GUNDALA Review

“We must preserve our humanity.”

 

 

Indonesia juga punya komik superhero. Coba tanya deh ke ayah, paman, atau kakak kalian yang remaja di tahun 70-80an saat komik-komik tersebut lagi berjaya. Siapa tahu mereka masih menyimpan dan kalian bisa membaca dan membandingkan dengan superhero dari luar. Jika tak punya, jangan khawatir. Karena Joko Anwar bersama Screenplay Pictures dan Bumilangit Komik berniat menghidupkan para pahlawan super lokal – dibranding ulang sebagai ‘Jagoan’ – dalam jagat sinema tersendiri. Bumilangit Cinematic Universe namanya.

Gundala adalah film pembuka franchise yang menjanjikan delapan film untuk Jilid I jagat sinema ini. Ini adalah origin story tentang ‘kelahiran’ pahlawan berkekuatan petir tersebut. Bahkan jauh sebelum si tokoh mendengar nama Gundala. Bingung? Seperti yang ia lakukan pada Pengabdi Setan (2017), sutradara Joko Anwar membuat sesuatu yang benar-benar baru dari materi asli yang ia adaptasi. Tidak seperti di komik, Gundala dalam film ini bukan Sancaka sang ilmuwan. Melainkan Sancaka hanya seorang anak pinggiran yang takut kesamber petir. Di waktu kecil, Sancaka menyaksikan ayahnya tewas ditusuk oleh kelompok sendiri saat berdemo. Kemudian Sancaka ditinggal oleh ibunya yang tak kunjung pulang ke rumah. Sancaka terpaksa pindah hidup ke jalanan. Kerasnya keadaan di kota yang nyaris tak menyisakan manusia bermoral, membuat Sancaka memegang teguh prinsip hidup ‘jangan percaya siapapun dan jangan mencampuri urusan orang’. Dia survive hingga dewasa dengan prinsip tersebut. Namun setelah mendapat kekuatan dari petir yang selama ini ia takuti, Sancaka diberikan pilihan untuk bangkit dan menjadi penyelamat bagi rakyat tertindas.

“Jangan percaya orang kaya karena Batman dan Ironman cuma ada di komik”

 

Gersang. Berdebu. Panas. Ganas. Begitulah dunia tempat tinggal jagoan kita digambarkan oleh film. Kehidupan rakyat jelata benar-benar keras. Penuh ketakutan dan persaingan. Gundala bukan film pahlawan super yang meriah oleh fantasi. Tone ceritanya malah sangat depressing. Bukan kurangnya air yang membuat kehidupan mereka kering, melainkan minusnya rasa kemanusiaan. Rating 13+ yang dicapkan bahkan menurutku tidak benar-benar sesuai dengan yang digambarkan oleh film. It should be higher. Sancaka sebagai anak kecil sungguh menderita hidupnya. Dia dikejar-kejar, dipukuli, diiris telinganya. I mean, at least Bruce Wayne punya banyak duit, kan. Dia mungkin punya banyak mainan dan elektronik untuk membantunya melewati hari. Sancaka tidak punya apa-apa. Bahkan dalam momen terdamai hidupnya – dalam tidur – dia terus bermimpi tragedi. Jika kalian punya masalah melihat kekerasan pada anak kecil, kalian bakal menemukan film ini cukup susah untuk disaksikan. Karena semuanya ditampilkan tanpa ditahan-tahan. Gebukan ke kepala di-close up. Hamparan darah di-zoom. Kalopun ada tusukan yang disembunyikan oleh kamera, itu hanya karena film ingin membuat pelakunya ambigu.

Tingginya level kekerasan, banyaknya adegan yang menunjukkan pembunuhan, pengeroyokan, penipuan, pengazaban, membuat film ini lebih pantas disebut sebagai thriller-aksi realis. Karena keadaan dunia yang dinampakkan sesungguhnya adalah komentar pembuat film terhadap keadaan dunia kita yang tampak baik-baik saja. Ada tusuk menusuk setiap hari, meski tidak berdarah. Ada orang berantem setiap hari, meski cuma di twitter. Ada saling hasut, saling menebar benci, di berbagai media. Menanamkan politik ketakutan. Dan juga tidak sedikit yang memilih untuk diam seperti Sancaka. Yang sedapat mungkin menjauh dari urusan orang, daripada ntar terseret ke dalam bahaya. Perjalanan Sancaka dalam film ini adalah perjalanan untuk menjadi oase di tengah kekeringan kemanusiaan. Naskah menggempor Sancaka habis-habisan. Abimana Aryasatya memberikan kegugupan yang tepat dalam menghidupkan tokohnya, ia menyambung estafet emosi dari Muzakki Ramdhan yang jadi Sancaka cilik, untuk kemudian meluaskan kembali jangkauan emosi tersebut. Dia diletakkan dengan segera di posisi paling naas yang mengharuskan dia untuk belajar survive. Dia belajar berkelahi. Namun pelajaran yang paling susah yang harus ia lewati adalah cara menumbuhkan keberanian untuk peduli kepada orang lain. Setelah itu tercapai, barulah dia bisa fokus belajar mengendalikan kekuatan petir yang ia punya.

Untuk tujuan itu, cerita memasangkan Pengkor sebagai lawan – antitesis – dari Sancaka. Pengkor, yang separuh tubuhnya penuh luka bakar dan berjalan pincang, adalah bos dari ratusan anak-anak jalanan yang menyimpan dendam terhadap kemanusiaan. Pengkor menyusup ke lapisan atas, menanamkan orang-orangnya, dan berusaha mengatur negara sesuai dengan idealismenya. Dengan masa lalu yang mirip, bahkan lebih tragis. Pengkor adalah Sancaka jika ia tidak pernah sadar dari prinsip hidup jalanan yang ia pegang. Jika Sancaka memilih untuk menjadi hero untuk alasan yang salah. Karakter Sancaka dan Pengkor dikembangkan dari teori ‘wounds and lie’. Mereka sama-sama punya trauma yang menyebabkan mereka percaya pada satu hal yang salah. Namun Sancaka yang menyadari kesalahannya, dengan segera menjadi oposisi dari Pengkor. Pendekatan yang diambil film terhadap dua karakter ini mirip sama hubungan antara Joker dan Batman. Begitu miripnya, aku sebelum film dimulai bertaruh dengan temanku bahwa monolog “harapan bagi rakyat adalah candu” (dibawakan oleh Bront Palarae dengan nada rendah khas tokoh penjahat utama saat mengintimidasi protagonis) pada trailer sesungguhnya terjadi pada adegan Pengkor ngobrol dengan Sancaka – seperti monolog Joker kepada Batman di dalam sel di The Dark Knight (2008). Dan saat menonton aku menyesal tidak mempertaruhkan hal yang lebih signifikan, karena ternyata tebakanku benar.

