SONIC THE HEDGEHOG Review

“Home is something you run toward”
 

 
 
Lari film live-action dari tokoh video game ikon perusahaan Sega ini memang sempat diperlambat sedikit. Tadinya akan ditayangkan tahun 2019 yang lalu, akan tetapi begitu materi promosi pertama keluar; mereka nampilin penampakan Sonic yang desainnya jauh banget berbeda dari desain karakter yang asli, film lantas dicerca habis-habisan oleh fans. Sutradara baru Jeff Fowler menunjukkan bahwa ia benar-benar peduli dengan proyek yang ia tangani dengan mendesain ulang rupa Sonic menjadi seperti yang sudah kita kenal. Film ini mundur hingga ke 2020, dan berkat tindakan berdedikasi dari studio dan pembuatnya itulah kita mendapat sajian komedi dan aksi dari video game yang bukan sekadar ‘menguangkan nostalgia’ melainkan benar-benar menghibur. Dan dijamin tidak akan ada lagi keluhan dari penggemarnya mengenai karakter si Sonic ini sendiri, meskipun kisahnya sedikit berbeda dengan versi game (namanya juga adaptasi)
Sepanjang sepuluh tahun masa hidupnya, Sonic si landak biru elektrik (beneran bisa nyetrum!) disuruh untuk terus berlari. Supaya enggak kelihatan oleh musuh-musuh yang mengejarnya dari planet asal. Jika ketahuan, Sonic harus melempar cincinnya untuk membuka portal, berteleport kabur ke tempat lain. Kini Sonic bersembunyi di Bumi, di kota kecil bernama Green Hills (sayup-sayup terdengar sorakan nostalgia pemilik konsol Sega). Di tempat inilah Sonic merasa sangat kerasan. Dia merasa akrab dengan para penghuni, meskipun hanya dengan ‘mengintip’ aktivitas mereka setiap hari. Sonic kesepian. Dalam galaunya, Sonic gak sengaja bikin mati lampu seisi kota. Kekuatan listriknya tercium oleh pemerintah, yang mengirim ilmuwan mesin edan, Dr. Robotnik untuk memburu Sonic. Mau gak mau Sonic harus segera meninggalkan ‘rumah’, hanya saja saat jatidirinya ketahuan oleh seorang polisi lokal favoritnya yang bernama Tom, Sonic kehilangan cincin teleportasi yang begitu esensial untuk keselamatannya.

