fantasinya kompleks sekali, di awal tentang tukar tubuh, hingga ke penjelasan yang ruwet tapi tetap terasa masuk akal, yang ujung-ujungnya seperti mewakili penjelasan yang relevan di dunia berinternet soal kenapa kita bisa cinta seseorang yang belum pernah kita kenal/bertemu sebelumnya

      • kun kun says:

        Hehe, justru karena fantasinya itu yang agak mennganjal di saya, yang ujungujungnya dalem hati berkata “Yah, cuma fantasi ga mungkin terjadi di kehidupan nyata”. Beda rasanya waktu nonton 5cm/second atau Garden of Words yang seperti merasakannya karena bisa saja benar-benar terjadi di kehidupan nyata hanya saja digambarkan dengan media animasi/anime.
        Ga tahu sih, saya sekarang kalo nonton film-film drama kaya Manchester By The Sea, August Osage County, Revolutionary Road, A Separation, atau drama2 keluarga suka baper sendiri seolah-olah mereka itu ada di luar sana dengan konflik-konflik kehidupannya.. halah, hahaha… terlalu baper…

        • arya says:

          Haha iya, semua film mestinya bekerja secara subjektif terhadap masing-masing penonton, dalam setiap film pasti ada bagian yang mewakili kehidupan nyata penonton — yang letaknya berbeda-beda. Beberapa film ada yang ‘menutupi’ itu dengan layer seperti fantasi, horor, fiksi-ilmiah, dan sebagainya. Ada juga film yang memilih realis.

  7. soearadiri says:

    Overall formulanya identik banget sama Your Name, padahal saya pengen banget keintiman di Garden of the Words dipake lagi sama Shinkai. Padahal hal itu yang membuat saya menilai kalau Garden of the words selevel sama Your Name terlepas dari durasi dan kemegahan naskahnya yang kalah jauh.

    Your Name bikin mitos yang diadaptasinya nampak menarik karena kemisteriusannya saat film ini membuat mitosnya nampak jadi mengada – ada banget dengan paparannya yang terlalu bocor. Bagian endingnya agak kurang nendang karena Hina ngilangnya sebentar banget, jadi kita tidak terlalu melihat dampak hilangnya Hina pada diri Hodaka. And Yap, lagu – lagu RadWimps bantu banget nge-boost mood kita buat tetep tertarik sama film ini.

    Aaarrgh, padahal film ini bagus, tapi karena udah ada Your Name jadi kesannya kurang terus

    • arya says:

      Sebagai gantinya, film membuat Hodaka mencari Hina dengan begitu dramatis. Mungkin biar gak sama-sama banget sama pencarian di Your Name. Lagian karena pertanyaan dua film itu udah beda kan, kalo di Your Name memang soal apakah Taki dan Mitsuha akan bertemu. Sedangkan pada Weathering, adalah soal apakah dunia akan lebih baik saat kehilangan satu orang.

      Menurutku Your Name ceritanya lebih personal, sedangkan Weathering kayaknya lebih mengincar ke lingkup yang lebih banyak

  8. hirawari says:

    karena udah nonton your name dan punya rating tinggi terhadap shinkai, ketika nonton weathering with you rasanya nilainya jatuh. bukannya bilang bahwa weathering with you jelek, rasanya your name masih memiliki tempat spesial di hati xD

Leave a Reply