Gundala mengajarkan penontonnya, yang sepertinya banyak orang dewasa, untuk tidak memelihara antipati terhadap sekitar. Karena saat kita memutuskan untuk tidak menolong siapa-siapa, kita sebenarnya juga tidak menolong diri kita sendiri. Kemanusiaan adalah satu-satunya hal yang dapat membuat zaman panas yang edan ini menjadi sejuk. Maka, jangan biarkan sikap itu mengering.

 

Gundala memang seperti superhero luar. Kekuatan Gundala original basically adalah gabungan dari Thor dan The Flash (dalam film ini hanya Thor, walaupun film sempat seolah membuild up kemampuan lari Sancaka lewat beragam adegan yang menunjukkan dirinya dikejar-kejar). Tokoh-tokoh jagoan legendaris di komik-komik lokal kita memang banyak kemiripan dengan tokoh Marvel maupun DC. Aku sebenarnya tidak ingin membanding-bandingkan, tetapi toh filmnya sendiri yang seperti memohon untuk kita bandingkan dengan film-film superhero yang lebih superior, dengan jagat sinema dan segalanya itu. Gaya dan arahan Joko Anwar klop sama gaya kelamnya DCEU. Yang menurutku bisa saja bekerja dengan maksimal. Tone gelap dapat menutupi kelemahan CGI. Aksi-aksi fantastis dari kekuatan superhero simply bisa disubsitusi dengan aksi pertarungan berbasis martial arts; serupa aksi yang pernah membuat film laga Indonesia mendapat pengakuan dari penonton mancanegara. Film melakukan porsi aksinya dengan baik. Meski ada beberapa efek CGI yang mestinya tidak perlu nekat dilakukan karena hasilnya memang tidak tampak meyakinkan. Ngaku deh , masa sih kalian gak tertawa melihat efek Sancaka jatuh dari atas gedung.

Daerahnya sering hujan tapi kenapa tetep terlihat kering dan gersang ya?

 

Dialog yang terdengar lebih ‘tinggi’ daripada tokoh yang mengucapkannya adalah khas Joko Anwar. Dalam film ini kita akan melihat anak kecil ngobrol soal dewan legislatif, yang seketika bikin aku ngakak terlebih karena teringat anak kecil di Pengabdi Setan nyebut kuburan sebagai ‘areal pekuburan’. Namun ‘ketinggian’ dialog itu pas dengan tone cerita. Jika film komit ke arah gelap dan gritty itu, maka akan tidak ada masalah. Namun sepertinya keinginan mereka untuk menjadikan film ini sebagai langkah awal – seperti Ironman sebagai pembuka MCU – malah berbalik menjadi bumerang. Karena tentu saja studio butuh jaminan film bakal laku. Jadi, Gundala yang semestinya bakal bekerja dengan baik di ranah dark and violentnya harus ada sedikit humor dan appealing buat lebih banyak orang. Maka film ini memilih untuk mencampurkan tone ala DCEU dengan sisipan guyon ala MCU. And it doesn’t mesh well together.

Lelucon-lelucon yang dimasukkan ke dalam dialog dan adegan menyebabkan film terdengar canggung. Terkadang memaksa kita untuk tertawa, padahal seharusnya kita meresapi subteks yang dikoarkan. Selain itu, lelucon ini membunuh karakter. Karena semua tokohnya jadi terdengar sama. Mereka ngomong singkat-singkat. Saling menjawab cepat-cepat. Dan pada satu titik, campuran tone cerita ini, membuat kita tak yakin kejadian penting di film harus dianggap serius atau tidak. Aku gak enak ngasih spoiler banyak, tapi pada poin muncul serum perusak moral (yea you read that right), aku benar-benar gak tahu harus ketawa atau tidak. Karena dampak dan semua yang berhubungan dengan kejadian serum itu tampak obviously make no sense, tapi film tetap lanjut karena itu adalah bagian dari rencana super jahat. Tega sekali film menggambarkan rakyat sebego itu, tapi mungkin memang di situlah letak kritikan tajam film ini terhadap keadaan sosial yang gampang terpancing. Lagian, karena semua penduduk film ini ditampakkan sudah rusak moralnya sedari awal, aku merasa susah untuk peduli dan menganggapnya serius.

Cerita bergerak terlalu cepat untuk dapat memberikan arti pada masing-masing tokoh yang muncul. Ada banyak yang seperti tokoh penting – dimainkan oleh aktor mumpuni – namun ternyata terbang menghilang begitu saja. ‘Algojo-algojo’ Pengkor itu hanya tubuh saja. Karakterisasi mereka ya hanya gimmick masing-masing. Peduli apa sama nama mereka, atau apakah mereka ada di komik atau enggak, film hanya memperkenalkan mereka sebagai Si Jurus Nari, Si Mahasiswi Bersenjata Tas, Si Dua Golok Gede. Atau mungkin nama mereka memang seperti itu, kayak tokoh-tokoh di cerita silat Wiro Sableng. Aku gak tahu. Kepedulian film memberi karakterisasi pada mereka toh juga cukup sampai di sana.

Kupikir itu semua berkaitan dengan keinginan film untuk membangun jagat sinematik. Mereka memperkenalkan tokoh, hanya untuk memancing kita nonton film berikutnya. Karena kemungkinan tokoh tersebut bakal dijelasin di sana. Dan menjamin kepada studio banyak orang bakal nonton terus karena penasaran. Kapitalis sekali, sih. Tapi memang seperti itulah industri film mainstream bekerja. Mengekor cara sukes MCU. Jangankan tokoh-tokoh seperti Ghazulnya Ario Bayu yang tampak meta sekali karena mengetahui seluk beluk cerita Gundala, atau tokoh Sri Asih yang muncul hanya sekelebat untuk mengingatkan kita kepada Wonder Woman, atau tokohnya Tara Basro yang sepanjang film menuntut untuk ditolongin, penjelasan kenapa petir mengincar Sancaka sedari kecil aja tidak dapat kita temukan dalam cerita origin ini. Karena disimpan untuk film berikutnya. Kalo film pertama ini laku. Dan kita harus membuat film ini laku untuk menjawab pertanyaan yang sengaja dibiarkan menganga tersebut. Pace film tampak tergesa-gesa seolah filmnya sendiri pengen cepat-cepat sampai ke sepuluh menit terakhir. Ke bagian yang menggoda penonton untuk episode selanjutnya.

