MILEA: SUARA DARI DILAN Review

“The best way to love someone is not to change them, but instead, help them reveal the greatest version of themselves.”
 
 

 
 
Sepanjang pengalaman menonton dua film Dilan (yang mengambil perspektif tokoh Milea) ada gak sih – pernah gak sih – tebersit rasa penasaran cowoknya Milea itu kenapa bisa hobi berantem dan bergeng motor-ria, atau darimana si Dilan ini dapat alamat rumah Milea, atau siapa yang ngajarin dia jurus gombal yang sanggup bikin cewek SMA hingga emak-emak cekikian, atau -mungkin- kemana Dilan pada saat Milea mandi? Nah, jika pertanyaan-pertanyaan semacam itu pernah singgah di benak kalian; yang mengisyaratkan kalian peduli pada karakter si Panglima Tempur, maka film Milea: Suara dari Dilan garapan Fajar Bustomi dan Pidi Baiq ini adalah sajian untuk kalian.
Karena kali ini giliran Dilan himself untuk buka suara. Film ini dibuka dengan semacam breaking the fourth wall; memperlihatkan Dilan meng-acknowledge keberadaan buku Dilan 1990 dan 1991 yang merupakan kata hati dari Milea tentang dirinya. Narasinya menyebut Pidi Baiq telah memberikannya kesempatan untuk menuliskan segala kejadian dari sisi Dilan sebagai penyeimbang cerita Milea. Ketikan Dilan akan membawa kita dari masa dirinya kecil hingga ke momen Milea masuk ke dalam hidupnya, sesaat untuk dua tahun yang indah sebelum akhirnya mereka harus berpisah.

