FROZEN II Review

“Sometimes growing up means growing apart.”
 

 
Angin perubahan bertiup di Kerajaan Arandelle. Enam tahun sejak dinobatkan menjadi Ratu, betapapun dia ingin keadaan mereka tidak berubah seperti yang dinyanyikan oleh Anna dan Olaf, Elsa yang punya kekuatan sihir es tetap tidak bisa membekukan waktu. Elsa bahkan belum mampu menentramkan hatinya – dia masih merasa tidak berada di tempat yang benar di Arandelle. Dan kemudian, suara nyanyian misterius – terdengar oleh Elsa seorang – datang bersama angin. Ada legenda tentang tempat magical nun jauh di utara. Malam itu, Arandelle kedatangan ‘tamu’; angin badai, surutnya air, kobaran api, dan gempa. Elsa merasakan nyanyian, bencana, dan kekuatannya sendiri ada hubungannya dengan tempat legenda yang pernah diceritakan oleh ayah mereka tersebut. Maka ia pergi mencari tempat itu. Dan karena persaudaraan yang begitu erat, Anna juga ikut serta. Membawa sahabat-sahabat mereka bertualang ke utara.
Aku salah satu dari orang dewasa – cowok dewasa – yang suka sekali sama Frozen (2013). Aku udah nonton berkali-kali. Aku sampai bikin subtitle-nya sendiri karena aku merasa film tersebut punya pengkarakteran yang keren dan aku pengen tahu bagaimana menulis karakter yang bagus. Bahkan lagu Let It Go yang diputer berlebihan di mana-mana itu pun tidak mengganggu buatku. Frozen adalah animasi modern Disney yang merekonstruksi seperti apa menjadi Princess dan Ratu. Film tersebut menggebrak dengan statement Ratu tidak butuh Raja, Putri tidak butuh diselamatkan oleh Pangeran. Dinamika Elsa dan Anna – kakak beradik kerajaan – cinta mereka dijadikan ‘senjata’ utama dalam cerita. Frozen II berusaha mendorong narasi relasi ini lebih jauh. Koneksi Elsa dan Anna digambarkan semakin solid, sampai pada titik kita paham pertanyaan ‘bagaimana jika mereka harus berpisah’ cepat atau lambat akan tersaji. Frozen II bahkan berusaha tampil lebih beda lagi daripada animasi-animasi Disney dengan tidak memasang tokoh penjahat; tidak ada sosok yang harus dikalahkan oleh Elsa dan Anna di sini. Sekuel ini harusnya punya potensi. Namun melihat dari hasil akhir, sebaiknya Disney membiarkan cerita ini pergi.