 

 

Joko Anwar’s attempt at superhero franchise is dark, violent, and really gritty. Rasa lokal yang dihadirkan mampu memberikan warna baru yang membuatnya berbeda. It is a Jagoan movie, after all. Tapi di saat bersamaan, gaya yang diambil dalam usahanya untuk tetap berada di ranah mainstream demi menjual lebih banyak film-film berikutnya, membuat film ini terasa seperti memirip-miripkan diri dengan gaya film pahlawan super yang lebih sukses. Karakter-karakternya tak tampak benar-benar hidup. Mereka hanya melanjutkan adegan demi adegan yang berpindah-pindah dalam tempo cepat. Sancaka dan Pengkor cukup maksimal – malah Pengkor sempat bertindak kayak John Kramer si Jigsaw dengan death trapnya – tapi ada banyak lagi yang tampak penting ikut ditampilkan. Aku ingin melihat mereka lebih banyak, mendengar mereka lebih banyak. Pada akhirnya kejatuhan bagi film ini adalah mereka juga mengerahkan tenaga untuk membangun universe di depan membangun satu cerita ‘kecil’.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for GUNDALA

Comments

    • arya says:

      lagian kecohan strategi Pengkor itu lemah banget, kalo rakyat gak goblog gak bakal ketipu deh… dan mereka sepertinya kesusahan staging pertemuan Gundala dengan Pengkor… cuma Pengkor yang saat itu sudah tau persis lawannya.. mestinya di midpoint dua ini dipertemukan dulu biar ada build up ke Gundalanya

      siipp ditunggu versi panjang lebarnyaa

      • Jojoj says:

        Bagian dia mecahin serum itu gw sebagai anak fisika tau harusnya kaca seluruh indonesia pecah bukan cm serum doang yg pecah
        Lagian itu dia bikin shockwave yg efeknya se indonesia loh kebayang petir yg diciptakan bgeri banget
        Namanya thunder clap itu. Harusnya bukan cm kaca yg pecah tp jg elektronik2 rusak semua se indonesia

        • arya says:

          scientific nih, ilmu.

          berarti filmnya melanggar hukum fisika dong ya.. kalo soal perisai polisi pas dia masih kecil, sama golok gede di battle akhir itu, teori thunderclapnya bener?

      • Elki says:

        @Jojoj Ada penjelasannya di scene pas ghazul sama anak buahnya yang anggota dewan itu lagi di museum buat ngebongkar tempat dimana ki wilawuk tersembunyi. Si ghazul itu doyan bawa2 bongkahan kristal gitu kan, ceritanya itu warisan turun-temurun (si bongkahan kristal itu ternyata serpihan dari kristal yang membungkus jasadnya ki wilawuk). Nah, ternyata si material kaca serum penawar sama kristal yang ngebungkus jasad ki wilawuk itu sejenis. Dan sempet ada keterangan pas adegan fight terakhir, gundala berhadapan sama villain yang bawa 2 pedang besar. Pedangnya kerebut satu sama gundala, dia lalu mengalirkan petir ke pedang yg telah ia rebut, alhasil si pedang yg satunya ikut teraliri gelonbang petir gundala. Karena, 2 pedang tsb memantulkan gel.resonansi yg sama. Intinya, si material yg gundala aliri petir haruslah bahan yg sama. Itu sih yg saya tangkap.

  1. Di Samping Hujan says:

    Aku juga bingung mau bilang bagus atau nggak. Mood nontonku naik turun, alias ada yg kocak banget ada yang yah gimana gitu. CGI gak begitu ganggu buat ukuran Indonesia sih, tapi suwer aku juga ngakak pas adegan si Sancaka jatoh ekwkekek.

    Lainnya, plot terlalu cepet bergerak, filmnya kayak maksain semua informasi harus nongol dan dimasukkin jd satu. Aku jadi merasa keteteran nontonnya 🙁

    Tapi semua itu ketutup kok sama adegan Sancaka abis mandi wooy banyak Fanservice nya wkwk *mimisan di hamparan dada roti sobek*

    • arya says:

      wahahaha itu aku heran; harus banget adegannya sancaka abis mandi terus lilitin handuk ya…, tapi kemudian aku melirik penonton cewek di sebelahku, dan mereka senyam-senyum. I was like, “oh, fanservice!” hihihi

  2. maidan kimya says:

    bagus di awal kemudian menurun dan menukik di tengah dan akhir…. mbok ya paling ga bajunya gosong dikiiiiiiit aja pas kena petir…..
    Gundala = GUNDAh guLAna

  3. Delfina says:

    SPOILER ALERT:
    Joko Anwar mencoba menghidupkan film superheroes setelah berhasil menghidupkan “Ibu” dalam film Pengabdi Setan. Bagi orang sudah nonton film “A Mother’s Love” akan dibuka kembali adegan yang sama…… kenapa justru hubungan Ibu dengan anak lebih kental lagi. Film ini adalah mirip mixing beberapa karakter di luar. Kemudian konflik di Sancaka mengingatkan kembali Spiderman merk Tobey yang kehilangan krisis identifikasi superheronya, Karakter Pengkor begitu gelap seperti Joker. Sedangkan Ridwan Kamil eh Ridwan Bahri mirip dengan karakter Jim Gordon (sidekicknya Batman) dari sinilah si Gundala yang kere dapat supply dana.
    Lingkungan gelap “gotham” ala lokal kentara.
    Plot berjalan naik turun secara cepat, penyampaian informasi karakter yang bermacam-macam seolah-olah kurang 2 jam durasi film. Saya yakin masih banyak yang disensor untuk film ini. Butuh penonton yang cerdas, karena film ini tidak bisa diikuti sama orang yang suka drama dengan alur lambat. Karena bertubi tubi adegan berantem. Jadi dialog-berantem-dialog-berantem-dialog-berantem. Agak susah untuk mas Joko mengenalkan karakter bila yang nonton masih Blank karakter yang ditontonnya.
    Dari adegan pertama sudah terlibat sancaka sudah dapat powernya waktu kecil. Sehingga butuh waktu yang tepat untuk merilis power yang sesungguhnya pada adegan berantem sama pengkor, Temen sancaka yang tua terlalu cepat memberikan informasi atau kerpecayaan bahwa kekuatan sancaka bisa lebih…..karena semua berjalan dengan cepat. Dan proses pemecahan gelas serum lewat audio soniknya agak terlalu cepat tidak memberikan penonton berpikir sebentar…..

