PEREMPUAN TANAH JAHANAM Review

“No man is free who is not master of himself.”

Tidak ada tandingan kepercayaan diri Joko Anwar jika sudah berbicara tentang film horor. Horor memang sudah zonanya dia, afterall. Anwar memang sangat peka terhadap unsur-unsur kengerian, dia paham membangun, memancing dan kemudian mengeluarkan horor itu dengan baik, sehingga film-filmnya tidak sekadar jumpscare ngagetin. Opening Perempuan Tanah Jahanam membuktikan itu.
Kita melihat dua orang wanita ngobrol dalam loket tol masing-masing lewat handphone. Keduanya adalah penjaga karcis tol. Satu di antara mereka, Maya (Tara Basro sudah jadi trademark dalam film Joko Anwar seperti elemen perempuan hamil), mengaku ketakutan lantaran ada mobil kuno yang sama terus bolak-balik masuk ke jalur loketnya. Di samping bekerja sebagai penghantar dan perkenalan karakter yang sangat efektif, sekuen pembuka ini juga bekerja seperti film pendek horor urban yang sangat menakutkan.  Build up pengadeganannya sangat tight. Tensi film seketika naik begitu pengemudi mobil kuno itu turun menghampiri Maya. Cahaya dan kamera kompak menghasilkan suasana malam di tol yang eery, sepi kecuali oleh ketakutan Maya yang menguar ke tempat duduk kita. Maya bicara dengan sang pria misterius, hanya dibatasi oleh jendela kaca. Pria itu berasal dari desa kelahiran Maya, mengenali Maya sebagai Rahayu. Dan Pria ini datang untuk membunuh Rahayu atas tindakan mengerikan yang dilakukan oleh orangtua Rahayu. Adegan yang menyusul akan membuat kita menjerit tertahan, sebab jika ini adalah Scream atau horor whodunit lainnya, Maya tokoh utama kita akan berada di posisi mati duluan
Maya boleh saja selamat dari peristiwa tersebut, tapi bulu kuduk kita akan terus dibuat berpush-up ria. Perempuan Tanah Jahanam masih punya banyak lagi setting dan punchline momen-momen seram. Salah satu favoritku adalah ketika Maya berjalan di pasar ruko yang sudah sepi. Dia sendirian mencari Dini, hanya ditemani sejumlah manekin yang membuat aku siap-siap memejamkan mata. Menonton Perempuan Tanah Jahanam ini; pendapatku tentang Joko Anwar masih sama. Bahwa dia lebih hebat sebagai sutradara ketimbang sebagai penulis skenario. Cerita Maya berlanjut menjadi semakin aneh. Suasana seram di desa dengan kondisi misterius yakni setiap bayi yang lahir selalu tak berkulit tidak pernah bisa sepenuhnya menutupi naskah yang lemah dan banyak menyisakan ruang untuk kita menertawai hal-hal konyol yang ditimbulkan. Maya jadi penasaran mencari tahu asal usulnya. Ternyata benar dulu dia bernama Rahayu, dan orangtuanya punya rumah yang sangat besar di desa. Maya dan Dini yang terang saja kapok kerja lagi di tol butuh duit untuk bisnis baju mereka. Properti besar di tanah yang penduduknya benci kepadanya dijadikan Maya sebagai jalan keluar. Maya nekat pergi ke sana dengan menyamar sebagai mahasiswa.

karena siapa sih yang mau membunuh mahasiswa… wohoo dalem.

See? pilihan Maya tampak reckless dan bego. Seseorang datang dari suatu tempat untuk membunuhmu, mengatakan seluruh desa mencarimu, kemudian kamu malah memutuskan untuk pergi ke desa orang tadi sendirian? Mungkin memang tergantung seberapa besar untung yang bisa didapatkan dengan pergi ke sana. Mungkin memang tergantung seberapa gede napsu kita untuk mendapatkan sesuatu sehingga mau pergi ke tempat berbahaya tanpa persiapan yang matang. Dan sepertinya itulah gagasan yang disampaikan oleh film ini. Soal menuruti napsu dan tak punya kendali. Makanya antagonisnya adalah dalang yang bermain wayang dari kulit manusia.
Ada tokoh yang against all logic mengaku bernama Rahayu kepada penduduk desa, hanya supaya cepat diberikan surat rumah oleh kepada desa. Bahkan petaka pertama yang memulai rentetan tragedi dan ritual di sejarah desa ini bermula dari Nyai yang kebelet napsu pengen punya anak. Satu bukti lucu yang membuatku menarik kesimpulan film ini bercerita tentang pentingnya mengendalikan diri adalah fakta bahwa setiap hari di desa itu lahir bayi. Pertanyaan yang langsung bikin aku penasaran saat menonton ini bukanlah kenapa bayi yang lahir selalu tak berkulit, melainkan kenapa selama dua puluh tahun dikutuk sedemikian rupa, masih ada juga penduduk yang hamil di desa terpencil nan kecil itu. Tidakkah penduduknya jera melihat bayi mereka direndam sampai tak bernyawa lima menit setelah lahir. Nafsu penduduk di sana sebegitu besarnya, bahkan memang ada satu adegan yang menunjukkan lelaki di desa ingin memperkosa tetangganya yang sudah tiga bulan ditinggal pergi suami.

Film menunjukkan betapa mengerikannya malapetaka yang bisa terjadi jika manusia hanya menuruti keinginan dan hawa nafsu, tanpa memiliki kendali diri. Pemimpin akan berbuat semena-mena. Pengikut tidak akan berpikir jernih. Kita tidak akan selamat jika tidak menjadi dalang bagi hidup sendiri. Sengsaralah jika kita tinggal di tempat seperti demikian. Tempat  manusia-manusia hanya jadi wayang itulah yang dinamakan tanah jahanam.

