AD ASTRA Review

“In space, no one can hear you cry”

 

 

Diartikan “Ke bintang”, Ad Astra pantas kita sebut sebagai film road fantasi yang sangat filosofis. Elemen-elemen road-trip dapat kita jumpai dalam film ini, hanya dengan skala yang sangat besar (skala jutaan tahun cahaya!). Tujuan tokoh film ini bukan sebatas suatu kota atau tempat yang jauh. Melainkan luar angkasa; ke planet terjauh yang sanggup dicapai oleh manusia. Tapi selayaknya cerita-cerita road-trip, ini adalah cerita pencarian melihat ke dalam diri. Semakin jauh kita mencari, akan semakin dalam kita menyelami personal. Karena perjalanan bukan soal tujuan, melainkan tentang proses berjalan itu sendiri.

Yang dicari oleh astronot paling macho dari Amerika bernama Roy ini adalah kebenaran soal ayahnya. Ayah yang telah lebih dulu menjadi astronot terhebat dan sudah lama menghilang dalam salah satu misi mencari keberadaan alien pintar demi kesejahteraan manusia. Bagi Roy, however, si ayah sudah ‘menghilang’ semenjak ia masih kecil; masih bukan apa-apa. Dalam salah satu musibah di perbatasan orbit, Roy mengetahui sang ayah ternyata masih hidup di suatu tempat di planet Neptunus. Dicurigai ayah Roy-lah yang bertanggungjawab atas peristiwa surge medan listrik yang mengacaukan teknologi hingga ke Bumi. Jadi Roy menerima misi ini. Sepertinya hanya Roy yang bisa berkomunikasi dengan ayahnya – dan kita tahu Roy punya banyak pertanyaan personal untuk sang ayah terkait hubungan mereka dan dirinya sendiri.

Kulari ke Kawah Bulan

 

Bukan perkara mudah yang dihadapi oleh sutradara James Gray dalam menangani cerita sci-fi luar angkasa yang epik digabung dengan cerita tokoh yang amat personal semacam ini. But he did it, Ad Astra is a really well-made movie. Visualnya terlihat menakjubkan, seolah kita benar-benar berada di luar angkasa. Menyaksikan bola biru dari atas sana lewat film ini membuatku merasa semakin menyesal dulu enggak mengejar cita-cita jadi astronot. Elemen fantasi dikeluarkan lewat gambaran film ini tentang masa depan manusia. Menyenangkan – dan memberi harapan at some degree – menyaksikan bulan sudah menjadi tempat tujuan wisata umat manusia. Salah satu set piece yang paling seru di film ini adalah keadaan di bulan, lengkap dengan toko-toko sehingga sudah seperti mall. Sementara film juga memberikan informasi bahwa ada tempat di bulan yang tidak bisa dieksplorasi karena kita hanya melihat satu sisi bulan saja pada kenyataannya. Pembangunan seperti ini yang membuat dunia Ad Astra tampak realistis meskipun ceritanya lebih mudah untuk kita percaya sebagai visualisasi isi kepala dan kontemplasi hati tokoh utamanya.

Musik film ini pun terasa begitu menyentuh. Dengungan angkasa, bunyi-bunyi teknologi, menguatkan atmosfer begitu kecil dan sendirinya seorang manusia di alam semesta. Dalam sense ini, aku merasa film ini berhasil membuat diriku membenci – bahkan takut – dengan luar angkasa. Space adalah sesuatu yang selama ini jadi sumber fantasi geek kita, dan Gray membuat planet-planet dan galaksi menjadi tempat yang suram. Karena begitulah yang dirasakan oleh tokoh utama. Dan film dengan suksesnya mengedepankan sudut pandang si Roy ini dengan konstan. Kita hanya melihat yang ia lihat. Kita merasakan apa yang ia rasa. Penampilan Brad Pitt sebagai Roy membungkus semua elemen – visual, penokohan – yang dihadirkan oleh film dan menghidupkannya sehingga kita terus menyaksikan film ini. Sesekali menguap mungkin, karena tempo cerita yang lambat. Namun kita akan susah untuk berpaling karena gaya tarik penampilan Pitt dan indahnya gambar bergerak itu terasa lebih kuat daripada gaya tarik bumi yang menyuruh kepala kita untuk nunduk dan tidur. I don;’t know, Pitt boleh jadi dapat dobel nominasi di Oscar tahun depan untuk perannya di film ini dan di Once Upon a Time… in Hollywood (2019)