    But after all
    makna dan filosofinya dark dapat.
    Sukses. Semoga Film berikutnya lebih bagus lagi….

    • arya says:

      bener tuh, mestinya hubungan Sancaka dengan si bapak itu diperlihatkan lebih jauh lagi, karena si bapak sudah kayak father figurenya.. mungkin bisa seperti Batman dengan Alfred, tapi semuanya datang dan berlalu begitu cepat… sepertinya kekuatan lari-cepat Gundala yang di komik diadaptasi oleh narasi filmnya haha, cerita yang malah berlari ngebut XD

  4. agunginandjar says:

    aku bener-bener setuju sama review ini. aku malah cuma suka sama film ini pas sancaka kecil aja, darknya kerasa. Muzakki juga keren bgt. Dan pas sancaka dewasa aku bener-bener ngerasa semuanya berantakan dan gak menikmati filmnya lagi. dan serum itu jelas bikin aku kaget, HAHA.

    dan aku juga setuju, si karakter-karakter yang harusnya bisa bikin sancaka setidaknya terintimidasi pas baku hantam terakhir malah cuma gitu doang. ngingetin aku sama wiro sableng yang karakternya banyak tp disia-siakan begitu aja.

    • arya says:

      iya aku juga ngerasanya aneh.. soalnya pas waktu kecil filmnya malah tega jadi dark banget, tapi pas udah gede malah jadi berusaha ringan lewat dialog-dialog dan adegan dipukul kayak lawakan srimulat haha.. kalo pure dark terus bisa jadi saingan batman padahal ni ya

      • 73hermantrio says:

        Kalau pure dark itu, penonton film Indonesia apa siap dgn film superhero dark begitu?PH bikin film kan ga mau rugi. Kalau aku melihat, kreatifitasnya Jokan spt terbatasi dgn budget. Ini proyek “gila”. Bisa balik modal aja sdh bagus. Mungkin cuan dikit. Aku yakin semua investornya “deg deg” an jelang penayangan. Kalau dibawah 100rb pada day1, hampir bisa dipastikan proyek batal. Dan kita ga bisa samakan dengan MCU. MCU aja sukses di Iron Man,dan gagal di Incredible Hulk di tahun yang sama. Disney mau built superhero Marvel lebih dikenal luas.Secara popularitas supehero Marvel yg populer sedunia itu Spider-man, Hulk lumayan, Captain America ga begitu banyak yang tahu, apalagi Thor. Beda dengan DC Comics, konsisten Batman, Superman itu karakter superhero terpopuler di TOP 5. Kepiawaian Nolan menjadikan film TDK nya menjadi sebuah tontotan yang benar2 beda yang bikin RDJ bilang “I didn’t understand The Dark Knight”
        Yang saya kuatirkan, apakah para sineas yg terlibat dalam BCU ini benar-benar bisa menjaga momentum dengan mem build up film2 superhero Indonesia lebih baik dari Gundala yang lumayan (menurut saya, ini film komersil Jokan yang paling lemah,walaupun not bad at all) – aku rasa fair kalau kita tidak berharap skenarionya bisa pantas untuk dibawa ke FFI tapi setidaknya tidak cheesy, dgn pace yg terjaga, tidak humor murahan,action yg baik, drama yang bukan sekedar tempelan, tidak juga segitu dark sampe anak remaja aja ga paham atau jadinya untuk 17 +.

        • arya says:

          Aku sempat ngobrol panjang lebar juga ngebahas ini sama teman-teman di Forum Film Bandung Community; gimana ph BCU ini mengambil keputusan yang agak aneh. Tentu Ph gak mau rugi, apalagi untuk awal sebuah proyek mahabesar. Cara teraman untuk mencapai itu seharusnya adalah dengan membuat film ini lebih accessible biar bisa ditonton sebanyak-banyaknya orang. Jika kita melihat ke balik film itu, mereka mengganti sutradara dari Hanung ke Joko Anwar; dari pembuat film maintsream ke film yang lebih ‘bergenre’. Lalu setelah tayang, film dipush untuk jadi 13+ padahal materinya cukup berat dan sedikit lebih dewasa daripada batasan umurnya. Kayak gak klop gitu, niat sama usaha yang akhirnya diambil.

          Secara brand, memang superhero lokal masih belum banyak yang tau. Target pasar BCU bisa jadi belum pernah mendengar nama-nama Aquanus, Gundala, Godam sebelumnya. Plus bayang-bayang Marvel memang sudah sangat besar di kancah superhero. Jadi kupikir, brand yang dijual oleh BCU ini – sebagai langkah teraman buat mereka – adalah brand Joko Anwar, serta pemain-pemainnya sendiri. Makanya dirilis semua duluan, untuk membuat penonton hype. Yang akhirnya mereka utamakan untuk dibangun momentum, untuk dijual, ya adalah nama-nama itu.

      • Albert says:

        Oh suksesnya lebih ke jual branding ya daripada bagus filmnya mas? Aku sih ga tau gundala siapa pas nonton. Cuma hype aja pengen nonton MCU buatan indo

        • arya says:

          iya, dan brandingnya di sini terutama adalah branding pembuatnya

          tapi selama kita yang nonton sadar dan ngakui filmnya gak bagus-bagus amat sih, gak masalah

  5. Ryandi Aditya says:

    Ngerasa gagasan utama filmnya seputar resonansi, tp twist endingnya (ngebangkitin ki wilawuk manfaatin sonic boom gundala) malah kayak ngurangin maknanya. Sepanjang film disuguhi ttg resonansi, gmana buruh yg ngerasa diperlakuin gak adil bersatu, gmana demonstran bersatu setelah isu serum amoral, gmana tindakan gundala menginspirasi anggota dewan untuk bertindak. Orang2 yg “satu frekuensi” ikut bergerak setelah ada pemicunya. Tp endingnya malah ngesanin tindakan heroik gundala ya malah ngebangkitin kejahatan yg terkubur lama jg. Lebih pas kayaknya kalo dimunculin after-credit. IMO.

