THE LIGHTHOUSE Review

“For a man who loves power, competition from the gods is annoying”
 

 
Enggak ada hal baik yang bisa terjadi ketika dua pria terjebak bersama di suatu tempat yang mengharuskan mereka berbagi peranan. I mean, bayangkan tumpah meruahnya testosteron di tempat itu. Sejak dari zaman purba, pria memang paling hobi bersaing. Namun Darwin sekalipun bakal bingung jika ia melihat evolusi kompetisi di dunia yang semakin kompleks. Pria bukan lagi bersaing demi hidup di esok hari, pria kini bahkan tidak puas hanya sekadar menang. Sekarang semua adalah soal menguasai seni kemenangan. Ada ego yang dipertaruhkan. Ketika menang dan harga-diri sudah dijadikan tujuan, seorang pria tidak bisa untuk tidak menang gemilang. Dan supaya menang gemilang, maka semua harus dipertaruhkan. Dan semua harus dipertaruhkan itu berarti kau mengerahkan apapun, kau kehilangan perspektif – kehilangan akal sehat.
Setidaknya mungkin itulah yang ingin disampaikan oleh Roberts Eggers dakam horor terbarunya setelah The Witch (2016) yang fenomenal dan sangat aku suka itu. Bukan cuma aku, aku yakin, setelah The Witch banyak penggemar horor yang menantikan karya original berikutnya dari sutradara ini. The Lighthouse hadir dengan menjawab ekspektasi semua orang. Jika pada The Witch Eggers diam-diam membahas soal wanita dan feminism empowerment di balik horornya, maka kali ini dia membawakan horor ke dalam dunia maskulin pria.
The Lighthouse bercerita tentang dua orang pria yang bekerja mengurus mercusuar di tahun 1890. Jadi belum ada internet untuk mengusir sepi. Televisi pertama bahkan baru akan ditemukan empat-puluh tahun kemudian. Kedua orang ini benar-benar sendirian di pulau kecil terasing tersebut. Mereka hanya punya masing-masing untuk teman ngobrol. Masalahnya adalah, Ephraim Winslow tidak percaya sama seniornya yang lebih lama bekerja di mercusuar tersebut. Sikap Thomas Wake yang udah kayak kapten kapal bajak laut memang lumayan aneh kepada Winslow. Pembagian tugas diberikannya dengan sedikit timpang; Winslow mengurus kerjaan kasar di siang hari – mancing ikan untuk makan, ngangkut bahan bakar untuk listrik dan pemanas rumah, plus disuruh-suruh bersihin rumah. Sementara Wake sendiri bertugas mencatat laporan rahasia dan begadang di malam hari menjaga lampu suar di menara. Satu-satunya tempat yang tidak boleh didekati oleh Winslow. Pikiran negatif terhadap Wake mulai merasuki pikiran Winslow. Alkohol dan keadaan hidup yang sulit memang membuat mereka menjadi teman. Namun kondisi semakin intens ketika mereka terjebak di sana begitu badai menerjang. Winslow tak tahu lagi harus percaya kepada siapa; kepada Wake yang penuh omong kosong, tahayul, dan peraturan gak-adilnya – ataukah kepada pikirannya sendiri yang perlahan semakin menggila.

mercusuar bentuknya udah kayak penis, cocok sebagai panggung horor dua pria ini.

