1917 Review

“A warrior is defined by his scars, not his medals”
 

 
Semua pejuang Perang Dunia I – termasuk di dalamnya adalah kakek sang sutradara yang namanya disebutkan pada kredit akhir film 1917 – melewati pengalaman hidup-mati yang benar-benar mengerikan. Mereka bukan superhero yang senantiasa selamat ketika musuh menyerang, dipuja-puja semata karena mengalahkan musuh dengan jurus ciamik. Mereka manusia yang semata menggebah diri untuk menjadi berani, yang berjuang membela yang dipercaya sekaligus berkutat untuk tidak menjadi seperti yang mereka lawan. Perjuangan yang sangat berat adalah mempertahankan kemanusiaan, dan dalam perang semua nilai-nilai kemanusiaan dapat dengan mudah tergadai.

Film 1917 dibuat oleh Sam Mendes bukan sebagai medali dari sebuah peristiwa peperangan. Melainkan – di sinilah letak keurgenan film ini – sebagai pengingat perang semestinya jangan sampai terjadi lagi. 

 
Ada dua hal esensial yang bisa bikin kita jatuh cinta sama suatu film. Cerita, dan pencapaian teknisnya. Film yang ‘dewa’ banget bakal punya keduanya. Film 1917 enggak begitu mentereng dari segi cerita. Enggak ada pengungkapan gede, enggak ada plot ribet. Film ini mengisahkan dua orang tentara Inggris yang lagi nyantai di tengah medan perang yang lagi adem ayem. Minggu depan mereka bakal makan malam ayam di rumah masing-masing. Jerman udah dipukul mundur ke belakang garis depan. Tentara Inggris di bawah pimpinan Kolonel MacKenzie sudah bersiap melakukan serangan terakhir esok pagi. Namun ada kabar baru; keadaan tersebut hanya jebakan. Jerman yang diketahui sudah mundur, ternyata siap menyambut Inggris dengan serangan balik kekuatan berkali lipat. Dua tentara yang lagi ngaso tadi – kopral Blake dan Schofield – dikirim ke garis depan untuk memberitahukan ini kepada Sang Kolonel. Mereka berdua harus berpacu dengan waktu sebelum pagi tiba, melintasi daerah musuh yang berbahaya, demi menyelematkan seribu enam ratus nyawa tentara.

Sebelum Jerman berteriak “I activated my trap card!”

