READY OR NOT Review

“Don’t change to fit the fashion, change the fashion to fit you”

 

 

Biar aku beri clue seperti apa film Ready or Not supaya kalian bersiap-siap menghadapi keseruan yang bakal datang: Ceritanya bermula seperti Crazy Rich Asians (2018), namun akan berakhir gila mendekati Get Out (2017)

Orang kaya perangainya suka aneh-aneh. Itu yang dipelajari oleh Grace (Samara Weaving tampak sangat badass dalam balutan gaun pengantin berbalut selempang amunisi) ketika ia menikahi Alex. Putra dari keluarga yang kaya raya di bisnis boardgame dan kartu. Setelah upacara pernikahan di mansion keluarga Alex yang udah nyaingin kastil Hogwarts, lengkap dengan pintu dan lorong-lorong rahasia, Grace dibawa untuk bertemu dengan seluruh keluarga Alex. Grace harus diospek dulu sebelum resmi menjadi bagian dari mereka. Di malam pertamanya, Grace harus mematuhi tradisi keluarga sang suami. Bermain kartu yang kemudian berkembang menjadi permainan petak umpet mematikan. Semalaman itu Grace harus bersembunyi dari penghuni rumah yang ingin membunuhnya.

Malam pertama berdarah, tapi bukan seperti yang kalian pikirkan

 

Perburuan manusia di dalam rumah orang kaya sungguh merupakan konsep yang fun. Film yang digarap Matt Bettinelli-Olpin barengan Tyler Gillett ini jelas pengen menjadi cerita yang satir. Pada latar belakang, film memasang soal orang kaya yang begitu timpang dengan rakyat jelata. Mereka punya kebiasaan dan tradisi yang berbeda. Mereka memandang sesuatu dengan cara yang berbeda. Film menggunakan komedi untuk menyampaikan gagasannya. Bahkan adegan-adegan kekerasan yang sadis itu diberikan nada lucu sehingga memancing kita untuk menertawakan sekelompok orang kaya yang berusaha mempertahankan tradisi dan hidup mereka dengan membunuh orang luar. Anggota keluarga Alex dijadikan seperti over-the-top. Ada yang enggak tahu nama keponakannya sendiri. Ada yang kerjanya mabuk-mabukkan. Alex diceritakan punya masalah dengan tradisi dan kebiasaan keluarganya, dia sudah mulai jauh dari orangtuanya. Bicara soal orangtua, malahan ada bibi Alex yang digambarkan memandang Grace dengan tampang seolah ada kaos kaki basah di hidungnya. Ya, masukkan Grace dan film jadi punya satu layer lagi sebagai subteks dari cerita. Perihal wanita yang masuk ke sistem yang bukan miliknya.

Grace bukan hanya melawan orang-orang yang memburunya. Grace melawan tradisi. Berusaha survive dari gagasan dirinya harus sesuai – memenuhi syarat – masuk ke satu ‘keluarga’. Di balik aksi-aksi violent yang seringkali membuat kita meringis dan tertawa bersamaan, film berusaha memusatkan perhatian kita kepada latar belakang, baik itu literally maupun figuratively. Desain produksi film ini begitu menonjol untuk menunjukkan perbedaan mencolok antara orang kaya dengan Grace yang dibesarkan di rumah asuh. Denah rumahnya dibuat besar, kelam, dengan banyak lorong kosong dan ruangan penuh hiasan yang membuat Grace berseru “oh shit”. Sesungguhnya ini adalah cara subtil film menyampaikan kepada kita bahwa Grace sedang berada di dalam sesuatu yang bukan untuk dia. Dia menginginkan keluarga. Tapi dia terkejut oleh semua tradisi yang harus dia jadikan bagian darinya. Keseluruhan film melingkupi Grace yang mencoba melakukan sesuatu terhadap tradisi tersebut. Dia tidak mau menjadi korban, namun dia juga sudah jadi bagian darinya. Maka Grace mengoyak tradisi itu dari dalam, sebagaimana dia merobek gaun pengantinnya.