bahkan Elsa herself meringis dengerin dirinya nyanyi Let It Go

 
Kita tak perlu punya kekuatan sihir untuk bisa menebak film ini bakal punya visual yang bikin kita lupa menarik napas. Efek angin, detil gambar, ekspresi, tata cahaya – Frozen II tanpa cacat di departemen ini. Beberapa momen seperti Elsa berlari menerjang ombak, Anna dan Olaf berlayar di sungai dengan banyak raksasa batu, benar-benar tampak luar biasa sehingga aku berharap porsi petualangan seperti ini mestinya diperlama. Sayangnya dari segi cerita, film ini seringkali diperlambat oleh berbagai penjelasan. Mulai dari cerita legenda, cerita konfirmasi legenda tersebut oleh pihak pertama, dan bahkan ada beberapa menit dipakai untuk menjelaskan kembali cerita Frozen pertama lewat Olaf dan patung-patung es. Meskipun setiap eksposisi dihadirkan lewat visual menawan dan cara yang berbeda sehingga tidak bosan, tetapi tetap saja cerita menjadi terbebani. Petualangan tokoh-tokoh kita jadi kurang terasa.
Dibandingkan Frozen yang simpel, sekuelnya ini punya cerita yang needlessly rumit. Sama seperti Maleficent: Mistress of Evil (2019) ataupun beberapa film-film live-action princess Disney baru-baru ini, Frozen II pun memiliki elemen politik di dalam narasinya. Perdamaian dua kerajaan yang tidak berlangsung mulus karena pihak satunya begitu ketakutan. Ada ketakutan terhadap ras yang disimbolkan di sini. Tema seperti demikian memang sepertinya klik banget dengan penonton-penonton muda zaman sekarang. Anak-anak sekarang sepertinya lebih cerdas dan lebih tertarik membahas intrik. Bencana yang terjadi di masa Elsa nyatanya adalah dosa dari generasi terdahulu; ini bergaung kuat dengan konteks modern yang diusung pada Elsa dan Anna. Karena merekalah yang membereskan masalah, dan mereka melakukannya dengan cara tersendiri. Hidup dengan pemahaman bahwa mereka melanjutkan kehidupan dan membuatnya menjadi lebih baik juga merupakan bagian dari fase growing up, yang jadi tema utama film ini.
Empat tokoh sentral – Elsa, Anna, Kristoff, dan (keluh) Olaf – punya perjalanan yang melambangkan tantangan yang dihadapi seseorang ketika ia bertumbuh dewasa, ketika ia harus berubah sebagai bagian dari pendewasaan. Voice-akting keempat tokoh ini sudah bisa ditebak luar biasa. Terutama Idina Menzel yang suaranya begitu powerful, klop sama tokoh Elsa. Keempatnya pun diberikan lagu pribadi untuk mencerminkan proses pendewasaan itu. Elsa dapat lagu terbaik. Ia menyuarakan keberanian untuk menempuh sesuatu yang baru. Yang mengajarkan kepada penonton muda bahwa it’s okay untuk mencari diri sendiri, untuk mencoba keluar dari perasaan nyaman yang mulai terasa mengukung ketika kita mulai dewasa. Menyambung Elsa ada Olaf. Pribadi, aku gak suka Olaf. Dia annoying, dan di film ini dia dapat porsi yang lebih banyak lagi sehingga saat menontonnya aku harus menggigit kedua tinjuku hanya supaya aku tidak menggunakannya untuk meninju telingaku sendiri. Tapi aku mengerti bahwa peran Olaf di sini memang besar dan diperlukan. Olaf, dan nyanyian solonya, melambangkan kepolosan kanak-kanak yang menanggap dunia orang dewasa penuh hal yang tidak dimengerti, dan Olaf mengajarkan bahwa nanti kita semua akan mengerti secara natural.
Karakter yang paling sial dalam film ini adalah si Kristoff. Sepanjang durasi dia tidak diberikan apa-apa selain running-joke klise mau melamar – ngasih cincin ke – Anna, tapi Anna-nya gak pernah ngeh, sehingga rencana Kristoff selalu gagal. Kristoff juga dapat lagu Lost in the Woods yang aneh banget, animasinya ada yang kayak Bohemian Rhapsody, musiknya kayak musik rock 80-an, kelihatan dan kedengarannya canggung aja. Padahal lagu Kristoff tersebut melambangkan fase penting anak muda yang merasa kehilangan, atau tersesat, ketika ia jauh dari orang yang ia cintai. Untuk melengkapi lingkaran fase bertumbuh yang diusung cerita, Frozen II memasang Anna. Yang begitu berdeterminasi, yang sayang kepada kakaknya. Elsa sudah memilih. Dan kali ini giliran Anna. Perjalanan karakter Anna, yang adalah gagasan utama film, dihimpun dalam lagu The Next Right Thing, yang mengajarkan dalam kebingungan lakukanlah hal yang menurutmu benar – inilah ultimate part dari bertumbuh. Kita mengambil keputusan.

Bertumbuh bersama bukan lagi secara tradisional harus bersama-sama. Frozen II memperlihatkan bahwa kadang, dalam proses pendewasaan, kita akan berpisah dengan yang disayang. Tapi itu tidak berarti kita berhenti tumbuh bersama. Karena cinta di antara kita adalah konstan yang tidak berganti. Perubahan tidak bisa dihentikan, perpisahan serta merta akan terjadi – itulah makna menjadi dewasa. Dewasa yang berarti tidak melupakan orang yang kita cinta.

