LORONG Review

“Mom knows best”

 

 

Apapun situasinya, kata-kata ibu seringkali benar pada akhirnya. Mungkin karena beliau adalah sata-satunya wanita yang mengenal kita lebih lama daripada siapapun, atau mungkin karena kita hidup sembilan bulan di dalam perutnya, ibu selalu punya cara untuk membuktikan dia benar-benar benar dalam hal melindungi dan mengkhawatirkan kita. Film horor Lorong garapan Hestu Saputra memperlihatkan kepada kita sekuat apa naluri keibuan seorang wanita jika sudah menyangkut keselamatan buah hatinya.

Bukannya bermaksud spoiler loh. Dengan menggunakan pendekatan dramatic irony dalam bercerita, sedari bagian awal film sudah memberitahu kita bahwa firasat Mayang (Prisia Nasution berhasil membuat tokohnya simpatik dan enggak annoying) soal bayinya yang baru lahir bukanlah ‘firasat’ at all. Bahwa ada sesuatu yang ganjil terjadi di rumah sakit tempat ia bersalin. Kita sebagai penonton sudah ditanamkan untuk percaya kepada Mayang alih-alih ke suster-suster rumah sakit. Sehingga di awal-awal – kurang lebih babak satu dan babak dua, aku enjoy menonton ceritanya. Kupikir tidak bakal ada twist “wah ternyata Mayang benar!” karena gak semua cerita horor harus ada twist. I just excited dan cukup terinvest untuk pengen mengetahui ke arah mana cerita ini akan berlabuh. Di titik mana komponen utama; Mayang, seorang pria petugas janitor yang mencuri dari dokter-dokter, dan para staff rumah sakit akhirnya bertemu.

sepertinya semua berakar dari ‘wanita selalu benar’

 

Film ini seperti berganti genre tiga kali. Dalam babak set up, horornya terasa psikologikal. Adegan pembuka saja benar-benar kuat dari sudut pandang Mayang, ibu hamil yang sedang dalam prosesi persalinan. Ketakutan seorang wanita terpancar sekali dari ekspresi Mayang yang sendirinya dalam fase off oleh pengaruh obat bius. Kekhawatiran akan keselamatan bayi. Kengerian berada dalam posisi tak berdaya, sembari melihat sejumlah orang dengan alat-alat bersalin, menengadah menatap lampu yang menyilaukan. Tambahkan konteks; ini adalah hamil pertama Mayang, dan dia sudah berbuat banyak untuk menyambut anak pertamanya. Dalam sebuah flashback, kita diberitahu Mayang sampai mempersiapkan dua dekorasi untuk mengantisipasi bayi yang lahir cowok atau cewek. Motivasi dan ketakutan terbesar Mayang sudah terlandaskan dengan kuat pada sepuluh menit pertama. Bersamaan dengan hilangnya kesadaran Mayang, kita juga di-cut dari adegan persalinan dan bertemu kembali dengan Mayang  di ranjang rumah sakit. Tanpa anak bayi di sisinya. Mayang bersikukuh kepada semua orang; kepada suaminya, kepada para suster, kepada siapa saja bahwa anaknya masih hidup.

Cerita mulai mengingatkan pada Rosemary’s Baby (1968) pada bagian tokoh utamanya mulai yakin ada konspirasi penghuni apartemen terhadap ia dan bayinya. Sama seperti Mayang yang terus menerus menelurusi lorong-lorong rumah sakit mencari bayinya yang disebut sudah meninggal (dikuburkan langsung oleh sang suami). Menyaksikan dan mendengar hal-hal yang mencurigakan. Kita bahkan melihat lebih banyak daripada Mayang. Kadang kita dibawa mengikuti suster atau si janitor. Dan juga ada hantu yang terus mengikuti ke mana Mayang pergi, mencoba memberi tahu sesuatu kepada dirinya. Film seharusnya mengeksplorasi setiap sudut pandang cerita dengan lebih dalam, karena di titik ini ceritanya sudah less-psychological. Film butuh untuk mengembangkan rumah sakit sebagai set yang bernyawa – sebagai dunia yang punya cerita sendiri sebab misteri yang disajikan sudah membesar.

Alih-alih, film malah menyandarkan diri pada kemunculan hantu. Padahal sebenarnya justru si hantu inilah salah satu yang enggak diperlukan. Film bisa bekerja dengan sama baiknya jika hantu tidak ada. Karena horor sebenarnya datang dari ketakutan Mayang akan bayinya. Bukan dari penampakan hantu. Malahan, si hantu justru lebih sering muncul dan terlihat oleh kita, dibandingkan oleh Mayang. Sehingga membuat kita dan Mayang kadang tidak sejalan; Kita takut sama hantu, sedangkan Mayang takut sama nasib bayinya. Inilah masalah pertama yang kurasakan saat menonton Lorong. Masalah yang berbuntut panjang. Mereka seharusnya menyiapkan waktu lebih banyak untuk pembangunan dunia terkait dengan misteri apa yang sebenarnya terjadi. Banyak yang harusnya dikembangkan; si janitor, si suami, rumah sakit, bahkan si Mayang sendiri. Since film memutuskan untuk banyak memakai flashback dan dream sequence (yang terkadang dua ini digabungkan), alangkah lebih baiknya jika momen-momen flashback itu digunakan untuk pengembangkan karakter Mayang pada kehidupan normal. Supaya memperdalam lapisan karakternya. Karena sepanjang film ini kita hanya melihat dia tertatih-tatih kebingungan dan kesakitan di rumah sakit, panik mencari bayinya. Kita tidak pernah melihat dia lebih dalam sebagai seorang wanita. Kenapa dia pengen punya anak, misalnya. Kenapa kita harus percaya dia bakal jadi ibu yang baik, sehingga nalurinya juga bisa dipercaya.

