THE HUNT Review

“Assume’ makes an ‘ass’ out of ‘u’ and ‘me’.”

Satir adalah penyampaian bahasa yang ditujukan sebagai sindiran terhadap suatu keadaan atau bahkan seseorang. Satir dikemas sebagai humor (bisa parodi ataupun ironi atau sarkasme) sehingga mampu menarik perhatian masyarakat kepada isu-isu yang terkandung dalam gagasannya. Sebab fungsi utama satir memang adalah sebagai sebuah kritik. Masalahnya; sekarang orang menganggap satir dengan terlalu serius. Di jaman informasi ini kita sudah terbiasa meneropong sesuatu dan memilah mana yang sesuai dengan kita, dan membuang jauh yang tidak. Menjatuhkannya malah. Sedangkan satir, mengundang kita untuk becandain hal yang mungkin justru adalah hal yang kita percaya. Kita menjadi sudah asing dengan melihat ke-dalam dan bersenang-senang dengan sesuatu yang kita percaya. Kita malah melihat satir sebagai serangan. Makanya sekarang candaan di channel youtube aja bisa dianggap seolah statement penting di tv nasional oleh orang.
The Hunt pun begitu. Komedi action-thriller ini langsung dianggap ofensif oleh penonton – bahkan presiden – di negara asalnya, lantaran memuat singgungan terhadap perbedaan ideologi politik. The Hunt sempat ditunda penayangannya, film ini mestinya bisa kita saksikan di bioskop tahun lalu. Namun semua itu nyatanya tidak menyurutkan kekuatan suara film ini. Karena The Hunt ini justru unik. Dia adalah film yang semakin banyak orang yang tersinggung, maka semakin baguslah dia. Karena itu berarti satir dalam film ini benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik pada iklim modern sekarang ini.
Yang bikin film ini kontroversial adalah ceritanya yang seperti mengadu masyarakat liberal yang elit dan konservatif jelata Amerika. Membuat mereka dalam situasi berjuang hidup-mati. Crystal terbangun di sebuah padang rumput, bersama beberapa orang lain, dalam keadaan mulut terbekap alat. Mereka semua tidak saling mengenal, satu-satunya kesamaan adalah mereka ini semuanya ‘sayap-kiri’. Ketika mereka menemukan kotak besar berisi senjata api, tembak-tembakan itu terjadi. Film ini comedically brutal dalam memperlihatkan adegan bunuh-bunuhan. Crystal musti menyelematkan diri, sesekali bekerja sama dengan rekan sesama target buruan, sembari berjuang hingga ke kesimpulan bahwa yang memburu mereka adalah borjuis liberal yang dipercaya suka berburu manusia sebagai rekreasi. Crystal balik memburu mereka hingga ke Manor, tempat sang pemimpin – Athena – menunggu dirinya.

semua kegilaan ini bermula dari chat di grup WA!