Actually, gaun pengantin yang dikenakan Grace sudah seperti karakter tersendiri. I’m not joking. Gaun itu adalah karakter favoritku di film ini, setelah Grace. Gaun itu punya arc tersendiri, bukan sekedar pakaian. Dia melambangkan sesuatu yang harus Grace kenakan. Sebagai bukti dari masuknya Grace ke keluarga Alex, ke sistem dan tradisi mereka. Gaun itu sempat menjadi hambatan bagi langkah Grace. Tapi lihat apa yang dilakukan Grace terhadap gaun tersebut kemudian. Gaun dirobek supaya bisa lari lebih cepat. Dijadikan perban untuk membalut luka. Dijadikan bantalan ketika terjun dari lantai atas. Bahkan jadi senjata untuk membunuh salah satu pengejarnya.

Marylin Monroe pernah bilang “Berikan sepatu yang tepat kepada wanita, niscaya dia akan menguasai dunia.” Dalam film ini kita literally melihat Grace mengganti sepatu hak-tingginya dengan kets. Dia juga merobek gaun indah sesuai dengan kebutuhannya. Pakaian dan tradisi itu tak cocok untuknya. Grace harus mengoyak sistem yang memaksa dia berada dalam satu posisi. Karena film ini bicara tentang kebutuhan wanita untuk tidak mengubah diri mengikuti sistem. Melainkan mengubah sistem tersebut. Dan jika tidak bisa, menggeliatlah keluar dari sistemnya, meskipun luka seperti Grace yang mengoyak punggungnya untuk keluar dari jeruji pagar yang teralinya ia patahkan.

 

Tradisi yang digambarkan oleh film ini bukan sebatas pada peraturan fiksi cerita saja. Kita bisa membandingkannya dengan banyak hal. Dengan aturan rumah tangga, misalnya. Istri harus ikut suami. Film juga memberi gagasan bahwa ‘tradisi’ seperti itu juga tidak mesti diikuti. Di satu titik, Grace dihadapkan pada pilihan antara kabur atau balik masuk ke rumah dan menolong suaminya. Grace memilih loncat dan lari ke hutan. Bijaknya, film tidak membuat tradisi sebagai antagonis. Kita tidak bisa mengubah tradisi, karena bisa jadi tradisi itu benar. Arc Alex dan saudaranya, Daniel, membahas seputar bagaimana jika sebuah tradisi yang seperti tidak masuk akal, justru adalah hal yang benar. Bahwa peraturan-peraturan konyol itu bukan omong kosong. Untuk kita yang percaya kepada tradisi atau aturan, atau malah agama, mungkin hanya kematian yang bisa memisahkan kita darinya. Tapi bukan berarti kita bisa mengekang orang lain dengan tradisi kita. Dengan kepercayaan kita.

I draw a trap ca… Wait. This whole marriage is a trap!

 

Sudut pandang film bisa agak membingungkan karena film ingin menunjukkan pandangan terhadap tradisi itu dari berbagai sisi. Babak ketiga film ini buatku sangat lucu. Film menolak untuk berakhir aman. Tidak seperti The Purge yang begitu matahari terbit, semuanya usai dan termaafkan. Film ini menunjukkan kita konsekuensi yang tak-biasa. Cara mereka memperlihatkan kebenaran dari tradisi sungguh unik, dan membuat plot cerita menjadi sedikit aneh. Dan ini bisa menjadi nilai plus, sekaligus menjadi penanda ada kekurangan dalam naskah film ini.

Nilai plusnya tentu saja babak ketiga dan sekuen penutup tersebut benar-benar mengukuhkan film sebagai horor yang menarik. Dia bisa menjadi cult-classic karenanya. But also, kekurangannya adalah tokoh-tokohnya terlihat tidak konsisten. Film ini kebablasan mengembangkan komedi dan aksi berdarah sehingga lupa memberikan perhatian lebih kepada pengembangan karakter. Usaha untuk menunjukkan pertumbuhan yang natural sangat minim karena film memilih untuk terus bergerak. Jadi, evolusi tokoh hanya diperlihatkan lewat satu adegan, atau dibuat sebagai hal misterius yang bakal dijelaskan lewat adegan berikutnya. Susah untuk membuat cerita di ruang tertutup, dengan banyak karakter tanpa menjadikan karakter-karakter tersebut hanya di sana sebagai korban pembunuhan yang berdarah-darah. Film memberikan mereka sudut pandang dan karakterisasi yang cukup untuk membuat masing-masing punya dimensi. Akan tetapi pengembangannya minim dan dijadikan sekilas, biasanya sebagai komedi.