Origin story kenapa Dilan begitu cringey

 
Namun bahkan untuk memenuhi tujuan itu, film ini gagal untuk menjadi sebuah sudut pandang lantaran minim sekali elemen baru yang dihadirkan. Penonton yang ingin melihat seperti apa sebenarnya Dilan, tidak mendapatkan banyak hal berbeda dari tokoh ini karena penggalian yang dangkal yang tidak benar-benar dilakukan oleh film. Alih-alih berfokus kepada pembahasan untuk pembangunan perspektif karakter Dilan, beserta dunianya – melingkupi kehidupan sosial terkait geng motor, pribadi dalam hal hubungannya dalam keluarga – cerita tetap berpusat pada relasinya dengan Milea seperti yang sudah kita tahu dari dua film sebelumnya. Kita tidak diperlihatkan akar kesetiaan Dilan pada geng motor; kenapa dia masuk ke sana in the first place. Kita tidak diperlihatkan hubungan yang lebih detail antara Dilan dengan ayahnya; sosok yang sedari luar dapat kita lihat sebagai yang paling berpengaruh terhadap apa yang membuat Dilan seperti Dilan yang kita dan Milea kenal. Bahkan dalam urusan yang lebih receh seperti sumber ketertarikan Dilan kepada Milea, atau kenapa Dilan begitu maut rayuannya, kenapa dia bisa seajaib itu ngasih kado berupa TTS yang udah diisi — we never get to the bottom of this behavior.
Menceritakan kisah ini sebagai ketikan Dilan yang aware akan keadaan cintanya sekarang, yang berusaha menjelaskan kenapa dirinya dan Milea berpisah, actually membuat keseluruhan cerita semakin buruk lantaran yang ia ceritakan – yang kita tonton ini – tidak terkesan sejujur ketika Milea menceritakan sudut pandangnya. Cerita Milea: Suara dari Dilan tidak bisa dipegang kebenarannya dan lebih seperti pembelaan diri dari seorang yang memandang dirinya sebagai bucin dan pribadi yang cool dan ajaib. Sebuah cerita yang begitu self-centered. Misalnya ketika periode dia masih kecil ditanya cita-cita, Dilan menjawab cita-citanya pengen menikah. Ketika bundanya pengen masuk kamar, dia balik bertanya bundanya siapa. Sure, it’s cute dan unik. Namun karena film tidak menggali karakter ini lebih dalam, dan kita tahu adegan tersebut ‘ditulis’ oleh Dilan dewasa yang menceritakan kisah versi dirinya kepada kita, semua itu jadi terasa gak-real alias dibuat-buat untuk becandaan. Sama sekali tidak mengandung development yang genuine.
To make things even worse; Dilan yang jago berkata-kata, ternyata bukan storyteller yang baik. Kisah yang ia sampaikan melompat-lompat. Dan itu tertranlasi kepada kita sebagai rangkaian penggalan adegan yang sudah pernah kita lihat di dua film sebelumnya. Begitulah keseluruhan film ini. Rangkaian adegan ulangan yang disambung-sambungkan dengan adegan tambahan. Pertama kupikir, okelah mungkin ini montase penghantar yang menyambungkan Dilan 1990 dan 1991 untuk merefresh sekaligus pondasi bagi penonton yang belum tau cerita mereka. Namun dua puluh menit, tiga-puluh, hingga satu setengah jam kemudian montase alias adegan-adegan film lampau yang menandakan poin-poin cerita itu terus bermunculan. Mana cerita barunya, mana sisi lain dari Dilan yang seharusnya dikasih lihat kepada kita. Dan tahulah aku bahwa film ini sama sekali tidak punya hal baru, tidak ada penggalian sudut pandang yang dilakukan – motivasi Dilan yang ditetapkan sedari ia kecil adalah pengen nikah, namun pembahasan arc ‘ajaib’ ini juga sangat minim, jauh lebih parah daripada Milea’s di film pertama. Melainkan, film ini hanya mengulur-ngulur waktu karena sekuen yang benar-benar baru hanya ada di dua-puluh menitan akhir. Yakni saat Dilan dan Milea sudah dewasa, dan setelah berpisah mereka confront each other, dan menyadari ‘kesalahan’ masing-masing.
Dua-puluh menit terakhir itu; that’s our new movie. Pembuatnya gak mau capek mengembangkan cerita singkat itu menjadi film utuh beneran, materi aslinya benar-benar dikultuskan. Ini bisa jadi adalah film dengan usaha produksi yang paling kecil yang bisa dikeluarkan oleh sebuah studio/rumah produksi. I mean, ini adalah semacam trilogi tapi adegan-adegannya cuma kayak dari stock shot alias dicomot dari dua film pertama, kemudian disatukan, ditambah beberapa lagu dari Pidi Baiq untuk menggiring mood, dan jadi deh satu film lagi. Aku bahkan gak yakin Iqbaal Ramadhan dan Vanesha Prescilla dan pemain-pemain mengikuti suting lagi, karena film ini – keseluruhan triloginya – kayak dishoot dari proyek pertama dan kemudian hasil syut dibagi-bagi oleh pembuat sehingga jadi tiga film. Kalopun suting lagi, mereka hanya ngambil untuk tambalan dan memperlihatkan lebih banyak Adhisty Zara yang jadi adek Dilan, karena kepopuleran Zara sudah melesat jauh sekali sehingga kali ini jebolan JKT48 ini perlu lebih banyak dikedepankan sebagai nilai jual. Nonton film ini buatku terasa kayak sedang di-scam oleh orang, karena sama sekali tidak terasa seperti film baru. Melainkan lebih seperti menonton versi extended dari cerita yang sudah pernah aku saksikan. Or even; a highlight. Kalo kalian penggemar WWE dan familiar sama show kayak Velocity atau Afterburn – acara recap dengan narasi penjelasan dari host, film Milea: Suara dari Dilan ini rasanya persis kayak nonton acara tersebut.
Tapi paling enggak kita tahu darimana Dilan mengasah skill meramal yang ia punya.

 
Pengungkapan paling memuaskan yang dipunya oleh film adalah soal kebohongan-kebohongan Dilan. Pada film kedua kita melihat perubahan sikap Dilan ke Milea. Dilan tampak sebagai pribadi yang jelek sekali di menjelang akhir film, aku bahkan menuliskannya sebagai karakter Dark Triad dan merupakan pilihan tepat bagi Milea untuk melepaskan diri darinya karena kadang kita tidak bisa begitu saja mengubah seseorang. Di film terakhirnya ini (semoga bener-bener terakhir!), kita melihat alasan sesungguhnya – paling enggak, alesan dari narasi Dilan – kenapa Dilan bersikap demikian, bahwa itu semua sebenarnya konflik yang menyakitkan bagi dirinya, dan betapa ternyata dia sedang menutupi sisi terbaik dari dirinya yang mekar oleh cintanya kepada Milea.