Padahal kalo kita tonton dengan seksama, tidak ada tokoh baik-tokoh jahat di sini. Hanya pemburu dan yang diburu. Walaupun pemburu digambarkan sebagai kumpulan orang konglomerat, tapi film ini tidak pernah sesimpel si kaya dan si miskin. Kita tidak lantas mendukung si miskin, alias kelompok yang diburu. Karena film memperlihatkan begitu banyak spektrum. Bakal ada penonton yang enggak kasian sama yang diburu karena berbagai hal. Misalnya mereka punya pandangan politik berbeda. Atau karena persoalan pandangan tentang kepemilikan senjata. Kedua pihak diperlihatkan sama-sama brengsek, sama-sama ignorant. Ketika ada satu yang mati (anunya digranat ataupun terjatuh ke jurang berduri kayak di video game), kita akan miris sesaat kemudian tergelak karena memang digambarkan dengan over. Target yang enggak sebenar clear inilah yang bikin penonton ‘bingung’ – beberapa bakal melihat pahlawan mereka sebagai penjahat, beberapa akan merasa dipaksa mendukung yang gak sepaham – sehingga film ini jadi menimbulkan reaksi beragam.
Untuk dapat mengerti kenapa sutradara Craig Zobel sengaja mengarahkan filmnya menjadi seperti demikian, maka kita perlu memahami referensi yang ia munculkan di dalam cerita. The Hunt berulang kali menyebut soal Animal Farm, novel satir politik yang ditulis oleh George Orwell. Ada banyak penamaan dan istilah yang disebutkan oleh tokoh The Hunt yang mengacu kepada novel ini, misalnya menyebut rumah sebagai Manor seperti nama peternakan dalam Animal Farm. Crystal disebut sebagai Snowball oleh Athena; kedua tokoh ini sama-sama membaca Animal Farm. Bahkan ada babi yang diberi nama Orwell. Novel Animal Farm bercerita tentang binatang ternak yang mau menggulingkan manusia, karena manusia adalah makhluk paling perusak di muka bumi. Binatang-binatang ini dipimpin oleh babi yang menyusun sistem pemerintahan sendiri. Namun, si pemimpin babi ini menjadi takubahnya sebobrok manusia yang mereka lawan sehingga muncul lagi perlawanan untuk menjatuhkannya. “Manusia ke babi, babi ke manusia, benar-benar sukar membedakan yang mana” begitu kira-kira penggalan dialog yang mengandung gagasan utama novelnya. The Hunt juga berangkat dari gagasan yang sama. Bahwa semua manusia, baik Trump voter atau bukan, sesungguhnya sama. Sama dalam hal apa?
Kedua kubu dalam The Hunt punya penyakit sembrono yang sama di hati mereka. Dan mungkin kita semua juga. Kita gampang percaya pada informasi apapun yang mendukung kebutuhan kita sendiri. Di akhir film ini diungkap bahwa para pemburu sesungguhnya adalah orang-orang yang dirugikan oleh teori-teori pihak oposisi. Rumor mereka menghibur diri dengan membunuhi orang-orang layaknya hewan buruan itu tadinya hanya hoax, yang dibesar-besarkan oleh media . Mereka dipecat dari kerjaan, sehingga dendam dan beneran memburu netijen yang mereka percaya ambil bagian dalam penyebaran hoax tersebut. The Hunt, lewat orang-orang ini, memperlihatkan kepada kita bahayanya mempercayai sesuatu, sekadar berasumsi, tanpa membuktikan terlebih dahulu kebenarannya. Twist kecil pada dialog antara Crystal dan Athena di akhir film menguatkan ini; bahwa sekalipun kita merasa benar, kita haruslah tetap melihat dari sudut lain. Because we still could easily been wrong.

Situasi ekstrim yang tergambar pada The Hunt adalah sindiran terhadap percekcokan antardua kubu politik yang terjadi. Yang masing-masing merasa benar, seringkali bukan karena mereka benar, melainkan karena pihak yang satunya dianggap mutlak salah. Kita berasumsi yang tidak-tidak, dan berkat sosial media, segala teori dan perkataan-tak-berdasar bisa menyebar di kelompok masing-masing seolah itulah kebenaran.

Salah satu dialog kunci dalam film ini adalah anekdot ‘kelinci dan kura-kura’ yang diceritakan dengan begitu twisted oleh Crystal. Karena cerita kemenangan kura-kura karena si kelinci sombong kebablasan tidur saat lomba lari itu ada kelanjutannya. Dengan ending yang cukup sadis. Ketika pertama kali dia menceritakannya, kita menangkap secara tersirat Crystal menganggap dirinya kura-kura dalam cerita tersebut. Namun di bagian akhir film, setelah dia (dan kita) belajar bahwa kedua kubu sebenarnya sama, kita dengan jelas diperlihatkan bahwa dia menyadari dirinyalah yang kelinci. Betty Gilpin mendongengkan, dan kemudian menghidupi ending kisah yang tokohnya ceritakan, itu adalah hal terbaik yang aku dengar sepanjang hari aku menonton film ini. Penampilan aktingnya benar-benar mencuatkan tone film secara keseluruhan. Crystal ini kalo gila bisa kayak Harley Quinn di Birds of Prey (2020), dan saat intens, dia bisa kayak Grace di Ready or Not (2019) . Aksi-aksinya semua kocak sekaligus menegangkan, sekuen berantem di akhir melawan Athena itulah puncak terbaiknya. Film dengan bijak membuat pandangan politik tokoh ini ambigu dengan membuat identitasnya – dari sudut pandang Athena – ambigu. Mungkin beberapa orang akan lebih senang menganggap Crystal si penyintas badass ini sebagai apolitical.

in first 20 minutes,  I was in denial ” aku gak mau nonton film yang Emma Roberts-nya mati duluan”

