SUSI SUSANTI: LOVE ALL Review

“The battles that count aren’t the ones for gold medals.”
 

 
Ibarat pertandingan bulu tangkis, Susi Susanti: Love All dimulai dengan servis yang baik dan menghangatkan untuk kemudian meng-smash hati kita dengan momen-momen kecamuk yang menghantar kepada kebanggaan.
Film biografi biasanya mengangkat perjalanan hidup tokoh pahlawan, jadi kenapa tidak mengangkat cerita perjuangan atlet di medan pertandingan menghadapi ‘lawan’ demi tanah air. It’s about time. Indonesia lagi butuh-butuhnya cerita inspiratif yang mengusung kebanggaan tanah air di waktu yang penuh keraguan dan ketakutan seperti sekarang ini. Sebelumnya di tahun ini kita sudah dapat film 6,9 Detik tentang kisah hidup atlet panjat tebing yang dijululi Spider-Woman oleh negara luar. Sutradara Sim F melanjutkan estafet dengan menghadirkan kisah si Balerina Susi Susanti. Kejelian sang sutradara di debut film panjangnya ini adalah dia tidak hanya mempertontonkan kembali kekuatan wanita dalam sebuah kompetisi olahraga, melainkan juga menghidangkan kepada kita kekuatan wanita yang menyebut dirinya seorang Indonesia. Susi Susanti: Love All tidak menyempitkan diri sebagai biografi atlet olahraga, ia juga adalah drama kebangsaan di dalam denyut nadinya.
Kita akan diperlihatkan kehidupan remaja Susi di tahun 80an. Adegan pembuka film ini dengan sangat fantastis mengeset banyak hal penting sekaligus. Tentang latar keluarga Susi yang keturunan Cina (sekarang, disebut Tionghoa). Tentang ayah Susi yang mantan atlet bulu tangkis – yang menjadi akar kegemarannya terhadap olahraga raket ini. Tentang sifat Susi yang tidak suka kalah. Jika suka bermain bulu tangkis berarti Susi adalah wanita yang tomboi, maka film bahkan membangun sisi feminisme Susi dengan menunjukkan dia sebagai balerina; secara ‘rendah hati’ film membangun informasi kepada kita menuju split kemenangan Susi yang melegenda. Adegan pembuka itu ditutup dengan Susi yang berpakaian balerina memenangkan pertandingan bulu tangkis melawan juara; sungguh empowering!

The Badassminton Ballerina!

 
Menyaksikan lembar-lembar perjuangan Susi berlatih – dari zero menjadi hero – mengingatkan aku kepada film Fighting with My Family (2019) karena sama seperti tokoh Paige dalam film tersebut, Susi juga berasal dari keluarga pemain olahraga yang ia sukai (dalam kasus ini bulu tangkis) dan ia juga ‘melangkahi’ abangnya dalam proses menjadi atlet. Drama keluarga tidak dieksplorasi terlalu banyak di dalam Susi Susanti, tetapi formula perjalanan-dalam Susi terasa serupa. Bukan hanya dengan Fighting with My Family, melainkan juga dengan beberapa film olahraga lain. Dan ini bukanlah masalah. Tentu saja sah jika cerita mengikuti formula yang sudah terbukti bekerja efektif, dan Susi Susanti: Love All dalam kapasitasnya sebagai cerita olahraga, paham cara tampil sebagai drama olahraga yang dramatis. ia bukan sekadar mengikuti formula, ia menambahkan bumbu-bumbu manis yang membuat ceritanya unik.
Namun sebenarnya aspek paling hangat dan menarik pada film ini adalah hubungan antara Susi dengan ayahnya. Percakapan antara kedua tokoh ini patut diganjar medali emas. Film menunjukkan betapa ayahnya percaya kepada Susi dan betapa bagi Susi dukungan ayahnya begitu penting lewat dialog yang tidak menye-menye, melainkan lewat personifikasi beberapa sifat yang dimainkan dengan kontinu, dengan penambahan intensitas di setiap waktunya. Dari percakapan dengan ayahnya, Susi memahami makna filosofis ‘love all’ yang menjadi istilah skor kosong-kosong di dalam bulu tangkis. Semua itu akan sangat berarti bagi pertumbuhan karakter Susi yang tadinya merasa harus selalu memenangkan setiap pertandingan. Terlebih karena ada landasan rintangan bagi Susi. Orang hebat di sana bukan Susi seorang. Teman satu pelatihannya juga hebat-hebat. Mereka semua harus bermain baik demi mengharumkan nama bangsa, dan ini pada beberapa kesempatan menjadi beban bagi Susi. Pada awalnya Susi menganggap janji membawa medali adalah sebuah hutang, tetapi sepanjang durasi – setelah sekian banyak pertandingan dan lawan yang ia hadapi barulah akhirnya ia memahami maksud tagihan janji yang diminta ayahnya – yang semuanya kembali kepada makna ‘love all’.