 
Jika kalian menganggap kisah simpel yang menggerakkan film ini tampak seperti storyline video game – aku sendiri teringat sama opening game Suikoden II begitu melihat adegan-adegan awal film ini, maka tunggu sampai kalian menyadari cara film ini menceritakan kisah tersebut. It is exactly kayak video game. Menonton ini sensasinya sama kayak lagi main game perang, atau petualangan, karena sebagian besar adegan akan menyorot tokoh dari belakang dan kita mengikutinya. Gerak kamera begitu immersive sehingga kita serasa ikut bergerak bersama. Kejadian film pun dibuat seperti mengacu kepada bagaimana video game menyusun adegan-adegan. Ada porsi aksi saat intensitas naik, player mengambil kendali, kamera menyorot dari belakang, mengikuti perjalanan. Setiap belokan di parit penjagaan itu terasa berbahaya. Belum lagi suara tembakan atau even apapun di kejauhan, Scho dan Blake seperti selalu diancam bahaya. Kemudian ada kalanya mereka tiba di tempat baru, dan kamera merekam sekeliling, sudut pandang kita lebih luas – ini seperti bagian cutscene pada videogame, pemain rileks menikmati cerita. Tokoh-tokoh pendukung dalam film ini bahkan diberikan fungsi seperti penjelasan-level pada video game. I mean, dari waktu ke waktu Scho akan bertemu dengan pimpinan-pimpinan seperti MacKenzie, dan mereka akan memberikan eksposisi sedikit tentang situasi , just like bagian penjelasan antar-level dalam game. Penonton yang sering main game pasti akan merasakan kesamaan ini. Setelah percakapan perpisahan dengan satu tokoh yang mengantarkan Scho ke jembatan, tanganku malah sampe otomatis meraih ke depan tempat duduk mencari joystick karena untuk beberapa detik aku merasa sedang bermain game alih-alih menonton sinema.
Kadang kamera akan berjalan duluan, menjauhi tokoh, sehingga kita mendapat jangkau pandang yang lebih luas dan pemahaman tentang sekitar medan menjadi lebih lebar. Dan karena ini adalah beneran medan perang, maka yang kita lihat benar-benar pemandangan mengerikan medan peperangan. Film memperlihatkan mayat manusia dengan mulut menganga, mayat-mayat kuda, mata kita dilarang untuk menoleh ke kiri ke kanan karena set yang dibangun begitu mendetil dan menyokong rasa yang ingin disampaikan. Ketakutan Scho dan Blake mengarungi perjalanan tersebut nyampe dengan sukses kepada kita. Film membuat mereka mengalami begitu banyak hal mengerikan yang bisa terjadi kepada manusia di medan perang, mulai dari tangan tertusuk kawat hingga menghindari bom di tempat yang penuh tikus. Inilah kenapa film menggunakan cara pengambilan gambar yang seperti one-take dari awal hingga akhir. Inilah kenapa film terlihat seperti video game. Kamera tidak ingin melepaskan kita sedetik pun dari pengalaman yang dirasakan oleh tokoh-tokohnya. Sense of real time yang mereka bangun dengan gerakan kamera yang seamless seolah tanpa cut, dan terbukti sangat berhasil.
Film 1917 ini menggunakan gimmick seolah ia dishot dalam satu take, seperti Birdman (2014). Semua pengadeganan sudah dipikirkan, posisi pemain, jalur kamera, gerakan tokoh – seluruh elemen tersebut dirancang untuk menampilkan ilusi film ini diambil dengan satu take yang panjang. Namun peran besar editing dan efek di sini juga tak bisa kita abaikan. Film memanfaatkan adegan-adegan seperti tokoh yang tertembak sehingga jatuh dan gelap, atau masuk ke dalam air, atau tokoh berjalan di antara benda seperti pohon atau tembok, sebagai celah untuk mengcut dan menyatukan kembali dengan shot berikutnya. Precise sekali sambung menyambung yang dilakukan, sehingga ilusinya gak kentara. Film melakukan ‘gimmick’ ini dengan tidak sembarangan, melainkan dengan cita rasa seni yang tinggi. Lingkungan dan aksi ditangkap oleh kamera dengan sangat menawan. Dengan warna-warna, misalnya pada scene di malam hari yang tampak kece sekali. Departemen musik dan suara juga ikut menyumbangkan suasana intens yang enggak dibuat-buat ataupun terasa lebay. Pencapaian teknis film ini memang sukar untuk diabaikan
harus ditenangin dulu setelah lihat tikus jerman segede gaban!