 
Bukan tipikal horor yang menakutkan, jika kalian mengharapkan ada penampakan yang mengagetkan, atau ritual perjanjian dengan iblis, maka film ini niscaya akan bikin kalian kecewa. Horor yang disuguhkan oleh The Lighthouse adalah tipikal horor yang mengganggu. Di dalamnya ada elemen thriller, ada elemen fantasi. Yang paling kuat terasa adalah elemen psikologis. Gambar-gambar mengerikan dalam terms film ini adalah gambar-gambar surealis serupa yang biasa ditemukan dalam karya David Lynch, you know, hal-hal ganjil yang awang-awang antara kenyataan atau hanya figmen alias imajinasi dari si tokoh. Mungkin kalian pernah mendengar anekdot ‘saat terperangkap di pulau bersama seseorang, hal apa yang akan engkau bawa’. Nah, film ini seperti mengingatkan kepada kita bahwa permasalahan yang sebenarnya adalah bukan pada apa yang dibawa, melainkan sama siapanya. Horor yang ditunjukkan oleh The Lighthouse berupa kengerian terjebak, hidup bersama, seseorang yang tidak kita tahan. Entah itu karena menjengkelkan, karena benci, karena enggak sejalan pikiran, atau karena enggak bisa dipercaya.
Dan oh boy, betapa kedua tokoh kita ini tidak bisa dipercaya. Sudut pandang mereka dengan sengaja dikaburkan oleh film. Padahal kita seharusnya memegang paling tidak salah satu dari mereka. Paranoia itu memang bukan saja disarangkan kepada para tokoh, kita yang nonton juga benar-benar diajak untuk merasakan hal yang sama.
Mari kita lihat dinamika kedua tokoh ini, mulai dari si Winslow sebagai tokoh utama. Robert Pattinson memberikan penampilan terbaik sepanjang kariernya sebagai Winslow. Range tokoh yang ia perankan ini luas sekali. Tokoh ini tadinya pendiam, dia seperti gak suka ngomong, dan later kita bakal mengerti kenapa dia lebih suka untuk menyimpan kata-kata untuk dirinya sendiri. Dia punya teori-teori sinting tentang tempatnya bekerja, tentang rekannya. Dia punya masa lalu yang masih diperdebatkan kebenarannya – namanya bahkan sebenarnya bisa jadi bukan Winslow dan ada kemungkinan si Winslow yang asli menghilang karena perbuatannya. Bibit konflik Winslow dengan Wake bermula dari Wake yang enggak pernah diam. Entah itu meneriakkan perintah kepada Winslow, ataupun ngobrol apa saja saat makan malam. Willem Dafoe dengan aksen raunchy memang tidak tampak sebagai orang jujur seratus persen. Dia malah seperti menyetir Winslow – yang hanya ingin bekerja dengan benar – melakukan hal-hal yang ia inginkan, kadang dengan alasan yang gak jelas. Teman bicara yang seperti menyimpan sesuatu, kerjaan yang sepertinya lebih berat dari seharusnya, tempat yang semakin mengisolasi, belum lagi dorongan alami sebagai seorang pria, kita akan menyaksikan langsung Winslow menjadi kehilangan kewarasan. Dan mungkin bukan dia saja yang sudah edan. Ada adegan Wake mengejar Winslow dengan kapak, dan beberapa menit kemudian dua tokoh ini berusaha berdamai, dan Wake malah menyebut dirinya takut karena baru saja dikejar oleh Winslow pake kapak. Juga ada obrolan ketika Winslow yakin mereka ketiduran karena mabok satu hari, sedangkan Wake berkata mereka sudah ketiduran berhari-hari. Bener-bener sulit mengetahui siapa yang bohong, seolah dua orang ini juga berlomba siapa yang paling jago mengelabui.
Bukan lagi dua orang ini saja yang di ambang kegilaan karena saling gak tahan dan karena keadaan terjebak. Film juga mendorong kita untuk merasa sinting bersama mereka. Lihat saja aspek teknis film. Editing yang bikin kita bingung mana yang nyata, mana yang rekayasa. Belum lagi bentrokan desain suara, satu detik kita mendengar deburan ombak yang menenangkan, detik berikutnya raungan mesin memekakkan telinga kita. Warna hitam putih dan ratio kamera yang membuat layar sekubus kecil bukan hanya digunakan supaya period piece film semakin kuat terasa. Melainkan juga untuk memberi kesan terbatas, sempit. Minim warna membuat kita tak yakin apa yang sedang kita lihat, dan layar yang persegi menghantarkan perasaan terjebak yang dialami para tokohnya.
Disclaimer: Tidak ada camar yang dilukai, dan tidak ada mermaid yang ternodai dalam pembuatan film ini

 
Keambiguan adalah menu spesial film ini. Tidak ada jawaban yang pasti. Jika kalian mengajak pacar buat nonton, niscaya di akhir film kalian bakal mendapat dua interpretasi berbeda tentangnya. Ending film yang bikin garuk-garuk telinga sambil mangap itu bisa dijadikan kunci untuk memulai sebuah interpretasi. Yang kita lihat adalah pemandangan yang cukup familiar; sebuah scene ikonik dari mitologi Yunani yakni Prometheus yang isi perutnya dimakan oleh burung-burung. Dosa Prometheus dalam mitologi adalah dia berusaha mencuri api dari Dewa. Ini exactly yang kita lihat dalam film. Winslow berusaha mengambil alih lampu menara suar, lampu yang dilarang baginya oleh Wake. Banyak petunjuk, baik lewat dialog maupun adegan fantasi, yang menunjukkan perbandingan langsung antara tokoh film dengan tokoh dalam mitologi Prometheus. Cerita Prometheus sendiri bermakna tentang persepsi kekuasaan (power) – Prometheus merasa dirinya pantas menjadi dewa bagi manusia sehingga ia mengambil tindakan yang ia lakukan – yang cocok disandingkan dengan cerita Winslow dan Wake.