    • arya says:

      iya ya, ada tema resonansi yang bisa ditarik…

      kalo dimunculin sebagai penutup kayak gini jadinya cerita kayak gak tuntas ya, menambah elemen yang gak sesuai dengan tema di awal.. iya sih, kebanyakan film yang mau nyambungin universe memang salah kaprah di situ.. cuma marvel yang bijak meletakkan hook-hook cliffhanger di after-credit sehingga tak mencampuri narasi film utuhnya

  6. Febrian says:

    Entah kenapa background politik dan negaranya terasa maksa. Mungkin kalo cuma cakupan kota lebih enak. Spider-Man-nya Tobey berasa banget, kayak dari kostum bikin sendiri dan nyoba2 kekuatan. Sayang banget ye momen pertama kali Sancaka kena petir ga ada. Apalagi katanya beda dari komiknya, terus orang2 bisa dapet informasi ini dari mana. Di adegan awal pas Sancaka kecil megang kayak perisai gitu saya udah seneng, wah asik nih ada “nyindir2” Marvel. Hahaha… Sudjiwo Tedjo tuh bakal jadi semacam Thanos kah, Bang?

    • arya says:

      terlalu ambisius ya ceritanya, kayak bite more than it can chew

      informasi yang mana maksudnya?

      hahaha mungkin kita bakal dapat penjahat utama yang nyari batu akik beneran kali ini

      • Febrian says:

        Informasi kesamber petir pertama kali maksudnya, Bang.. hehehe…
        Bang, menurut lu Bumi Langit ini udah memperkenalkan banyak tokoh sekaliguscast-nya lebih dulu, justru malah bagus atau ga? Marvel atau DC pun ga gini2 amat, terutama pas awal2. Pertanyaan ini muncul pas liat di Gundala banyak banget aktor besar yg muncul tapi ya gitu doang, seakan konsekuensi harus muncul karena udah memperkenalkan sebelumnya.

        • arya says:

          strategi market mereka sih, menurutku sekarang udah kebalik sih, tapi mungkin memang lebih aman begitu buat ph. Kalo dulu kan Marvel, bikin penonton percaya dulu, dikasih Ironman, baru kemudian ditease bakal ada Avengers, pemainnya juga dibuka perlahan kan.. kalo sekarang ibaratnya nyari hype; dijanjiin dulu bakal ada film-film dengan aktor-aktor hebat, perkara filmnya keteteran ya nomor dua, toh bisa dikasih alasan “sabar, nanti di film berikutnya dijelasin”…

          Jadi ya Bumilangit ini buatku jadi kayak ngandelin hype doang sih, ngejual brand – komik maupun pembuat filmnya – dan star power pemain.

  7. Roy says:

    So, layak gak film ini disebut film pembuka jagat bumilangit bang?
    Menurut gue sih layak sih, ini jadi pelepas dahaga industri film kita. Masalah banyaknya karakter yg dimunculin sih gue berharap banyak adanya spin off pengkor, dengan 10 anak buahnya (yg ditampilin di film, aslinya bisa ribuan) dgn latar belakang yg beda2 pasti bakal seru sih.
    Bakal berharap banyak sih, apalagi dgn beberapa easter egg yg mungkin bakal dijelasin di beberapa film selanjutnya..

    • arya says:

      ya layak lah, kan dia duluan yang muncul hahaha.. target mereka memang begitu, kenalin banyak, kemudian bakal dibahas satu persatu di film-film berikutnya, ngejual hype kayak gini memang lebih gampang

      tapi ya kemungkinan besar film-film yang bakal kita dapatkan ya yang setengah-setengah kayak gini terus aja

  8. Ferr says:

    Liat Pengkor kyk gabungan Mr.Glass (Unbreakable) + Joker-nya Heath Ledger
    Motifnya bukan kekuasaan atau uang, tapi kekacauan
    Banyak bertanya tanya sepanjang film, terutama di 1/3 akhir …. kok adegan berantem algojonya berganti ganti ? Kmn algojo yg sebelumnya berantem ma gundala ?
    Kalimat2 yg diucapin wkt hujan menjelang kematian pengkor pun gak kedengeran jelas

    Overall, teknik kamera, cahaya, aktornya keren
    Tapi plot ceritanyaa …. hmm semi pengabdibsetan + the raid : nontonnya lbh banyak kagetnya + adegan silat yg a bit too much

    Maaf ,sepertinya saya belum terlalu tertarik nonton film BCU berikutnya

    • arya says:

      oiya ahaha mirip Mr Glass juga

      aku kecewa sekali lihat adegan Gundala lawan algojo-algojo itu, kupikir mestinya film menyediakan banyak waktu buat mereka berantem.. ternyata cuma ganti-gantian yang gak make sense. Trus kalahnya nyaris serempak dilempar ke sana kemari oleh Gundala. Emangnya lagi main pertandingan Royal Rumble WWE? haha

      Lagian Gundala juga kurang perjuangan, wong dia didatengin. Coba kalo dia yang memburu Pengkor. ‘Pindah stage’ satu persatu ngalahin algojo-algojo itu misalnya kayak John Wick 3. Formulaic, but it works, dan para tokoh cerita film ini juga cukup punya ciri khas sehingga gak bakal kentara formulanya.

      I don’t know. Mungkin aku salah, tapi aku tidak ngerasain passion pembuatnya ada pada superhero. Aku tidak merasa mereka pengen membuat cerita superhero. Aku cuma ngerasain pembuat film/universe ini passionnya lebih ke membuat glorifikasi kekerasan. Mungkin Bumilangit universe lebih cocok disebut sebagai crime universe ketimbang jagat jagoan.

  9. noelapple says:

    Kalo gw kecewa sih sama film ini. Terlalu banyak plot hole yg krusial, dan eksekusi yg nanggung di banyak bagian.

    Maaf, spoiler dan panjang.