Inti cerita ini terletak pada psikologi karakter si Roy. Dia yang seperti menutup diri demi pekerjaannya bertindak sebagai telaah soal maskulinitas yang disampaikan oleh gagasan film. Kita mendengar Roy bergumam bahwa senyum dan tawa hanya sekedar saja sebagai pelengkap sempurnanya sandiwara. Eh sori, itu lirik lagu Pance kecampur. Tapi memang, kurang lebih sama seperti begitu deh yang diucapkan Roy. Penting bagi Roy untuk menampilkan persona luar yang keren karena dia adalah astronot hebat.’Mitologi’ seorang Roy adalah denyut jantungnya selalu stabil di angka rendah, apapun kondisi yang sedang terjadi padanya. Roy harus hebat karena dia adalah anak bapaknya – yang juga seorang astronot hebat. Roy yang ditinggalkan oleh ayah yang ia idolakan sangat ingin mengejar jejak sang ayah, sehingga secara tak sadar ia telah menjadi ayahnya. Jauh dari setiap orang di Bumi yang cinta kepadanya. Semakin Roy terbang jauh di atas sana, perasaan kesepian Roy ini semakin besar. Kita melihat dia tak pernah sepenuhnya konek dengan orang-orang yang ia temui dalam perjalanan ke Neptunus. Film lokal Pretty Boys (2019) yang tayang di minggu yang sama dengan film ini, juga membahas soal anak laki-laki yang pengen membuktikan sesuatu kepada ayahnya, dan dia tak sadar sudah menjadi seperti ayahnya. Kalian mungkin ingin menonton film tersebut untuk membandingkan pendekatan yang dilakukan oleh kedua film ini terhadap tokoh seperti demikian – terutama karena genre yang berbeda, yang satu diceritakan lebih ke komedi yang ringan, sedangkan film yang ini lebih ‘berat’ dan penuh filosofi.

Manusia membuat kesalahan. Manusia adalah makhluk tak sempurna yang kadang rakus, tamak, ataupun bisa takut. Perjalanan Roy ke planet nun jauh membawanya semakin dekat dengan sang ayah dalam sense Roy haruslah menjadi astronot sempurna untuk bisa sampai ke sana. Tapi di balik itu, dia juga semakin menemukan rasa kemanusiaan yang selama ini jauh darinya. Dan saat dia melimpah oleh semua itu, Roy menyadari dia sendirian. Tidak ada yang mendengar tangisnya, karena dia jauh – di Neptunus dan di hati orang-orang. Itulah yang menjadi momen pembelajaran bagi Roy. Dia tak lagi mencari jalan keluar. Melainkan jalan pulang ke Bumi, kembali kepada orang-orang tak-sempurna yang mencintainya.

 

While pertemuan dengan ayah menjadi puncak pembelajaran buat Roy, yang mengantarkan kita pada momen keren seperti ketika ayahnya meminta supaya Roy melepaskan ‘hook’nya dari dirinya. Namun seperti pada film-film road-trip, tokoh-tokoh lain yang ditemui oleh Roy hanya berfungsi untuk membuka pandangan baru baginya. Untuk membuat Roy melihat lebih jauh ke dalam dirinya. Karena ini adalah cerita yang berpusat pada personal Roy, maka tidak ada tokoh lain yang benar-benar berarti dan memiliki kedalaman. Dialog mereka hanya berupa eksposisi, ataupun seacra gamblang memberikan gambaran yang sesuai dengan pembelajaran berikutnya yang harus disadari oleh Roy.

Kejadian yang dialami Roy dalam perjalanannya terlihat random dan seperti meniru elemen-elemen film lain. Atau mungkin malah sengaja sebagai tribute karena film angkasa luar punya banyak referensi yang populer. Roy terlibat kejar-kejaran mobil ala Mad Max di bulan. Di lain waktu dia berkutat survive dari monyet laboratorium angkasa. Semua hal tersebut tampaknya bisa dijadikan fokus film yang lebih menarik dan mainstream. Tapi Ad Astra tidak tertarik karena ini adalah cerita kontemplasi. Semua kejadian menarik itu kita tinggalkan karena Roy perlu merenung dan bicara dalam hati memproses semua itu, memparalelkannya dengan yang harus ia pelajari

menakjubkan manusia berperang hingga ke luar angkasa

 