Penting bagi pria untuk berada di posisi yang mencerminkan kuasa yang ia miliki. Winslow adalah pekerja keras, ia merasa kerjaannya lebih berat, jadi mengapa ia tidak bisa berada di atas suar. Bagaimana kita merasa harus diperlakukan sesuai power yang kita miliki adalah gagasan cerita yang terpikir olehku. Kadang ego pria seperti Winslow, juga Wake, begitu besar sehingga pria either mengambil jalan pintas untuk mengambil posisi yang ia merasa pantas, atau menjadi gila kekuasan karena menanggap hanya dirinya yang pantas.

 
So yea, film tidak peduli sama sekali bahwa dia tidak mengangkat cerita yang trendi, isu yang hangat, film ini tidak berusaha menjadi mainstream. Dia juga tidak merasa sok jago dan nge-art banget sehingga jadi pretentious. Film ini actually punya selera humor yang kocak terhadap hal tersebut. Sebab sepertinya sengaja menuliskan tokohnya sebagai tukang kentut. Seolah meledek kita yang sok bangga nonton film ‘berat’. Kentut di sini juga bekerja dalam konteks cerita. Semua orang punya batas kesabaran. Dan garis ambang toleransi Winslow kepada Wake terletak pada kentut tersebut.
 
 
 
Bukan horor konvensional, melainkan horor yang begitu intens mengenai pergolakan power antara dua pria. Meskipun kebanyakan isinya ngobrol dan ngajak kita berpikir (bahasa yang digunakan tokoh berdialog juga enggak langsung mudah dicerna), tapi cerita tak pernah membosankan. Keambiguan dan cara ngecraft cerita sehingga kita seakan turut menjadi gilalah yang menjadikan film ini spesial. Film adalah soal pengalaman menonton. Pengalaman horor yang ditawarkan oleh film ini adalah salah satu pengalaman terbaik yang bisa kita rasakan sepanjang tahun.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for THE LIGHTHOUSE

Comments

  1. Muji Hidayat says:

    Baru selesai nonton dan mikir, bisa bisanya kepikiran mercusuar yang di analogikan sebagai penis panggung mereka berduel. What a thought! Pikiran2 seperti ini yang jadiin saya selalu nunggu review2 anda. Bikin saya banyak belajar lagi dan mikir lagi. Anyway, Saya setuju, Film ini spesial. Saya nonton dalam keadaan kelelahan, cuma g tau kenapa membiarkan diri ikut gila buat tetap nonton sampai habis.

    • arya says:

      itu aku kepikirannya pas mau bandingin ini sama Persona si Bergman, pas muter openingnya langsung ‘klik’; di Persona yang ttg cewek aja ada penisnya, di Lighthouse mesti bisa nemuin satu juga ahahaha
      aku denger bahasa si Wake aja rasanya udah mau setengah gila hahaha, mesti sering pause dan diulang-ulang XD

  2. Miaw says:

    Baru baca review dari sumber lain, katanya ini salah satu film yang recommend jugua di tahun 2019.
    Finally, sempat kurang bersinar film dan aktingnya setelah Tiwlight, semakin ke sini R.Petingsing alias Robert Pattinson semakin belajar dan semakin sering dapet peran berbobot di film berbobot pula. Nextnya akan main di TENETnya Nolan dan be coming Batman.

    • arya says:

      R. Petingsing wtf hahahaha
      iya sih, pasangan jebolan Twilight kayaknya bener2 pengen buktiin mereka gak jelek, mungkin karena dibully jadi meme jadinya mereka ngepush diri supaya jadi lebih baik.. soalnya bukan cuma Pattinson, si Stewart juga jadi semakin berbobot – baru Charlie’s Angels ini dia main di film receh lagi

  3. sheiza says:

    Klo menurut aku sih ya, si wake dan winslow ini udah mati, dan si winslow nyadar klo dirinya udah mati pas liat lampu itu.
    Liat adegan diawal, mereka berpapasan sm penjaga sebelumnya tp gak saling nyapa. Winslow mati dibunuh sm anak buahnya tom, dan dia mash menyangkal kematiannya.