    Fix bhw kejadiannya di Indonesia, dan pusat film ada di Jakarta. Tapi dengan segitu banyak anggota dewan yg berseliweran di gedung dan tv, lalu di manakah presidennya? Kok yg bergerak anggota dewan semua? Kalo mau dibilang itu negeri sureal sih kagak bisalah, clue lokasinya jelas kok. Kalo maksudnya dibikin Jakarta versi dystopian, dan sistem pemerintahan sudah berubah, paling enggak mestinya ada narasi lah sejak kapan itu terjadi dan pemicunya apa. Jadi set up cerita menjadi kuat dan tak terasa ngawur. Sebab yg kita lihat sendiri di dunia nyata, Indonesia nggak sesimple itu hingga tiba2 cuma anggota dewan aja yg nongol, nggak ada presiden. Butuh set up yg kuat utk menjembatani supaya penonton bisa memahami Indonesia versi Gundala, dan gw rasakan itu gak ada.

    Gimana penjelasannya, kok Sancaka bisa nyerap petir sbg kekuatannya? Kalo di Gundala versi jadul ada penjelasannya: dikasih kekuatan oleh Dewa/Raja Petir. Mungkin itu mmg terlalu mitologis dan gak ilmiah, tapi at least Gundala versi jadul berusaha ngasih penjelasan. Gundala 2019 ini nggak ngasih penjelasan sama sekali. Satu2nya clue cuma scr implisit diucapkan oleh Ghazuul, yg mjd satu2nya orang yg nyebut nama “Gundala”, yg mungkin mengacu pada sosok yg memang pny akar mitologis dan sudah pernah bangkit di masa lalu (di zaman Ki Wilawuk sepertinya). Intinya, di satu filmnya ini Gundala masih belum tahu siapa dirinya. Belum bisa ngasih jawaban ke penonton. Terus siapa dan kpn penonton dpt jawaban? Di film Bumilangit berikutnya? Yaelah, brp tahun lagi? Caranya gaet pangsa penonton utk film2 selanjutnya ya jgn gini2 amatlah. Bisa jadi bumerang.

    Soal asal-usul, memilih opsi mitologis pun oke2 aja kok, asal eksekusinya bagus. Drpd nyoba ilmiah tp nanggung. Salah satunya ttg frekuensi benda, yg mjd dasar ilmiah ketika Gundala menghancurkan satu botol vaksin di tangannya spy botol lainnya di seluruh Indonesia/Jakarta jg hancur. Kalo pikir gw, bukannya seharusnya semua benda kaca jg akan ikut hancur, bukan cuma botol vaksin aja? Buktinya, kubus kaca yg menyimpan kepala Ki Wilawuk juga ikut hancur, shg Ki Wilawuk bisa dibangkitkan oleh Ghazuul. Tp yg diperlihatkan oleh film ya cuma segitu aja. Nanggung. Tak diperlihatkan visualisasi efek masif yg semestinya bisa jd klimaks yg bagus.

    Antiklimaks filmnya. Segitu banyak algojonya Pengkor, berantemnya ya cuma segitu aja. Yg paling mending cuma Cecep Arif Rahman. Asmara Abigail is joke; niatnya jadi femme fatale ala Gogo Yubari tp eksekusinya cuma teriak dengan killing move yg gak menyakinkan, dengan senjata tas sekolah pula. Lebih joke lagi si pemain biola, sesumbar kalo Gundala ternyata jagoan culun, eh ternyata dia sendiri yg lari kabur sambil ketawa2 sok niru Joker, lalu tiba2 ketabrak bus. Itu apaan coba? Fail banget. Gak ada aksi laga yg memorable. Abimana sendiri sangat kaku laganya. Adegan laga yg benar2 bagus cuma di scene Awang dan Sancaka kecil.

    Setiap karakter sebenarnya bermain dgn bagus, kuat. Tapi plot yg tergesa-gesa sejak babak kedua, ditambah karakter yg berjejalan, membuat tiap2 karakter gagal membangun chemistry, krn gak dapat waktu yg optimal. Lagi2 yg terasa bagus chemistrynya cuma Awang dan Sancaka kecil. Yang lain benar2 disia-siakan potensinya, krn plot yg terburu-buru dan berjejalnya karakter.

    Bagian terbaik dari film ini cuma di fase masa kecil, kemunculan Sri Asih dan scene bangkitnya Ki Wilawuk di akhir, plus mid-post credit scene yg ngasih lihat kostum baru Gundala yg gw akui ciamik! Udah kyk superhero Hollywood beneran. Sisanya, gw susah utk nikmatin.

    CGI? Sebagian udah bagus sih. Tp scene Sancaka dilempar dari gedung itu gw tepuk jidat deh kalo ada yg bilang bagus. Humor? Oke, selera humor Joko Anwar masih bagus kok. Pemilihan lokasi, shot2 tempat, property dan tone gambar, Joko Anwar bagus seperti biasanya. Dan pemilihan nuansa dark utk film ini memang sebenarnya Joko Anwar banget.

    Tapi, sepertinya film Gundala memang merupakan ide yg sangat besar, yg mau tak mau memancing ekspektasi besar pula. Menurut gw, Joko Anwar belum bisa mengemas film ini secara solid. Enggak sampah, tapi masih terasa nanggung aja di banyak bagian.

    Sorry, gw emang rempong kalo lagi kecewa berat. Buat yg pengin nonton ya nonton aja dah. Moga2 cuma selera gw aja yg beda.

    • arya says:

      95% aku setujulah sama komen ini hahaha.. kecualinya yaitu di bagian humor, kayak out-of-place aja humornya.. gak mesti juga hampir semua tokohnya ngomong gaya bercanda yang sama, satu dua tokoh aja cukuplah humor sinis ama keadaan hidup mereka atau apa.. humor juga butuh build-up soalnya. Jadinya kayak semenyedihkan usaha DC niru dialog Marvel.

      Joko anwar sepertinya masih dalam mindset ‘membuat film crime dan violent’, sedangkan PH seperti menyasar ‘pahlawan’. Bisa jadi pembelajaran buat Timo, yang katanya mau garap film berikutnya (iya bukan sih?). Perjuangan mereka ke depan menurutku adalah menemukan persentase yang pas dari kombinasi dua mindset itu

    • Febrian says:

      Nah, ini yg saya maksud background politik dan negaranya terasa maksa. Dan dialognya juga sering banget ada kata ‘rakyat’. Berasa berlebihan aja. Ini juga jadi kendala kalo menurut saya, soalnya anak-anak kurang bisa nikmatin.
      Soal asal-usul, penulis mungkin lupa kalo Gundala itu bukan Spider-Man atau Superman yg asal-usulnya udah diketahui banyak orang. Hahaha..
      Btw, keren euy ulasannya coy..