Narasi voice-over Roy juga akan sering kita dengar. Menjelaskan beberapa hal. Mengajukan pertanyaan. Menunjukkan apa yang harus kita lihat. Memang seringkali terdengar sebagai eksposisi berlebih, yang terlalu menuntun kita untuk mengetahui apa yang Roy pikirkan padahal adegan sudah memberikan gambaran yang mencukupi bagi kita membuat kesimpulan sendiri. Tapi semua itu bisa dimengerti karena voice-over tersebut adalah bagian dari karakter Roy. Voice-over adalah cara film untuk menunjukkan emosi Roy kepada kita karena tokoh ini menolak untuk menampilkannya pada awal cerita. Semakin menuju akhir, narasi ini frekuensinya akan semakin berkurang dan kita dibiarkan melihat sendiri emosi Roy. Kita diminta untuk bersabar sedikit karena ini adalah resiko kreatif yang dipilih oleh film.

Sama seperti ketika kita diminta untuk menahan ketidakpercayaan kita untuk beberapa kejadian di dalam film. Menurutku, bagian ini yang susah. Tidak semua hal sci-fi dan aturan dunia modern itu yang berhasil digambarkan oleh film. Sehingga ada momen-momen ketika kita mengangkat alis. Buatku, momen di sepuluh menit pertama saat Roy terjatuh dari perbatasan orbit ke tanah, selamat dengan parasut yang sudah bolong – sungguh-sungguh susah untuk dipercaya. Masa iya denyut jantungnya gak pernah naik? Masa ada air mata di tempat yang tak ada gravitasi? Masa dia gak kebakar atmosfer? Momen tersebut secara sempurna mengeset tone dan antisipasi pada apa yang kemungkinan terjadi di sepanjang film. Namun tak pelak, membuat aku susah untuk memastikan apakah semua kejadian nantinya benar-benar terjadi atau hanya visualisasi dari sebuah kontemplasi. Dan perasaan tak pasti yang dihadirkan tersebut cukup ‘mengganggu’ saat aku menyaksikan film yang memang kejadian-kejadian yang dialami Roy didesain sebagai akar dari pemikiran dia nantinya.

Ini membuat filmnya jadi pretentious. Dialog dalam-hati yang play-by-play dengan kejadian yang akan dialami, seperti dipas-paskan. Dan kejadian-kejadian itu pun terasa acak. Progres cerita film ini tidak benar-benar natural. Penceritaan untuk cerita semacam ini mestinya bisa dilakukan dengan lebih berkreasi lagi. Kucumbu Tubuh Indahku (2019) jika tidak dilakukan dengan narasi tokoh langsung ke kamera di setiap awal bagian yang membuatnya terasa episodik, bakal punya runutan penceritaan yang mirip dengan Ad Astra ini. Dan menurutku, langkah ekstra yang dilakukan Kucumbu untuk mempresentasikan ceritanya inilah yang kurang pada Ad Astra. Film ini bercerita dengan lempeng dan tak banyak kreasi dalam menyampaikan sehingga terasa lebih dibuat-buat ketimbang cerita yang alami.

 

 

Kejadian-kejadian yang kontemplatif yang ditemui sepanjang durasi film membuat ini seperti cerita road movie yang sungguh filosofis. Kemegahan luar angkasa tergambarkan dengan sangat baik ke layar lebar. Menonton ini, dan melihat (serta mendengar) Bumi dari angkasa luar, membuatku teringat akan epiknya bioskop dan film sci-fi waktu aku masih kecil dulu. Sense ruang film ini sangat menonjol. Karena kita juga dibawa menyelam ke dalam sisi personal tokoh utamanya. Dan film benar-benar kuat menghadirkan sudut pandang tersebut. Sehingga perasaan sendirian itu, terutama kecilnya diri di luar angkasa, semakin kuat terasa. Film ini membuatku yang tadinya pernah bercita-cita terbang ke bulan, yang selalu excited dengan cerita luar angkasa, menjadi takut – menjadi benci sama luar angkasa tersebut. Karena mengingatkanku pada kesendirian dan kesepian. Hingga aku selesai menulis ulasan ini, aku masih belum yakin apakah perasaan yang timbul tersebut pujian atau kritikan terhadap film ini.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for AD ASTRA.

Comments

  1. Arindra Garonk says:

    Ampe sekarang, masi ada kok keinginan buat gabung ke nasa (yaah, lapan sih minimal lah) bukan sebagai astronot, cukup jadi scientist nya aja.. hehe.

    Eh tau ga pe, milih di geo juga, waktu masi sekolah tu sempat cek web nya nasa, mereka men encourage anak2 yg mau gabung buat milih studi di bidang science, macam math, physics, astrophysics, dan salah satunya juga earthscience / geology.. jadi masih bisa sih klo mau join ke sana ( hahaha Ngareeep).