 
While film ini niscaya dengan gampang menghibur banyak penonton – kita bisa menjamin kata-kata ‘seru, tegang, ataupun dahsyat’ bakal keluar dari mulut teman yang menyaksikan – aku juga masih bisa melihat beberapa penonton akan menyebut kekurangan film ini adalah kurang berisi. Lantaran cerita yang sangat simpel. Film ini memang kurang lebih seperti Dunkirk (2017); menempatkan kita begitu saja ke tengah-tengah peperangan, mendadak mengikuti orang-orang yang berjuang nyawa. Namun Dunkirk memang dibuat lebih ke arah thriller. Sedangkan 1917 masih berusaha mengangkat lebih banyak drama, walaupun memang penceritaannya dilakukan dengan cepat, dan berkat teknis yang mencuri perhatian kita bakal mengoverlook drama dan bakal mainly mengingat film ini sebagai pengadeganan dan ilusi one-shotnya itu saja.
George MacKay dan  Dean-Charles Chapman, respectively sebagai Scho dan Blake, diberikan peran yang bukan tanpa arc. Karakter mereka ditulis berlawanan dengan Blake memiliki fungsi sebagai pendukung bagi pertumbuhan karakter Scho. Pada permulaan film, Scho tidak terlihat punya semangat juang sebesar Blake. Ia malah tampak kesal sudah ditunjuk Blake untuk menemani melakukan misi. Dan takut – Scho tanpa ragu nunjukin keengganannya, ketakutan, keraguannya terhadap misi mereka. Scho percaya pada hal terburuk yang bisa terjadi. Kontras sekali dengan Blake yang semangat dan optimis, dia penuh motivasi karena abang kandungnya ada di pasukan MacKenzie, dan si abang akan jadi korban jika mereka gagak datang menghentikan serangan tepat waktu. Sifatnya inilah yang menurun kepada Scho setelah peristiwa mengenaskan di pertengahan cerita. Kita melihat transformasi dari Scho, dia benar-benar berjuang kali ini. Arcnya comes full circle dengan adegan akhir yang mirip dengan adegan awal, hanya saja kita tahu tokohnya sudah bukan lagi pribadi yang sama. Scho yang tadinya bahkan enggak peduli dengan medali, menjadi sadar dan bangga berjuang atas nama luka-luka dan jerih payah ia tempuh dengan semangat untuk membuat hidupnya lebih bermakna daripada sekadar cari aman. Scho rela berjuang bukan saja demi dirinya tapi juga demi orang lain.

Perjuangan itu seharusnya bukan hanya bertahan hidup. Yang terutama adalah mengisi hidup tersebut; menjadikan hidup berguna, terhormat, berjasa bagi orang lain. Sehingga akan ada bedanya bagi dunia saat kita hidup dengan saat kita tidak ada lagi di dunia.

 
Arc Scho sebagai tokoh utama sebenarnya sangat memuaskan. Pada babak akhir itu kita benar-benar pengen melihat usahanya tidak sia-sia dan dia selamat, karena kita akhirnya melihat dia tulus berjuang. Hanya saja kepedulian kita terhadapnya tidak muncul sedari awal. Kita tidak melihat alasannya berjuang hingga menjelang ending, Schofield ditulis sebagai karakter ‘ternyata’ alias backstorynya perlahan diungkap – dan sayangnya, itu termasuk motivasinya. Makanya ada sebagian penonton yang masih merasa kurang padat soal pengkarakteran yang dipunya oleh film ini. Aku pun setuju, motivasi Scho seharusnya bisa diperkenalkan sedari awal supaya saat menontonnya kita bisa lebih relate dan enggak hanya terpukau oleh teknis. Tapinya lagi, aku pikir, Scho bisa jatoh lebih buruk, like, di tangan penulis yang lebih kurang kompeten aku yakin Scho bakal jadi annoying dengan keengganannya ikut misi di awal-awal tersebut. Jadi paling enggak, aku menyimpulkan film ini menempuh resiko dengan membuat perjalanan Scho seperti yang kita saksikan, yang ditulis memang untuk sesuai dengan gaya one long take yang ingin mereka lakukan.
 
 
 
 
Meskipun bukan satu-satunya atau malah bukan yang pertama yang menggunakan konsep one-take, tetapi film ini tetap punya pencapaian teknis yang enggak bisa dipandang sebelah mata. Penceritaannya menerjunkan langsung ke medan perang dan menyaksikan sendiri perasaan mencekam di tengah-tengah sana. Kisahnya punya drama yang cukup untuk membuat kita ikut terengah-engah menontonnya. Sebab semuanya terasa begitu nyata, berlangsung tepat di depan kita. Tekanan waktu terasa mencekam, bahaya terasa mengincar dari setiap adegan. Ilusi dari gabungan teknis yang luar biasa sebagai cara film bercerita sungguhlah kuat. Sehingga jika film ini adalah peluru, maka ia adalah peluru yang membekas sangat dalam ke dalam pengalaman menonton kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for 1917.

 
 
 
That’s all we have for now.