I mean, itulah yang bisa kutarik dari cerita horor yang hanya punya lapisan luar. Sila bandingkan ini dengan Midsommar (2019) yang juga horor sadis nan berdarah yang bukan konsumsi bawah tujuh-belas tahun. Di balik peristiwa Dani terjebak di komunitas kecil yang ternyata adalah sekte dengan ritual-ritual pencabut nyawa, Midsommar adalah cerita tentang hubungan-asmara yang buruk; tentang wanita yang butuh untuk dimengerti tapi sekitarnya tidak pernah benar-benar mendukung atau perhatian kepadanya. Perempuan Tanah Jahanam, terasa ompong di luar cerita tentang wanita yang kembali ke desa yang seluruh penduduk di sana menginginkan dia mati untuk menghapus kutukan yang dipasang oleh keluarganya kepada seluruh desa. Perempuan Tanah Jahanam punya dialog yang kadang menyentil agama, atau pemerintah, ataupun soal orangtua kepada anak. Namun malah terasa sebagai dialog tempelan semata karena tidak paralel dengan perjalanan Maya. Yang mana dikarenakan si Maya sendiri tidak berubah banyak di akhir cerita selain pengetahuannya soal masa lalu bertambah, dia tidak punya inner-plot. Ada pembicaraan soal perawan di awal film yang sempat disinggung lagi di tengah, tapi ternyata malah tidak berbuah apa-apa bagi narasi. Selain saat ada bayi normal yang lahir, pada latar berkumandang musik natal, yang menandakan bayi sebagai simbol keselamatan bagi perawan di tanah jahanam.

mungkin ada somekind of twisted orgy sehabis panen sehingga di sana setiap hari ada bayi yang lahir

Dosa paling jahanam yang dilakukan oleh film ini terletak pada perlakuannya menggarap flashback untuk mengungkap kebenaran dalam-cerita. Film dengan setting dan treatment dan craft semenawan ini tidak mengimbangi diri dengan penulisan yang rajin. Ada tokoh hantu di sini yang hanya berfungsi sebagai device flashback, yang dilakukan dengan sangat standar. Semua film horor level rendah melakukan ini; bikin tokoh utama tak sadar diri, kemudian si hantu akan memberikan kenyataan berupa kejadian flashback begitu saja. Ini aku belum akan cerita soal narasi bagian pengungkapan itu yang juga tidak masuk akal. Motivasi dalang utama cerita ini sungguh tak logis, dan dikerjakan dengan berbelit-belit. Supaya gak diteriakin “Spoiler, woy!” maka di sini aku cuma bilang: kalo dia bisa santet dan ritual segala macem, kenapa enggak langsung bunuh, kenapa mesti menempuh jalan yang lebih banyak korban.
Penulisan film ini sungguh parah sehingga kita akan sering tertawa geli menyaksikan adegan atau mendengar dialognya.
Ada adegan jumpscare temen Maya mencolek pundaknya, dari balik pintu terali – literally menjulurkan tangannya masuk ke terali. Orang macam apa yang memanggil teman dengan cara begitu, terlebih saat padahal dia punya kunci pintu terali tersebut. Ada tokoh dosen sastra Rusia yang begitu random – kenapa musti Rusia dan enggak langsung sastra Jawa saja jika toh fungsi tokoh ini hanya menafsirkan aksara jawa kuno.
Ada dialog seperti “Mau BH?” atau “Itu rumah siapa?” yang dijawab dengan “Itu rumah keluarga yang tinggal di sana saat saya masih kecil” – dialog semacam ini yang mestinya dihindari oleh setiap penulis naskah lantaran tidak memberikan informasi apa-apa, pun tak membentuk atau mencerminkan karakter.
Satu hal yang bisa kita pelajari soal karakter Maya adalah bahwa dia tidak bisa naik motor, karena ada adegan Maya mengalihkan perhatian penduduk kampung yang mencegatnya dengan motor. Maya melempar handphone ke arah yang berbeda sehingga kerumunan meninggalkan motor dengan keadaan menyala, dan Maya tidak menggunakan motor tersebut untuk melarikan diri dengan gampang.
Wow, jika mau me-nitpick, akan ada banyak sekali yang bisa dicecar.
Yang bikin aku tak habis pikir adalah jemuran Christine Hakim yang masih membulat padahal itu kulit manusia yang elastis bukan cetakan plastik.

It’s not a bad movie. Beneran. I do not hate it. Film ini dibuat dengan kompeten, ada passion dari pembuatnya. Aku hanya  tidak merasakan perkembangan sejak Pengabdi Setan (2017), kecuali kali ini Joko Anwar berusaha mengakhiri cerita dengan benar – menggunakan epilog ‘satu tahun kemudian’ sebagai hiasan – dan trademark Joko Anwar kali ini lebih terasa. Makanya film ini niscaya akan mendapat sambutan demikian hangat dari para penggemarnya. It’s an enjoyable thrilling ride. Hanya saja film ini cuma punya permukaan. Tidak banyak yang bisa kita dapatkan, selain dialog-dialog tempelan persepsi pembuatnya soal agama, pemerintahan, dan keadaan sosial yang relevan. Juga ada pembahasan soal dosa orangtua yang turun kepada anaknya. Penulisan film ini adalah sisi terlemah. Narasinya berbelit dan terlalu mengandalkan kepada unsur kejutan dan rangkaian kejadian alih-alih perkembangan tokoh sebagai seorang manusia. Aku enggan menggunakan istilah plot-hole, namun pada film ini banyak dijumpai hal-hal yang membuat film jatuh konyol dan tak masuk akal. Yang pria dari desa di awal film; tak pernah dijelasin darimana dia bisa tahu Rahayu kerja di tol atau bahkan wajah Rahayu sekarang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PEREMPUAN TANAH JAHANAM.