    Otw mau nonton nih, nunggu nyari waktu yg pas..
    Btw, ty reviewnya.. nice bangeet..

  2. Febrian says:

    Suka banget sama film ini. Emang dasarnya suka sama luar angkasa sih. Pas ada monyet sempet males dan ngegerutu, ‘yaahh, jangan2 film alien2an nih.” Alhamdulillah gak, dan tetep ngeksplor luar angkasa. Pas ngambang2 di Neptunus serem parah sih. Musiknya mendukung pula. Versi lebih ekstrim dari Gravity yg ngambang2nya di atas bumi. Hahaha…

    • arya says:

      pas di neptunus itu keren banget, suasana sama keadaan inner si Roy udah nyatu banget.. kepikiran ya bikin film sampe neptunus, biasanya paling jauh mars hahaha

      • Febrian says:

        Iya bener, keren banget pas di Neptunus. Ngebayangin sendiri ada di sana, gila sih pasti ya? Bapaknya tuh gila kan ya, Bang?
        Eh, mau nanya deh. Ga terlalu ada hubungannya sama cerita sih. Cuma kan bang Arya bilang pernah mau jadi astronot, jadi mungkin tau. Kalo ada yg mati di luar angkasa tuh emang langsung dibuang keluar gitu aja ya? Maksudnya, ga dibuka dulu gitu baju astronotnya? Kan sayang ikut dibuang gitu aja. Secara apa2 terbatas di sana. Disimpan buat cadangan gitu. Hehehe…

        • arya says:

          hahaha ini pertanyaan kocak, iya juga ya, kayaknya gak mungkin dibuang gitu aja deh mayatnya.. bisa berbahaya dibiarin floating, bisa nabrak satelit, atau malah ketabrak ama alien – kasian aliennya ahahaha.. di film biar dramatis aja sepertinya dibuang begitu

  3. roy says:

    nice review walaupun blm sempet nonton ehehhe mungkin minggu ini disempetin deh nonton 🙂
    oiya ditunggu review midsommar ya bang :))

    • arya says:

      siipp, udah gak sabar aku nunggu Midsommar keluar.. sengaja gak nonton di bioskop karena dari pengalaman Dragged Across Concrete yang juga dipotong sensor, hasil filmnya sangat jauh dari yang asli

    • arya says:

      nilai 6 itu sebenarnya kelompok film yang “bisa lebih baik”.. Ad Astra akhirnya aku kasih di sana, karena gaya berceritanya membuat film jadi terasa pretentious – terlebih karena sudah ada Kucumbu Tubuh Indahku yang sudah membuktikan cerita personal tokoh dengan banyak narasi seperti begini bisa menjadi tak-pretentious dengan mengkreasikan cara/struktur bercerita

  4. bagus_han (@mr_g00d) says:

    Bisa jadi itu filosofisnya sama dengan pencarian Tuhan, disaat merasa Tuhan meninggalkan kita, kita seperti tersesat kesepian serta tidak merasakan cinta dan bahagia, dan pada saat kita masih ada asa dan melakukan proses dalam pencarian serta bisa menemukanNya, maka kita merasa hidup kembali, dan mensyukuri setiap yg kita punya. Atau bisa jadi film ini ditujukan buat angelina jolie yg memilih meninggalkan brad pitt di kehidupan masa tuanya ya haha

  5. raralingka says:

    2001: space of oddsey, gravity,interstellar,the martian,first man,Ad Astra.

    Dari 6 film diatas,coba urutkan from best to least menurut mas arya?

    • arya says:

      kalo menurutku yang paling atas sudah pasti 2001: Space Odyssey – ini aku kasih 9.5 kayaknya kalo direview ahahaha, terus The Martian, Interstellar, dan (Ad Astra, First Man, Gravity) dalam satu kelompok

  6. Chris says:

    Aku setuju banget soal film ini memang “pencarian ke dalam” dari karakter protagonis utama Roy, tapi kayaknya aku dapet vibe yang agak berbeda sih setelah nonton ini, karena menurutku topik utama ceritanya lebih ke personal Roy yang gamang akan hidup dia ke depannya. Sejak awal film, kita dikasih liat bahwa Roy orangnya sebenarnya sangat tertutup, bisa dibilang “malas” untuk bersosialisasi dengan orang lain dan buat dia itu adalah hal biasa.