Bagaimana pendapat kalian tentang Perang Dunia 3 yang sedang gencar ‘dipromosikan’ oleh pemerintah Amerika? Bagaimana perasaan kalian jika diharuskan untuk berperang?

 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

  1. Dimon says:

    Adegan waktu Sco ketemu gadis perancis itu entah kenapa buatku berasa tacky banget hihi terus setelah kena bom tikus doi masih mulus ga lecet berasa Rosie Huntington di Transformers haha aduh I really want to like this movie cuma banyak banget klise klise yang gerakin plot dan karakternya, too many coincidence. Ga jelek sih lumayan seru. Ak merasa lebih terenyuh dan tersentak setelah abis nonton Victoria yang ceritanya jauh lebih tipis dan mundane ketimbang ini.

  2. Febrian says:

    Bang, sebagaj awam gua bingung, itu tuh beneran one take (atau apalah istilahnya, one shot mungkin) ya? Yg paling tebel keliatan putusnya pas Sco pingsan paling. Udah gitu ada tikus2, itu gimana ngaturnya dah.. Heran sekaligus seneng sendiri nontonnya. Hahaha…
    Jadi buat dapet Oscar cocok ya ini, Bang?

    • arya says:

      enggak itu mah, banyak cut juga, cuma ya mulus banget.. kalo kamera udah jauh gerak di belakang benda kayak pohon atau tembok, itu dicut.. tikus2 itu cgi lah mestinya haha, pohonnya juga ada yang cgi kok kayaknya – kalo nonton di bioskop agak lebih jelas soalnya

  3. Febrian says:

    Nontonnya di bioskop kok, Bang. Emang saya aja yg awam ga ngerti apa2 soal teknik pengambilan gambar atau film. Hahahaha…

    • arya says:

      Cobain deh bikin film pendek sekali – gak usah mulukmuluk, jelek ceritanya juga gak papa – cuma supaya ngerasain sendiri aja mindset ngambil adegan, tarok kamera di mana, ntar nyambungnya gimana. Setelah itu, kali berikutnya kamu nonton film pasti secara gak sadar akan ngeh/merhatiin hal baru paling enggak soal posisi kamera filmnya

  4. ser says:

    (sebelum nonton dan ngeliat potongan review ini)
    Aku: kok cuman dapat 7,5?
    (Sesudah nonton)
    Aku: wajarlah dapat segitu. Ada beberapa adegan yang kurasa ngga masuk akal. Tapi, filmnya sukses bikin aku takjub dan adegan-adegannya masih terngiang, bahkan setelah aku keluar dari bioskop

    • arya says:

      ada juga yang setuju ahahaha.. aku pas ngasih nilai; pelit banget gak sih aku cuma ngasih segini, karena aku juga ngerasa teknisnya bagus, tapi filmnya yang terlalu fokus ke teknis jadi kejadian-kejadiannya kayak dikoreografiin banget

  5. Menik says:

    Hanya ingin bertanya.. Diawal kan Sco bilang “aku gak suka pulang, it’s hurts me”. Trus terakhir dia liat foto anak/istri. Apakah itu mereka udah meninggal ya ceritanya? hehe
    Eniwey, pas scene Sco jatuh/terjun ke sungai yg subuh2 itu video game banget kameranya :))

    • arya says:

      seingatku waktu itu dia bilangnya ‘easier not to back at all”, jadi istri anaknya masih hidup cuma bagi Scho ini mendingan gak usah ketemu-ketemu dulu sampai perang benar-benar usai.. dia gak mau ingat-ingat mereka karena bakal jadi beban. Scho enggak mau kebawa baper. Makanya baru di ending dia membuka foto mereka.