 



Comments

  1. BukanAnakFilm says:

    seandainya pemilihan pemain dipake yg lain pasti gw lebih percaya ini ceritanya “bisa dipercaya”
    ini mah kaga pemainnya sama aja sama gundala
    tek tok sama
    adegan jatoh keseleo juga fak! sama persis
    bisa bisanya 2 film berbeda orang yg sama tapi jatoh jg
    part 3 film ini males malesan banget
    gw bingung ngapa si pemain utama ini kulitnya tetep bagus ya kalo kutukannya udah di cabut asli lieur

    • arya says:

      ahahah iya juga ya, mestinya kalo kutukannya kecancel; kulit si Maya jadi kayak Titan Attack on Titan lagi dong ya… Enggak jelas memang rule filmnya haha

      • BukanAnakFilm says:

        rulesnya selama ndak masuk akal jalan teruss wkwk. btw pas bapaknya nyembelih diri sendiri gw tawa2 wkwk
        susah kalo nge kritisi film joko ada aja orang ngaku suka film tapi buta sama lubang2 di filmnya dia. nanti ngata2in yg nulis tau apa lo soal bang joko.

      • Febrian says:

        Sama, gua juga ketawa pas si bapak sama si nenek bunuh diri ganti2an. Kayak drama cinta2an, kamu mati maka saya akan mati juga. Hahahaha…

  2. Febrian says:

    Part paling serem menurut gua di film ini justru di openingnya. Tapi ga dijelasin ya kenapa si supir bisa tau kalo itu Rahayu? Kayak Gundala, dirinya ga tau, tapi orang lain tau. Hehehe…
    Ga terlalu ngerti horor yg baik itu kayak gimana, cuman ngerasa rumahnya ga bener2 nunjukin kalo itu serem. Nyaris ga ada yg serem di situ selain tampilannya. Kamar mandi mungkin dua kali disorot seakan serem, tapi ga ada apa2 bahkan sekedar binatang atau sarang laba2. Nemu selimut absurd sih itu. Masa iya abis diloundry makanya ada di plastik dan tetep ga kotor 20 taun. Hahaha…
    Hahahaha, iya, Bang, yg kulit dada konyol amat. Entahlah, mungkin cuma pengen ngasih liat referensi Jokan yg emang agak2 “dewasa”. Udah gitu cuma berapa jam tuh sampe bisa dijadiin wayang..
    Bang, mungkin Maya bisanya make motor matic, yg kopling ga bisa dia. Hahaha…

    • arya says:

      oiya haha soal si Teuku Rifnu tau dari mana itu si Rahayu aku kelupaan nulisnya.. ini juga hole gede kan ya, sebanyak itu orang di kota gimana dia bisa tau.. istrinya juga tau ternyata.. aneh haha
      kalo yang di kamar mandi, pas disorot pertama (Dini ngetes pompa) itu di bak mandi ada tiga ubun-ubun; tiga hantu anak kecil itu ngumpet di situ. Kalo yang pas disorot kedua, gak ada apa-apa – buat nakut-nakutin aja
      mungkin kulit orang kota memang sudah keras kayak ibu kota xD

      • Atko says:

        Apa suami & ratih sendiri tau itu rahayu dari mbah nya pas dia lagi jaga warung makannya? Btw aku sampe skrg belum ngeh maksud ratih bilang “kerasa nggak? 😐

        • arya says:

          “kerasa enggak” itu maksudnya bayi, adegannya ngasih tahu kalo si Ratih juga hamil; Rahayu nanya suami Ratih ke jakarta nyari obat apa, dijawab Rahayu dengan nyentuhin tangan Rahayu ke perutnya buat ngerasain gerakan bayi sambil bilang ‘kerasa enggak’ buat nunjukin dia juga hamil dan percaya ada obat lain (medis) yang beneran bisa menyembuhkan bayinya

        • arya says:

          sebenarnya ada cara untuk memperjelas soal ini; film bisa toh membuat si nenek Ratih menjadi orang yang menyelamatkan Rahayu waktu kecil – yang mengirim dia ke Jakarta, sehingga masuk akal Ratih dan suaminya tahu.. tapi film terlalu fokus ke twist-twist aneh, malah membuat Rahayu kecil digendong dari bawah kolong ranjang oleh Christine Hakim – kenapa dia yang mengenyahkan Rahayu tapi tidak bisa tahu mana Rahayu /keep track on her padahal menurut dia kutukan bakal hilang kalo Rahayu dibunuh.

  3. sinyonyanyablak says:

    Aku lom nonton film nya, baca review ini makin males nonton hahaha.. Aku sih ngerasa film² Joko Anwar yg sebelum²nya msh biasa aja, aku sampai skrg msh prefer beli tiket buat nonton film barat toh harga tiketnya sama wkwkwk..

  4. newadityaap says:

    OK. Sebelum nonton ini gw udah pasang ekspektasi bakal dapet kengerian kombo Pengabdi Setan (suasana, scoring) dan Sebelum Iblis Menjemput (jumpscare, sadisme). Ternyata seremnya bukan keseraman yg bisa bikin susah tidur sendirian. Joko kaya selalu mengakhiri jumpscarenya unexpectedly, tapi bagus, beda dengan jumpscare2 di film horor mainstream.
    Setuju kalau lemahnya film ini di script, scene menegangkannya dimulai dengan adegan bodoh (ngaku2 jadi Rahayu). Pengungkapan kebenarannya ga jauh beda sama film-film horor Hitmaker, mungkin cara Joko ngejelasin ke penonton awam, ngasih sebab-akibat yang gamblang, tapi terlalu gamblang. Harusnya ada petunjuk tambahan yg dilirik di rumah besar itu sejak awal film (misal karpet menuju ruang bawah tanah). Tapi kekurangan narasi dan film yg jadi gak serem di babak ketiga diampuni mid-credit scene-nya, nunjukin “bakal ada kutukan lain lagi” seperti yg dibilang si Ratih, yg merasa ga usah bunuh si Maya.
    Kalau dibilang apakah film ini sudah menaikkan standar horor Indonesia? Bagi gw belum.
    P.S.: Poster yg ada Asmara Abigail rambutnya keangkat juga, dan teaser “kerasa nggak?”-nya ternyata cuma clickbait, hehe.

