TWIVORTIARE Review

“Fighting is a part of healthy relationships”

 

 

Twivortiare agaknya permainan kata dari  sebuah kata bahasa rumania; divortiare (di-vor-ti-a-re) yang berarti perceraian. Dan memang, Twivortiare diangkat dari novel tulisan Ika Natassa yang actually adalah kelanjutan dari novelnya yang berjudul, you guessed it; Divortiare. Fiksi metropop tentang putus-nyambungnya pasangan suami-istri. From what I’ve gathered around the net, novel Twivortiare punya konsep yang unik. Kisahnya diceritakan melalui postingan twitter si tokoh utama. Pembaca dibuat seolah meng-scroll timeline si tokoh, membaca tweet demi tweet berisi curhatan, keluhan. Konsep yang menarik sebagai penceritaan untuk media visual.

Film, media audio-visual, ada juga yang menggunakan postingan sosial media sebagai alat utama untuk bercerita, tapi itupun ceritanya kudu mengandalkan misteri atau thriller. Karena gak ada deh pasti yang sudi datang ke bioskop hanya untuk membaca tulisan sepanjang waktu. Film-film yang menyisipkan chattingan seringkali dikritik males atau dituding sebagai usaha murahan untuk membuat ceritanya tampak modern. Makanya ketika di menit-menit awal menonton Twivortiare, aku udah mau meledak teriak “booo!”; satu layar bioskop itu hanya menampilan percakapan pesan twitter! Untungnya pembuat film masih waras dan wajah Raihaanun Soeriaatmadja dan Reza Rahadian kembali dimunculkan.

Karena kedua aktor tersebut were literally the BEST DECISIONS this entire film has ever made.

Penampilan akting Raihaanun dan Reza Rahadian benar-benar mengangkat film ini. Membuat materi yang membosankan menjadi seperti worth it untuk diikuti. Aku kaget sekali mendapati aku tersedot ke dalam cerita film ini. Yang gak punya misteri, gak punya aksi, yang literally nothing big happened. Aku, di luar kuasaku, jadi begitu peduli kepada dua tokoh sentral cerita. Well, setidaknya aku tertarik sampai akhir paruh pertama.

“nyebutin filmnya yang jelas biar gak disangka ngomong ‘twit wor diare’ sama mbak penjual tiket”

 

Raihaanun berperan sebagai Alexandra Rhea Wicaksono, seorang banker. A wife to Reza Rahadian’s Beno Wicaksono, seorang dokter kardiologi yang memandang pekerjaannya dengan serius. Beno memerhatikan para pasiennya. Beno kepada pasien sama seperti cerita-cerita Ika Natassa kepada nama lengkap tokohnya; harus! Jadi Alex merasa dinomorduakan. Kehidupan rumah tangga mereka dengan cepat hambar. Ditambah lagi, keduanya hobi banget bertengkar. Alex meminta cerai, dan Beno karena cintanya terpaksa mengabulkan. The story hasn’t ended yet, karena Beno tak pernah benar-benar hilang dari hati Alex. Dari hidup Alex. Setelah beberapa kali pertemuan pasif-agresif, mereka berdua saling jatuh cinta kembali. Semesta pun mendukung. Alex dan Beno rujuk. But still, the story hasn’t ended here. Alex dan Beno harus mengalahkan ‘penyakit’ lama mereka. Karena rumah tangga mereka sudah bubar satu kali. Masa sih mereka bakal terjatuh ke dalam lubang yang sama?

