KAJENG KLIWON Review

“This is the chance of a lifetime”
 

 
 
Tumben hari gini ada film horor yang mengangkat kisah dan budaya di luar mitos jawa. Skena klenik Indonesia sebenarnya memang sangat beragam, dan Bali merupakan salah satu yang aura mistisnya paling menggoda, bahkan hingga ke mancanegara. Kajeng Kliwon garapan Bambang Drias mengangkat kebudayaan Bali sebagai panggung kisah horor yang dijalin dengan permasalahan dua insan manusia. Kita akan mendengar musik khas, melihat ritual budaya, tarian, dan tentu saja penampakan makhluk gaib yang sangat lokal, sekaligus – hopefully – terhanyut dalam konflik cinta dan kecemburuan yang menjadi denyut emosi ceritanya.
Pernikahan bukan hanya menyatukan dua pribadi. Melainkan melibatkan asimilasi dua pendapat, dua pola pikir, dua kebiasaan, dan ya dua kebudayaan. Bu Dokter Agni (Amanda Manoppo memainkan tokoh yang menyebalkan) yang asli Bali sudah akan menikah dengan pacarnya seorang fotografer asal Jakarta. Mereka kini sedang dalam perundingan mengorganisir acara pernikahan. Dan guess what? Mereka gak kompak. Agni pengen A, Nicho calonnya bilang lebih baik B. Perselisihan kecil tak dapat dihindari. Sementara Agni berusaha memikirkan kembali apa sesungguhnya kesempatan satu kali seumur hidup yang harus ia usahakan, rumah sakit tempatnya bekerja ‘kedatangan’ mayat wanita dengan kepala tertebas secara misterius. Malam itu, tepat malam Kajeng Kliwon yang dipercaya malam ngecengnya para Leak, Agni bertemu dengan Rangda. Ratu dari segala Leak yang menjadi penanda ilmu hitam itu tampak mengincar dirinya. Perlahan Agni mengetahui bahwa misteri mayat dan teror Rangda berhubungan erat dengan acara pernikahannya yang terancam batal.

wajah cowok Agni pas denger dia memesan gaun pesta seharga dua-puluh-lima juta; priceless

 
Kajeng Kliwon sesungguhnya punya potensi untuk menjadi horor yang mumpuni. Ceritanya punya lapisan yang cukup untuk menjadikan misterinya menarik. Penggalian mitos Bali memberikan hal segar untuk kita simak. Meskipun istilah Kajeng Kliwon yang dijadikan judul sebenarnya enggak banyak dibahas; hanya ada satu-dua adegan yang menyebut ini dan cerita pun ternyata tidak hanya terjadi pada satu malam itu, tetapi penampakan Rangda dan penjelasan tentang ilmu hitam yang turun temurun membawa aroma kekhasan tersendiri. Setelah Mangkujiwo (2020) dan banyak lagi film-film yang mengandung unsur ritual atau santet dan semacamnya, Kajeng Kliwon hadir sebagai, katakanlah masih dalam spesies yang sama namun dalam varian warna yang berbeda.
Yang paling menarik dari film ini adalah motivasi tokoh jahat alias dalang semua kemalangan yang menimpa Agni. Bukan se’hitam’ balas dendam, atau ingin menguasai suatu pusaka, atau keinginan jahat yang biasa. Motivasi tokoh ini juga punya kedalaman yang berpotensi menjadi menantang – memantik diskusi – karena cukup kontroversial, sebenarnya. Kajeng Kliwon membahas seputar ilmu Leak, ilmu hitam yang diwariskan baik itu secara turun temurun lewat warisan darah atau pengajaran ala guru-murid. Tokoh jahat cerita ini adalah seorang yang memelihara ilmu tersebut sejak dahulu. Bertahun-tahun lamanya, dirinya berumur panjang karena ilmu ini. Dan dia punya kewajiban untuk menjaga ilmu tersebut dari kepunahan. Ikut menjaga warisan turun temurun. Di atas masalah pilihan personal, tokoh ini gak suka Agni menikah dengan Nicho terutama adalah karena dia gak mau ke-Bali-an di dalam diri Agni terkotorkan oleh muasal Nicho – apalagi karena Agni adalah salah satu figur kunci dalam pewarisan ilmu Leak. Jika digali dengan lebih serius dan penulisan yang lebih kompeten, antagonis dalam film ini akan menjadi lebih dari sekadar tokoh twist belaka sebab ia punya motivasi yang benar-benar challenging. Tumben-tumbenan tokoh di film horor Indonesia lowkey menarik kayak gini.