    • arya says:

      twist terbesar film ini ternyata si Abigail ahahaha, kirain dia bakal ‘gila’ ternyata baik-baik saja ahahaha
      nah soal pesan kutukan ini juga buatku kurang masuk sih; soalnya kan film suggest kalo maya dibunuh, maka kutukan lain akan datang setelah kutukan terhenti – pesannya kejahatan akan melahirkan kejahatan.. tapi di akhir itu dua dalang itu, si ario bayu dan christine hakim, bunuh diri semua kan. Mestinya kejahatan / kutukan berakhir di sana. Eh tapi akhir film nunjukin ada kutukan baru alias hantu christine datang makanin bayi.

  5. Proongs says:

    Menurut aku sih,kemajuan yang baik buat film horor Indonesia yang dulunya modal dada&paha doank.
    Smoga dengan adanya kritik membangun ,film horor bisa lebih ok lagi.

  6. noelapple says:

    Spoiler.
    Mau nambahin daftar “cacat” di film ini biar lbh lengkap.
    1. Setahuku, bikin wayang kulit itu lama. Nyiapin lulangnya (kulit) aja bisa berhari-hari agar keringnya sempurna. Belum natahnya, bikin sunggingnya, mewarnainya, bisa mingguan. Gak mungkin sehari dapat lulang, dijemur, ditatah, terus malamnya bisa langsung buat wayangan. Pada bagian ini, Perempuan Tanah Jahanam itu ngawur sih. Proses wayang dibikin gampang demi mendukung plot cerita. Buat yang nggak ngerti ya enjoy aja. Buat yang ngerti ya bikin ketawa.
    2. Lampu teplok yg udah ditinggal 20 tahun, sekali sulut langsung nyala. Mana minyaknya masih bening dan penuh pula. Lampu teplok di rumahku aja, dianggurin bbrp bulan aja minyaknya menyusut dan jadi keruh. Disulut apinya mrepet2, butuh waktu utk lancar.
    3. Rumah ditinggal 20 tahun tp kasurnya masih bisa ditidurin. Apa gak ada genteng bocor di atasnya yg bikin kehujanan? Katakanlah gentengnya ok, kasur nganggur puluhan tahun tetap jamuran. Diberakin tikus. Cowok aja bakal ogah nidurin. Nah ini cewek2 kuat mental juga nidurin.
    4. Tahun di kuburan bayi tertulis 2016. Kalau 20 thn lalu berarti 1996. Tapi kenapa musti banget semua fotonya hitam putih? Tahun 1996, guys. Jangankan horang kaya, yg keluarga jelata fotonya pasti udah berwarna juga di tahun segitu. Kecuali pas foto 3×4 yg buat ijazah.
    5. SPOILER BERAT! Kenapa Ario Bayu pilih bunuh diri di akhir? Man, dia itu vicious mass killer, ngebantai sekeluarga + seluruh rombongan karawitan dengan sadar dan skenario terencana, yang setelah itu dia mengambil alih fame sebagai dalang terkenal di desa itu, bahkan jadi penguasa sekaligus eksekutor para bayi. Menurutku, dia kok jadi terlalu lembek jika memilih bunuh diri hanya karena tak bisa memilih antara bunuh anak atau ibunya sendiri.
    6. Si Dukun Perempuan itu kan juru sihir yg kelihatannya udah high level ya, bahkan menjadi biang dari semua tragedi. Tapi kok kayaknya gak cukup mampu utk cari tahu solusi dr kutukan di desa itu. Which is kuncinya sebenarnya adl wayang2 kulit manusia yg disimpan di rumahnya sendiri, yg harus dikubur bersama tulang2 aslinya. Jadi kunci utk bebas dr kutukan itu sbnrnya gak harus nyari2 Rahayu yg udah jauh di Jakarta. Kuncinya masih ada di desa itu sendiri. At least ada dua orang pintar di desa itu: Si Dukun dan Neneknya Rati (yg ngasih tahu Rati sehingga bisa mengenali Maya/Rahayu). Tapi selama 20 tahun ternyata mereka gak berguna utk menemukan kunci pelepas kutukan. Eh tapi malah Rahayu sendiri juga yg nyamperin desa itu, pdhl sebelumnya udah hampir dibunuh di gerbang tol. Sebel gak sih sama plot kayak gini?
    Aku sebenarnya suka film2 Joko Anwar. At least dia itu sutradara yg berusaha betul utk bikin film yg bermutu. Dari segi ide cerita yg gak ngekor film lain, properti yg bagus, shoot yg realistik tapi juga artistik, dan kemampuan mengarahkan para pemeran hingga keluar akting yg maksimal. Tapi kelemahannya adl detail plot yg dangkal di bagian tertentu dan kadang tidak masuk akal spt di atas. Tidak rapi secara merata. Kadang juga muncul karakter2 yg apaan banget kayak dosen Sastra Rusia yg ngebahas mantra Jawa Kuno itu.
    Jujur, thd film2 bikinan sutradara top level seperti Joko Anwar, Upi, Angga D Sasongko dkk, aku justru lebih julid sampai ke detail2 yg kadang sebetulnya receh. Itu karena aku pny ekspektasi besar saat menonton film mereka. Karena ibaratnya film2 mereka adl “standar kualitas” film Indonesia. Kalau nemu detail2 yg ngaco gitu kadang gak langsung ngejudge filmnya jelek sih. Ya sbg kesimpulan aja bahwa film terbaik Indonesia pun tetap masih tak luput dari kelemahan2 generik.