Sepertinya memang tidak ada penjelasan kenapa ibu bisa tahu segala yang terbaik untuk anak. Film memperlihatkan koneksi spontan antara Mayang dengan bayinya; meski dalam keadaan terbius dia tahu bayinya ada di sana. Jika di dunia ini memang ada sihir, maka hubungan ibu dengan anaknya bisa jadi adalah contohnya.

 

Tapi film seperti enggak pede jika tidak ada hantu. Aku bisa membayangkan saat pitch cerita, PH meminta untuk menambahkan hantu lantaran menganggap penonton hanya akan menonton hantu-hantuan belaka. Karena memang si hantu dalam Lorong ini seperti tambalan saja. Tambalan tapi sering. Jadi filmnya kayak kain buntelan gelandangan di kartun-kartun jaman dulu. Film seperti tidak mengerti bahwa horor kejiwaan dan manusiawi itu sebenarnya lebih mengerikan daripada sosok mengerikan dan ritual berdarah. Sehingga film memilih sebuah keputusan yang amat, sangat, murahan dan sesedikit sekali logika untuk mengakhiri cerita. Persis seperti kesalahan yang dilakukan oleh Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018). Semua hal menjadi sangat over-the-top setelah pengungkapan di babak akhir. Ada satu tokoh yang kalem, ternyata jadi menggelinjang sok-gila. Cerita horor psikologis dan thriller konspirasi itu ditarik ke alam baka oleh penjelasan tentang cult yang maksa, hanya untuk mengecoh penonton. Bayangkan Rosemary’s Baby yang berakhir dengan babak ketiga Suspiria (2019). Enggak cocok.

siapkan dirimu untuk siluman harimau random yang bisa terbang menerkam

 

Dan plot Mayang menjadi semakin aneh karena kejutan di babak terakhir film tersebut. Jika memang benar naluri ibu selalu benar, maka kenapa dia masih bisa ditipu oleh orang terdekatnya? Ini literally musuh dalam selimut hahaha.. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh film dengan memasukkan sekte dan ritual yang berlangsung di balik tembok steril rumah sakit? Kenapa ceritanya berubah drastis menjadi manusia yang pengen kesembuhan dan meminta kepada sosok yang salah karena mereka ‘dicuekin’ oleh pengobatan yang sah?

Penanaman yang dilakukan oleh film hanya supaya twist ini enggak mengada-ada. Untuk pemakluman belaka. Seperti misalnya; aku sempat merasa aneh juga rumah sakit yang punya CCTV tapi masih kesulitan mencari Mayang yang jalannya aja belum lurus. Punya CCTV tapi si janitor maling tetap sukses menjalankan aksinya. Ataupun soal suami yang tidak mendampingi istrinya melahirkan. Semua alasan itu dijelaskan di akhir, sehingga seolah twistnya make sense dan dipikirkan dengan matang. Padahal bukan sebatas itu yang kita butuhkan. Kita butuh untuk diyakinkan kenapa pelakunya melakukan hal tersebut. Motivasi mendalam seperti demikian yang tidak pernah ditanamkan. Hubungan sebab akibat dan aturan main ritual. Kenapa musti bayi Mayang, padahal ada banyak bayi di rumah sakit itu. Kondisi seperti apa yang dibutuhkan. Twist di Suspiria bekerja dengan baik karena diperlihatkan aturan kerja si institusi jahat – ada subteks soal matriarki dan kekuasaan yang membayangi, yang jadi konflik buat tokoh utamanya. Ending Rosemary’s Baby terasa begitu kuat lantaran kita mengerti konflik tokoh utama seputar kecenderungannya lebih mementingkan orang lain. Dalam Lorong, twistnya hanya sebatas di kejadian dan endingnya pun tidak mengubah apa-apa terhadap Mayang.

 

 

 

Kebanyakan horor yang benar-benar bagus memang mengangkat psikologi dan kerapuhan seorang manusia terhadap hal yang ia cintai. Horor yang baik sejatinya adalah drama dari hal-hal yang ditakuti manusia. Takut kehilangan anak, misalnya. Film ini punya bahan-bahan yang tertulis dalam resep horor yang bagus. Tokoh utamanya adalah seorang wanita, seorang ibu. In line dengan horor modern seperti Hereditary (2018), The Babadook (2014), Bird Box (2018), The Prodigy (2019), Us (2019). Tetapi film Hestu Saputra ini gagal menjadi sebesar mereka lantaran tidak konsisten dalam menetapkan dirinya. Tidak satupun dari film-film itu yang menggantungkan diri pada twist over-the-top, tidak satupun yang menggunakan hantu hanya untuk mengageti penonton. Sebuah penceritaan butuh konsistensi dan berani untuk mengembangkan drama karakternya. Film ini terlalu takut untuk itu semua.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for LORONG.

 

 

Comments

Leave a Reply