Jika kita perhatikan, Dilan yang suka berantem itu, sesungguhnya hanya berbohong ketika menyangkut menjaga perasaan Milea. Dilan adalah karakter kompleks dengan relationship yang sama kompleksnya. Keduanya pantas mendapatkan film dan naskah yang lebih baik daripada ini. Keinginan Milea mengubah Dilan actually membuat Dilan mengungkap sisi terbaik dirinya, meskipun itu menyakitkan baginya. Dilan sebaliknya tidak pernah meminta Milea untuk berubah menjadi lebih sesuai dengan dirinya, dan dengan bersikap seperti demikian, keduanya tanpa menyadari telah saling mendorong untuk menjadi lebih baik, thus membuktikan besarnya cinta di antara mereka berdua. 

 
 
Film harusnya bercerita lebih banyak tentang pengungkapan seperti demikian. Seharusnya kisah yang sekarang lebih berfokus kepada karakter dan motivasi, sebab ini cerita tentang pembelaan atau pengakuan dari Dilan, terlebih kita sudah puas dengan adegan-adegan manis pacaran di dua film sebelumnya. Namun bahkan dengan sebagian besar adegan yang diambil dari film-film sebelumnya, film ini somehow gak memasukkan adegan Dilan ‘berantem’ ama Milea disaksikan oleh Bunda yang actually salah satu yang paling penting untuk pendalaman. Aku gak ngerti kenapa adegan itu diabaikan dalam film yang seharusnya penjelasan dari sudut pandang Dilan. Entah kenapa film seperti menolak untuk ‘memanusiakan’ karakter Dilan. Dia dijaga untuk tetap seperti karakter ‘ajaib’ yang kekerenannya bersumber dari semakin banyak hal yang tidak kita mengerti dari dirinya. Di awal ada adegan Dilan bercerita dia sebenarnya sudah punya pacar saat Milea baru masuk ke sekolah. Adegan dari Dilan yang tau-tau terpana mendengar nama si anak baru hingga ke pacar lamanya yang nyosor duluan di bioskop terlihat sangat lemah untuk menjadi akar karakter ini karena sama sekali tidak mengungkap motivasi tokoh utamanya, tidak memaklumkannya sehingga Dilan bisa menjadi dekat dengan kita.  Inilah kenapa padahal sudah ada dua film, dan kini tiga, aku masih merasa susah untuk peduli dan percaya kepada karakter Dilan.
Walaupun dalam film ini Dilan mematahkan soal dirinya adalah Pidi Baiq, namun tetap terasa sang penulis memproyeksikan dirinya terlalu banyak ke dalam diri Dilan, sehingga tokoh ini seperti pada kasus tokoh utama dalam Koboy Kampus (2019). Enggak salah sih penulis memasukkan dirinya ke dalam tokoh cerita. Contohnya Lousia Maya Alcott yang menjadikan kisah hidupnya sebagai panggung cerita Little Women, dan Jo Marsh sudah rahasia umum sebagai proyeksi personal dirinya. Dan di situlah letak perbedaan Jo Marsh dengan Dilan. Jo ditulis dengan logis secara universal, ceritanya digrounded-kan sehingga kita berada di sepatunya. Sedangkan Dilan dibuat terlalu ajaib, kita tidak mengidentifikasi diri kepadanya melainkan seakan diminta untuk mengagungkan dan mengidolakan dirinya. Adaptasi film seharusnya ‘memperbaiki’ ini. Sayangnya, arahan film ini tampak tidak punya visi dan hanya sekadar mewujudkan buku menjadi tontonan bioskop. Dialog pun kali ini terasa jauh lebih cheesy dan brainless. Ada dialog Dilan dan Milea unyu-unyuan, Milea bilang “Kan aku bisa nyusul.” Dilan nanya “Naik apa?”, yang lantas dijawab “Naik kamuuu” oleh Milea, disusul oleh ambyarnya seisi studio bioskop. Sungguh dialog tak logis yang menggadai nalar penonton demi adegan pacaran.
.
 
 
Semestinya bisa jadi cerita yang solid yang menjustifikasi sikap dan siapa sebenarnya Dilan yang pada dua film sebelumnya ditetapkan sebagai tokoh penyelamat, panutan, sekaligus tambatan hati seorang Milea – dan menariknya, tokoh ini bukan ‘anak baik-baik’. Namun film hanya bercerita ulang, separuh adegannya adalah adegan di film Dilan 1990 dan 1991 dipajang kembali, dan baru benar-benar ngasih sesuatu yang belum pernah kita lihat di menit-menit menjelang akhir. Bahkan untuk penonton yang gak nonton dua film sebelumnya, film ini at best adalah cerita lompat-lompat dari seorang tokoh yang motivasinya gak jelas dan stake yang gak greget – dia toh bisa dengan mudah berhenti dari geng motor tanpa ada konsekuensi. Shameless effort dalam nyari duit. Atau ketidakmampuan sutradara mengadaptasi dan meng-refresh cerita. Atau kedangkalan materi. Masalah film ini terletak pada tiga kemungkinan tersebut. But who am I kidding; seperti jawaban soal ujian di sekolah, selalu ada pilihan keempat. Semua jawaban benar. Besar kemungkinan itulah jawaban yang tepat.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for MILEA: SUARA DARI DILAN

