DOCTOR SLEEP Review

“It does not disappear if it is not validated”
 

 
Keberanian Mike Flanagan sebagai sutradara memang patut diacungi jempol. Pertama, dengan gagah beraninya dia mengambil proyek horor dari WWE Studio dan menolak membuat film tersebut menjadi bergaya found footage, dua tahun berikutnya dia menerima proyek sekuel dari horor papan permainan yang tidak dipedulikan orang; Dan nyatanya Oculus (2013) dan  Ouija: Origin of Evil (2015)  keduanya sukses menjadi horor yang benar-benar mengerikan sekaligus creepy. Flanagan lalu mengepalai serial Haunting of Hill House, ia nge-direct semua episodenya, menunjukkan keterampilan menyambung cerita dan editing horor yang luar biasa. Sutradara ini juga nekad mengadaptasi Gerald’s Game – novel Stephen King yang paling psikologikal dan penuh metafora sehingga paling susah untuk disadur ke bahasa gambar- menjadi film, untuk hasil yang menakjubkan.
Dan di tahun ini, Flanagan menerima kerjaan yang mungkin cuma dia yang berani ambil. Memfilmkan novel yang merupakan sekuel dari salah satu horor terseram Stephen King, bukan hanya itu, filmnya kali ini juga adalah sekuel dari film horor terikonik (kalo gak mau dibilang terhebat) garapan Stanley Kubrick. The Shining (1980) yang Flanagan bikin sekuelnya ini sungguh tantangan yang berat karena King sendiri tak suka dengan hasil adaptasi Kubrick yang membuat banyak perubahan. Jadi Flanagan otomatis berada pada posisi harus memuaskan dua pihak. Doctor Sleep harus up to par dengan rasa King, sekaligus juga harus mengimbangi standar sinematik Kubrick.
Hasilnya, kalian tanya?

Well, Flanagan jelas bukan Kubrick. Doctor Sleep tidak akan bisa selegendaris The Shining; paling tidak, tidak dalam waktu dekat ini, mengingat kedua film hadir pada dua era horor yang berbeda. Namun Flanagan tetap bisa memperlakukan karya King ini dengan hormat, dan memasukkan sendiri ciri khas dan kekuatannya sebagai sutradara horor paling crafty segenerasinya. 

Heeere’s Kenobi!

 
Akhir cerita The Shining membawa trauma mendalam kepada Dan Torrance. Bukan saja ia menyaksikan ayahnya perlahan menjadi gila, dia juga harus melanjutkan hidup dihantui oleh spirit-spirit dari Hotel The Overlook yang terpikat oleh ‘shine’ yang ia pancarkan. Doctor Sleep mengeksplorasi lebih jauh tentang kekuatan psychic yang dipunya oleh Torrance. Yang merupakan berkah sekaligus sumber masalah baginya. Torrance dewasa belajar menggunakan ‘shine’ untuk mengunci spirit-spirit jahat, dan kemudian ‘belajar’ menggunakan alkohol untuk meredam trauma dan kekuatannya tersebut. Tapi dunia terbuka lebar di film ini; kita serta merta tahu bukan Torrance seorang yang punya ‘shine’. Beberapa, seperti geng wanita bernama Rose the Hat, malah menggunakan kekuatan mereka untuk memburu yang lain; memakan ‘shine’ dari anak-anak supaya awet muda dan tetap kuat. Torrance pun harus kembali, membuka kekuatannya, untuk menolong seorang anak perempuan sahabat telepatinya yang bernama Abra, tatkala anak yang punya ‘shine’ begitu kuat ini terancam bahaya karena diincar oleh geng Rose yang punya kekuatan tak kalah mengerikan.
Membaca sinopsisnya sekilas, film ini memang tampak lebih mirip film superhero, atau seperti petualangan tokoh-tokoh berkekuatan istimewa. Terlebih dari judulnya yang seolah seperti tentang dokter yang kekuatannya adalah tidur haha.. Tapi nyatanya film ini masih tergolong cerita horor. And here’s the thing about horror movies; film tergolong genre horor itu bukan semata karena ada hantu atau makhluk gaibnya – meskipun mereka bisa dipakai sebagai penanda yang mudah, melainkan karena implikasi menyeramkan yang hadir merayap di balik ceritanya. Dan pada faktor inilah Doctor Sleep berhasil menjadi tontonan yang membuat kita bergidik.
Tentu, film ini bukan seperti horor kebanyakan yang biasa kita saksikan di bioskop hari-hari ini. Tidak ada wajah mengerikan yang muncul ngagetin di layar. Tidak ada twist membingungkan yang berhubungan dengan ritual-ritual, tidak ada kontrak perjanjian dengan setan. Dua puluh hingga tiga puluh menit awal, aku bahkan bisa paham kalo ada yang mengeluh bosan saat menontonnya. Selain beberapa penampakan, tidak benar-benar ada ‘kejadian’ pada babak awal cerita, karena film ingin memusatkan kita kepada setiap karakter penting yang ia punya. Kita akan melihat Dan Torrance dalam momen-momen kecil hidupnya yang berpindah-pindah. Yang diselang-selingi dengan development tokoh penjahat sehingga tensi dramatis itu perlahan terbangun. Kita mulai menduga-duga bagaimana kedua pihak ini bertemu, kemudian pihak ketiga yakni si Abra mulai diperkenalkan dan lantas cerita menjadi mengerikan karena sekarang ekuasinya bukan hanya tokoh utama dan tokoh jahat, melainkan ada tambahan anak kecil. Maka seketika film terasa menjadi begitu berbahaya. Ini cerita Stephen King banget; Rose dan teman-temannya juga menganggap ketakutan dan rasa sakit sebagai bumbu penyedap ‘uap’ anak yang mereka mangsa – sama seperti alasan Pennywise doyan menakuti mangsanya terlebih dahulu