    • arya says:

      ‘Kemudahan’ kayak poin-poin itu yang membuat naskah terlihat malas, kayak kurang usaha memikirkan yang lebih ter-elaborate. Yang nomor empat aku ngakak sih, iya juga ya, kenapa seolah 1996 itu jadul banget. Padahal udah mau masuk milenium tiga.. tapi jadi bikin merasa tua juga sih, kita lebih dekat ke 2030 ketimbang ke 1996 sekarang haha
      kalo sutradara top level aja masih bisa salah, apa kabar sutradara kejar-tayang… perfilman indonesia memang masih perlu banyak berbenah. Film-film Oscar juga masih ada ditemukan ‘kesalahan’, tapi paling enggak cerita dan storytelling mereka benar

      • noelapple says:

        Kalau sutradara kejar tayang sih malah udah cuekin aja. Orientasinya mmg duit dan kontrak. Gak guna juga julid karena toh mereka gak niat ngejar standar yg lbh baik. Kitanya yg capek malah. Jadi buat tontonan iseng2 aja tanpa ekspektasi.
        Beda kalo sutradara2 serius yg memang pny visi besar utk memproduksi film2 Indonesia yg berkualitas. Julidnya bukan utk menjatuhkan sih, tapi utk nyumbang catatan sbg bahan tinjauan mereka, spy film2 berikutnya dibikin lbh jeli. Tapi ya jatuhnya malah sering kesel juga sih, krn diserang fanboy.
        Aku jadi mikir, yg bikin dunia perfilman susah berkembang tuh gak cuma film maker oportunis medioker, tapi penontonnya juga. Penonton yg seleranya juga telanjur ikut medioker, karena faktanya lbh banyak film kelas B drpd A. Sedangkan penonton yg berselera lbh tinggi dan mengkonsumsi film2 kelas A punya masalahnya sendiri: yaitu jadi fanboy sutradara tertentu. Merasa karya sutradara idolanya udah pasti sempurna dan gak perlu kritik. Takutnya, sang sutradaranya lbh milih fan service. Merasa udah punya fan base yg kuat shg kurang mengevaluasi diri. Sutradara seperti ini aku mikirnya kayak Rudi Sujarwo, Hanung, dan Rizal Mantovani, yg pernah bikin film2 bagus di fase awal mereka. Sekarang? Yaa… ambyar.

        • arya says:

          hmm menarik sih ini.. ketimpangan kelas B dan A itu justru menghadirkan dampak negatif penonton A menganggap film mereka otomatis superior dan pembuatnya udah paling hebat. Berarti memang edukasi dan kekritisan dan kejujuran penonton yang paling penting ya. Maka itu juga aku gak pernah dan gak percaya sama nilai 10/10, karena bakal membatasi kemajuan saat kita menganggap satu film sudah sempurna. Setidaknya sediakan ruang untuk bertumbuh. Beri kesempatan setiap filmmaker untuk dikritik, supaya dia bisa terus maju

    • qisth says:

      setuju nih soal kecerobohan yg menyepelekan step2 bikin wayang.
      saya udah geleng2 bahkan sejak Christine Hakim jemur si kulit. Kok enteng disampirin gitu aja kayak jemur baju. Padahal penjemuran kulit buat wayang harus dipentang, agar kulit ga keriput, apalagi disampirin, BIG NO. Nanti kulitnya bakalan kelipat dan ada bekas tali jemuran *Tepok jidat*.
      belum lagi soal penampilan saat ndalang, keliatan banget malesnya, cuma diiringi backsound tanpa narasi dari suara sang dalang itu sendiri. padahal salah satu elemen yg bikin seorang dalang nampak berkarisma itu ya saat menarasikan wayang2nya. meski nampaknya sepele, tapi rasanya bikin kurang nampol. dan kesannya sekadar asesoris belaka.

  7. Febrian says:

    Komen lagi ah, Bang, tapi bukan tentang filmnya. Cuma mau bilang, di sini selalu jadi tempat keluh kesah filmnya Jokan ya, Bang, padahal mainstream-nya dipuji2. Hahahaha… Seru seru!!

      • Nando says:

        Setuju sih sama poin2 di atas. Untung gw nnton filmnya sebelum baca review ini. Kalo udah tau mah pasti udah terganggu bgt. Secara gw bukan orang yang meneliti film sampai ke seluk beluknyal, cukup menikmati PTJ.
        Dan untuk adegan opening. Itu epic banget, atmosfir dan sunpense nya kuat bgt.gw ikut takut saat istrinya ratih bawa golok ngejar tara.

        • arya says:

          suaminyaa ratih ahahaha
          itu penonton di studio pas aku nonton langsung serentak terpekik lihat dia balik lagi bawa golok, aku nahan napas tegang ngelihat Maya berusaha buka pintu untuk kabur xD

      • noelapple says:

        Emang sih. Aku pernah ngritik Gundala di Twitter, eh diserang dong sama fanboy-nya. Dibilang terlalu idealis lah, julid lah, suruh bikin film sendiri lah. Gitu amat deh mendewakan karya seseorang, kayak udah gak mungkin ada cacatnya aja.

        • arya says:

          hahaha paling gondok emang kalo udah disuruh bikin film sendiri; ya manusia kan punya ‘kerjaan’ masing-masing, saat jadi penonton ya tugasnya nonton dan ngomentarin dengan jujurlah, yang enggak bias meskipun suka sama pembuat atau pemainnya. Ntar kalo kerjaan udah jadi filmmaker baru bikin film, dengan sebaik-baiknya.

