“Being scared means you’re about to do something really, really brave.”
Menjalin hubungan itu mengerikan. Kalian tau perasaan ketika kita merasa berbuat sesuatu yang bodoh di depan pasangan dan menyangka semua bakal kacau padahal kita mau sesuatu yang spesial dan tak ingin sendirian lagi? Perut seperti berjumpalitan jatuh, atau keringat dingin menerpa? Nah, perasaan seperti itu juga sama dirasakan saat mau masuk ke rumah hantu. Jika relationship normal saja bisa seseram itu, maka bayangkan rasa takut yang menjalar di dalam diri seorang Harper (cuma Katie Stevens yang beruntung dapat tokoh yang paling ‘berdaging’ di film ini). Yang terjebak dalam hubungan bersama pacar yang abusive. Enggak ada yang fun soal abuse. Harper sudah tidak asing dengan melarikan diri dari itu, lantaran si abuse ini memang cenderung mengejar, menghantui korban-korbannya. Malam Halloween sekarang, Harper memutuskan untuk ikut ‘ngacir’ bersama teman-temannya. Mereka mengunjungi sebuah wahana rumah hantu untuk bersenang-senang. Just like in relationship; kalian melangkah masuk ketakutan tapi begitu sudah di dalam, kalian akan bersenang-senang. Sayangnya, rumah hantu yang Harper dan teman-teman masuki persis kayak abusive relationship si Harper. Membuat mereka terjebak. Para kru rumah hantu tersebut menggunakan kekerasan yang teramat nyata.
Haunt yang digarap oleh Scott Beck dan Bryan Woods (baca: penulis A Quiet Place yang tayang tahun 2018) dimulai seperti horor remaja kebanyakan; dengan keputusan buruk yang dibuat oleh anak muda. Tapi cerita film ini punya fondasi yang kuat, yang membuatnya megah dibandingkan film bunuh-bunuhan serupa. Film ini tidak sekadar mengagetkan kita dengan petualangan di rumah hantu. Ada perkembangan tokoh di sini. Ada perjuangan seorang manusia dalam mengatasi ketakutan personalnya. Rumah hantu dijadikan simbol dari sumber ketakutan yang harus diatasi oleh tokoh utama. Mirip seperti Crawl (2019) yang menjadikan buaya sebagai cambuk motivasi tokohnya. Haunt dan Crawl bisa dibilang adalah contoh horor efektif, yang sederhana, yang simpel dan tak berniat sok pintar dengan segala twist yang gak perlu.
Backstory Harper disulam dengan sangat rapih ke dalam petualangan survival di rumah hantu, sehingga tidak sedikitpun pace film ini tersendat. Masalah masalalu sang tokoh utama tidak lantas menjadikan film ini seperti berhenti, ataupun masalah tersebut tidak terasa seperti tambalan semata. Semua yang terjadi pada Harper paralel dengan masalah yang sedang ingin ia hindari. Yang untuk bercerita tentang itu saja, Harper tidak berani. Dengan fondasi backstory yang kuat ini, kita jadi peduli sama Harper. Kita berjinjit mendukungnya untuk bisa keluar hidup-hidup dari rumah hantu sinting tersebut. Film juga punya nyali untuk menuntaskan masalah yang jadi latar belakang Harper. Kita mendapat ending yang memuaskan. Tentu saja tak ketinggalan ‘kalimat pamungkas’ yang diucapkan oleh si tokoh sebagai penghabisan seperti pada horor-horor klasik. Sesuatu yang bisa kita cheer dengan penuh nada kemenangan.
Semua orang punya cerita seram. Karena setiap orang pernah mengalami suatu hal buruk yang ingin diitinggalkan. Tapi trauma akan selalu menemukan cara untuk menakutimu. Kita tidak bisa memakaikan topeng kepada trauma. Kita tidak bisa membuat sesuatu yang menakutkan menjadi menyenangkan, yang menyakitkan menjadi menyejukkan. Dalam Haunt, Harper belajar bahwa takut berarti kesempatan untuk menunjukkan keberanian. Dan memang itulah pelajaran berharga dari rumah hantu; mengajarkan untuk menjadi berani.
Selain Harper, tidak ada lagi tokoh yang ditulis padet dan berisi. Tapi film sangat bijak untuk tidak membuat mereka annoying, ataupun membuat kita pengen mereka cepat-cepat mati. Teman-teman Harper misalnya, memang sih mereka ditulis sebagai trope horor saja – mereka seperti tidak punya motivasi sendiri. Kita tidak benar-benar merasa kasihan jika salah satu dari mereka mati. Jikapun kita ingin ada yang selamat, itu supaya mereka bisa terus membantu Harper. Tapi mereka tidak bego. Mereka kerap membuat keputusan yang menunjukkan perlawanan terhadap rumah hantu. Mereka berpikir, cukup resourceful. Bahkan di paruh pertama, narasi maju bukan karena Harper seorang, melainkan karena keputusan yang mereka buat bersama. Aku suka cara film mengantarkan kita ke titik no return; yakni dengan memperlihatkan para tokoh beneran pengen balik melewati jalan yang sudah mereka lalui. Efek emosional ketika mengetahui mereka tidak bisa balik lagi benar-benar terasa kuat, intensitas langsung naik, seakan kita ikut berpartisipasi dalam ketakutan mereka. Hanya ada satu masalah yang cukup besar buatku mengenai majunya narasi terkait pilihan tokoh-tokoh ini. Ada satu keputusan bego (banget) yang dibuat oleh tokohnya – aku gak mau spoiler banget tapi ini cluenya: terkait urutan keluar dari lorong kecil. Aneh juga, dengan arahan yang tight seperti begini, masih ada juga adegan yang konyol. Mereka harusnya lebih berhati-hati menulis adegan tersebut.