Yang mengandung bulir-bulir gagasan bahwa tidak semua aspek budaya harus dipertahankan, bahwa terkadang budaya turun temurun butuh penyesuaian karena simply sudah kuno atau tidak membawa nilai positif sama sekali.

 
Kata ‘tumben’ kutemukan dalam film ini awalnya sebagai bahan cemoohan. Gak sampai sepuluh menit cerita dimulai, kita dikasih dialog yang awalannya kata tumben semua. “Tumben, pagi ini kamu cantik”. “Tumben datangnya siang”. “Tumben datang ke sini” Aku ngakak, karena bahkan tumben bukan istilah dari Bali. Tapi ternyata menjadi menarik karena pengulangan ini menjadi tema yang diejakan secara terselubung kepada kita, meskipun mungkin bahkan filmnya sendiri enggak menyadari. Karena motivasi Agni secara keseluruhan adalah pengen nikah yang, katakanlah, mewah, sebab baginya pernikahan adalah ‘kesempatan yang datang satu sekali seumur hidup’. That’s the key sentence. Kalimat tersebut juga diulang-ulang oleh Agni, dan juga disebutkan oleh tantenya saat memberi pembelajaran kepadanya. Agni berjuang untuk satu momen gak-biasa, satu jendela-waktu luar biasa untuk mendapatkan atau melakukan sesuatu yang berharga, satu ‘ketumbenan’ yang hakiki. Jika malam kajeng kliwon adalah momen spesial yang dinanti oleh para Leak, maka bagi Agni momen itu adalah pernikahan. Dan semangatnya ini berlawanan dengan tokoh antagonis yang memegang prinsip keabadian; “a whole lifetime” alih-alih “once in a lifetime”

Ini adalah soal menikmati sesuatu yang bisa jadi hanya akan mampir satu kali dalam hidup kita. Yang harus dipikirkan adalah apa yang kita lakukan ketika kesempatan tersebut datang. Film ini mencontohkan pernikahan mewah – ini adalah momen yang ingin di-capitalize, disakralkan, oleh Agni. Akan tetapi pernikahan itu sendirinya tidak akan berlangsung seumur hidup jika Agni tidak bersama orang yang tepat. She should celebrate the person instead; cinta itulah kesempatan sekali seumur hidup yang harusnya ia perjuangkan. Film menunjukkan kepada kita untuk benar-benar mengenali mana hal yang merupakan kesempatan yang sebenarnya harus diperjuangkan. Karena, ya itu tadi, hidup cuma satu kali.

 
Ada sesuatu di antara konflik Agni dengan antagonis yang tidak kusebutkan namanya demi alasan spoiler. Pembelajaran Agni akan tercermin di akhir cerita dari perubahan perlakuannya kepada Nicho. Jika elemen cerita ini serius ditangani, dikerjakan dengan lebih kompeten, atau naskahnya melewati perbaikan dan pendalaman lagi, Kajeng Kliwon tak pelak bisa menjadi salah satu horor lokal berbobot yang pernah ditayangkan oleh bioskop Indonesia. Sayangnya, secara teknis film ini masih sangat hijau — kalo gak mau dibilang lemah. Durasinya terlalu singkat untuk dapat mengakomodir kedalaman yang diperlukan. Arahannya masih sebatas mengejakan perasaan. Naskahnya? Well, inilah bagian yang paling kurang performanya dari keseluruhan film Kajeng Kliwon.

dialognya ‘go ahead’ pas adegan melihat mayat buntung; film ini punya selera humor

 
 