    Penyebab dari sikapnya yang demikian akhirnya terjawab di adegan berikutnya ketika sang ayah yang menurutnya udah meninggal, ternyata masih hidup. Berkali-kali sesudah itu, dia menyatakan bahwa “aku tidak mau menjadi seperti ayahku” (bahkan dia bilang, anak pasti menanggung dosa ayahnya, Roy semacam udah terbeban dengan keberadaan bapaknya) dan mulailah kita menyelami fase depresifnya dan anti-sosialnya dia, sekalipun dia menikmati pekerjaannya. Kondisi seperti itu secara psikologis membuat orang suka ngomong sendiri, dan digambarkan lewat voice over yang nyaris ada di setiap adegan.

    Hal itu juga mungkin menjadi salah satu penyebab detak jantungnya tidak pernah di atas 80, karena ada emosi dalam dirinya yang seolah “mati” sampai tidak bisa merasakan ketegangan dan ketakutan. Roy selalu lulus tes kejiwaan, namun tidak ketika di Mars, karena sekalipun dia bisa dibilang membenci ayahnya, ternyata dia masih merindukan sosoknya dan saat itulah dia mulai merasa takut dan tegang lagi. Ketika dia gak sengaja membunuh orang lain pun, dia merasa bersalah, bukti bahwa kemanusiaannya memang belum benar-benar mati.

    Ketika akhirnya bertemu ayahnya, ada air mata yang keluar (kenapa mengalir turun ke bawah padahal di gravitasi nol, aku juga ga paham) seolah kemanusiaan dan ekspresinya hidup kembali, sampai-sampai bisa bilang “kita sekarang punya satu sama lain, saling melengkapi untuk mencapai tujuan” dan ekspresinya benar-benar lepas (berteriak menangis ketika ayahnya pergi), dan semangat juang hidupnya juga balik setelah menyadari bahwa yang terpenting itu bukan cuma pengejaran ambisi akan sesuatu. Apalah artinya mimpi yang mulia demi umat manusia tercapai tetapi hancur secara psikologis dari dalam karena kesendirian.

    Ad Astra (menuju bintang) buat Roy mungkin berarti pergi meninggalkan kehidupan sosial di bumi, sedangkan buat ayahnya mungkin berarti mengejar ambisi mimpi nan mulia demi umat manusia. Tetapi untuk Roy, dia sadar bahwa “Ad Astra” ini bukan solusi, dia sadar yang terpenting itu live dan love (dialog akhir penutup film).

    • arya says:

      wah ini penjelasan bagus buat kenapa detak jantung Roy bisa stabil gak pernah di atas 80; jadi berkaitan dengan ‘matinya’ emosi dia ya ternyata, keren sih ini penggambarannya cukup ekstrim

  7. lucas says:

    Buat yang nanyain Rambo mayam oke filmnya buat tribute si Sly akan karakter Rambo yg di last blood coba didalemin karakter nya dengan diberi keluarga mirip”Logan tapi ga sebagus itu dan 15 menit akhir yang bener”gila darah usus kepala muncrat semua trus ada cuplikan memory lane yg manis dari rambo pertama menegaskan legend nya action star ini.

    Ad astra menurut gua bagus bgt (suka sama film tema alam semesta) udah layaknya Apocalypse Now versi Space karaktwr ayahnya Roy mirio banget sama Kolonel yg dioerankan Marlon Brando (karena perang) dimana degradasi moral perlahan mengikis sampai menjadikan monster sampe ngebunuh anak buahnya karena kemakan ambisi dan juga udah kelamaan diluar angkasa yang jauh dari ‘kehidupan’ sesungguhnya yang seharusnya dialami manusia, itulah yg akhirnya Roy sadari sampe dia fight buat kembali ke bumi untuk jalanin kehidupan dan gamau seperti bokapnya. Baca review dan opini dari situs luar mereka berpendapat bahwa ini akan menjadi film cult dan saya setuju. Lalu voice over disini juga ngebantu buat kita mahamin karakternya Engga ngelantur kaya film Mallick dan adegan air mata yg disinggung tadi sebenernya Bradd Pitt udah minta diapus karena ga sesuai demgan teori, tapi Gray pertahanin karena aktingnya si Pitt lagi bagus bgt di scene itu sumber dari situs film di instgram

    • arya says:

      Beneran, si Brad Pitt minta air mata diapus? hahaha.. berarti memang choice artistik sutradaranya membiarkan melawan hukum alam gitu, mungkin biar ‘rasa’ di adegan itu lebih kuat lagi juga

Leave a Reply