Pelari Film

 
Jika bagi Robotnik yang superpintar semua orang tampak sangat bego, maka bagi Sonic yang ngebut semua orang tampak bergerak lamban. Bahkan nyaris seperti diam di tempat. Film bermain-main dengan aspek kecepatan Sonic. Kita melihat berbagai aplikasi dari kekhususan Sonic dalam berbagai adegan dengan range mulai dari lucu-lucuan kayak adegan kartun – Sonic bisa berlari ke Samudra Pasifik untuk kemudian balik lagi karena menyadari ia gak bisa berenang, dalam beberapa detik – hingga ke adegan berantem yang fun ala Quicksilver di MCU dan X-Men atau ala Dragon Ball ketika Sonic marah dan mengumpulkan kekuatan listrik dari bulu-bulu landaknya yang tajam. Ada pembelajaran yang dilalui oleh Sonic, seperti dalam game yang setiap levelnya membuka ability/kemampuan baru untuk kita pelajari demi eksplorasi lebih luas dan mengalahkan musuh yang lebih tangguh. Film berusaha keras menempatkan Sonic yang supercepat ke dalam situasi yang membuatnya tidak bisa begitu saja menjadikan kecepatan sebagai jawaban.
Aku gak begitu gandrung main game Sonic. Terutama karena waktu kecil aku gak punya Sega; I’m more of a Nintendo and PlayStation boy, jadi aku jarang memainkan gamenya. Aku lebih mengenal Sonic lewat serial kartunnya yang dulu sempat tayang di televisi. Dan bahkan dengan sebegitu saja, film ini berhasil membawaku mengarungi euforia nostalgia. Banyak sekali referensi-referensi yang ditabur ke dalam film ini. Semuanya dilakukan dengan seksama, sepenuh hati, misalnya momen sepatu Sonic. Timingnya juga diperhatikan, seperti penggunaan sound-sound di game pada momen cerita yang pas. Film ini membuat detil kecil itu berarti. Sonic sendiri juga lucu sekali. Sifatnya bisa dijadikan teladan bagi anak-anak yang nonton, sedangkan sikapnya yang polos-tapi-cerewet membuatnya jadi seperti sahabat impian bagi anak-anak. Ben Schwartz menghidupkan karakter ini dengan kehangatan natural khas tokoh pahlawan anak. Makanya nonton filmnya jadi lebih menyenangkan meskipun Sonic harus berbagi porsi dengan tokoh manusia. Tokoh Robotnik alias Eggman yang terkenal nyentrik dan ‘bermulut ringan’ sudah paling pas dimainkan oleh the one and onlyJim Carrey. Tentu, tokoh ini ia mainkan dengan over-the-top; Carrey actually melakukan banyak improvisasi gerakan dan perkataan, karena begitulah penjahat dalam film kartun. Sonic the Hedgehog tidak berusaha menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Inilah yang membuatnya mencuat. Lebih menyenangkan ketimbang Pokemon Detective Pikachu (2019)yang entah apa sebabnya memilih menggunakan tokoh utama yang gak suka Pokemon… honestly, sampe sekarang aku masih heran sama film itu.
Mengadaptasi semesta kartun, Hollywood punya kebiasaan ‘memaksakan’ ada tokoh manusia, supaya penonton bisa lebih mudah relate. Seringnya adalah tokoh manusia itu tetap kalah menarik karena toh kita menonton bukan untuk melihat mereka, kan sebenarnya. Kita pengen menyaksikan Sonic, atau Pikachu, atau Smurf, hidup. Dalam film ini, tokoh manusia yang dimaksud adalah si polisi Tom yang diperankan karismatik oleh James Marsden. Walaupun aksi dan cerita tetap berpusat pada Sonic, film berhasil membuat Tom tetap menarik. Hal ini tercapai berkat penulisan tokohnya yang punya motivasi yang berkonflik pandangan Sonic. Konfliknya ini beda jenis dengan konflik Sonic dengan Robotnik; yang lebih in-the-face, berfungsi sebagai ancaman yang bikin anak kecil greget menontonnya. Konflik Sonic dengan Tom bersifat lebih emosional, ia berperan dalam pembangunan karakter; aspek yang lebih diapresiasi oleh penonton yang lebih dewasa. Sonic mendambakan kehidupan menetap, punya rumah, gak harus pindah, meskipun practically ia bisa ke mana saja asal ia mau, dia lebih memilih untuk tinggal di Green Hills sebab dia yang selama ini menonton kehidupan di sana sudah merasa begitu terattach dan menjadi bagian dari kota. Sedangkan Tom, polisi muda di kota kecil yang kehidupannya biasa-biasa saja, sudah sangat siap pindah ke tempat yang lebih menantang di mana ia bisa menjadi penyelamat beneran. Dua pandangan ini bertemu dalam mobil yang menuju San Fransisco, mereka berdebat, dan akhirnya menjadi teman baik karena masing-masing pendapat saling mengisi satu sama lain.

Dalam game Sonic, level disebut dengan istilah Zone. Dalam film Sonic, ‘Zone’ inilah yang persoalan Sonic. Zone as in safe zone, atau mungkin comfort zone. Sekilas, gagasan film terdengar aneh. Tom seperti mewakili perjuangan keluar dari comfort zone, sudah jadi rahasia umum untuk sukses kita harus berani keluar dari zona nyaman. Sonic seperti menentang ini, Sonic seperti menyugestikan untuk berkubang di zona nyaman.  Tapi sebenarnya bukan itu masalahnya, film lebih bicara soal zona aman. Yakni rumah. Ketenangan domestik. Sonic, Tom, dan kita semua semestinya tetap terus berlari demi mencari rumah. Keluar dari zona nyaman kalo perlu demi mencari ini. Tempat, di mana pun itu, yang berisi orang-orang yang kita sayangi.