    • tokiran says:

      Gua seh nonton film ini yach karena nama Joko anwar.. Pasti Bagus lah pikir gua and serasa ada yang jamin gitu karena nama besar dia.. Gitu pikir gua
      Pas awal emang keren seh..a. Saya suka. Serasa ikut dikejar ma suami ratih.. Yang psiko..
      Emang seh banyak yang gak logis.. Semua udah diceritain diatas. Misalnya gini . Lu cewek.. Dr kota kedesa..
      Dengan santainya lu tiinggal dirumah kosong yang ditinggal. Penghuniinya 20 tahun.. Yang luarnya dah semak gitu
      Mreka berdua dengan santainya ndieminn tu rumah.. Berani sangat mreka.. Gak mikir ada binatang melata and friends apa ada hantu disana.. Mereka berdua mah santuy aja..
      Sampai gua dalem hati bilang.. Woiii. Napa gak diem dirumah warga aja.. Rumah gak pernah disapu dah kotor gitumm
      Apa gak. Gatel tuh badan…gak masuk akal juga seh.. Sekampung beranaknya tiap hari… Dengan entengnya sirahayu bilang kalau suamii ratih mau bunuh dia dan meninggal karena ditembak polisi… Seketika wajah ratih exlpressinya berubah.. Dan penonton langsung berpikir pasti ratih jadi jahat.. Tapi. Pada dikibulin semua.. Si ratih tetap enjoy tuh jadi baik… Menurutmu film ini lemah di skenarionya dan menurutku semacam jual nama joko anwar saja.. Tapi untuk suasana desa.. Kuburan and lainnya daprt banget suasana horrorny… Aku suka.. Cuma terlalu banyak gajk masuk akal aja… Yach seperti yang komen diatas.. Jujur q cukup terhibur dengan filmnya.. Film i i terselamatkan dnegan nama besar joko anwar… Dan judul yang terkesan seram..

      • arya says:

        Mestinya Ratih jadi jahat sih, karena harapannya untuk nyari obat sudah hilang saat si suami juga ternyata menyerah dan kalah, supaya intensitas cerita naik juga…
        Nama Joko udah gede sih memang, film ini bakal tetap banyak ditonton orang. Tapi sebagai kelas atas, mestinya dia ngasih contoh yang lebih baik untuk filmakers di bawahnya – supaya jangan ngandelin nama, promosi, dan fans militan doang. Jangan malah dia yang kayaknya turun derajat haha

      • Muji Hidayat says:

        Kayaknya memang karkater Ratih disini di bikin yang paling “waras” di antara karakter2 manusia yg terlibat dalam desa Harjosari ini. “Benci kamu juga g akan rubah apapun, mbak”

      • Muji Hidayat says:

        Dini ini ibarat pengambaran karakter manusia yang baik banget bisa jadi boomerang buat kita sendiri. Yang paling di siksa dulu, ujung2nya mati, sedangkan Maya berlalu dengan mulus wkwk

  8. irfan says:

    Well dari semua komen di sini rasanya udah cukup terpaparkan dengan jelas sih kekurangan2 film ini hehe
    waktu adegan Maya terduduk dan dapet “epiphany” berupa cerita sejarah dan solusi dari 3 anak kecil, I feel like “wow that was a frickin’ quick! that’s a whole movie in one scene!” haha x’D
    dan bener juga kata mas arya, bukannya film ini jelek atau tak-layak-tonton, cuman ya kok agak banyak juga yg bisa didebat hehe kurang lebih perasaan yg sama setelah nonton gundala lah xD

  9. Albert says:

    Kemarin ga baca review ini langsung liat nilainya 5 langsung turunin ekspetasi sih. Aku rada bingung motivasi 2 antagonis ini. Terutama kenapa Nyi Misni mengutuk Maya? Maya kan cucunya sendiri? Kok tega ya? Ditarik lebih jauh Christine hakim juga selingkuh sama majikannya lahirlah Ki Saptadi. Ki Saptadi selingkuh sama ibunya Maya. Sama aja kan? Toh Saptadi udah dibikin lupa, kenapa Maya ga dibiarin hidup enak saja sama orang kaya daripada dikutuk tanpa kulit gitu?
    Lalu Ki Saptadi bunuh “ayah”nya Maya yang kaya buat apa ya, terus nyamar jadi dalang bantai yang lain? Kalau dendam balas dendam 3 anak itu rasanya ga wajar harus nyamar, Kalau dia gerakinpun warga mungkin akan bantai juga itu orang kaya. Lebih masuk akal dendam pribadi ya. Bukannya udah lupa dia? Apa lupa pas hamilin aja ya? Itu ibunya mayapun dibunuh juga.
    Well memang sadis sih, cuma ya aku bayangin yang disadisin itu Maya sama Dini. Tapi Maya kayaknya ga ngalami apa2 sebelum digantung. Kaburnya mulus ga pernah tertangkap atau lecet2. Kukira Asmara Abigail bakal gila kayak biasanya, kali ini enggak. hehehe. Ga tegang sama sekali sih aku babak ketiganya. Katanya ada plot twist di akhir, tapi ternyata ga ada hubungannya sama cerita utama.

    • arya says:

      nah iya ini yang kumaksud direview tapi takut spoiler berat haha… ribet banget tindakan si Christine Hakim hingga motivasinya jadi enggak jelas. Kenapa dia malah nyakitin cucu sendiri, kenapa malah dalangin supaya ada massacre oleh Saptadi – yang dibuatnya sudah lupa punya anak; kenapa gak langsung aja ritual bunuh ayah dan nyai Maya. Terus kenapa saat massacre, Maya oleh dia dibuang ke Jakarta? Lalu bingung sendiri nyari Maya untuk hilangin kutukan Trus yang cliffhanger terakhir itu – bukan plot twist ah, kayak penutup lumrah di horor2 sebagai last scare – kenapa dia bangkit lagi menjadi pemakan bayi.
      Iya kan, di film ini tokoh utama gak ngapa-ngapain. Semuanya dibantu. Dikejar satu kampung begitu tapi jalannya selalu convenient, gak diazab dulu atau apalah – sebagai pembanding Chelsea Islan di Sebelum Iblis Menjemput dibantai habis-habisan..
      Haha aku sempat nyangkanya Asmara Abigail narik keluar janinnya sendiri untuk membuktikan kutukan sudah berakhir, tapi ternyata enggak, datar-datar aja. Tapi memang mestinya dia jadi jahat sih, setelah tahu suaminya mati. Enggak perlu tokoh dia dibuat membantu terus sampai akhir. Justru dia mestinya jadi tingkatan intensitas cerita – jadi rintangan berikutnya untuk Maya