Hanya satu itu yang menggangguku. Suwer. Selebihnya, film ini terasa sangat menghibur. Tegangnya dapet, karena film sangat cakap menguasi editing dan pemakaian suara. Perasaan terkurung di dalam lorong rumah hantu itu dapat kita rasakan berkat suara-suara yang tidak berlebihan dan timing yang pas. Film tahu kapan harus menggunakan suara latar yang sangat kecil seperti decitan kayu atau desau angin pada terpal dan kapan waktunya digunakan suara yang cukup keras. Kamera pun bijaksana merekam dan menge-cut adegan demi adegan dengan presisi sehingga kita tak pernah ketinggalan sekaligus tak tahu terlalu banyak. Dan ini menambah kesan misterius yang meningkatkan suspens cerita.
Cara yang sama juga film lakukan terhadap para kru rumah hantu. Kita cukup tahu mereka semua orang gila yang haus darah, yang membuat wahana supaya bisa menyiksa anak-anak muda yang hanya pengen merayakan halloween. Kita cukup tahu mereka semua memang lebih baik pakai topeng saja; film tampaknya bermain-main dengan candaan lama “lebih serem aslinya daripada topengnya”. Kita cukup tahu mereka semua semacam kelompok sesat. Dan bijaksananya film adalah kita hanya dicukupkan untuk tahu semua itu saja. Cerita tidak dibuat ribet dengan membahas kenapa lebih lanjut. Karena fokus narasi toh bukan pada mereka-mereka ini. Lagipula mengetahui dari mana mereka dapat duit membangun rumah hantu, misalnya, akan mengurangi kemisteriusan sehingga mungkin kita tak akan menjadi takut lagi kepada mereka.
Rumah hantu adalah wahana favoritku. Ada masa ketika aku rela pulang pergi Bandung-Jakarta hanya untuk nyobain rumah hantu. Sekarang sudah jarang, karena mulai tergantikan dengan ‘escape room’ semacam Pandora. Tema rumah hantu dan escape room menarik dan kreatif, hanya saja sering terlalu gelap sehingga membuatnya setnya enggak kelihatan. Nonton Haunt ini aku seakan mendapat moment “I told you so!” lantaran rumah hantu dalam film ini terang benderang. Dan tidak mengurangi keseramannya. Jadi, ya aku mau nyelipin kritik buat wahana rumah hantu dan semacamnya di Indonesia; cobalah sekali-kali jangan terlalu gelap. Tontonlah Haunt. Set film ini begitu menakjubkan, sehingga aku merasa pengen ikut masuk menjelajah rumah hantunya. Jenis-jenis trik yang diperlihatkan sangat beragam. Teka-teki sederhana yang dihadirkan dalam satu ruangan bisa membuat malu seantero film Escape Room yang tayang awal tahun 2019 ini. In fact, semua aspek film Haunt akan membuat malu film Escape Room. Haunt membuat semuanya tampak manusiawi, tampak plausible, tampak beralasan, sementara Escape Room terlihat sok kece dengan tokoh-tokoh standar yang nyebelin. Aku bahkan ilang selera untuk ngereview setelah nonton. Tidak seperti Haunt yang bikin semangat untuk menuliskannya.
Untuk sebuah horor tentang rumah hantu dengan tokoh-tokoh anak muda, film ini amat sangat menghibur, dengan fondasi cerita yang kuat. Jarang ada pembuat film yang seserius dan seniat ini, yang tidak menganggap remeh target penontonnya. Film ini tidak dibuat receh dan konyol. Melainkan punya isi. Membuatnya semakin bisa dinikmati. Menakutkan, menghibur. Setelah semua darah, kekerasan, senang sekali melihat sesuatu yang masih punya hati.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for HAUNT.
That’s all we have for now.
Setujukah kalian dengan penggambaran korban dan pelaku abuse yang dilakukan oleh film ini?
Share with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.
warkop nya mana nang teview nya
hahaha enggak ada, aku cuma ngereview film dan wrestling 😀
cuma penasaran bakal sesarkas apa kalau lu review warkop bang….secara katanya bersambung lg
hahaha karena bersambungnya itu aku gak mau review… cukup Benyamin dan Pariban aja yang direview sebagai peringatan dan pelajaran.. yang berikutnya enggak bakal ku apresiasi lagi tuh produk-produk bersambung yang katanya ‘film’
padahal aku mau nonton warkop nunggu review kakak
ahaha kalo pengen lihat Aliando atau Adipati Dolken, kamu nonton aja.. aku enggak akan soalnya samasekali enggak ada alasan buat nonton xD
Dengan segala review positif ternyata cuma dapat nolak 6,5 aja?
Kok sekarang ga ada , pertanyaan di akhir review ya ?
Soalnya ada satu adegan bego yang paling mengganggu, yang aku sebutin di review itu.. jadi filmnya masuk ke kategori “mestinya bisa lebih baik lagi” alias kelompok angka 6.5
Ada kok pertanyaannya di bawah seperti biasa hehehe