DOLEMITE IS MY NAME Review

“Just do it”
 

 
 
Kalian yang pernah atau mungkin sering dikasih saran bikin film gak usah pake nunggu, kelarin naskahmu, kumpulkan teman-teman buat jadi kru, dan langsung rekam gambarmu; film Dolemite is My Name bisa dijadikan inspirasi untuk mewujudkan karyamu.
Film yang edar di Netflix ini adalah drama biografi komedian, penyanyi rap yang jadi sensasi di Amerika 70n karena ia dengan ‘seenak udel’ mengubah diri menjadi bintang dan produser film – yang semuanya ia kerjakan sendiri. Rudy Ray Moore bukan seniman, tapi ia bisa menjadi begitu banyak karena kemauan dan kegigihan untuk mewujudkan. Rudy mencoba semuanya. Di awal film kita melihat dia memohon kepada penyiar radio supaya album R&B yang ia rekam sendiri di ruang tamu tantenya diputarkan untuk didengar banyak orang. Permintannya ditolak. Kemudian kita melihat dia ngebanyol sebagai stand up komedi. Enggak ada yang ketawa. Ketika Rudy mendengar cerita tentang “little bad motherfucker called Dolemite” dari gelandangan yang sedang ia usir dari toko, seketika dia terinspirasi. Oleh cerita dan gaya bercerita si gelandangan. Jadi Rudy mengambil jas ngejreng, bergaya ala Goodfather WWE, dan hidup dalam persona Dolemite. Gaya Rudy cukup ampuh. Dari stand up, ia lantas menjual ribuan kopi album ngerap/bercerita. Rudy ingin menjadi bintang sebagai tanda bahwa ia eksis. Goal berikutnya adalah membuat film, tampil sebagai bintang film. Supaya lebih banyak lagi orang yang menonton dan terhibur olehnya. Selanjutnya adalah sejarah, film Dolemite yang ia buat sukses menjadi salah satu cult classic, fenomena dalam skena Blaxpoitation perfilman Amerika 70an.

His name is Dolemite, and selling is his game.

 
Sebagai kulit-hitam yang sebenarnya bukan gak punya talent, Rudy adalah jack-of-all-trades; dia bisa banyak hal tapi yang ia bisa itu gak ada yang menonjol. Dia seperti Anna di awal-awal Frozen yang sepanjang hidupnya melihat ‘pintu’ di depan wajahnya. Alias selalu ditolak. Jadi Rudy menciptaka… enggak, dia mendobrak sendiri pintu untuknya. Setelah terkenal sebagai Dolemite, Rudy masih menemui kesulitan mencari investor yang mau membiayai ceritanya. Setelah filmnya jadi pun, dia susah payah mencari bioskop yang mau memutarkan filmnya. Ini relatable banget. Aku paham dan merasakan sendiri sukarnya mewujudkan karya karena kita bukan siapa-siapa. Perjuangan Rudy memang terdengar cukup heroik. Namun ada komplikasi; film yang ia usahakan tersebut bukan film baek-baek. Karya-karya Rudy sebagai Dolemite bukanlah karya yang innocent, melainkan penuh kevulgaran, kata-kata kasar. Bentuk terendah dari sebuah hiburan. Oleh karena perjuangan dan yang diperjuangkan mentok banget inilah, film Dolemite is My Name terasa sangat menarik dan menghibur.
Proses Rudy dan teman-temannya mengerjakan film dengan profesionalisme yang terbatas jadi main-course buat komedi. Mereka mengubah hotel terbengkalai menjadi studio film, tempat suting, dan segalanya. Mereka bahkan gak punya listrik dan mencuri dari bangunan sebelah. Segala source mereka sangat terbatas, tapi Rudy ini nembaknya tinggi. Ada sekuen ngumpulin orang semacam sekuen yang biasa kita lihat dalam film-film heist. Banyak kelucuan datang dari dia berusaha meyakinkan artis beneran yang ia jumpai di klub untuk menjadi sutradara. Membawa anak muda pembuat film pendek untuk jadi DOP – karena gak ada satupun gengnya Rudy yang ngerti kamera, apalagi teknik-teknik mengambil gambar. Dia juga membujuk penulis teater untuk jadi penulis naskah; yang mengantarkan kita pada adegan brainstorming kocak. Film yang mereka kerjakan secara objektif memang sangat jelek, tapi Rudy paham pada menjual apa yang ingin ia jual. Sehingga tawa kita yang tadinya mengarah kepada Rudy dan para kru, perubahan berubah menjadi tertawa bersama mereka. Kita ikut merasa puas bareng mereka.

Jika mau sesuatu, ambil. Jika bisa sesuatu, lakukan. Jangan tunggu ‘waktu yang tepat’. Jangan tunggu persetujuan dari orang, selama itu tidak berkaitan dengan mereka. Jangan takut gagal, ditolak, dan diledek; karena tentu kita akan gagal, ditolak, dan diledek habis-habis. Tapi kita belajar dengan mencoba. Dengan melakukan apa yang ingin kita lakukan. Kita yang mengejar kesempatan, mencari jalan masuk. Jadi, ya, biarlah kayak iklan sepatu: just do it!