‘Shine’ anak kecil dimangsa oleh orang dewasa supaya awet muda boleh jadi menyimbolkan keinosenan anak yang perlahan terkikis seiring usia, karena semakin banyak hal yang dilalui. Arguably, sebagai anak kecil, kita cenderung melihat lebih banyak – lebih terbuka daripada saat dewasa. Keterbukaan inilah yang menjadi salah satu penyembuh trauma; keterbukaan untuk menghadapinya. Gagasan menarik film ini adalah menilik apakah kita berurusan dengan trauma lebih baik saat kanak-kanak ketimbang saat dewasa. Eksplorasi bahasan ini terus digali dengan menampilkan pekerjaan Torrance yang mengharuskan dia belajar dari trauma bahwa hantu itu nyata supaya memberikan ketenangan bagi pasien sakaratul maut yang ia jaga di rumah sakit.

 
Ada adegan yang melibatkan salah satu aktor cilik muda berbakat, Jacob Tremblay, yang cukup disturbing buatku, dan aku sudah menonton banyak horor dan hal-hal mengerikan seumur-umur. Tahun ini kita mendapat lumayan sering adegan kekerasan terhadap anak, adegan di Doctor Sleep ini bisa dengan mudah menjadi juara paling sadisnya, dan itu bahkan adegannya tidak benar-benar diperlihatkan tepatnya apa yang actually terjadi. Horor pada Doctor Sleep bekerja seperti demikian. Kamera tidak pernah memperlihatkan secara langsung. Banyak yang tidak dimunculkan di layar, kita hanya disuguhkan sebagian, film membiarkan imajinasi kita terbang liar dengan gambar-gambar seperti sosok terbaring di lantai dengan pisau, atau ketika Torrance kecil masuk ke dalam kamar mandi dengan hantu di dalam bak, dan kemudian menutup pintunya.
Flanagan mencapai level kengerian yang unik berkat cara bercerita seperti demikian. Secara teknis, ia menggunakan trik yang sama dengan yang ia pakai pada Haunting of Hill House. Yakni menggunakan dominan warna biru dan shot-shot close up untuk memperkuat kesan seram. Ketika tiba saatnya menggunakan efek dan editing, Flanagan tak ragu untuk membuat kita puyeng dan takjub bersamaan. Ada beberapa adegan terbang bersama pikiran (atau jiwa?) seorang tokoh dengan pergerakan yang sungguh tak biasa, tapi tetap mengalir dengan indah.
Secara penampilan akting, film ini sesolid penokohan karakternya. Pemilihan Ewan McGregor sebagai Dan Torrance dewasa tampak sangat pas karena meyakinkan sebagai sosok individual yang memendam trauma dan kekuatan bermasalah yang berusaha menjadi lebih baik. Dia tidak terjebak untuk bertampang muram sepanjang waktu, meskipun naskah memang tidak memberinya banyak ruang untuk variasi. Tokoh paling flesh-out dalam film ini justru adalah si penjahat Rose the Hat. Dimainkan fantastis oleh Rebecca Ferguson, tokoh ini adalah poster untuk slogan ‘kecantikan yang mematikan’. Meskipun dia jahat, kita dibuat mengerti kenapa ia dan gengnya butuh untuk melakukan apa yang mereka lakukan, terlebih karena kita juga