 
 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian Dilan dan Milea seharusnya bersama? Kenapa?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

  1. Dewi says:

    Sesuai novelnya, milea suara dari dilan memang berisi cerita dilan 1990 dan 1991 dari sudut pandang dilan, jadi sudah pasti isinya pengulangan karena mereka memng mengalami hal yg sama. Hanya pembaca dilan saat itu tidak puas jika pidi Baiq tidak menuliskan cerita dari sudut pandang dilan, maka jadilah buku milea, dan ternyata cerita dari dilan cukup menutup ruang ruang kosong di buku sebelumnya yg memabuat pembaca lebih relate dengan ceritanya. Saya rasa sejak awal film ini dibuat memang terutama untuk memuaskan pembacanya dulu, makanya tidak dilakukn perubhan apapun. Lalu lahir penggemar baru dari filmnya, yg diharapkan juga akhirny mau membaca bukunya.. Kalo yg membaca bukunya mkn tidak kaget lagi, walau sebenarnya ada beberapa part di buku milea yg masih mungkin untuk dimasukan.

    • arya says:

      Di sinilah dituntut kreativitas sutradara karena sejatinya sutradara yang lebih memahami mana yang bakal bekerja sebagai film, mana yang tidak, mana yang diperbaiki, mana yang disesuaikan. Menapak tilas momen yang sudah diceritakan tidak harus berarti menggunakan adegan yang bener-bener dicomot dari film yang lalu. Masa sih sutradaranya gak punya ide/pandangan sendiri dalam mengadaptasi ini. Karena bagaimanapun juga adaptasi-film bukan segamblang visualisasi novel.
      Pemenang adapted screenplay Oscar tahun ini mengubah novel tragedi menjadi cerita komedi – sampe judul pun diubah sama penulis dan sutradaranya. Contoh lain di Oscar adalah Little Women, udah lima kali novel ini diadaptasi, tapi film yang baru ini berhasil bercerita dengan beda, sembari memegang teguh esensi kisah sambil menguatkan identitas penulis asli ke dalam cerita. Sekarang, Milea dihadirkan sama ama buku, fully knowing banyak elemen yang gak bisa sementah itu difilmkan ulang? Buatku itu ketumpulan kreasi dan kemalasan produksi pembuatnya.

      • Dewi says:

        Mungkin sebaiknya flashback dilan 1990 itu diletakan dibagian akhir saat dilan naik motor sendiri dan sudah dewasa, dibuat secara cepat moment pentingnya saja, atau saat milea menelpon dilan , saat milea bertanya “apa panglima tempur yg baru bisa meramal? Apa dia ngasih TTS? Saat milea bicara seperti itu bisa diselipi Ama potongn film 1990 tanpa harus ada dialognya. Lalu moment Manis 1990 lain diletakan dibagian akhir, sebagai pengingat bahwa itu akan menjadi kenangan manis walau berakhir tidak manis.
        Bagusnya film ini dibanding 1991 memang dinarasikan dengn lebih dewasa, sehingga experience saat membaca bukunya bisa sama dengan menonton filmnya. Lepas dari flashback yg mengambil kisah sebelumnya, sisi emosi film ini lebih bisa mengharukan penonton.