Dialog dalam film ini standar sestandar-standarnya. Percakapan mereka jarang sekali mengandung development. Hanya sejumlah percakapan sehari-hari, argumen, dan eksposisi. Dan bahkan itu semua tidak benar-benar dipikirkan dengan matang. Misalnya ada kalimat yang merujuk kepada perubahan wujud yang bisa dilakukan oleh Rangda; si tokoh menyebut “anjing, kucing, manusia jawa, manusia bali, bule”. Pengelompokan dalam kalimat itu sangat aneh karena seolah manusia jawa dan manusia bali itu dua spesies yang berbeda seperti anjing dan kucing. It’s just not right of a group. Jangan pula dibayangkan argumentasi Agni dan Nicho seperti argumen pasangan di film Marriage Story yang dapat nominasi Oscar. Agni dan Nicho hanya ngotot vs. nolak dengan lembut, kita tidak pernah tergerak untuk mendukung salah satu dari mereka. Sebagian besar karena yang satu jatohnya annoying (mungkin karena namanya berarti api maka dia membakar kesabaran kita) dan satu laginya culun. Mereka ‘damai’ dan ribut ya sesuka naskahnya aja, gak ada build up yang natural. Film cukup memasang lagu pop patah hati untuk membuat penonton merasa harus ikut bersedih.
Poin-poin plot terasa sama ‘maksa’nya dengan Agni. Ada bagian ketika Nicho ketemu di tengah jalan dengan mantan kekasihnya, dan di akhir pertemuan itu mendadak saja si mantan menjadi begitu obsesif dan dia menyusun rencana ke orang pinter segala macam untuk menjauhkan Nicho dengan Agni. Si mantan ini sukses menjadi tokoh paling gak jelas karena tindakan yang ia maksud untuk menggagalkan pernikahan adalah … bukan ritual bukan santet.. melainkan langsung mencekek leher Agni setiap kali mereka bertemu! Dan tidak ada konsekuensi, dia tidak ditangkap, Agni tidak mengusut pencekekan lebih lanjut. Ketika Agni membunuh seseorang pun, film melangkahi persoalan itu begitu saja. Bicara soal teman dari masa lalu, Agni juga punya satu yakni Wijaya si pemilik cafe, yang kelihatan ingin mencampuri urusan pernikahan Agni. Menurutku, film juga mubazir dalam menangani Wijaya. Seharusnya biar efisien, dia saja yang menjadi wedding organizer yang selalu dijumpai Agni, dengan begitu Wijaya bisa masuk akal bisa terus tau masalah Agni.
 
 
Karena penggarapannya yang terasa di bawah standar, terutama di bagian penulisan, film ini gagal mencapai level – bahkan setengah dari level – yang seharusnya bisa ia capai. Tulisanku di atas benar-benar sebuah long reach karena saat menonton film semua hal tersebut tidak akan menonjol. Persoalan ‘tumben’ tadi, akan lebih terasa sebagai sebuah kekonyolan karena film tidak kelihatan menaruh banyak perhatian pada kesubtilan berkat dialognya yang begitu basic dan in-the-face. Bahkan Agni sebagai dokter saja tidak pernah tampil meyakinkan, dia hanya berteriak dan mondar-mandir meriksa pasien dengan stetoskop. Padahal jika adegan epilog (yang timeline-nya pada narasi juga gak jelas kapan) dijadikan sebagai pembuka oleh film, maka kita paling enggak akan dapat bukti si Agni beneran bisa nyembuhin orang – you know, that she can do her job as a doctor. Hantu Rangda yang original itupun pada akhirnya harus mereceh berkat penggunaan efek sub-par di bagian konfrontasi final. Film seharusnya bisa jauh lebih baik jika menggunakan kostum dan menghindari efek-efek komputer yang jelas-jelas enggak sesuai dengan kantong dan kemampuan mereka. Darahnya aja keliatan banget palsu. They should invest more ke hal yang paling penting dalam sebuah film; naskah.
The Palace of Wisdom gives 2 gold stars out of 10 for KAJENG KLIWON

 
 
 
That’s all we have for now.
Di dunia nyata beneran ada gak sih orang-orang yang keturunan Leak kayak Agni di film?
Bagaimana pendapat kalian tentang budaya-budaya kuno yang gak sesuai lagi dengan keadaan zaman? Apakah kalian setuju dengan antagonis film ini?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

      • Arindra says:

        Hehe, aku juga baca tuh tulisan terakhir, mau kujawab juga, cuma belum sempat, karena untuk info ini, harus nanya ke yang lebih kredibel.. paling aku nanti tanyain ama bokap arau yaa keluarga bokap sih..
        Aku aja belum tau ada atau engga keturunan.. tapi klo orang yang belajar ilmu peng-leakan (istilahnya sih gitu) emang ada, dan biasanya yg punya ilmu sulit untuk meninggal kecuali ilmu nya udah turun ke murid atau mungkin keluarganya..
        Nanti utk keterangan yg lebih pasti kutanya2 dulu deh.. hehehe

        • arya says:

          kalo di film ini, ibunya si tokoh diserang Rangda, dia bilang sudah waktunya, kemudian kalah, baru ilmunya turun ke anaknya. Apa penurunan ilmu itu ditentukan oleh si Leaknya alias gak sembarang waktu?

Leave a Reply