Bukti kemenangan bukan hanya semata medali emas. Sesungguhnya ada yang lebih penting daripada berjuang demi mendapatkan piala ataupun penghargaan. Yakni berjuang dengan menunjukkan kebanggaan dan dedikasi. Karena yang terpenting bukanlah hal menangnya. Bukanlah soal sukses atau tidak mengalahkan musuh. Melainkan untuk siapa kita berjuang. Siapa yang berada bersama kita di akhir perjuangan – di akhir masa sulit

 
Film juga membahas hubungan antara Susi dengan Alan Budikusuma yang kita sudah tahu mereka bakal menjadi pasangan. Hubungan romansa ini sebagian besar difungsikan untuk menaikkan stake di paruh kedua (dan juga karena cerita butuh sekuens romansa) – prestasi mereka menurun. Namun tidak ada yang terasa istimewa pada bagian ini, selain mungkin fakta menarik bahwa sebelum ini Dion Wiyoko dan Laura Basuki pernah juga bermain sebagai pasangan di era kerusuhan pada Terbang: Menembus Langit (2018)

level rasisku adalah menganggap semua yang sipit pasti jago bermain bulu tangkis

 
Di bagian inilah naskah mulai kelihatan bingung menjalin dua elemen cerita. Kita sudah hampir di penghujung – ada pertandingan besar di Barcelona, dan cerita seolah membuatnya sebagai klimaks. Tapi ada yang kurang dari pertandingan tersebut. Tidak ada gunanya menunjukkan kepada kita pertandingan yang sudah kita tahu hasilnya, harus ada konflik personal yang tercermin dan diperlihatkan, lebih dari penggunaan narasi voice-over. Pertandingan bersejarah itu jadi terasa datar. Film tampaknya menyadari ini – atau mungkin kita yang baru tersadar – dan cerita pun masuk ke apa yang sepertinya adalah match point. Film butuh untuk mencetak angka emosi terakhir, dan ia menggunakan elemen cerita satu lagi yang tadi serasa sudah ditinggalkan.
Cerita perjuangan Susi Susanti dibayangi oleh situasi politik Indonesia sebelum era reformasi. Negara demokrasi yang masih trauma dengan insiden ‘PKI’, negara yang masih rawan bagi penduduk keturunan yang dianggap sebagai komunis. Warga keturunan harus punya surat untuk diakui sebagai warga Indonesia, masalahnya adalah mengurus surat tersebut ribetnya bukan main. Bahkan atlet yang berjuang membela negara, tetap susah untuk mendapat pengakuan. Film ini mengangkat masalah tersebut di dalam narasi, bahwa banyak warga Indonesia lebih memilih bersembunyi sebagai warga negara lain. Susi dan keluarga termasuk yang mendapat masalah ini. Kita melihat sikap film ini terhadap situasi tersebut ketika ada dialog yang menyebut Indonesia bukan komunis yang harus sama dengan latar adegan senam yang pesertanya mengenakan seragam. Kita juga akan melihat gagasan film ini terhadap keadaan tersebut. Film mengangkat masalah ini di awal cerita, untuk kemudian sempat absen di tengah ketika fokus pada elemen olahraga, dan barulah di akhir masalah ini diangkat kembali.
Struktur cerita seharusnya bisa diperbaiki lagi sehingga narasi tidak terasa seperti episode. Film tampaknya ingin runut sesuai timeline sejarah, padahal semestinya tidak berdosa amat jika – memakai istilah candaan Sarwendah kepada Susi; ‘dinakalin’ sedikit urutan kejadiannya. Masalah kewarganegaraan mestinya bisa ditambahkan di pertandingan besar Susi sehingga emosinya lebih terasa utuh. Elemen olahraga dan elemen kebangsaan dalam film ini seharusnya bisa lebih mulus dilebur ketimbang diceritakan bergantian.
 