 

saking cepatnya, Sonic bisa main baseball, jadi dua tim, menghidupkan banyak karakter sendirian

 
Secara plot, however, malah justru si Sonic yang perubahannya lebih sedikit ketimbang Tom. Polisi ini berubah jadi gak ingin pindah karena dia menyadari yang ia butuhkan. Sedangkan Sonic di akhir cerita memang mendapatkan yang ia inginkan, ia menyadari tak perlu pindah planet. sembari tetap butuh berlari mencapai yang ia inginkan tadi. Film belum benar-benar melingkar ketika membahas plot Sonic. Penyebabnya adalah karena kita hanya melihat Sonic pindah satu kali. Dia tidak lagi dikejar-kejar musuh aslinya selain pada adegan awal. Ini membuat Sonic tidak punya rutinitas yang bakal berubah di akhir cerita, karena yang kita lihat adalah Sonic di Bumi, harus pindah, lalu resolusi adalah dia diterima di Bumi — tidak ada breaking rutinitas (dari nyaman di Bumi kembali ke Bumi) seperti pada formula naskah biasanya.
Dan bukan sekali itu saja – tidak lagi membahas pengejar di awal – film melupakan hal yang mereka angkat. Babak satu berakhir pada poin yang cukup menegangkan bagi kedua karakter. Sonic diburu Robotnik, dan Tom; masuk berita dan dianggap sebagai teroris yang menghalangi pemerintah. Aspek Tom sebagai teroris ini tidak dapat follow-up lagi pada naskah, kita tidak melihat dia kesusahan masuk ke mana-mana, dia tidak kelihatan seperti orang yang dicari oleh negara. Pengejar mereka tetap satu, Robotnik. Tentu, ada dalih bahwa pemerintah juga sebenarnya tidak suka dengan Robotnik – mereka bisa bisa saja tidak percaya dan cap teroris itu disiarkan langsung oleh Robotnik sendiri – tapi dengan ditonton oleh orang banyak di televisi, seharusnya ada reaksi yang lebih genuine dari plot poin ini. Namun alih-alih itu, babak kedua film dihadirkan dengan cheesy, penuh selipan tren dan budaya-pop, bahkan untuk film yang esensialnya adalah kartun minggu pagi. Kita malah melihat mereka bersenang-senang di bar, menuhin bucket list Sonic yang ingin melakukan hal-hal normal dengan cara edan. Pada beberapa momen film menjadi bahkan kelewat cheesy, yakni saat mereka menggunakan iklan sponsor seperti restoran Olive Garden sebagai punchline.
 
 
 
Meskipun begitu, ada banyak cara yang lebih buruk dalam mengisi hari bersama si kecil, atau menghibur masa kecilmu; nonton film anjing yang anjingnya CGI misalnya. Setidaknya film ini lebih berdedikasi dan menghormati tokoh Sonic itu sendiri. Ceritanya menutup dengan teaser sekuel yang menggugah. Aksi dan interaksi antartokohnya menyenangkan. Beberapa cheesy karena film ini memang berada di jalur kartunnya. Punya bejibun referensi terhadap game, dan budaya pop masa kini sebagai penyeimbangnya. Jadilah film ini sangat menghibur, meski dengan naskah yang belum maksimal.
The Palace of Wisdom gives 6.5 gold stars out of 10 for SONIC THE HEDGEHOG

 
 
 
That’s all we have for now.
Desain Sonic sempat diganti karena netijen protes. Bagaimana kalian memandang fenomena ini? Baikkah jika penonton punya kontrol besar terhadap suatu karya? Haruskah pembuat film mendengar protes bahkan sebelum filmnya jadi? Atau apakah semua ini hanya taktik jualan sedari awal?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

Leave a Reply