 

pengen dewasa tapi masih ketawa setiap kali teringat Adele Dazeem

 
Elsa dan Anna jadi simbol sisterhood dan kemandirian perempuan yang kuat. Pada film ini diperlihatkan, walaupun hanya Elsa yang punya kekuatan es, mereka berdua adalah wanita yang kuat saat sendiri-sendiri. Kebersamaan mereka tidak pernah menjadi toxic. Ini adalah pesan yang powerful. Maka dari itu, aku merasa aneh pada satu keputusan yang diambil oleh film untuk mewakili satu karakter di menjelang akhir film ini. Untuk menghindari spoiler berlebihan; aku hanya bisa bilang mereka membuat Elsa dan Anna berpisah jalan. Keputusan salah satu tokoh setelah itu terasa sangat abrupt, seperti film ingin tergesa menyelesaikan sehingga tidak memikirkannya dengan matang. Tokoh ini membuat keputusan yang bakal berpengaruh besar kepada banyak orang. Keputusan yang pada naskah sebenarnya adalah fake solution, dan akan dibenarkan pada sekuen berikutnya. Namun dari sudut pandang si tokoh yang mengambil keputusan, ini adalah keputusan sepihak yang beresiko dan sedikit keluar dari karakternya sendiri. Keputusan ini kembali mencerminkan politik; menunjukkan sedikit kepada kita pemimpin seperti apa si tokoh ini kelak. Dan aku enggak tahu apakah sutradara Chris Buck dan Jennifer Lee sengaja atau tidak – sadar atau tidak – menempatkan si tokoh dalam posisi demikian.
 
 
 
Sebagai dongeng modern Disney, film ini adalah salah satu yang paling berani dan ambisius. Dia berkembang menjadi lebih dewasa daripada film pertamanya. Secara visual, film ini tampil lebih baik. Lagu-lagunya juga enggak begitu over. Catchy juga, suara Menzel juara, Namun secara cerita, mengalami penurunan. Ceritanya padat tak beraturan, dengan selingan eksposisi yang memperlambat tempo. Petualangan yang dihadirkan tak begitu terasa seperti petualangan yang menyenangkan. Tapi jika kita sudah mencintai karakter-karakternya, maka akan mudah untuk tetap menyukai film ini. Pada dasarnya mereka semua lovable. Termasuk tokoh-tokoh baru. But gosh.. I hate Olaf.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for FROZEN II

 

Comments

  1. Albert says:

    Akhirnya ada juga yang sependapat lebih suka yang pertama. Rata2 lebih suka yang kedua. Yang pertama membekas banget sih dulu, padahal aku nontonnya deret paling depan. Yang kedua ini kebanyakan lagu rasanya, kayak opera ceritanya dijelaskan lewat lagu. petualangan rasanya membosankan, ga pernah merasa terancam. Twist siapa yang jahat juga udah biasa. Endingnya kukira mau dibikin kayak Maleficent hidup berdampingan, ternyata enggak. Tapi ya visualnya sih luar biasa ya terutama yang bagian air. Tapi bedanya sih aku suka sama Olaf. Malah lucu menurutku, menghibur di antara bosan, hehehe.

    • arya says:

      yang pertama lebih simpel dan enak ceritanya… yang ini ribet haha, petualanagnnya gak seru
      aku lebih suka salamandernya itu daripada Olaf… Olaf tokohnya kayak knockoff Dory dan Patrick spongbob xD

      • Albert says:

        Oh iya cute itu salamandernya hehehe. Sekuel memang resiko ya kalau yang pertama udah berkesan banget. Pengen dibikin lanjutannya tapi jadinya rusak kalau lebih jelek. Tapi kalau uangnya mungkin lebih banyak yang Frozen 2 ya?