See, this is not the kind of story that I usually enjoyed. Tapi aku tak bisa memalingkan kepala dari tokoh-tokohnya, karena Raihaanun dan Reza mainnya bagus banget. Twivortiare ini mungkin contoh yang tepat sebuah film terangkat derajatnya oleh penampilan pemain. Kalo yang meranin pemain level menye-menye, aku mungkin sudah berteriak-teriak ngomenin setiap kalimat yang mereka ucapkan. Tapi film ini tidak. Dialog demi dialog mereka hidupkan dengan natural. Chemistry mereka menarik perhatian kita, dan menahannya supaya enggak kemana-mana. Pesona paling kuat jelas datang hubungan unik antara Alex dan Beno. Mereka musuhan tapi saling membutuhkan. Menyaksikan mereka berantem, adu argumen, low-key saling menyalahkan, sudah seperti candu. I mean, aku benar-benar menikmati siklus mereka perang-mulut, kemudian kontemplasi lewat masalah pekerjaan masing-masing, dan kemudian merasa amat sangat butuh untuk bertemu dan akhirnya baikan lagi. Ada adegan mereka berpura-pura masih suami istri ketika hendak menjual rumah, dan kemudian kompakan nyari alesan untuk tidak menjual rumah, karena masing-masing sadar mereka sebenarnya tak ingin menjual rumah yang menjadi saksi cinta mereka. Aku juga suka Beno tidak bertanya kenapa Alex balik lagi ketika dia melihat Alex yang tadinya mau jalan dengan pacar baru. Beno hanya menatap Alex, menyapa, dan mereka ngobrolin hal lain. Deep inside, Beno dan Alex tahu mereka masih saling cinta, namun mereka tidak tahan karena mereka terlalu sering bertengkar.

Great relationship disebut hebat bukan karena tidak pernah ada masalah. Semua hubungan pasti akan mengalami ketidaksetujuan, perbedaan, pertengkaran, kecemburuan. Great relationship justru ditempa dari semua itu. Dari cara pasangan menyelesaikan semuanya dengan cinta mereka. Tanpa itu semua yang menguji, tidak akan ada hubungan yang erat.

 

Pertengkaran-pertengkaran kecil sesekali diperlukan. Inilah yang perlu disadari oleh Alex. Karena dia selalu ‘kabur’ dari masalah. Cek-cok sedikit, ngajak pisah. Over the course of film, Alex tak tahu bahwa yang teman-temannya lihat, yang orangtua dia dan Beno lihat, bukan dia dan Beno berantem hebat. Mereka berantem sesungguhnya adalah di mata dan kepala mereka sendiri. Bagi orang yang luar, bahkan kita yang nonton, yang terlihat adalah dua orang yang saling mengingatkan, yang saling mengomunikasikan perasaan – apa yang mereka suka, apa yang tak mereka suka – yang saling berusaha untuk kompromi. Sebuah ciri hubungan yang sangat sehat, justru. Teman-teman Alex menggoda dirinya dengan istilah ‘drama’, tontonan seru.   Tak ada satupun yang mencemaskan Alex. Dan ini juga sebabnya kenapa kita begitu betah menonton dua orang yang ribut melulu.

hal positif berantem adalah; make up sex is the best sex

 

Bagian itulah yang tak tertranslate dengan baik ke dalam bahasa dan kebutuhan film. Cerita Alex dan Beno berusaha menyadari kuatnya hubungan mereka ini tidak punya stake. Kita percaya tidak ada yang bisa mengancam hubungan mereka. Cowok-cowok kantor yang datang mengirimi Alex bunga, tidak sedikitpun mereka tampak punya kesempatan. Kita sudah dibuat terlampu percaya bahwa dua tokoh ini saling cinta, dan pertengkaran-pertengkaran mereka itu bukan masalah. Melainkan bukti kuatnya cinta. Anggika Borslterli yang jadi sohibnya Alex bilang “Setiap kali lo curhat ada masalah ama Beno, gue gak pernah khawatir.” It’s true. Itu jugalah yang kita sebagai penonton rasakan. Tak pernah sekalipun aku mencemaskan Alex dan Bono bakal pisah lagi. Kecuali mungkin oleh kematian. Tapi bahkan kematian tak jadi soal karena ini adalah cerita tentang dua orang yang merasa gak cocok padahal mereka sudah ditakdirkan untuk bersama.

Jika Twivortiare adalah cerita yang dibuat khusus untuk film, katakanlah tidak ada novelnya, aku yakin pembuat film ini setelah midpoint akan mencari masalah baru – yang masih paralel dengan tema dan journey – dan memperbesar stake alias taruhan untuk para tokoh supaya cerita tetap menyala dan punya tantangan. Mungkin tokohnya dibuat pengen punya anak sebagai cara tak bertengkar lagi tapi gak bisa punya anak, so their choices will be limited sehingga konflik semakin menajam. Atau apalah, pokoknya yang membuat cerita berkembang dari paruh pertama. Tapi Twivortiare toh adalah novel pada aslinya. Konflik berulang tidaklah mengapa di sana. Namun pada film, jadinya membosankan.