    • arya says:

      wah keren nih teorinya, mereka kayak gak ternotice gitu ya pas papasan.. ayo kembangin lagi teorimu, cari adegan-adegan pendukung, biar jadi tulisan sendiri,. nanti giliran aku yang baca 😀

  4. mrizqunakbar says:

    Dari persfektifku Winslow dan anak buah Wake itu yang sebenarnya jaga mercusuar..Tapi karena ada perselisihan, anak buah Wake dibunuh oleh Winslow.
    Jadi selama cerita sebenernya Winslow itu sendirian dalam mercusuar dan bikin teman khayalan berbentuk Wake. Winslow menuduhkan semua kesalahannya kepada Wake karena dia masih ga bisa terima kalo dia bunuh anak buah Wake.
    Selama film ini pula sebenernya Winslow itu bertarung dengan isi kepalanya sendiri yaitu dengan divisualisasikan dalam bentuk Wake.

  5. levi says:

    akhirnya bisa paham endingnya….
    awalnya gak paham bgt kenapa matinya dimaem burung dan skrg sudah lega
    ty reviewnya…

    • arya says:

      itu burungnya mata satu, sama kayak yang dia usir di awal, terus disebutin sama Wake burung camar itu spirit orang yang sudah mati dan kemudian direveal penjaga sebelum Winslow meninggal dan dia bermata satu!
      masih banyak sebenarnya misteri di film ini ahahaha, keren

    • arya says:

      paralel dengan mitologi yang digambarkan di ending tu kayak hukuman manusia ngelawan atasan lah… di mitologi yunani kan yang dimakan isi perutnya kayak di ending itu adalah raksasa yang melawan dewa, yang mencuri api dewa karena merasa api itu lebih layak buat dirinya.. di film ini kan si Winslownya gitu juga, merasa jaga lampu itu harusnya kerjaan buat dia

  6. iksan andi says:

    Kalo dr sudut pandang saya film ini dari awal sampai akhir sebenarnya cuma visualisasi dari memori dan keinginan Winslow yg sekarat yang digambarkan diakhir film. Sperti adegan terakhir Winslow di lampu mercusuar yaaa paling tidak begitu lah kengerian malaikat pencabut nyawa yg divisualisasikan di film ini. kalo teka teki tubuh winslow di akhir film bisa didebatkan sih. bisa juga karena dia sudah terdampar sebelum sampai di pulau mercusuar itu. karena kapalnya karam mungkin hehehe

    • arya says:

      hmm bisa juga sih; iya jadi jangan-jangan sebenarnya Winslow itu ya yang di akhir film, lagi sekarat dimakanin burung-burung, dan seluruh film adalah visualisasi memori dan keinginannya saat sakratul maut ya.. makanya di film dia benci banget ama burung camar wkwkwk

  7. Nana says:

    Langsung nyari review film ini setelah nonton dan nemu situs review ini. You did a great review.
    Aku merasa kurang puas karena gak dapat kesimpulan di akhir ceritanya. Bener bener filmnya bikin gak nyaman tapi bagus bgt. Thank you atas review nya min.

    • Arya says:

      Bisa putri duyung, bisa lampu ajaib, apapun kayaknya sesuai imajinasi masing-masing, karena adegannya simbolik kan. Si Pattinson melihat apa yang belum bisa dia handle sekarang

  8. Halimun says:

    Aku pernah kerja di tengah laut… Bagi yg pertama kali kerja di laut dan ga bisa beradaptasi dg kehidupan sebelumnya memang akan mengalami setidaknya seperti si winslow. Salah satu adegan mabuk ketika winslow benar2 muak dg terisolasinya. Ia berkata “aku ingin steak langka. Bahkan menyetubuhinya” nah di laut itu makanan yang sewaktu di darat ga kita hiraukan . Ketika dilaut kita akan merindukan makanan tersebut.. karna itu dia .keadaan di laut samaa di darat sangat berbeda .
    Dan di akhir film . Knpa si winslow ingin sekali melihat lampunya . Karena emang pikirannya sudah ga stabil . Dikira di atas lampu ada bidadari ya . Dan dia bisa indehoi di atas mercusuar itu . Yg nyatanya itu hanya sebuah lampu mercusuar biasa. Makanya gimmick si winslow pas liat lampu seperti penyesalan yg mendalam dan berteriak .. lalu jatuh . Cmiiiiiiiwwiww

    • Arya says:

      Berarti memang efek terisolasi itu bisa bikin halu sampai segitunya ya. Yang serunya kan film ini bikin karakternya ada dua orang, jadi kayak ngasih tau punya temen yang sama-sama terisolasi pun tetap bikin stres. Nah, kalo di kerja di laut kayak gitu, bisa sampai bikin gondok ke teman-teman juga gak mas? aahaha

Leave a Reply