  6. Salita Ulitia (@ulitiaaa) says:

    kenapaaa babang Ben nya muncul bentar amat? :’)
    aku kok ngerasa filmnya masih kurang bikin Scho menderita ya hehe padahal storylinenya menurutku oke. yg agak aneh menurutku si cewe berbayi kenapa bisa survive di sana apakah sekadar ingin masukin aktris di pilemnya -_-

    • arya says:

      menderita sih udah, ketusuk kawat, kecemplung mayat, berenang ama mayat, kena bom, dll, hanya saja memang ‘sakit’nya kurang kelihatan
      hahah awalnya kukira bakal jadi lope-lopeannya si Scho, ternyata dia udah punya keluarga hahaha

  7. soearadiri says:

    Banyak yg bandinging film ini sama Dunkirk. I personally lebih suka film ini sih, greget sama tegangnya lebih dapet, padahal Bang Arya bilang Dunkirk lebih ke Thriller sedangkan film ini lebih ke drama. Penggambaran soal perangnya GILA sih nih film, detail abis. Beneran nunjukkin kalau perang itu gak ada bagus2nya.
    Soal si Scho saya nangkepnya, si Scho ini punya masalah dalam rumah tangganya, dan beneran gk niat utk pulang dari awal. Makanya pas di ending saya dapet banget kesan si Scho ini masih punya tempat utk pulang dan memperbaiki kesalahan2nya.
    Kalo utk film War favorit saya masih lebih suka Hecksaw Ridge. Karena itu film War pertama yg bisa bikin saya mewek, xixixixi

    • arya says:

      Satu poin yang jadi penetapan film si Scho pengen pulang, adalah ketika di awal mereka ngobrol soal makanan, Scho nyebut seminggu lagi we have chicken dinner. Itu juga sekaligus jadi penanda motivasi alias wants-nya tokoh ini, yakni dia mikirin perut alias dirinya sendiri. Arc si Scho keseluruhan adalah soal dia yang tadinya kurang berempati, dia menolak untuk berempati (kontras dibanding Blake yang buru-buru karena mau nolong saudaranya, yang bantuin serdadu jerman) menjadi lebih seperti Blake di akhir cerita. Makanya juga itu sebabnya aku menyebut 1917 lebih ke drama. Kalo Dunkirk enggak terlalu membahas arc; dan also, bunyi detak jam di film itu buatku thriller banget hahaha

      • soearadiri says:

        “we Will have chicken dinner” kupikir mereka bakal ke semacem pesta kemenangan gitu. Of course, si Scho bakal pulang ke negaranya kalo perang udah usai, tapi belum tentu doi bakal pulang ke Istri sama anaknya, kan? Ah udahlah filmnya juga gk memperlihatkan motivasi karakter utamanya secara gamblang juga. We have our own interpretation about this, hihihi
        Jadi gimana bang, kira2 pantes gak menang best Picture nanti? Kalo saya sih masih prefer Once Upon a time…, lebih solid aja. Tapi kalo udah menang di Golden Globe sama BAFTA kayaknya sih agak berat, ya…

        • arya says:

          Pulang, bukan pesta, soalnya lanjutan dialognya si Blake bilang dia gak jadi pulang, terus Scho bilang sebenarnya memang lebih ‘gampang’ gak pulang-pulang dulu sebelum menang ; soalnya kalo pulang Scho nanti kudu balik ke medan perang dan berpisah lagi ama keluarganya, ini kaitannya dengan kenapa dia gak mau nyinggung soal keluarga – foto cuma dia simpan di balik – Scho enggan baper, thus ia bersikap kurang empati pada sekitar di awal. Di akhir dia belajr humane lagi kayak si Blake, maka dia baru mau ngeluarin dan ngeliat foto keluarganya di akhir. Karakter Scho tersirat banget dari dialog-dialog dan adegan-adegan
          Dua-duanya aku oke sih menang Oscar, malah semuanya menurutku pantes. Kecuali Little Women, aku baru bakal ngamuk kalo film itu yang menang Best Picture hahaha

      • soearadiri says:

        Waduh, jangan gitu ah, nanti dituduh misogini lagi, xixixixi, tau sendiri kan jaman sekarang
        Jadinya Parasite tuh bang yg menang, kok saya malah jadi ngerasa tuh film Overrated ya, pendapat pribadi aja si

        • arya says:

          Waahahaha mungkin cuma aku yang kemaren senang Little Women gak dapat skenario
          True tho, buatku juga overrated si Parasite, apalagi setelah kejadian muka kehantam batu itu filmnya basically jadi genre-movie biasa yang, apalagi mengakhiri cerita dengan ‘mendua’/gak eksak dengan gak natural. Personal opinion: skenario gak kudu menang sih haha, Memories of Murder si sutradara jauh lebih kuat dan somehow relevan. Tapi ya memang agendanya, dan timing, bagi Hollywood ya sekarang adalah yang paling pas untuk menangin film internasional. Bukan ngecilkan kemenangan Parasite atau apa, cuma dipikir-pikir bener juga kata Garin Nugroho pas ngomentarin di Detik kemaren itu; “Akan ada selalu peta-peta baru, dan Amerika harus selalu jadi penemu peta baru tersebut”

      • soearadiri says:

        Iya juga sih kalo gitu mah. Soalnya kemaren Roma gk menang tuh salah banget si menurut saya. Mereka kayak bilang “Green Book yg harus menang karena film ini begini, nyeritain ini… Tapi bukan karena cerita dan tekhnik filmnya
        Padahal dulu saya pikir The Handmaiden-nya Park Chan Wook yg bakal jadi film Korea yg dinominasikan Oscar (I watched a lot Korean movies :p) tapi boro2, di kirim juga enggak, eeh malah Bong Jun Ho yg dapet, menang best Picture pula, PERTAMA yg gk pake bahasa Inggris, gila sih…
        Yaa, berarti kedepannya bakal lebih banyak film non-english yg masuk nominasi Best Picture dong yaa, bisa2 nanti dihapus tuh, best foreign language film, sekarang aja udah diganti namanya jadi best Internasional film, yg mana jadi bikin kategori ini kedengeran lebih diatas best picture yg jadi kedengeran best picture … Di Amerika aja
        Tapi tetep saya berharap bukan Parasite yg bikin sejarah itu. Masih kurang pantes aja.
        Duh kok dari tadi objektif semua sih, hihihihi

        • arya says:

          Hahaha bener juga ya, Best International beneran kedengeran kayak lebih tinggi di atas Best Picture, karena skalanya kayak global dibandingkan lokal. Oscar kudu mengupdate konsep mereka secara keseluruhan sih kalo udah kayak gini.
          Satu sisi merupakan progres besar-besaran itu kalo bener ntar International dihilangin, namun di sisi lain juga mengkhawatirkan karena kesempatan jadi malah semakin sedikit, karena ujung-ujungnya bakal jadi wacana doang, jadi tinggal nama. Karena Oscar harus live up to the name dan itu impossible kalo Academynya juga gak turut dirombak dan masukin orang-orang internasional.
          Parasite rasanya malah lebih ‘ringan’ dibanding Green Book sih kalo buatku haha

  8. Dimas says:

    Sam Mendes ini sutradaranya Spectre yg adegan openingnya juga pake effect long take shot juga ya kan?
    dari sisi cerita sih ya standarlah tapi dari sisi “experience” bener-bener keren emang sayang gak tayang di IMAX..

  9. Iksan says:

    Memang kyk video game sih. Seharusnya lbh seru kalo karakter utamanya didukung beberapa org spt di game call of duty. Bukan hanya 2 org sja. Terlalu sempit jadinya dg latar yg bgitu luas. Ya minimal spt saving private ryan bgitu masih lebih bagus krn bisa mengembangkan cerita di dsepanjang film. Lha kalo 1917 awalnya 2 org ditengah2 mati temennya. Ya akhirnya karakter utama cuma interaksi dg latarnya doang. Untung aja ada scene basement yg sdkit byk menolong dr disi dramanya.

    • arya says:

      wah iya atuh, kalo dibandingin ama saving private ryan masih kalah jauh film ini, terutama di segi cerita.. karena bener, style yang diincar film ini membuat ruang gerak untuk narasi jadi terbatas alias sempit. Hebatnya film ini ya dia berhasil ngisi ruang sempit itu dengan gemilang

Leave a Reply