        • arya says:

          nah iya kan, banyak cara yang lebih asik nampilin flashback itu, dijungkirbalik urutan kejadiannya juga masih mendinglah daripada standar banget kayak gini

  2. Farah says:

    Selesai aku nonton film ini, udah gatel banget buka web mas arya krn sepenasaran itu dikasih score berapa -since aku pun ngerasa ‘wew’ banget pas tb2 kok udah nongol credit scene aja. Dan untuk pertama kalinya, aku baca reviewnya dulu pelan pelan, baru liat scorenya, krn biasanya kl ada review baru aku main lgsg scroll aja baru baca review hahahaha
    Sayang bgt ada cheating di durasi ya, pdhl menurutku chemistry dilan sm milea disini udah bagus bangetttt, iqbaal pun kayak udah makin menjiwai jadi dilan himself. Sempet expect banyak pas adegan dilan sm temennya ke jogja, krn kan fresh bgt setelah dikasih flashback2 terus, eeh ujung2nya flashback lagi pas liat org pacaran di kampus hahaha. Padahal menurutku adegan terbaik itu pas dilan & milea udah dewasa loh, dan mulai jalanin kehidupannya masing2 gt

    • arya says:

      bener, filmnya cuma 30 menit sebenarnya ini mah, sisanya cuplikan-cuplikan aja haha
      mestinya Dilan dewasa yang ngetik itu jadi tubuh ceritanya, bikin dia itu di jogja, terus ngeliat banyak hal yang ngingetin ke Milea

    • Miaw says:

      Aku pun melakukan hal yang sama terhadap Blog ini, Scroll down dulu untuk lihat score film dari Bang Arya lalu baru baca reviewnya wkwkwkwkw. Dan antara kaget dan ga kaget juga sih sebenernya pas lihat scorenya cuma 1 karena dah nebak ni film cuma dari sudut pandang yang berbeda aja 😀

      • arya says:

        Adegan dari sudut pandang yang berbeda mestinya ada perbedaan tone (mood, bukan warna), perspektif, atau malah perbedaan detail dari adegan pas Milea (film Dilan) dengan adegan pas Dilan (film Milea). Apalagi masing-masing film dikisahkan sebagai tulisan dari kedua tokoh, mereka pasti ada perbedaan fokus dan motivasi, literally yang mereka lihat saat satu kejadian tertentu juga berbeda. Kalo yang ditampilin di kedua versi adalah cuplikan adegan yang persis sama, justru adegan tersebut tidak mewakili perbedaan perspektif, kita hanya merasakan beda rasa karena sudah tahu konteks cerita mereka, bukan dari kepiawaian sutradara atau kamera dalam menghasilkan dua sudut pandang dari satu momen, misalnya momen Milea mergokin Dilan mau nyerang

  3. newadityaap says:

    Dari sudut pandang yg sudah baca ketiga triloginya (saya), saya juga merasa film Milea ini paling gagal menyampaikan rasanya. Bukan tidak ada rasa sama sekali, melainkan banyak momen emas pada novelnya yang gagal dimaksimalkan pada filmnya. Misalnya, momen teleponan terakhir yang percakapannya cuma diambil separo, mana dialog kuncinya gak keambil lagi. Bahkan karakter banci yang ada di awal film itu sebenernya gak cuma jadi tokoh yg asal nongkrong juga.
    Singkatnya, Milea ini adaptasi yg paling gagal dibanding dua buku sebelumnya.

    • arya says:

      di film ini mah jadi kayak bahan ledekan Dilan dkk aja yaa.. yang paling kurang buatku ya interaksi dilan dan teman-teman, kirain akew dan yang lain bakal dapat peran yang lebih besar mengingat mereka sahabat dilan yang sudah akrab sebelum milea ada

  4. LoLCOZY (@LoLCOZY) says:

    Sorry, nonton film indo kebanyakan spt nonton sinetron tp versi yg lbh mahal dikit. Walhasil sy ga pnh nonton film indo si, masih buruk kualitas penulisan naskah dan penyutradaraan. Dulu2 ngarepin joko anwar tp makin kesini makin komersil doi, kalo garin terlalu festival

    • arya says:

      film indonesia banyak yang sudah membaik, tapi langkahnya masih sering tertutup oleh film-film ‘jualan’ kayak gini yang memang jumlahnya enggak semakin berkurang pula

  5. Ec says:

    Setuju, bener2 dibawah ekspetasi, agak kecewa dan merasa rugi aja nonton film isi nya pengulangan2. So bored 2 jam hadeeh… why oh why ???
    Gemas dan kesal huhu pengen nangis mengingat yg udah2 film nya bagus, trus yg ini ????