      • noelapple says:

        Terus di tv ada anggota dewan yg menyatakan bhw cairan kimia yg menyebar di beras itu adl serum amoral. Tapi di wawancara tv yg lain ada pakar farmasi yg menyanggahnya. Lha terus anggota dewan itu dpt hipitesa serum amoral dari mana? Dari orang2nya Pengkor? Lha terus anggota dewan yg itu kok akhirnya dibunuh juga sama Pengkor? Ini kan udah bertele-tele tapi ujungnya tetap ambigu. Mungkin niatnya mau nunjukin kondisi negara yg emang penuh ketidakjelasan. Tapi di gw jadi berasa filmnya aja yg gak jelas, krn gak bisa mengatur plot secara rapi. Bagian2 yg gak jelas seperti ini terlalu bertebaran dlm film, bukan sebuah dua buah aja, jadinya menimbulkan ketidaknyamanan.

        • arya says:

          kayak masih poin-poin di draft mereka banget kejadiannya.

          ciptain serum – rakyat panik – ciptain vaksin penangkal – rakyat rebutan – ternyata vaksinnya palsu

          antara satu poin dan poin lain itu pengembangannya kurang banget, sebab-akibatnya disebut sekenanya, pokoknya kerangkai aja deh kejadian. Terus tinggal ditambah-tambahin dialog patriotis dan politik. Begitu rasanya film ini buatku

    • Dinda says:

      Kenapa kubus kaca itu hancur? Ya karna bahannya sama kyk botol serum itu .. Emang udah disetting sih dari awal biar bisa bangkitin ki wilawuk dgn manfaatin tenaga gundala.

  10. Albert says:

    Yang bener2 seneng cuma di paro awal pas kecil terutama sih. Asal usulnya terasa banget kasihannya. Paro kedua aku ga gitu ngerti cepat banget ceritanya.

    Pertarungan terakhir itu aneh juga. Kan ganti2an ya sama adegan Lukman Sardi, pas balik ke adegan berantem itu musuhnya Gundala udah ganti lagi ga konsisten sama adegan sebelumnya. Ya akhirnya ditumbangkan dengan mudah setelah dapat kekuatan.

    Ki WIlawuk itu siapa juga ga ngerti, pertama muncul kukira itu Si Buta dari Goa Hantu, mirip Captain Amerika yang dibekukan, ternyata… ya ternyata tetap ga tau siapa dia sampai sekarang. Maksudnya disebut Gundala muncul tapi si Gundalanya sendiri belum tahu itu apa ya mas? Apa Gundala itu udah muncul di masa lampau?

    Daripada film superhero menurutku lebih mirip film action The Raid tapi dengan cerita yang lebih bagus. Banyakan kan adegan action jalanan daripada main petir. Tapi ya tetap didukung sih walaupun banyakan bingung.

    • arya says:

      hahaha iya kan, aku juga ngerasanya lebih mirip night come for us malah

      menarik sih sebenarnya soal omongan Ghazul sama Ki itu; apa mungkin Gundala yang di komik kejadiannya di masa lalu, dan sekarang mereka merasuk ke ‘titisan’ masing-masing, melanjutkan pertempuran? Dan si Ghazul tau semua itu karena dia baca komiknya xD

  11. arya says:

    hahaha plot twist ya, ternyata kostumnya hasil korupsi, Gundala merasa dirinya bersalah, dia merasa malu sebagai pahlawan mengatas namakan rakyat padahal makan uang rakyat. Gundala merasa kotor. Dia nangis di bawah kucuran air shower. Seneng dah cewek-cewek lihat Abimana shirtless lagi xD

    kibas geboy aku, mbak Sri Asih!

    yaaa aku telaattt

  12. arya says:

    Saking cepetnya aku malah gak sadar salah satu algojo itu ternyata adalah si Aming

    over-the-top banget itu si mahasiswi tas, gak klop ama tone film.. kalo suaranya bisa melengking gitu, kenapa bukan dia aja jadi pahlawan yang mecahin semua botol serum vaksin pake teriakan ahahaha

  13. Dinda says:

    baru nonton kemaren.. seruu, apalagi pas awal2 Sancaka kecil.. pas udh gede agak terlalu cepat temponya.. terlalu banyak adegan fighting, jadi kayak film laga dibanding film superheronya.
    pemilihan latar di persimpangan rel kereta yg sepi banget kok kesannya janggal ya? terlalu simple keliatan bgt gak mau ribet. kalo dibikin adegan jalan raya betulan dengan suasana yg rame mungkin bisa lebih hidup.
    judul filmnya gundala, tapi di sepanjang film nama Gundala cuma sekali disebut. itu pun diakhir2 film. trus si Sancaka nyebut dirinya siapa? rakyat gitu? ini lucu bgt sih mnurutku hahaha
    soal botol serum yg hancur kayaknya udah disetting dari awal sama Ghazul.. jadi dia manfaatin kekuatan Gundala buat ngebangkitin Ki Wilawuk.
    bagian film yg terkeren sih pas Sri Asih muncul sih nyelepet mobil. this so cool!! trus sama kostum baru di credit scene.. amazing banget.. sayang aja sih gak ada dialog yg jelasin kalo nama dia Gundala. pasti bakal lebih epic. kayak waktu Peter Parker ngomong kalo dia Spiderman.

    • arya says:

      preachy banget sih ya, “aku rakyat” itu, transisinya dia jadi pahlawan itu kurang sih. Sancaka belum tahu siapa dirinya sampai akhir film ini, dia cuma aware dia pembela rakyat.. mungkin di film berikutnya baru ada adegan Ghazul ngasih tahu “You’re a wizard, Harry” sambil bawa kue tart ahahaha

    • Febrian says:

      Seneng deh di sini ada juga yg ngerasa geleuh sama dialog ‘aku rakyat’ hahahaha… Mbok ya kalo belom tau dirinya jawab aja, ‘Anda tak perlu tau siapa saya..’.
      Kalo baca teori2 fans katanya Sancaka ini reinkarnasi atau titisan atau apalah gitu istilahnya dari Gundala jaman dulu. Makanya dia ga tau kalo dia Gundala dan yg tau cuma Ghazul. Tapi ga tau dah itu dia tau dari mana. Hahaha… Jadi kayak bang Arya bilang gitu, Sancaka macem Harry Potter yg ga tau dia itu siapa.