ditanamkan betul-betul seperti apa komunitas mereka bekerja. Tapi kalo mau dikasih piala mana akting yang paling keren di film ini, maka piala itu akan jatuh ke tangan Kyliegh Curran yang berperan sebagai Abra. Aktor cilik baru ini berhasil mengemban semua emosi yang diberikan kepada tokohnya. Abra adalah gadis kecil yang konfiden dengan kemampuan ‘shine’nya, tapi ia juga sangat ketakutan karena diincar. Dia juga memainkan banyak range karakter sebab ada adegan di mana dia menjadi medium bagi tokoh lain. Naskah tidak membuat Abra sekadar orang yang perlu diselamatkan, tokoh ini turut memberikan banyak andil dalam strategi perlawanan.

“shining bright like a diamond”

 
Namun ada kalanya Flanagan ‘terpaksa’ kembali mengikuti visi Kubrick, sebagai jembatan ke film terdahulu. Ada adegan yang dimirip-miripin sama adegan The Shining, ada banyak adegan throwback kepada film Kubrick tersebut, bahkan potongan klip dan tokoh lama ‘dimunculkan’ kembali, sehingga dengan gampang jatoh sebagai adegan fans-service. Orang akan mudah mengatakan film ini tidak akan bekerja sebaik itu jika penonton belum nonton The Shining. Mungkin hal tersebut memang benar, namun aku tidak setuju bahwa film ini mengandalkan The Shining. Doctor Sleep adalah sekuel, jadi wajar bila ada hal-hal di film pertama yang dimasukkan. Dan adegan-adegan tersebut justru bagian Flanagan seperti tidak melakukan apa-apa. Film justru bekerja terbaik, dalam levelnya sendiri, saat Flanagan bermain dengan trik-triknya sendiri. Seperti pada babak ketiga; saat seolah Flanagan merekonstruksi ulang kejadian The Shining, membetulkannya hingga sesuai dengan novel. Kalian tahu dong apa yang tak boleh dilewatkan dari film ini: pertemuan Dan Torrance dewasa dengan ayahnya!
 
 
The Shining termasuk dalam 100 film favoritku sepanjang waktu. I mean, kalo dikasih skor angka, film itu termasuk yang kukasih nilai 9 dari 10 bintang emas. Yang kita dapatkan pada film sekuelnya ini memang tidak sebagus The Shining. Namun punya gaya tersendiri yang membuatnya tetap mencuat dan berhasil menopang legacy film tersebut. Ini adalah cerita pertempuran baik melawan jahat dengan kekuatan supernatural dan horor merayap di baliknya. Ia membangun karakternya perlahan, dan boleh jadi terasa lambat dan membosankan, tapi begitu kita sudah terinvest di tengah, film akan menjadi jauh lebih menarik. Dengan implikasi mengerikan di balik ceritanya, kita adalah orang yang mati-imajinasi jika benar-benar sampai tertidur menyaksikannya.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for DOCTOR SLEEP.

 
 

Comments

  1. Albert says:

    Oh bisa mati ditembak ternyata anak buah Rose ya? Kukira mereka kayak vampire yang abadi atau matinya pakai cara tertentu. Bisa hidup lama tapi ya? Mungkin karena tiap culik anak ga pernah ketahuan?