      • Albert says:

        Itu yang tolong Maya lari ke kota juga Christine Hakim ya? Aku tadinya mau nulis tapi ga yakin sih soalnya aneh banget disantet ditolong lari sekarang dicari lagi. Atau bukan dia? Itu adegan Asmara yang “Kerasa nggak? di trailer serem banget aslinya ya serem juga tapi pointless ternyata hahaha.

        • arya says:

          kayaknya sih dia, tapi mestinya itu si nenek Ratih biar ceritanya bisa worked, tapi gak ada pendukung juga karena si nenek gak dilihatin lagi
          ya gimana mau terasa, dialognya ternyata penutup dari eksposisi part satu haha

      • Albert says:

        Btw nasib orang kaya bapak angkatnya Maya di mata penduduk gimana ya, aku lupa mas? Ceritanya setelah si kaya terlihat bantai banyak orang terus pergi ke mana kalau warga taunya ya?

  10. Nando says:

    Eh serius mau nanya, itu waktu adegan flashback ena-ena di kasur emang harus d full blur gitu ya. Kalo gitu kenapa frontal banget adegannya, adegan d cut di tengah kan bisa .jadi adegan ciuman doang terus di sambung dg adegan sintha keluar dri pintu. Masa harus sefrontal itu, d blur pula, kan nanggung

    • arya says:

      ini kayak kompromi studio dan lembaga sensor yang sebenarnya merugikan penonton ya ahahaha, mending dicut aja sekalian – atau pembuatnya nyari adegan yang lain kan bisa. Ena-ena gak harus frontal guling-gulingan di kasur kayak gitu. Diambil dengan lebih subtil atau nyeni juga bisa, kita penonton pasti ngeh kok maksudnya mereka ngapain. Dan memang untuk kasus Jahanam ini, adegan itu sebenarnya enggak perlu ada – enggak perlu ditampilkan seperti demikian – jadi ya menurutku ini bagian dari kemalasan filmnya

  11. Nando says:

    Ya maka dari itu. Sepulang nonton masih kepikiran aja ada adegan itu,gk ada artinya sumpah.cuman gitu aja. Itu pun d taruh d flashback borongannya yang langsung melucuti ketegangan film ini sendiri. Emang nggk bisa ya d buat seperti teka teki.minimal d kasih hint lah.
    Nggk paham lagi sih,sutradara sekelas jokan bisa sangat malas dalam memperhatikan detail” cerita.katanya kan naskahnya udah d buat 10 tahun.ekspetasi otomatis melambung tinggi,membayangkan filmnya sekelas pintu terlarang dan kala yang bisa di buat rundingan. Keluar bioskop malah berujung kekecewaan. Tpi cukup bisa di nikmati dg setting dan teknis yang berkelas. Semoga pengabdi setan 2 jauh melampaui PTJ.amin

    • arya says:

      lagi tegang-tegangnya, kita malah disuruh lihat paparan cerita.. pencarian wayang kulit sesudahnya pun gak ada rintangan, jadi datarlah film ini

  12. Bernard bear says:

    Gw bru nonton td malam PTj . Wkt msh rumor pun gw sdh yakin bakalan spt The Wailing yg di Indonesiakan
    Mending tuh ya judulnya diganti Perempuan berkulit Eksotik. Krena gw cmn nafsu liat tara basro doang dgn tubuh aduhai nya Tara Bakso . Gw puyeng liat pengambilan gambarnya yg lbh bnyak main bokeh ngk jelas . Blur sna blur sni. Entah buat nutupin kekurangan atau apa. Selain itu tone wrna nya pun burem nya ketebalan .Jdi gw hrs bberapa kali memicingkan mata hnya spya bs mengikuti perpindahan scene.
    Hantunya kebanyakan , malah ngk ngeri. Hantu cmn pemanis doang. Kt ngk prmh tau latar belakang hantu ini siapa. Film kesulitan mengembangkan crt pada seriap. Karakater protagonisnya. Sekalipun dijelaskan pun crtnya jadi makin ngk rapi apalagi terkait isu konflik utama di dlm crta.
    Adegan gorenya pun demikian anehnya. Gore ama horor akhirnya hanya disambung sambungkan saja. Mending bkin full gore atau full mistis sklian,biar ngk nanggung. Ada seminya pula lagi. Hadehh. Mkin mual jadinya.. Twistnya dipaksakan banget.. Sedangkan kt tidak pernah kenal sosok ibunya si maya gimana mau simpati kepadanya. Dia itu pecun yg nyambi sinden atau sinden yg mmg kelakuannya kayak pecun.
    Proyek 10 thn yang lumayan amburadul. Bgtu keluar exit door gw langsung lupa sebenarnya gw hbs ngapain selama 2 jam yg lalu..

    • arya says:

      masih jauh bagusan The Wailing mah menurut aku, psikologi karakter si polisi di film itu kerasa banget, ‘perang ilmu dukun’nya juga gak over-the-top, Jahanam ini ceritanya sok ribet, padahal emosi dan rasa gak ada yang nyampe karena, bener kayak kata mas, karakternya gak ditulis dengan bener.