      • arya says:

        Kalo dipikir-pikir nama Gundala itu memang ‘aneh’ sih ya… superhero seperti Spider-man, Iron-man, Captain America mendapat sebutan itu karena jelas berhubungan dengan atribut mereka. Manusia laba-laba. Manusia robot besi. Pejuang dengan perisai berlogo Amerika. Rakyat merespon terhadap persona topeng superhero mereka. Sancaka enggak punya ‘momen nama’ seperti ini. Apa artinya Gundala? Bagaimana seseorang bisa mendapat nama Gundala? Dalam film ini disebutkan Gundala adalah semacam ‘mitologi’ jawa; sudah ada Gundala sebelum Sancaka. Dan ini semua mungkin akan dijelaskan di entry-entry berikutnya. But still, cerita di film jadi kurang lengkap. Sancaka seharusnya dibuat punya sebutan versi dirinya sendiri, yang konek dengan masyarakat – menyemenkan kepahlawanan dirinya. Dalam film Gundala ini dia cuma nyebut dirinya “Rakyat”, makanya ini jadi preachy dan sedikit maksa, karena kita enggak lihat gimana dia earn that name.

  14. Elki says:

    Yang disayangkan sih, pas adegan fight akhir. Banyak detil senjata para villain nya kurang ke-ekspos kamera. Contoh, si koki yang nyisipin pisau2 dapur di vest nya. Terus hannah al rasyid yang kayaknya bawa2 pisau bedah dan alat suntikan. Terus, pada adegan yg sama—gundala ceritanya kan lagi lemah karena intensitas hujan udah berkurang. Lemesnya dia itu gak berasa aja. Maksudnya, okay dia ngos2an, tapi saya sih berharap ada barang 1 atau 2 shoot liatin mimik wajah dia (kayak shoot iron man gitu, lho). Asmara abigail kacau banget deh, hehehe. Masa iya senjatanya cuman tas kulit sama pulpen?! Endorse tas made in cibaduyut kale… Sayang sekali si abah2 botak yang suka bilang “SARE!!!” mati begitu aja disini. Padahal dia satu2nya villain dgn kekuatan supranatural disini. Berpotensi sekali untuk jadi musuh yg sulit. Btw, pevita pearce cantik banget njirrr. Hannah al rasyid juga okay banget sih jadi villain. Sedari awal dia muncul di scene “Papah telefon…” ekspresi dia tuh udah beda aja. Apalagi pas muncul lawan gundala. Kostumnya itu, lho suka banget. Simple, tapi menjelaskan bahwa dia ini siapa (dari sudut pandang saya sih, dia jadi keliatan kayak suster2 bangsat yg doyan bunuhin pasuennya). Sorry panjang banget nih nimprung komennya.

    • Elki says:

      Oh iya tambahan, dialognya banyak yang gak kedengeran. Contoh, si pengkor pas mau mati, ada bbrp dialog yg pengucapannya itu susah dicerna. Terus, pas rekan kerja sancaka yg punya aksen betawi ngomong kadang artikulasinya ketutupan aksen.

  15. Farah says:

    akhirnya nonton juga kmrn setelah berhari2 jadi silent reader disini hahaha, sbnrnya yg mau diomongin udah hampir dibilang semua diatas.. cm mau nambahin sedikit aja, menurutku pribadi, kemunculan sri asih disini pun seperti kurang cocok ngga sih mas? ya aku tau tujuannya emg buat bikin penasaran sm film2 setelahnya, tapi apa ngga lebih bagus ditaro di post credit scene aja semuanya? krn kalo sri asih muncul dalam film utama, apalagi udah menunjukkan kekuatannya, aku sempet mikir kenapa ngga dia aja yg handle si pengkor? knp gundala harus sendirian? itu aja sih hehe

    • arya says:

      haha iya aneh sih emang; kalo memang Sri Asih mau bantu kenapa tidak muncul langsung ngibasin semua botol di tempat kejadian atau langsung nanganin Pengkor kan.. mungkin kekuatannya memang terbatas, atau mungkin ada alasan lain, tapi yang jelas di film ini dia seperti dimunculkan hanya untuk efek dramatis

    • 73hermantrio says:

      Kenapa Nick Fury ga sejak awal panggil Captain Marvel?Sejak kejadian The Avengers pertama? Krn belum terlalu darurat. Teori yg sama bisa berlaku disini, Sri Asih – 1)dia juga ada kesibukan di tempat lain atau 2) sudah tahu tentang Sancaka, dia hanya membantu di saat yang menurutnya krusial, sekalian sebuah hint bagi Sancaka untuk memikirkan setelah keadaan agak tenang bahwa “sepertinya ada yang lain yang modelnya seperti aku”

      • arya says:

        Iya sih, seperti Sancaka sengaja diberikan waktu untuk belajar kekuatannya sendiri dulu.. sepertinya Sri Asih sama seperti Ghazul; tahu Sancaka adalah titisan Gundala. Atau mungkin malah dia teman seperjuangan Gundala terdahulu

  16. Farah says:

    oh iya bener juga ya, tp mungkin bedanya kl di mcu kan captain marvel diperkenalkan setelah kita sudah awam sm bbrp tokoh jagoannya, sedangkan bcu ini di film pertama banget, jadi kayak kepecah aja gitu fokus ke gundalanya sendiri, imo.

    btw mas, mau update, bbrp hari yg lalu joko anwar bikin qna soal gundala di twitter, dan twistnya lumayan banyak ternyata, bbrp poin yg aku inget:
    1. pas adegan gundala lawan algojo algojonya pengkor yg terkesan mudah, katanya mungkin mereka sengaja, supaya gundala dapat full powernya untuk sesuatu misi seseorang (yg menurutku mungkin misinya ghazul, tapi aku malah jadi makin bingung kl bener mereka bekerjasama dengan ghazul :D).
    2. katanya petirnya itu gak cm petir biasa, krn ada yg setelah ntn kedua/tiga kali, notice kl petir itu kayak ada suara raungan, dan dijawab sm joko anwar, ‘iya petirnya hidup. nagih janji seorang pahlawan di masa lalu.’

    aku jadi mindblowing sendiri hahahaha

    • arya says:

      seru tuh soal suara petir dan masa lalu itu.. aku penasaran ada apa sebenarnya di masa Ki Wilawuk, janji apa yang dibuat, kenapa mesti Sancaka… apa jangan-jangan ibunya Sancaka superhero juga?

Leave a Reply