 
Nonton kisah Dolemite ini kayak nonton The Disaster Artist (2017). Bedanya, tokoh kita diberikan backstory yang lebih dalam. Dalam Disaster Artist, ‘kemistisan’ Tommy Wisaeu dipertahankan, kita tidak pasti dia dapat duit produksi darimana, kita enggak yakin siapa dia sebenarnya – bahkan umurnya saja misterius ada di kepala berapa. Itu jadi pesona pada film; sebagai bagian dari gimmick Wiseau sebagai seniman, sebagai brand yang dijual. Sedangkan dalam Dolemite is My Name, kita actually akan mengeksplorasi Rudy sebagai seorang manusia. Kita diberi ruang supaya mengerti cara berpikirnya, apa keinginannya. Hubungan Rudy dengan salah satu ‘artis’nya akan memperlihatkan kepada kita semua hal tersebut; ketakutan, passion, dan semangat Rudy. Jadi, film ini enggak sebatas pada tentang pembuatan film jelek-yang-jadi-ngehits. Melainkan juga lebih memfokuskan kepada manusia di baliknya.

Dolemite udah nyarutin orang sebelum Samuel L. Jackson

 
Makanya penggemar Eddy Murphy niscaya akan bersorak girang. Perannya sebagai Rudy si Dolemite yang bergaya crude namun tampak sedikit flamboyan ini enggak sembarang receh. Melainkan juga bisa dramatis dan penuh kemanusiaan. Sudah lama sekali Murphy gak meranin tokoh yang komplit sepertinya. Terakhir kali aku melihatnya bermain bagus di Mr. Church (2017), tapi di sana dia agak sangat serius. Murphy yang sudah lama ‘terjebak’ mainin komedi keluarga yang receh, akhirnya dapat pelampiasan dalam film ini. Rudy cheap, ego tinggi, ngomong jorok berirama (rapnya mirip kayak pantun), tapi memiliki makna dan kepentingan. Kita bisa merasakan passion Rudy bukan ke bersikap demikian, tapi ke pekerjaan menghibur orang. Di atas senyuman personanya, kita melihat mata yang penuh rasa lapar. Selain kesuksesan, Rudy seperti pengen menelan semua kesempatan yang bisa ia dapatkan. Ya, kita bisa bilang Rudy adalah loser, tak-bertalenta, yang oportunis. Namun dia punya modal tersembunyi; dia mengerti pada apa yang ia bisa dan apa yang tidak bisa ia lakukan. He works on both things, tanpa mengunyah lebih banyak dari yang ia bisa telan. And oh boy, how he has a ‘big mouth’

Pelajaran lanjutan yang bisa kita ambil dari Rudy Ray Moore adalah kendati kita bergerak demi passion dan mimpi, kita mengambil tindakan tanpa perlu dengar kata dan persetujuan orang lain, kita masih tetap perlu untuk mengisi diri untuk terus melakukan perbaikan jika ingin maju. Rudy membuat film hiburan untuk kaumnya, tapi dinilai rendah kritikus – he owns every words of them, dia bahkan senang melihat filmnya dikatain kasar dan receh. Rudy gak mau bikin film yang bagus, dia hanya bikin film yang menghibur teman-temannya.

 
Durasi panjang film ini pada beberapa bagian cukup terasa. Mainly karena sikap Rudy yang berfokus kepada mengembangkan apa yang bisa ia lakukan secara eksternal. Rudy kian terasa kayak pembuat film yang kita remehkan; yang mau lebih banyak ledakan, lebih vulgar, lebih banyak hal nonsense, sementara pengembangan dan innernya tidak banyak perubahan karena Rudy sudah paham betul kemampuannya. Ada satu dua adegan ia bimbang filmnya gak laku, tapi itu semua terlihat seperti cara film memancing drama saja. Tadinya kupikir film ini lewatin kesempatan gak bahas stake lebih banyak; soal Rudy ngambil ide dari gelandangan kurasa bisa jadi konflik yang pas untuk internal Rudy – mungkin dia bisa dibuat dituntut karena mencuri ide, atau malah dia mempekerjakan gelandangan supaya bisa mengambil lebih banyak ide komedi. Namun memang elemen itu jika dimasukkan hanya akan membuat  cerita semakin terlalu Hollywood. Dan aku yakin sutradara Craig Brewer mengarah pada tone yang lebih realistis karena bagaimanapun, sefantastis apapun perjalanan Rudy, ini adalah biografi. Dan di dunia nyata, memang gelandangan gak bisa gitu aja punya suara, ataupun gelandangan gak bisa gitu aja diajak kerja. Karena sekalipun mereka jago bercerita, belum tentu mereka bisa jadi kru atau penulis naskah. Emangnya Rey Palp,..Skywalker yang scavanger tapi ternyata bisa betulin Milennium Falcon – Han Solo yang punya pesawatnya aja gak bisa.
 
 
Jadi aku menghormati pilihan yang dilakukan oleh film ini. Walaupun di pertengahan film menjadi agak lambat. Stakenya kurang nendang, melainkan menjadi agak komikal karena Rudy-nya sendiri pengen begitu. In sense, film komedi ini sangat grounded – ia juga membahas manusianya dan tidak satupun mereka tampak eksentrik. Kita mengerti kebutuhan mereka terkait persona dan jualan. Meskipun begitu, fenomena film yang dibuat oleh para tokoh kurang terasa menguar buat kita terutama yang awam sama sejarah film Blaxploitation dan baru mendengar Dolemite untuk pertama kalinya di sini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for DOLEMITE IS MY NAME.

Comments

  1. Miaw says:

    Dari baca reviewmu sekilas,hasil karya Dolemite seperti menampar pembuat acara TV lokal di indonesia dengan acara-acara gejenya. CMIIW >,<

    • arya says:

      bahwa mereka juga no-talented, gak ngerti keilmuan yang sedang dikerjakan, dan sesungguhnya hanya penjual/pedagang/bisnismen yang handal? hahaha

Leave a Reply