 

 

 

Sebagai horor film ini bekerja dengan baik karena punya aksi-aksi berdarah sebagai wujud dari simbol betapa mengerikannya pengaruh sebuah tradisi atau kepercayaan. Ia juga penting karena menyangkut persoalan posisi wanita dalam aturan dan dunia yang dipimpin oleh pria. Sebagai komedi, film ini bekerja terbaik, karena sajiannya yang menghibur penuh oleh kelucuan. Bahkan adegan orang terbunuh saja dibuat lucu. Penampilan akting Samara Weaving benar-benar jempolan, dia kuat dalam kevulnerableannya, dan dia juga kocak. Tapi sebagai film yang harusnya punya pengembangan karakter, film ini tergesa-gesa. Ruang dan tempo untuk pengembangan mestinya bisa lebih lega lagi. Karena dengan kecepatan dan konstan komedi dan aksi seperti yang kita saksikan, latar belakang yang diniatkan untuk mencuat tadi tetap tidak benar-benar standout. Film ini bisa-bisa hanya akan dikenang dan dinikmati sebagai sajian horor sadis yang kocak, dengan gagasan penting dan satirnya teroverlook.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for READY OR NOT

 

Comments

  1. Dimon says:

    waktu nonton parasite ekspektasiku paruh keduanya kayak ready or not ini, hihi sayang enggak. btw gambar film ini kuning banget ya ak berasa nonton film-film awalnya hitmaker. overall ready or not samà crawl kemarin surprise sih ambisi filmnya gak ketinggian dan apa apa yg pingin dicapai filmnya mostly nyampe.

    • arya says:

      haha iya, sampe gaun putihnya udah gak putih lagi, agak over sih memang tone warnanya..

      surprising bgt memang tuh film berdua, gak nyangka deliverynya sampai memuaskan seperti ini

  2. Aaron says:

    Sedikit kecewa karena aku mengharapkan perlawanan yang epic, tapi setelah dipikir-pikir wajar karena korban tidak dapat gambaran apa yang akan terjadi dan tanpa senjata. Aku suka ekspresi Samara ketika mendapati keluarga tersebut mendapat ganjaran satu per satu. Komedinya cukup berhasil dari kejadian-kejadian yang tidak semestinya terjadi. Satu hal yang kutangkap adalah sepertinya ada pemotongan adegan sehingga kontinuitas tidak mulus, dan pengambilan gambar yang kurang memperlihatkan detail, terkadang hanya sekelebat saja.

    • arya says:

      aku suka pekikan (atau cicitan) frustasi Samara haha

      iya kayaknya ada yang dipotong-potong dikit.. satu yang kunoticed di awal sebelum Samara ama suaminya turun ke pesta di taman

  3. Febrian says:

    Sempet juga nonton ini, dari kemaren2 nahan mau baca review di sini. Hehehe… Seru. Horor sama komedinya dapet. Tapi kurang srek sama akhirnya, sama cara mati anggota2 keluarganya. Dari awal ga ada yg gaib2, cuma bunuh2an antar manusia, tapi mereka matinya pada meletus. Iyak, meletus kayak balon hijau. Hahaha… Kirain tuh pas matahari terbit ternyata kutukannya ga ada, terus mereka gila karena tau yg selama ini mereka percaya itu boongan. Saling bunuh atau malah bunuh diri deh. Tapi tetep seru kok. Recommended!

    • arya says:

      Aku kepikiran ke tradisi potong kurban pas Idul Adha sih… kan mulai banyak ada beberapa orang yang protes yang bagi mereka mungkin tradisinya terlihat sadis, dan gak make sense, tapi gimana kalo ternyata perintah sembelih itu toh memang benar. Sama seperti tradisi keluarga Le Domas, ternyata tradisinya benar; tidak mengikuti tradisi berarti kesalahan/dosa besar yang berakibat fatal. Makanya kupikir bagian gaib itu dimasukkan cerita karena mereka ingin menunjukkan bahwa ada hal-hal yang tidak dimengerti oleh kita, yang tidak bisa dimasuki begitu saja. Kita harus menjadi bagian darinya untuk bisa mengerti

Leave a Reply