    • arya says:

      mereka ini kayak setengah vampir setengah manusia, cumak awet muda dan panjang umur aja, tapi masih bisa mati… juga jadi ketergantungan sama uap shine..

      • Albert says:

        Oh pantesan dihemat banget uapnya ya. Yang VIolet udah dari tahun 80 juga belum habis. Wah ya susah dapatnya uap gitu ya,kalau darah kan bisa dicari di mana aja. Rada sedih pas Billy mati bunuh diri, jadi temen baik banget dari awal udah mau terima Dan, percaya pula ceritanya sihir2an gitu. Dan juga mati ya? Gabung sama ayahnya berarti 🙁

  2. Iman says:

    dua hari sebelum nonton Doctor Sleep saya maksain nonton dulu The Shining (walaupun punya filmnya sudah lama), tapi menariknya saya jadi lebih memahami dan menikmati the shining setelah saya nonton doctor sleep. memang secara cinematography itu film memorable banget dan akting jack nicholson yang kuat dan range-nya yang gila bikin betah nonton filmnya, tapi secara esensi belum begitu dapet. tapi setelah nonton doctor sleep ini saya jadi lebih menghargai the shining, jadi keren banget itu film.
    sangat senang lihat film yang penceritaannya runut, karakter tiap-tiap pemain inti tersampaikan, akting yang luar biasa believable (danny, rose dan terutama abra) serta hubungan dari awal film sampai ke closure-nya jelas, ditambah si protagonis juga jadi tokoh yang bisa melawan. fun, exciting dan thrilling.
    gamblangnya penokohan antagonis-protagonis tidak selamanya bikin film jadi membosankan asal disampaikan dengan cerita yang kuat dan menarik, serta teknik penceritaan yang seru (adegan spirit rose yang terbang ke rumah abra dan bagaimana abra menjadikan itu sebagai perangkap sangat saya suka, sampai mau tepuk tangan setelah si rose kejungkel dari atap van hahaha)
    oh dan satu lagi, setuju banget atas adegan horor si anak no 19 diambil shine-nya. ngeri.

    • arya says:

      haha iya, aku setuju tuh sama dinamika protagonis-antagonis di film ini bener-bener gak membosankan, kita terpikat ngikutin kedua belah pihak. Pas Rose melayang masuk kamar, aku udah ngeri sendiri, eh ternyata Abra nyiapin jebakan, dan aku langsung bersorak di bioskop ahahaha.. seru aja ngelihat ternyata Rose juga vulnerable – lihat tangannya kejepit lumayan kasihan sih ahahaha. Puncaknya ya itu, pas dia jatoh dari atap van
      looking back now, ternyata banyak adegan memorable ya di film ini, keren lah

  3. Arindra says:

    Hoooi pe..
    Gw barusan nih nonton..
    Sebenarnya ga pengen, tapi ya karena diajakin,
    Trus aku juga baca dikit review dari tulisan lw, akhirnya aku memberanikan diri dan ikut juga.. hahaha…
    Wooow juga uy.. kulihat genre horror, tapi ga horror sekali sih… Lebih tense aja..
    Penasaran sama the shining, tapi aku takut… Hahaha..

    • arya says:

      Cobain Shining lah Rong hahaha .. tanggungg… sama kok hantunya juga kayak gitu-gitu aja, cuma nongol sekilas-sekilas.. yang Shining lebih fokus ke ayahnya yang perlahan semakin gila karena depresi pekerjaan dan alkohol.

    • arya says:

      Cobain Shining lah Rong, sama kok hantunya juga kayak gitu-gitu aja, cuma nongol sekilas-sekilas.. yang Shining lebih fokus ke ayahnya yang perlahan semakin gila karena depresi pekerjaan dan alkohol.

  4. arya says:

    sepertinya itu perasaan bersalah danny karena dia udah ngambil duit mereka, soalnya aneh juga kalo dia gak bantu makamin setelah melihat penampakan itu
    iya reaksi rose waktu topinya mau diambilin itu cukup ‘heboh’ ya, bagus sih ini topinya dibiarkan misterius, jadi menambah kekerenan tokohnya.. mungkin itu fungsinya kayak helm Prof X yang nambah kekuatan telepati ahahaha

Leave a Reply