BIKE BOYZ Review

“Never underrate a street boy”
 

 
“Sama teman aja wajib tolong menolong. Apalagi sama saudara, iya gak?” Ditatapnya satu persatu wajah teman gengnya dan lanjut berkata “Kita kan semua bersaudara” Cuplikan dialog film Bike Boyz tersebut mengajak kita untuk melihat solidaritas yg begiti kuat di antara anak-anak geng Vespa. Sikap yang patut dicontoh. Bukan karena mental geng-gengannya, melainkan kesetiakawanan untuk saling membantu.
Starvision mengendarai kepopuleran Preman Pensiun (2019) yang, berkat solidaritas penggemar serial televisinya, sukses memperoleh satu juta lebih penonton. Menggaet sutradara yang sama – Aris Nugraha – dengan teknik editing yang sama, dengan tema yang sama, bahkan dengan tempat yang masih sama yakni di Bandung. Namun Starvision dengan Bike Boyz tidak lantas meniru. Banyak dari penonton yang mungkin bakal menganggap dua film ini sama saja, tapi sesungguhnya ada upgrade yang dilakukan oleh Starvision. Bike Boyz digarap dengan perhatian lebih kepada naskah. Plot cerita kali ini lebih berstruktur. Menjadikan ceritanya berdiri sendiri dan lebih asik untuk diikuti.
Bike Boyz mejeng sebagai komedi yang tak muluk-muluk. Ceritanya sederhana. Dekat dengan kehidupan di pinggir jalan. Terutama dengan pinggir jalan kota Bandung yang terkenal dengan geng motornya. Bandung dalam film ini digambarkan cukup gangster. Selain geng motor, juga ada kelompok perampok sepeda, bahkan komplotan teroris. Saking banyaknya kasus di jalanan, polisi jadi suka lupa membereskan. Belum selesai satu, sudah ada bentrokan lain. Oleh film, awalnya ini dijadikan celetukan buat kinerja polisi di dunia nyata, untuk kemudian sentilan itu membelok kepada kita. Bahwa tidak harus menunggu polisi; kita bisa membantu polisi. Paling tidak dengan saling menjaga dan menolong di lingkaran pertemanan. ‘Pembela kebenaran’ dalam cerita ini adalah geng vespa bernama Bike Boyz. Dengan vespa berwarna-warni bak seragam Power Rangers, anggota Bike Boyz adalah anak baik-baik yang di sela-sela kerjaan nongkrong dan kenalan sama cewek, mereka melakukan sesuatu yang nyata ketika ada ‘gangguan’ yang mengancam anggota komunitas mereka.

baek baek dek ama bike boy

 
Tokoh utama dalam Bike Boyz benar-benar melakukan tindakan, Agus dituntut untuk beraksi sepanjang waktu. Dia bermasalah dengan pencuri sepeda. Dia berusaha membantu teman ceweknya yang datang ke Bandung guna mencari suami yang sudah lama tak pulang. Sembari berusaha mencari orang yang membawa lari vespanya. Agus menyetir cerita sehingga banyaknya kejadian dalam dunia yang kita lihat itu bermuara kepada dirinya, serta geng Bike Boys. Kita dibuat tertarik untuk mengetahui bagaimana semua kejadian sampai kepada Agus.

Dalam realitas urban kontemporer, budaya-jalanan cenderung dipandang negatif. Mental geng-gengan yang seringkali berbau anarkis, budaya-jalanan bahkan punya aturan sendiri. Pengadilan jalanan inilah yang kemudian diangkat ke dalam cahaya yang lebih positif (dalam nada yang jauh lebih ringan) oleh Bike Boyz, tanpa mengubah banyak esensinya. Film menunjukkan bahwa terkadang tindak anak-anak geng diperlukan, dan mereka tidak selamanya selalu negatif. Tindakan mereka yang tampak di luar kendali sebenarnya merupakan tuntutan penyesuaian yang terus menerus terhadap keadaan ekonomi, pekerjaan, hukum, dan sebagainya. 

