JOJO RABBIT Review

When you know love then that is the time you forget hate”
 

 
Setiap film perang sebenarnya adalah film-film anti-perang yang menyamar. Buktinya ya kayak Jojo Rabbit ini. Kisah dalam film ini diadaptasi dari novel serius karangan Christine Leunens yang berjudul Caging Skies. Membahas tentang prejudis dan diskriminasi Yahudi oleh Nazi Jerman, sebagai pembuka mata bahwa perang yang mereka lakukan selama itu sesungguhnya sebuah kehilangan besar dari kemanusiaan yang satu. Oleh Taika Waititi pesannya tersebut disamarkan lebih dalam lagi. Jojo Rabbit dihadirkan dengan nada komedi, gagasannya difokuskan lagi olehnya menjadi sebuah pesan anti-kebencian. Yang membuat film ini menjadi lebih relevan lagi dengan keadaan dunia sekarang; dunia tempat di mana kebencian digunakan sebagai propaganda dan api untuk menakuti-nakuti dan mengontrol kepentingan politik beberapa pihak.
Tantangan pertama cerita ini adalah bagaimana cara membuat tokoh utamanya yang seorang kadet nazi yang udah benar-benar terpatri untuk membenci dan menghabisi setiap yahudi yang ia lihat menjadi simpatik. Sebagai film, tentu saja ini akan menjadi journey sangat menarik; perjalanan seorang yang penuh kebencian menjadi menyadari hal-hal indah yang membuat dia mengubah pandangannya. Dan menjadi berkali lipat menarik karena tokoh dalam Jojo Rabbit adalah anak kecil yang masih berusia sepuluh tahun. Waititi sudah berpengalaman menangani cerita dalem yang bertokoh anak-anak (tonton juga Hunt for the Wilderpeople yang keluar 2018) sehingga ia mengerti menampilan ‘penuh kebencian’ ini dengan cara dan takarannya sendiri.

bukankah kita semua adalah anak kecil yang polos di hadapan doktrin-doktrin kebencian?

 
 
Jojo Rabbit dibuka dengan set up Jojo si calon tentara Nazi yang dilatih di kamp pelatihan. Pelatihan di kamp yang kita bayangkan bakal intens dan penuh disiplin dan jenderal galak ternyata tampil lucu. Waititi menekankan posisi dan sudut pandang anak kecil untuk menggambarkan dan mengomentari doktrin kebencian yang menjadi api perang ini dengan sarkas. Informasi yang diberikan film persis seperti kita mengingatkan kepada anak-anak, simpel. Pisau itu berbahaya. Granat apalagi. Semuanya dihampar lewat pengadeganan yang lucu, lewat tokoh-tokoh yang ‘ajaib’. Namun dunia Jojo adalah dunia yang mengharuskan perang. Jojo hidup dengan pemahaman bahwa semua hal ironi (berbahaya namun sia-sia), semua peperangan dan kebencian terhadap yahudi adalah hal yang patriotis.
Opening film ini ‘meledek’ salam Nazi dengan menampilkannya diiringi lagu I Wanna Hold You Hand-nya The Beatles yang dibahasa-jermankan. Ada adegan petinggi-tinggi Nazi yang saling menyapa “Heil, Hitler!” setiap kali bertemu dilakukan Waititi dengan adegan satu menit dan salam itu terdengar lebih dari dua puluh kali. Tokoh Nazi dalam film ini gak ada yang sadar yang mereka lakukan itu tak lebih dari kebencian dan perbuatan kosong. Mereka bahkan gak ngeh kalo dunia mereka vibrant dan begitu berwarna, kota itu seperti bukan tempat yang kita bayangkan jika mengimajinasikan kebencian. Salah satu elemen penting yang dipunya film ini adalah percakapan antara Jojo dengan Hitler yang diperankan oleh sang sutradara sendiri. Aku membaca banyak kritikus ataupun penonton luar yang gak suka dengan portayal Hitler dalam film ini. Mereka mengatakan menjadikannya parodi, seperti tokoh kartun, adalah langkah tidak-sensitif oleh film; mengecilkan dosa dan perbuatan laknat Hitler itu sendiri. Dan hal tersebut tidak lucu. Well, mengkartunkan Hitler bukan pertama kali terjadi di sini. Charlie Chaplin sudah lebih dahulu mempermalukan sang diktator di tahun 1940 lewat film The Great Dictator. Lagipula, yang dilakukan oleh Waititi bukan sekadar menghumorkan. Karena ketika kita teliti, Hitler yang di film ini bukan Hitler ‘asli’. Melainkan Hitler yang ada di kepala Jojo.
Tokoh ini penting karena dia adalah perwujudan dari doktrin yang bersarang di dalam kepala Jojo – yang sama sekali belum tau dunia dan pilihan lain di luar mindset swastika yang dipaksakan kepadanya. Bagi Jojo, Hitler asli adalah tokoh idola, pemimpin yang harus dihormati, ditakuti. Yang tak boleh dilawan kehendaknya. Relasi antara Jojo dengan Hitler imajinasi tersebut bukan menunjukkan bahwa si Jojo gila, ngomong sendirian. Melainkan untuk menunjukkan anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, — eh salah, itu lirik lagu, maksudku anak kecil juga – ralat lagi; AJA! – bisa berpikir, bisa bergumul dengan pikirannya, mempertimbangkan rasa. Ia tidak menutup pintu debat. Ia, tanpa ia sadari, berani mempertanyakan sifat-sifat bentukan doktrin yang bersarang di benaknya.