  13. LoLCOZY (@LoLCOZY) says:

    Barusan baca perihal plot hole di twitter joko anwar yg ditulis seseorang, kyknya dia merangkum semua yg direview disini deh wkwk,,tp seperti biasa bala2 joko anwar yg ramai merespon dgn dalih2 menurut mereka sendiri. Coba deh si jokan yg respon biar clear, btw jika dilihat jokan ini mmg semakin komersil, untungnya kualitas masih lmyn lah di indo, tp jika dibandingin the wailing atau parasite ya jauh

  14. Nova says:

    Kalo liatnya gak detail.. ini film cukup menarik sih mnurutku.. setidaknya horornya lumayan dpt, bisa buat penonton narik napas dan tutup mata… selain itu ceritanya menurutku cukup antimainstream, apalagi utk ukuran film Indonesia..
    Selain kekurangan2 yg gak logis.. emang byk bagian2 penting hrsnya bisa dibuat lbh “greget”. Cth wkt si hantu memberitahu cara menghilangkan kutukan, aku lihatnya lgsg mikir.. “caranya gt doang?”.. trus aku cewek yg hitungannya “cukup pemberani” di lingkungan keluargaku.. ngebayanginnya “gilakk.. santai amat tinggal di rmh besar yg gak dihuni selama 20 thn. Udah gt liat penampakan di rmh itu.. tp tetap bertahan dan santai.. knp gak usaha numpang nginep di rmh2 masyarakat dsitu.. kayanya di daerah pedesaan, biasa aja org numpang di rmh warga.. krn yg saya perhatikan, mereka jg ramah dgn pendatang (sebelum tau salah 1 dr mereka adalah rahayu tentunya). Hal itu terliat dr 2 org yg dtg ke rmh itu menyuruh utk keluar dr rmh itu krn ada penyakit.. berarti penduduk desa masih peduli pada mereka..

    • arya says:

      tegangnya maya dikejar satu kampung itu enggak kerasa sih, karena film malah menggunakan waktunya untuk penjelasan lewat falshback dari vision yang dikasih si hantu.. pun saat dia berjuang nyari dan ngubur wayang, dia tidak dapat tantangan apa-apa, malah dibantu oleh wanita hamil.. film ini menurutku melewatkan kesempatan untuk naikin suspens cerita di titik-titik tersebut

  15. Taufiq says:

    Gw sempet mikir gitu bang, kok tiap hari ada aja yng lahiran bayi. Ini emang rajin banget ya penduduknya buat produksi anak? Hasrat euenya besar wkwk. Trus yng scene terakhir pas bayinya sehat, langsung bisa jalan dong ibunya abis ngelairin. Jalan cerita juga kerasa terburu buru buat diakhirin lantaran flashback ala ala yng nunjukin semua cerita dan adegan mati bareng (biar solidaritas anak ibu) ditampilin dengan tidak kuat. Ditambah lagi ada aja adegan bodoh kek dini ngaku sebagai rahayu (berakhir malapetaka), maya ngasih tau ratih soal suaminya di kota (berakhir clickbait), maya dan dini masuk rumah tua (ga ada segan2 nya ke orang desa masyaallah), atau yang paling bodoh keputusan maya buat pergi ke desa dengan/tanpa persiapan yang matang. Udah bosen plot kek gini, berasa nonton walking dead -_- Alasan2 yang tidak logis terlalu banyak ditampilkan untuk meneruskan alur cerita. Satu lagi gw mau tanya bang, apa benar dalang kalo tampil diem2 aja ya? Ga ngomong gitu?
    Tapi kalo urusan sinematografi, setting film, dan segala urusan teknis perfilman, jokan jangan ditanya 🙂 Smpek bingung gw, nemu aja
    ya tempat kek gitu

    • arya says:

      tampil ngedalang maksudnya? biasanya ada introducing-nya juga sih kan ya, tapi gak tau juga..
      film tipe gini padahal kalo tampil over-the-top – tampil sengaja ga-masuk-akal justru bisa lebih enak, tampilin aja semua yang gila-gila, daripada sok serius dan merasa pintar dengan rumitnya cerita.. misalnya; menurutku lebih seru kalo ratih narik janinnya sendiri untuk buktiin kutukan udah hilang ketimbang dia ngambil dan bawa lari bayi orang.. kalo mau gak logis ya semua dunianya dibangun atas kegilaan, jangan setengah-setengah.. Paling enggak bisa ada point tinggi untuk style-nya

  16. qisth says:

    PTJ overrated sih menurut saya, padahal saya termasuk penyuka film2nya om joko.
    tapi yaa, sengefans2nya, kalo emang kualitas filmnya segitu, banyak yg ga masuk akal, yhaaa masak tetep mau dipuji2 juga. Ngefans boleh aja, tapi kritis dan objektif itu perlu.
    sejak opening scene aja saya udah nemu kejanggalan. Masa orang yg ketakutan, masih bisa dengan santainya bukain jendela lebar2 buat ngobrol ama stalker yg udah bikin dia ngeri? Ga takut dicekek atau ditusuk tiba2 apa gimana? Itu maya bukain jendela lebar2 kan buat ngobrol ama sopir mobil tua? kenapa ga bukain dikit aja? toh sama2 suaranya bakal kedengeran.
    soal kulit buat wayang, dalang tampil ga pake narasi, dsb.. dsb.. Intinya sepemikiran sama bang arya soal film ini.

    • arya says:

      Ya jelas menang lah, kan udah dinobatkan sebagai wakil Indonesia buat kandidat Oscar. Harus di-push biar posisinya kuat. Jadi FFI cuma sebagai ‘promosi’ buat PTJ maju Oscar wkwkwk, sepele banget kesannya ya XD

  17. Flam says:

    Baru tau ada adegan yg dipotong.. waktu si sibden selingkuh, ternyata terpampang jelas payudaranya dan adegan lagi dikenyotnya.. buset …

Leave a Reply