        • arya says:

          iya, gedean budget yang kedua ini kayaknya.. sekuel memang biasanya paling jeblok karena formulanya biasanya ngebahas masa lalu, dan memang lebih tricky nyeritain masa lalu

  2. qisth says:

    bener, lagunya Kristoff aneh, terkesan maksa, liriknya jg aneh. visualisasinya mau dibikin ala2 boyband atau gimana ya itu? belum lg reindeers yg jadi backing vocalsnya. What the … hahaha

      • qisth says:

        scene Kristoff nyanyi itu kayaknya ga perlu deh. terlalu didramatisasi dg weird, cuma biar dia kebagian scene nyanyi solo juga XD
        scene Olaf memudar jd serpihan2 salju jujur sempet bikin saya nangis. tapi begitu inget kalo Elsa bisa dengan gampangnya ngembaliin Olaf pake sihir (ditambah hint “air bisa mengingat” yg berkali2 Olaf bilang), rasanya kek di-prank. hahaha

        • arya says:

          cara mereka nampilinnya nyanyinya itu gaje banget gak sih ahahaha, lagian Kristoff di sini garing tokohnya… jadi gak kerasa apa-apa pas nonton bagian dia

  3. vin says:

    Wah aku blm nonton nih yg k2. Jd mau komen (baca: muji) film yg pertama aja deh. Ada satu scene yg menurutku adalah scene terbaik dalam jagat animasi, yaitu saat Elsa melepas sanggul (atau apa namanya, kurang paham) pas nyanyi LET IT GO. Pokoknya segenap perasaannya kita akan ngerti dan peduli. Merinding! Nih Elsa kan tokoh animasi, tapi kita merasa connect berkat penjiwaannya yang jauh di atas rata2 tokoh atau film yg benar2 diperankan manusia beneran. Salut Idina Menzel!

      • vin says:

        Iya juga sih. Ya emang lagu LET IT GO itu build up nya sdh mantap sangat. Gimana ya kata2nya? Emosi kita ditarik sampai ubun2 sedari awal sedikit demi sedikit terus diledakkan di lagu itu.

    • Miaw says:

      Nah di film yang ke-2 ini lagunya juga sampe ke ubun-ubun klo mau coba nyanyi, alias head voicenya Brandon (PAD) pecah, tinggi beut 😀

  4. tokiran says:

    Filmnya agak kurang berkesan seh.. And mudah dilupakan.. Padahal film paling ditunggu.. Difilm ini yang paling unyu ych salamendernya dan pastinya olaf yang sengaja dikasih porsi besar difilm karena untuk menguatkan humor komedinya agar film. Ini tidak boring
    Adegan gokilnya pas dia tanpa sengaja sebut SAMANTHA.. gua ngakak parah… Dan adegan dia niruin elsa juga gua ngakak.. PokoknyA difilm ini olaf bintangnya…

    • arya says:

      haha itu samantha siapa sih, penonton pada ngakak waku Olaf manggil-manggil
      petualangannya banyak yang bilang mirip-mirip sama cerita film Annihilation

      • tokiran says:

        Waduh q juga gak tau min.. Mungkin samantha tuh reflek diucapkan olaf.. Samantha seh emang kebenaran gak ada cuma sekedar humor aja seh menurutku

  5. Rive says:

    Kalau yg lagu lost in the woods itu kayaknya memang sengaja dibikin gaje dan lebay ala video clip lagu 80an. Kayaknya jokes khusus buat ortu generasi 80an yg bawa anak nonton frozen 2, gw sendiri ngakak sih. Berasa nostalgic lol.. malah gw appreciate banget Disney nyempilin joke itu. Cm kasihan Kristof, lost in the woods for the rest of the movie haha… Bruni the salamander cute banget pengen bawa pulang…