 
Penampilan Laura Basuki benar-benar jago di sini. Gestur dan gaya main Susy Susanti ia mainkan dengan mirip. Dia tidak tampak canggung bermain bulu tangkis. Ada intensitas yang ia hadirkan ke dalam perannya. Terutama pada bagian-bagian yang lebih menuntutnya untuk bermain emosional. Lewat Basuki – lewat decit-decit sepatunya di lapangan, lewat keluhnya saat pergelangan cedera, lewat semu wajahnya ketika diajak jalan oleh Alan, film menunjukkan suka duka kehidupan seorang remaja yang menjadi atlet untuk negara yang bahkan belum memastikan posisi dirinya di sana. Susi Susanti: Love All adalah tontonan wajib di iklim negara saat ini untuk kalian yang mulai merasa bete, bosan, atau takut kepada negara.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for SUSI SUSANTI: LOVE ALL

 

Comments

  1. pujadamayani says:

    Wow ngga nyangka bakal dikasih skornya 6.5/10, kalau disuruh milih Film Susi Susanti atau Perempuan Tanah Jahanam, mending yang mana ya? Bingung juga, mau nonton yang mana? Sejak Gundala saya tidak menaruh ekspektasi yang tinggi apabila Joko Anwar rilis film baru, hehehe

  2. Febrian says:

    Tumben weekend, Bang. Biasanya kalo ga Rabu ya Kamis, pas first day tayang. Hehehe.. Tandain dulu deh, ntar kalo (sempet) nonton baru dibaca. Tapi udah liat skornya sih. 6,5 menjanjikan nih kayaknya..

    • arya says:

      haha iya nih, mulai akhir Oktober ini film indonesia kemungkinan besar bakal kupos telat (sekitaran weekend), karena pas hari h nya mau coba ‘kujual’ dulu ke situs/portal film lain xD

  3. Iman says:

    setuju dengan kuatnya percakapan antara susi dan ayahnya yang sangat intimate, ditunjang juga dengan akting keduanya yang natural dan kocak tapi dalem.
    Dalam beberapa adegan juga logat sunda dari susi secara mengejutkan keluar secara mulus, Laura sangat asik main disini. Moment paling menggetarkan adalah saat lagu Tanah Airku rita effendy jadi background saat susi memakai jaket dengan gerakan slow motion sebelum masuk gelanggang di hongkong, langsung merembes.

    • arya says:

      Izul Muchtar main bagus ya di sini, komedi dan dramanya pas. Bener tuh, Laura juga konsisten sekali pakai logat sundanya. Keren lah duo ini, semoga masuk nominasi di award-award hehehe

      • Iman says:

        iya sudah lama gak lihat kang Izur dan disini main apik pisan, dari namanya bapaknya susi kemungkinan bukan asli sunda dan gak sedikitpun Izur yang notabene orang sunda keluar logat sundanya. kalau ada kategori best duo mereka ini sih yang aku favoritkan. Eh iya di film juga ada beberapa moment kocak, salah satunya saat susi-alan pulang ke asrama naik benteng dan ketemu sarwendah-hendrawan yang malah baru mau keluar main, aku sama temen2 langsung ngakak parah

  4. Menik says:

    “level rasisku adalah menganggap semua yang sipit pasti jago bermain bulu tangkis” –> haha ini lucuuuu..^^
    Setuju mas, pas scene Olimpiade Barcelona itu gak klimaks ya. Trus Susi nangis pas lagu kebangsaan berkumandang itukan legend! Ini malah shot jauh dan sebentar, jadi kurang “mengena”.
    Dan jangan lupakan peran antagonis terbaik jatuh kepada: Indonesia (di jaman orba)!
    Gila ih pemerintah, aku baru tau ternyata Susi masih belum punya SBKRI pas mau ke Olimpiade Atlanta 🙁

    • arya says:

      hahaha pengalaman pribadi itu, setiap punya teman sipit, pasti mereka jago bulu tangkis
      Aku paling suka sama adegan preskon yang Susi blak-blakan ke wartawan soal statusnya di mata negara. Suara Laura yang bergetar, matanya yang memerah, buatku ini lebih mengena daripada adegan kemenangan.
      Tadinya aku merasa kurang mengena juga, karena kupikir film berhenti sampai kemenangan Susi. Ternyata kan tidak, gagasan film baru dimunculkan lagi setelah itu. Menurutku sih jadi adegannya yang memang cukup segitu, karena di titik itu perjuangan Susi belum berakhir

  5. Iman says:

    nonton ini lagi tgl 10-01-2021 lewat disney+hotstar, masih merinding, masih memukau, masih bikin merembes, masih bikin ketawa, masih bikin senyum2 sendiri, masih bikin geram. campur aduk. love it!

Leave a Reply