  6. stev says:

    hehe bener ini adalah film hasil embrace stock shoot atau cover shoot film 1 & 2 hampir 80% malah. Shoot stock baru hanya di awal – awal dan akhir saja terlihat dari bentuk muka dan gaya rambut yang sudah sedikit berubah. Sayang banget sih film ini gagah di awal tapi lemah diperjalanan hingga ending film. Sosok badboy Dilan aslinya justru lebih bisa dikulik at least yaa bisalah mentrasnlatekan hubungan pertemanan Dilan dengan beberapa sahabatnya. Seriously ini emak anak fans The Rolling Stones? hahaha

    • arya says:

      hahaha jadinya malah kayak film pendek 20 menitan yang dipanjang-panjangkan.. asli, yang begini bisa alias ‘diperbolehkan’ box office oleh penonton sungguh sebuah insult bagi filmmaker lain yang berusaha menayangkan cerita mereka ke bioskop

  7. Albert says:

    Judulnya aja Milea, kok aku ngarepin cerita tentang Dilan ya? Mungkin aku yang bodoh. Hahaha. Untung udah bocor kalau adegannya 75% ulangan, jadi ga kaget banget pas nonton. Bahkan yang dibilang adegan baru pun tetap ga move on kan, banyak flashback2. Ternyata ayahnya Dilan mati udah lama lulus ya Dilan, ingatku pas Dilan 91 kayaknya baru2 lulus. Lupa sih aku. Dulu kupikir karena masalah Dilan ga pulang2 ayahnya meninggal. Ternyata bukan. Syukurlah setidaknya happy ending, walau tetap nanyain Milea 🙁

    • arya says:

      lucu sih konsepnya dibalik gitu, judul Dilan tapi sudutpandangnya Milea, judul Milea tapi dari Dilan.. tapi ya ternyata filmnya ngeselin kebanyakan adegan ulangan ahahaha

      • Albert says:

        Tapi kalau enggak nonton Dilan 90 dan 91 entah jadi bagus ga filmnya ya. Sebetulnya pernah baca sih kalau syutingnya dilan 91 sama Milea bareng supaya tampilan Dilan dan Mileanya tetap sama. tapi ya kupikir 2 adegan yang beda bukan banyakan flashback gitu. Mending banyakin Zara ajalah hahaha.

        • arya says:

          iya mestinya, misal adegan Dilan kepergok Milea sebelum nyerang, itu paling enggak ditampilin dari angle yang berbeda – karena kan ceritanya beda perspektif. Mood, feeling, fokus, detil momen pastilah gak sama karena literally yang mereka lihat pada saat itu juga berbeda. Kalo yang ditampilin malah cuplikan adegan alias adegan yang sama dari film sebelumnya, maka di mana letak beda sudut pandang itu. Di kita kerasa beda karena kita udah nonton, udah tau konteks drama/konflik mereka. Penonton yang belum nonton Dilan enggak akan kena nonton ini, mereka hanya akan dikomandoi untuk merasakan apa dari lompatan narasi dan eksposisi – tidak ada pengembangan karakter di film ini

  8. irfan says:

    Begitu selesai nonton aku ga sabar buat buka web Mas Arya mau liat ulasan film ini hehe. Jujur aku memang agak berharap nilai yg dikasih di rentangan do re mi, eh sepaham ternyata kita haha
    Even kemunculan Zara yg sudah diperbanyak (kemungkinan krn popularitasnya saat ini) juga cuma plot device aja ga sih mas. Ga ada karakter Disa di situ yg kita dapet, bahkan rasanya di kematian ayah Dilan juga aku tidak merasa ter-attached apapun juga. I don’t even care a bit. Terasa ga normal aja di saat terakhir seorang ayah, yg ingin ditemui adalah mantan anaknya yg ga tau deh udah ninggalin berapa lama.
    Aku ga baca novelnya, ga liat trailernya, ga denger spoilernya, yg jelas sedih ga sih mas selesai nonton ini. Nonton film yg rasanya hampir 70% adegannya sudah pernah kita tonton di dua film sebelumnya, tanpa ada perubahan yg berarti. Rasanya cuma buat mancing2 kl mau ada film lanjutannya. Menjual film aku rasa sah2 aja, tp bertanggung jawab lah dg penonton, mereka nonton ke bioskop kan bukan sesuatu yg effortless, ya uang tiket, transpor, makan (masak nonton milea sendirian, kan pasti berdua dan abis nonton bakalnya makan bareng kan wkwk).
    Thank you for your honest review mas! 😀

    • arya says:

      Bener, keliatan popularitas Zara dieksploitasi di sini, dibanyakin nyorot ke dia tapi tetep aja karakternya minim – itulah ciri kemalesannya, padahal sekalian aja bikin lebih banyak interaksi Dilan ama adiknya sekalian kalo memang ingin nonjolin Zara mah
      Namanya kematian ya kita pasti sedih, tapi eksplorasi hubungan Dilan sama ayahnya sangat kurang sehingga pas meninggal ya hampa aja bener rasanya.. ya aku setuju sih, aneh aja kalo dipikir-pikir si ayah sempet-sempetnya nanyain Milea.
      Nah ini, mestinya penonton tu ‘marah’ kayak kamu ini ahahaha, mestinya concern juga ke industri karena sebenarnya di sini dompet kita yang bicara. Kalo film curang kayak begini masih dikasih box office – apalagi diberikan layar seabrek – bisa dibayangkan nanti muncul keinginan dari film lain untuk ikut-ikutan bikin yang curang kayak gini, karena namanya juga orang jualan. Filmmaker yang berusaha nayangin film original, yang untuk dapatin slot tayang di bioskop aja masih berjuang, bakal sama kasiannya

      • irfan says:

        Kan beberapa kali disebut kl Disa punya pacar, I assume akan ada pengembangan karakter Disa yg mungkin bisa berefek ke hubungan Disa dan Dilan jg sbg kakak-adik. Well ternyata ngga ada hehe
        Iya sih bukannya aku ga sedih dg kematian ayah Dilan, cuma ya itu, tidak tergali sama sekali relationship ayah-anak yg baik utk membuat kita bs peduli. Padahal rasanya kan menarik bgt itu materinya, ayahnya tentara, keras, pasti ada pengaruhnya ke bagaimana Dilan tumbuh.
        Jujur emang sedih agak2 sebel sih mas, kl ga salah baca di instagram, 3 hari penayangan sudah 1,2 juta penonton bisa membuat mindset pembuat film kita jadi bukan bikin film bagus, tp bikin film laris. Atau kl memang mampu ya idealnya, bikin lah film laris yg bagus hehe. Mungkin bukan Oscar worthy atau gimana, tp yg bisa mengedukasi kita. Mungkin dua garis biru sm pretty boys bisa dijadikan contoh. eh bisa ga ya?hehe yg jelas menurutku dua film itu cukup membuat kita semua aware of something.

        • arya says:

          Aku setuju Dua Garis Biru dan Pretty Boys adalah dua contoh film Indonesia modern yang benar-benar relevan, menggambarkan Indonesia, sekaligus berani memantik diskusi. Dibuatnya pun dengan kreativitas dan penuh hati makanya rasa koneknya beda dengan konek yang hanya karena baper. Cuma sayang Pretty Boys langkahnya kurang jauh karena kehalang SJW yang mencap film ini gak sesuai dengan agenda mereka

  9. fafaurina says:

    Sejujurnya novel terakhir, Milea suara dari Dilan ini adalah seri favoritku dan aku punya ekspektasi yang tinggi dibandingkan 2 novel sebelumnya. Novel ini nggak menye2 kayak 1991 yang kebanyakan nangis dan lebih liar menurutku karena dari sudut pandang Dilan. Sedih tapi dewasa. Sejak aku baca novelnya, aku memang agak khawatir sih ketika novelnya mau diadaptasikan ke film. Soalnya di novel Milea ini lebih banyak flashback dari 2 seri sebelumnya, lebih banyak monolognya Dilan dan aku penasaran bakal jadi seperti apa novel ketiga ini di tangan Fajar bustomi dan Titin Watimena. Aku kira waktu difilmkan, Milea ini bakal 70% tentang kehidupan Dilan & the geng sama keluarganya, 30% tentang romansa Dilan dan Milea tapi malah sebaliknya…he..he….jujur agak kecewa sih, soalnya kehidupan Dilan di film ini menarik untuk dikupas lebih mendalam. Terutama scene telepon menjelang akhir film, aku baca novel sampek mewek tapi malah waktu di filmkan scenenya terasa nanggung padahal aku da siap2 mau nangis tapi nggak jadi. Scene ini bagiku harusnya bisa klimaks karena point penting kenapa Dilan dan Milea bisa putus ada disini semua. Yang mana mereka berdua sampek merasa bersalah gara2 cuma kesalahpahaman dan menyesal karena terlambat mengungkapkannya. Terus kehidupan Dilan bersama geng motornya, kenapa Dilan sampek bisa gabung sama geng motor ada semua di novel. Bahkan rasa solidaritas dalam persahabatan Dilan dan kawan2nya di film kurang ditunjukkan. Satu lagi, kehidupan keluarga Dilan, asli konyol tapi tetep bijaksana, kurang terekspose juga di film. Mungkin klo semua sisi kehidupan Dilan dikupas lebih mendalam ntar jadi ketauan dong siapa Dilan asli sebenarnya..he..he..Tapi jujur sih yang buat aku betah duduk sampek akhir di bioskop adalah karena Iqbaal Ramadhan. Yang lain boleh ganteng tapi yang paling manis tetep Iqbaal…haduhhhh….puas banget aku memandangimu disini. Tapi apapun yang terjadi tetep aku sangat menghargai kerja keras kalian semua demi terwujudnya film ini walaupun belum sesuai harapan tapi masih menyenangkan. Mungkin buat yang belum nonton sama sekali ’90 sama 91 masih recommend nonton yang ini. Terakhir buat fans setia Dilan dan ingin bernostalgia dengan Dilan dan Milea nggak jadi masalah klo nonton film ini. Terima kasih.