Musuh terburuk kemanusiaan yang sesungguhnya adalah doktrin yang didasarkan pada kebencian. Doktrin yang membuat kita menutup mulut, mata, telinga. Menjauhkan kita dari argumen karena menyangka doktrin tersebut tidak bisa diperdebatkan. Padahal dunia tidak pernah sesatu dimensi itu. 

 
Film di balik quirkiness-nya menunjukkan kepada kita bahwa doktrin kebencian sudah meraga ke pribadi Jojo, namun belum ke jiwanya. Jojo masih punya harapan. Malah, semua orang sesungguhnya masih punya harapan. Jojo payah dalam latihan perang, dia ngebom dirinya sendiri. Jojo gak tega membunuh kelinci, sehingga giliran dia yang diejek kelinci – makanya judul film ini Jojo Rabbit. Simbolisme bermain di sini; kelinci adalah hewan yang berani, cerdas, kuat, dan panjang akal. Jojo sesungguhnya benar seperti kelinci. Hanya saja, semua sifat itu belum terbentuk karena masih ada dilema pada moralnya. Dilema yang terbentuk oleh doktrin Nazi yang penuh kebencian tadi.
Enter Elsa. Bukan Ratu Salju dari Arendelle. Melainkan gadis Yahudi dari balik tembok di atap rumah Jojo. Awalnya tentu saja Jojo jauh dari Elsa, takut malah. Elsa (Thomasin McKenzie mencuri perhatian dengan begitu wonderful) juga enggak punya keinginan untuk berakrab-akrab. Mereka musuh, Nazi dan Yahudi. Jojo menyalurkan semua kebenciannya dengan menulis buku tentang Yahudi, hasil observasinya alias imajinasinya atas apa yang diceritakan Elsa – hanya supaya Jojo tetap takut dan tidak mengadukannya kepada tentara. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa Jojo hanya mempraktekkan kebencian tanpa actually merasakan kebencian itu. As the story goes, dia merasakan sesuatu dan perlahan kebencian-buta itu memudar. Film menunjukkan kepada kita bahwa apapun yang kita perbuat akan kalah sama apa yang kita rasakan di dalam hati. Inilah kunci dari semua kebencian tersebut. Hati yang dipupuk oleh cinta (bagi Jojo itu berarti dari ibunya dan perasaan genuine yang tumbuh dari interaksinya dengan Elsa) jauh lebih bermakna daripada benak yang ditempa oleh kebencian. Perasaan ini bukan hanya tumbuh pada Jojo. Film dengan nekat memperlihatkan satu tindakan pahlawan dari seorang panglima Nazi yang diperankan oleh Sam Rockwell.