Setelah midpoint, pertanyaan yang dipancing adalah apakah Alex dan Beno bakal terjauh ke lubang yang sama, dan ternyata justru ceritalah yang jatuh di lubang yang sama. Alias, kejadian yang datang menghadang Alex dan Beno basically sama saja dengan kejadian pada paruh pertama. Ada pria yang deketin Alex. Beno yang masih sibuk ngurusin pasien. Hanya variasi dari hal yang itu-itu melulu. Buat film, ini melelahkan untuk ditonton. Semenakjubkannya akting pemain, mereka overstay their welcome jika memainkan kondisi yang sama berulang-ulang. Not even cameo penulis Ika Natassa saat Alex dan Beno membahas ikan salmon menolong film untuk menjadi menarik kembali. Cerita seperti berlalu tanpa ujung. Dengan semua jawaban sudah kita ketahui, cerita hanya meninggalkan kepada kita sebuah pertanyaan baru; kapan selesainya nih film?

 

 

 

 

Aku bakal ngasih tujuh bintang, jika film ini berakhir pada midpoint ceritanya. Bahkan bisa saja delapan jika mereka melanjutkan dengan raising the stake and upping the ante. Tapi mungkin jadinya bakal lain dari gagasan awal cerita. Kalo aku jadi sutradara Benni Setiawan, aku pasti udah gatel setengah mampus untuk memberikan tantangan yang lebih, karena melihat para pemain mewujudkan tokohnya dengan luar biasa. Sayang aja gitu, udah punya sekaliber Reza dan Raihaanun tapi tidak diberikan sekuens yang benar-benar wah. Tapi yah mau gimana. Ini adalah kisah adaptasi cerita novel and it settled itself at being what it is. Tak lebih. Tak kurang.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for TWIVORTIARE.

 

Comments

  1. lisakelyn says:

    Akhirnyaaa…hari ini dikit-dikit ngecek blog ini, menanti review film TWIVORTIARE. Gak berani nonton sebelum baca ulasan tajam Bang Arya. Terima kasihhhh

  2. Uli says:

    Batas pertengkaran sehat tidak membawa masa lalu

    Kenapa ya raihanun ini tiap main film selalu beda mukanya ngak kaya michele zuidith wkwkwk, saya menyebut dia artis indie filmnya gak banyak tapi bagus semua

  3. arya says:

    you’re welcome

    yea I think they should’ve tweaked the story a little to make it more suitable for cinematic storytelling. I liked Alex and Beno dynamic, really enjoyed the first-half of the movie, but then everything got staled

    • Aaron says:

      maybe concern from Alex’s parents about getting married for the second time, secretly meet and question the commitment of Beno about the future. Some personal meetup from other characters such as Dr. Rani meet Alexandra at one point could make things interesting. This is opinion from me who has not seen the movie.

      • arya says:

        Banyak banget yang bisa dilakuin untuk bikin cerita semakin menarik, tapi ya aslinya udah cuma di seputar itu-itu aja, kita bisa bilang apa ahaha

  4. Nidya Indah Utari says:

    Setelah baca review ini aku jadi mikir-mikir mau nonton apa ngga. Padahal di novelnya ada part dimana Alex ama Beno di pernikahan kedua ngerasa hopeless ingin punya anak tapi belum kunjung dikasih. Yang awalnya mereka enjoy hidup berdua, lalu mulai khawatir krn blm kunjung hamil, sampe dinyinyirin keluarga yang akhirnya mereka jadi down. Diceritakan bagaimana mereka berdua saling menguatkan, berusaha mendekatkan diri sama YME sampai akhirnya Alex hamil.. Aku sampe ikutan nangis terharu pas baca moment ini di novelnya. Sayang banget ga masuk ke cerita di filmnya 🙁

    • arya says:

      lah.. kenapa bukan ini yang dimasukin ke film ya? Di film disebutin sekilas dari saran Wina untuk punya anak, tapi dianggap angin lalu aja sama Alex.. padahal kalo udah di tengah-tengah dimasukin soal anak kayak yang mbak bilang ini, ceritanya jadi berkembang… Aneh deh ini film, aku tak tahu lagi hhaha -,-

    • Nindya says:

      itu bukan di twivortiare 2 ya mba? hehehee, maaf kalo salah. saya belum baca bukunya. tp ketika baca sinopsis untuk twivortiare 2, memang berpusat pada keinginan mereka punya anak..