 
Pesona penceritaan film ini terletak kepada gaya khas Aris Nugraha. Ada dua ‘jurus pamungkas’ Nugraha untuk memancing tawa. Pertama lewat dialog komedi repetisi yang tepat guna dan tidak digunakan berlebihan. Dan jika pengulangan “Dedi di Cimindi, Heru di Cibiru” belum cukup untuk membuatmu tertawa, Aris punya cara kedua, yang tak pelak jurunya yang paling spesial. Yakni penggunaan smash cut visual yang dibarengi dengan match cut dialog-dialog. Maksudnya adalah film pada dasarnya memperlihatkan dua atau tiga adegan, misalnya percakapan, sekaligus dalam satu waktu yang sama. Kita mengikuti tiga percakapan tersebut bergantian secara kontinu. Dari percakapan Agus dengan Lilis, ke percakapan dua teman Agus di kafe, ke percakapan dua orang pencuri sepeda. Penyatuan itu tentu saja kadang tidak nyambung – yang bertanya siapa, yang menjawab malah percakapan orang yang lain – tapi justru di situlah ketepatan komedi film.
Namun karena sebenarnya yang ditampilkan itu seringkali banyak narasi sekaligus, durasi film yang hanya 95 menit terasa jauh lebih panjang. Menontonnya kita akan merasa lelah menjelang akhir. Terlebih karena sekuen romance yang masuk cukup terlambat. Film memang terasa seperti ngeloyor ke tempat yang bukan fokusnya ketika membahas masalah cinta terpendam. Candaannya masih tetap lucu, kejadian masih tetap menarik, hanya menyaksikannya yang terasa capek. Beberapa pencarian yang berulang, adegan-adegan aksi yang panjang, seharusnya bisa dipangkas sedikit supaya cerita bisa hadir lebih padat lagi.
Dengan segala kemiripannya dengan Preman Pensiun, bukan berarti tidak ada resiko yang diambil oleh Starvision. Bike Boyz menggunakan pemain-pemain yang semuanya tergolong aktor yang baru pertama kali main film. Pentolan Preman Pensiun, Epy Kusnandar, didaulat sebagai pelatih akting mereka. Dan memang hasilnya tidak mengecewakan. Aep Bancet yang menjadi Agus, kadang perawakannya membuat dia tampak seperti Epy, bermain cukup meyakinkan. Para pemain baru ini – dibantu dengan ketepatan editing – mampu menyesuaikan ritme dan timing komedi sehingga adegan-adegan yang diniatkan untuk lucu memang tampak lucu. Dan ketika tiba giliran untuk adegan-adegan yang lebih bersifat drama, tidak ada yang tertawa. Pemilihan pemain pada film ini bahkan lebih risky daripada pada Preman Pensiun yang setidaknya wajah pemain-pemainnya sudah dikenal lewat serial televisi. Jejeran pemain Bike Boyz tidak punya headstart seperti Preman Pensiun. Bahkan tidak juga ada cameo. Langka ada film yang berani melakukan casting seperti ini.

heh jangan belagu, motor lu lebih murah daripada sepeda!

 
Berusaha keep up dengan waktu, dan dunia pergaulan anak muda – dunia yang dijadikan target pasarnya, Bike Boyz hadir kekinian. Bahkan mungkin sedikit terlalu kekinian untuk kebaikannya sendiri. Istilah-istilah seperti share loc, grup WA, video live terkadang terasa sengaja disebutkan alih-alih tampil natural. Dan pada akhirnya turut menyesakkn narasi yang memang basically tumpang tindih. Film seharusnya mengapproach ini dengan lebih natural lagi. Menginkorporasikan elemen-elemen penunjuk waktu dengan lebih mulus masuk ke dalam cerita – atau membuatnya mempunyai pengaruh langsung terhadap cerita. Bike Boyz bisa menjadi lebih berbobot jika mereka membahas motivasi menjadi geng vespa atau semacamnya – lebih menyorot kehidupan pribadi tokoh.
 
Menyenangkan menonton film yang tampil tanpa pretensius dan yang bukan terlalu ambisius seperti Bike Boyz ini. Ia hanya menangkap satu fenomena, pada satu panggung lokal, dan bersenang-senang dengannya. Bike Boyz memang bukan film yang sempurna. Namun ia adalah sajian ringan tak-berbahaya yang bisa dipilih untuk menghabiskan waktu bersama teman satu gengmu tercinta.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for BIKE BOYZ

Comments

    • arya says:

      iya nih, dua minggu kemaren aku gak sempat ke bioskop karena sibuk persiapan dan acara Festival Film Bandung 2019. Besok mulai ke bioskop lagi ngejar film-film yang kelewat

Leave a Reply