Besar kemungkinan film ini bakal dihujat karena ingin menggambarkan Nazi sebagai sosok simpatik. Namun justru di sinilah poin yang ingin diutarakan oleh film. Bahwa nun jauh di hati kita semua sama. Bukan hanya yahudi yang harus dilihat manusia, bukan sebagai monster bertanduk. Tentara Nazi juga. Pandangan mereka terhalang oleh doktrin kebencian, dan begitu juga kita. Padahal seharusnya kita semuanya cukup dengan merasakan rasa. Tidak ada gunanya saling menebar kebencian. Lebih baik tumbuhkan cinta dan benci itu akan hilang dengan sendirinya.

 

karena ini film dengan anak-anak, maka: “Make friends, not war!”

 
 
Soal feel itulah yang dihamparkan dengan kuat. Meskipun filmnya bernada satir, tapi kita akan merasakan banyak hal sekaligus ketika menonton film ini. Kita bisa meraksakan bangganya Jojo sebagai Nazi. Malunya dia ketika dianggap pengecut. Marahnya dia ketika dia enggak mengerti apa yang ia banggakan sebagai Nazi. Takutnya dia ketika berada di tengah-tengah peperangan beneran. Uwiiih, kerasa benar bagi Jojo perang itu jauh seperti latihannya, jauh seperti yang ia bayangkan – dan ia gak siap. Ia menolak. Adegan perangnya terlihat mengerikan deh pokoknya. Waititi juara di sini menyatukan berbagai tone cerita, membawa kita mengarungi masing-masingnya dengan mulus. Ketika Jojo rindu dengan hangatnya cinta sang ibu, kita juga akan terhenyak.
Wajar dan pantes banget makanya jika si Roman Griffin Davis mendapatkan penghargaan di debutnya sebagai aktor cilik ini. Setiap emosi berhasil ia sampaikan lewat ekspresinya yang juga sama luwesnya. Davis mengimbangi penampilan Scarlett Johansson yang berperan sebagai ibunya. Kita akan melihat sisi lain dari Johansson karena di sini dia memainkan peran yang sedikit berbeda dari yang biasa ia tangani. Masih sok galak, dan pinter sih, tapi there are lot more to it. Ada satu adegan monolog darinya yang keren karena butuh  banyak range emosi dan ekspresi. Hubungan Jojo dengan ibunya jelas adalah yang paling penting, bahkan mungkin inti dari journey Jojo. Film memperlakukan hubungan ini juga dengan unik. Memanfaatkan sepatu sebagai simbol adegan. Gestur sesimpel mengingatkan tali sepatu dijadikan bentuk cinta yang luar biasa. Di luar iti, aku gak mau bilang banyak, tapi kujamin; it’s beautiful. Kalo menurut kalian enggak indah dan menyengat di hati, boleh jitak pala Hitler.
 
 
 
Karikatur komedi itu tidak lagi terlihat sedangkal yang kita bayangkan, di menjelang akhir babak kedua. Film ini punya niat yang begitu, menyebarkan semangat anti-kebencian, dan bermaksud memekarkan bunga-bunga cinta di hati kita. Dan semua ini dilakukan oleh film dengan melewati begitu banyak emosi. Horor dan humor bisa jadi datang bergantian, namun tak sekalipun kita merasakan film terbata menceritakannya. Waititi mengambil resiko dan upaya yang besar dalam membentuk ulang cerita adaptasi ini. Alhasil, semua yang mestinya jadi aneh malah tampak begitu indah. Satir itu punya makna yang mengena. Semua itu karena film ini berhasil menyentuh hati kita.
The Palace of Wisdom gives 9 gold stars out of 10 for JOJO RABBIT.

 
 
 
That’s all we have for now.
Kenapa doktrin kebencian bisa begitu tertanam pada diri manusia? Apakah membenci sesuatu memang lebih mudah daripada mencinta?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

      • irfan says:

        setelah sekian purnama dan sebuah pandemi, akhirnya saya betul2 melakukan dosa untuk menonton film ini mas hehe
        Oh man, film ini bisa jadi standar how war film should be made.
        Pelajaran yg kita dapat dari sebuah perang adalah tidak seharusnya kita menjadi membenci salah satu pihak di dalamnya, tetapi kita bs menjadi mengerti mengapa kedua pihak menjadi mau utk berperang. Krn mungkin sebetulnya alasan perang hanya berada di permukaan dan semua yg di bawah tidak begitu mengerti apa-apa. Pada akhirnya, kita semua (tanpa cinta) adalah anak kecil di hadapan doktrin2 yg berbahaya.
        Nilai 9 mungkin bs relatif utk banyak orang, but for the message inside it, I’m with you and your 9 hehe