  6. Yolanda_Land says:

    keputusan tokoh yang di akhir gimana maksudnya bang? yang memutuskan Anna dan Elsa ga bareng lagi? entahlah kayaknya itu udah jadi klimaks buat mereka berdua. Ibarat kalo dari referensi Avatar (and yes, beneran kek Avatar) si Aang emang harus keluar dan independen kan sebagai si penguasa 4 elemen/Elsa yang jadi jembatan roh? jadi udah bener kalo dia harus kasi tahta Arendelle ke Anna. Memang ada saya baca komen2 gitu sih di youtube “kalo bisa jadi dewa, kenapa harus jadi raja?” apakah di bagian itu maksudnya?
    balas ya Bang.. salam kenal juga. Udah lama jadi pembaca setia review Bang Arya dan follow ig juga 😀 .. cuma baru ini komen langsung ^^

    • arya says:

      bukan, maksudku bagian yang Anna ngambil keputusan menghancurkan Arendelle, menurutku tentang dam yang berdampak ke Arendelle ini mestinya distressing cerita lebih jauh lagi, terlebih karena di akhir toh Arendelle tidak beneran hancur dan mati-matian diselamatkan oleh Elsa.. sebagai perbandingannya mungkin bisa dilihat pada Thor: Ragnarok – keputusan Thor membiarkan Asgard hancur sangat on-point proses dan reasoning dan aftermath segala macamnya
      halo, salam kenal juga, thankyou yaa.. sudah aku followback belum?

  7. mutiara veradyah akarta (@mutiara_v_a) says:

    aku malah suka banget sama olaf bang, soalnya dia tuh beda sama aku yang selalu berpikir positif beda sama aku, kayak sosok yang kuidamkan gitu jadi orang yang membuat orang lain bahagia meskipun dia sudah mulai meleleh
    suka suka banget sama 1 baik ke 2 sih aku, tapi memang soundtrack di season 2 ini kayaknya terlalu banyak semua di jabarkan di lagu
    kalau di season 1 itu yang jadi main soundtrack Let It Go mantap banget
    kalau di season 2 ini kenapa kayak “eh” banget yang jadi main soundtrack malah Into the Unknown padahal lebih nendang Show Yourself
    Waktu di Season 1 itu aku bener-bener endak suka sama Anna soalnya dia naif banget di Season 2 ini menghapus semua ke bencian sama Anna
    Apakah akan ada Season 3 mencari siapa itu Samantha? hahahaha

    • arya says:

      Yang agak aneh Elsa sih ya, di Pertama dia mau menyendiri tapi disuruh jadi ratu dan diajarin bahwa dia bisa jadi dirinya sendiri di tengah-tengah banyak orang. Eh yang di Kedua ini, ujung-ujungnya dia tetap ‘menyendiri’ dan belajar bahwa dirinya memang berbeda dari semua orang
      Hahahaha yang ketiga jadi sekalian sama sekuel seri Finding Nemo; Frozen Finding Samantha XD

    • arya says:

      ter-la-lu… twistnya aja ada di dalam eksposisi, sehingga tak berarti apa-apa.. I mean, peduli apa kita sama kakek mereka yang ternyata jahat – kita tak pernah melihat Anna Elsa berinteraksi dengan kakek ataupun menganggap dia sebagai panutan.. Peduli apa kita sama ternyata ibu yang nyelametin ayah mereka – cerita pencarian itu malah lebih nendang kalo ayah sudah nyebutin ibunya yang nolong sedari awal… Dan lagi, peduli apa sama Olaf ngelucu nyeritain Frozen lagi??!!! Hahaha buatku itu buang-buang waktu banget

  8. Dimas says:

    saya suka Olaf seperti sy suka Minions di Despicable Me (not as standalone movie). tapi jika dosisnya kebanyakan lama-lama “eneg” juga kan hhehehe..
    btw bakal review Eggnoid enggak?? istri sy ngajak nonton tapi sy sendiri takut “zonk”.

    • arya says:

      Hahaha iya, standalone movie Minions sudah sukses jadi siksaan buatku, jangan sampai deh ada standalone movie Olaf
      Bakal sih, tapi kayaknya baru hari Minggu aku bisa nonton Eggnoid

Leave a Reply