  5. FajarNugrahaA. (@fajarboboii) says:

    Tadi galau pengen nonton ini atau gak karena blm ada review positif (takutnya zonk), karena si Gundala penuh dan waktu mepet juga karena siang ada urusan keluarga.
    Oke deh kalau udah nonton Gundala saya jadwalkan nonton ini.
    Thx mas Arya buat reviewnya.

  6. Albert says:

    Baru nonton aku mas. Belain gundala sama it duluan. Cuma penasaran, sampai titik mana filmnya harusnya selesai buat nilai 7 mas?

    • arya says:

      sampai rujuk lagi haha… udah cukup sampai di situ kita udah lihat mereka berantem gimana, musuhan tapi saling membutuhkannya gimana, kemudian saling menemukan cinta lagi gimana.

      kalo memang mau lanjut cara mempertahankan, tantangannya dibuat beda – makin gede, jangan diulang kayak kembali gitu-gitu melulu

      • Albert says:

        Wah belum cukup kalau aku. Kan belum ada tantangan pas tinggal bareng lagi gimana , kalau enggak serumah, apa udah ada kemajuan dari pas pertama nikah hehehe. Aķu cukup mungkin sampai beno nyusul ke apartment mungkin ya. Terharu juga kan dia egois tapi mau sakit2 nyusul. Adegan di apartmentnya juga hangat hehehe.

        • arya says:

          Memang sih, kalo film berenti pas mereka rujuk, ceritanya jadi tentang Alex menemukan cintanya kembali saja. Bukan lagi seperti yang dimau filmnya. Tapi mereka melanjutkan dengan tantangan yang itu-itu saja; pertanyaan utama cerita sudah berlanjut ke ‘apa sudah ada kemajuan dari pas pertama nikah’ tetapi tantangan yang dihadirkan tetap sama dengan bagian awal – tidak ada penambahan intensitas atau tantangan baru – jadi kita kayak nonton kembali ke awal, hanya saja kali mereka enggak nikah.

          Jadi lebih ke ada repetitifnya itulah yang mengurangi nilai, bukan pemilihan cerita. Kalo distop di rujuk, belum tentu ceritanya lebih bagus tapi setidaknya tidak ada pengulangan dan di situ sudah ada juga awal-tengah-akhir bagi Alex.

  7. 73hermantrio says:

    Bagi saya pribadi,kalau sebuah film bisa menampilkan isi novel (core-nya) itu sudah bagus.Kalau kita berekspetasi lebih,mungkin semestinya PH berkompromi untuk menggabungkan unsur “pingin punya anak” sehingga durasinya 103 menit menjadi 2 jam 20 menit mungkin, dan ini tantangan tersendiri.Atau mungkin PH pengen liat ,sesukses apa film ini lalu berlanjut pada babak ke 2.

    • arya says:

      Ya benar, soal cerita memang sudah tidak bisa diganggu gugat, terlebih ini adalah saduran dari media lain jadi pembuat filmnya bahkan jadi semakin tidak fleksibel. Tujuan utamanya, yakni core novelnya, juga sudah tersampaikan. Namun penilaian tetap harus menilik dari kaidah film, karena ini memang sudah jadi film. Menurutku itulah ‘kesalahan utama’ film-film adaptasi novel; lebih mudah untuk mencapai tujuan cerita novelnya, ketimbang sekalian berusaha mengembangkan/mengadakan penyesuaian dengan kaidah film – karena kebanyakan hal yang berbeda ntar malah pembaca novelnya yang protes – jadi memang aim film-film adaptasi kebanyakan enggak tinggi-tinggi amat, cukup sesuai novel dan menyenangkan penggemarnya saja.

Leave a Reply