        • arya says:

          Di samping pesan anti-perangnya, film ini udah ngeset standar tinggi buat film (dengan tokoh) anak-anak dan buat film adaptasi. Struktur tiga-babaknya solid, plot karakternya kuat, berani baik dalam ‘mengubah’ maupun dalam gagasan itu sendiri. Jarang sekali kita dapat adaptasi yang gak menunggangi fans materi asli, yang dibuat cuma karena materinya laku sehingga harus sama demi memuaskan penggemar; menurutku itu alasan yang kapitalis sekali dalam memproduksi film dan gak nambah apa-apa buat perfilman itu sendiri. Jojo Rabbit ini nunjukin ke kita kekuatan sebenarnya dari sebuah materi adaptasi, sembari tidak melupakan kaidah-kaidah penulisan skenario dan filmmaking itu sendiri. Makanya aku kasih 9. Dan Oscar pun sepertinya setuju denganku haha

  1. Ryandi Aditya says:

    Yang paling keren, Taika subtle bgt gunain tanggal lahir Inga … Elsa bilang Inga lahir 1 Mei 1929 (kerusuhan di Berlin yg bisa dibilang jd awal mula Nazi naik daun), tapi ternyata yg bener 7 Mei (V-Day 7 Mei 1945). Secara gak langsung mau nunjukin kalo ending filmnya pas ultah Inga (Jojo mandangin foto Inga menjelang akhir film). Banyak bgt hal subtle laen. Sakti banget emang Taika.

    • arya says:

      see, aku bahkan gak sadar ada makna di balik tanggal-tanggal itu, gila nih film ahahha… jagoanku buat Adapted Screenplay Oscar deh kayaknya (pesaingan terberatnya mungkin Little Women, tapi aku belum nonton)

  2. Febrian says:

    Wooowww, 9, Bang???!!!! Kaget loh pas liat skornya. Biasanya kan yg dikasih skor gede yg bisa dibilang film “berat”. Soalnya inget banget dulu ngasih gede buat Blade Runner-nya Gosling, pas gua nyoba nonton, waduuuhhh kurang pas di gua. Hahahaha…. Lah ini gede gini bisa dibilang buat film yg fun. Ada alasan khusus kah, Bang?

    • arya says:

      Haha ya karena film fun juga bisa seluarbiasa ini.. setiap genre kan punya rentang masing-masing, bandingin sesuatu kan kita harus apple to apple; film juga bukan terbagi 8-9 film berat 5-6 film ringan kayak gitu. Film berat ada yang 9, ada juga yang jelek nilainya. Film ringan juga gitu, dari yang receh sampai pasti ada batas atasnya. Jojo Rabbit buatku batas tertinggi film komedi perang sejauh yang kutonton, sama kayak waktu aku ngasih 9 buat Your Name karena itu film udah set batas atas buat anime drama fantasi..
      Kalo buat nilai 9 sendiri, buatku yang pantas atau mungkin dapat 9 itu adalah film-film yang berhasil bikin dunia/mitologinya sendiri, yang berhasil menghimpun banyak tone cerita dan menceritakannya dengan mulus sebagai progres atau perubahan dunia itu sendiri; yang semua aspek filmnya berubah – bukan cuma karakter. Kayak Jojo Rabbit dari boot camp story ke cerita stranger in attic ke drama ibu anak ke drama perang. Atau Your Name dari drama tukar tubuh ke drama bencana ke drama fantasi reinkarnasi

  3. kun kun says:

    Belum nonton sih film ini.. Tapi kalo liat cast-nya yang ada anak kaecilnya, kalo dibandingin Moonrise Kingdom-nya Wes Anderson bagusan mana bang? Secara saya suka sama MK…

    • arya says:

      nah mirip-mirip Moonrise Kingdom itulah filmnya, MK lebih ‘aneh’ dan fantasi, kalo Jojo ini kadang lebih konyol tapi kadang lebih manis juga haha

  4. omnduut says:

    Sama kayak yang komen di atas, aku juga kaget dengan skor 9 ini haha. Masih tetep ngarep ada tag khusus untuk film bernilai tinggi. Di atas 8-lah. Jadi aku bisa cek melalui tag itu. 🙂

  5. Dimas says:

    ngakak pas adegan para petinggi Nazi grebek rumahnya Jojo trus ngucap Heil Hitler masing satu-satu. kenapa ga ngucapnya sekalian aja BAMBANK wkwkwkwkwk..