    • arya says:

      Fans setia Dilan pasti bakal tetap nyambung nonton ini, cuma sayang sekali berarti ya, banyak yang gak termuat oleh filmnya. Pembahasan Dilan dan Milea harusnya gak lepas dari Dilan-geng motor, Dilan-ayahnya, Dilan-bunda, karena mereka yang ‘membentuk’ Dilan, mereka bagian dari pilihan-pilihan Dilan, tapi di film benar-benar kurang galiannya.

  10. fafaurina says:

    Ya mas arya, greget jadinya waktu nonton jadi serba nanggung. Secara isi novel Milea padahal sudah bagus. Dulu aku sempet nggak sengaja denger podcast yang bintang tamunya itu mbk Titin watimena. Dia sempet bilang kek gini, ada sedikit kendala dalam penulisan skenarionya Dilan 1990 yang masih awal2 dulu. Campur tangan Ayah Pidi baiq dalam pembentukkan karakter Dilan dan Milea emang luar biasa sih hingga jadi Dilan dan Milea yang sekarang. Tapi disitu emang mbk Titin menjelaskan bahwa waktu nulis skenarionya itu agak alot sama Ayah Pidi. Soalnya, ayah Pidi ikut terlibat dalam penulisan scenario dan minta alurnya itu harus sama persis kayak novel, pokoknya nggak jauh beda. Nah inilah yang coba didiskusikan sama mbk Titin ke ayah Pidi, bahwa dalam adaptasi novel ke film itu perlu ada modifikasi. Soalnya klo terlalu ngikutin novelnya, ya gitu ceritanya jadi kurang berkembang. Flat jadinya….gimana ya mas arya aku kurang bisa ngejelasinnya. Liat sendiri deh Dilan 1990 jadinya gimana. Apakah mungkin penulisan scenario masih menjadi masalah hingga Film Milea ini?

    • arya says:

      Aku sudah punya dugaan sejak Dilan 1990 bahwa pengarangnya punya andil terlalu besar dalam film ini, dan sekarang terbukti dari podcast itu yaa.. aku jadi penasaran pengen denger juga. Film memang gak bisa disamain total ama novel karena keduanya punya aturan yang berbeda, mestinya sih kalo udah mau diadaptasi kontrolnya harus diserahkan penuh pada penulis naskah dan sutradara. Tapi Pidi Baiq juga didaulat sebagai sutradara, yang aku asumsikan supaya dia masih bisa pegang kendali, mungkin juga ini bagian dari deal adaptasi mereka – who knows – dan dia gak peduli sama film keseluruhan, hanya peduli pada cerita karyanya enggak diubah-ubah. PH-nya sama gak peduli, mereka cuma peduli produknya laku.
      Maka jadilah film Milea; win-win buat Pidi dan Max Pictures. Skenario masih ia kendalikan sesuai novel – secara struktur film Milea ini paling lemah (Yang lumayan naskahnya 91, yang 90 antara ada dan tiada haha). Dan ph pasti oke-oke aja toh mereka hemat biaya produksi gak perlu suting ulang cuma pake cuplikan dari film-film yang lalu.

  11. Dedi says:

    Dari dulu selalu heran ma film ini kok bisa booming pdahal pas ditonton biasa aja hambar kaya ga ada konflik cuma cerita cinta anak sma ga istimewa. Tak coba baca novelnya tp sama aja hambar datar bikin ngantuk…

Leave a Reply