  6. arya says:

    setujuuuu ahahaha Yorki adorable abis, kocak juga… aku ngakak adegan dia ngeliat jojo di jalanan terus nyapa pake dadah-dadah padahal lagi bawa meriam dan meriamnya meledak nembak… terus reakis Yorki cuma “oh god” wkwkwk.. Reaksi Yorki ngasih selamat Jojo punya pacar juga lucu hihihi
    kalo punya anak, i’m gonna tell my kid Jojo dan Yorki itu Simon Pegg dan Nick Frost xD

  7. arya says:

    dia meluk jojo pake angkat kaki sebelah pula, aduh lucunyaaa ahahaha
    bener banget, dua aktor cilik ini bisa jadi penerus duo komedi/persahabatan nantinyaa, semoga dapat project yang ‘bener’ terus amiinn

  8. Anthony says:

    Entah kenapa saya merasa ada hubungan gay antara karakter Sam Rockwell dan ajudannya (si theon greyjoy). Ada scene tatapan penuh arti di antara keduanya.

  9. Skywalker says:

    Sumpah nonton film ini.. gak nyangka bakalan sesuka itu dan sesedih itu pas endingnya… Waktu tau ScarJo dapet nominasi Oscar buat Jojo Rabbit aku agak2 bertanya2 kok bisa ya, taunya emang pantes sih dapet nominasi.

    • arya says:

      Aku gak suka ScarJo, bahkan bisa dibilang aku ScarJo hater hahaha, tapi di film ini dia berhasil membuatku merasakan sesuatu.
      luar biasa sih memang naskahnya, totally deserved the oscar

  10. resta says:

    aduuhh yang paling terngiang buatku adalah disaat jojo menemukan ibunya tergantung.. sedih pake bgt super duper. rasanya pengen ditelen bumi klo aku jd jojo.

    • arya says:

      aku suka shot-shot sepatu ibu yang sering sejajar ama mata Jojo, di kolam renang, pas nari-nari, kirain buat apa digituin, eh ternyata ada adegan si Jojo ngenalin kaki ibunya pas lewat di tempat orang digantung.. perasaanku seketika jadi amblas gimana gitu, gak kebayang perasaan si jojo menemukan ibunya seperti itu

  11. Farrah says:

    Niat awal buka blog ini buat nyari review Greyhound karena pas lagi nonton dan udah di pertengahan film kok agak boring ceritanya (pengen tau dapet score berapa lol) eh malah nemu review film ini & kaget bgt pas tau scorenya 9 hahaha lgsg pindah haluan ke Disney+ buat nonton film ini dan bener aja Jojo Rabbit adalah salah satu film terbaik yg ku tonton selama 2020 :’’’)
    Btw nyambung sm komen di atas, masih kurang mudeng sm alesan knp ibunya Jojo digantung. Ada hubungannya sm dia yg bagi2in selembaran itu ya mas? Yg sempet ketauan sm Jojo pas Jojo lagi pake baju robot? (Baju apalah itu yg lagi ngumpulin logam pokoknya)

    • arya says:

      Wah ada di Disney+ ya, waah harusnya bisa lebih banyak ditonton rangorang nih film sebagus ini
      Iya ibunya si Jojo ternyata semacam aktivis pembela Yahudi gitu deh.. selebaran anti-perang itu yang ia sebarkan, sehingga dianggap oleh Nazi sebagai pengkhianat, yang akhirnya ditangkap dan dibunuh. Cewek yang di loteng rumah Jojo kan ibunya yang masukin ke sana, dia selamatkan lah istilahnya dari kejaran Nazi.

Leave a Reply