But it takes a while for us to meet and know her. Film ini memilih cara yang unik untuk memulai cerita. Unik, meski bukan pilihan yang ‘benar’. Karena babak pertama film ini sengaja didesain supaya kita bingung siapa yang harus diikuti. Dari orang kaya snob ke bego ke gadis vulnerable yang bikin jatuh hati, cerita berpindah melewati tokoh-tokoh yang tidak ada yang bikin kita simpati. Dan kemudian mereka mulai berjatuhan mati. The Hunt bersenang-senang ngecoh kita, membuat kita berpikir “wah ini nih jagoannya”, eh ternyata mereka tewas. Kamera berpindah membawa kita mengikuti yang lain. Kita baru benar-benar mengikuti Crystal di akhir babak pertama.
Bahkan si Athena bisa saja jadi tokoh utama. Karena dialah yang kita lihat muncul dan dibangun sedari awal. Meski tidak hingga babak akhir kita baru melihat wajahnya (yang ternyata diperankan oleh Hillary Swank). Akan tetapi masuk akal jika film ingin ‘mengacaukan’ kita seperti itu, karena toh aksi Athena yang ‘membalas dendam’lah yang menyeret Crystal pada cerita – terlebih jika memang Athena salah orang seperti yang diungkap oleh Crystal. However, efek cerita dari sudut pandang Athena akan lebih besar dan konsisten jika adegan flashback di awal babak ketiga dimajukan sebagai set up.




Film ini dengan sukses membagi penonton karena ceritanya yang mengadu pandangan politik, namun pada akhirnya memperlihatkan keduanya sama saja. Certainly bukan sesuatu yang ingin didengar oleh kebanyakan orang. Namun sesungguhnya ini adalah tayangan yang luar biasa menghibur. Dialog dan kejadiannya mengundang tawa – jika kita mau melihat ke dalam dan bermain-main dengan situasi. Aksinya sadis dan melibatkan satu pertarungan cewek yang keren. Yang kedua tokohnya tampak dimainkan dengan riang gembira, sekalipun begitu badass. Babak set upnya unik, tetapi bukan pilihan yang baik ataupun pilihan yang harus diambil oleh film ini. Di samping itu semua, ya aku sarankan supaya kita jangan jadi orang yang baper-baper amat supaya bisa menikmati satir-satir membangun seperti film ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE HUNT.




That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa sekarang orang gampang baper? Apakah satir sudah benar-benar kehilangan tempat di era ‘political correctness’ sekarang ini?

Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.



Comments

  1. Abdi_Khaliq says:

    Filmnya seru!
    Tapi aneh sih, ada satu adegan yang bikin saya ngakak banget karena saking lucunya (mungkin jiwa saya terganggu! Hahahaha), padahal saya biasanya paling susah dibikin ketawa oleh film Horror (Scary Movie, Happy Death Day). Adegan cewek yang jatuh terus dadanya tertusuk tombak tapi dia masih hidup, pas ditolong dan kabur dia malah kena bom ranjau dan… saat itulah saya tak berhenti tertawa karena si cewek ternyata oh ternyata masih idup aja meski setengah tubuhnya sudah hilang… Hahahahaha
    BTW Kematian Emma Roberts asli bikin saya syok berat bang, nggak terima banget!!!

    • arya says:

      I was like, “eh itu emma roberts bukan sih” … “dari nada teriakannya sih iya, hmm” … “horeee, beneran emma!! asik nih, dia bakal segila di Scream 4 gak ya” … “NOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOO!!!!”
      Kemudian 20 menit awal itu tertawa-tawa melihat satu persatu yang dibuat seolah tokoh utama bergantian tewas
      Yang pas ranjau tombak itu aku juga ngakak, dark bgt dia udah narik diri mati-matian eh taunya ketancep di sono lagi hahahaha… azab pendukung fanatik kayaknya xD

      • Abdi_Khaliq says:

        Bang Arya sama sekali nggak liat trailer ya sebelum nonton full movienya????
        Di trailer kan semua wajah pemain pada nongol, dari Emma Roberts sampai Hilary Swank!

    • Abdi_Khaliq says:

      Bang, kalo punya waktu review film lama yang kembali viral gara2 corona sekarang dong! 🙂
      Judulnya Contagion 2011, pemainnya juga kelas wahid semua bang, ada Matt Damon, Kate Winslet, Jude Law dll! Hehehehe

  2. Anto Arief says:

    perdana komentar nih kayanya di sini hehe.
    1. Aktingnya Betty Gilpin oke banget. Bikin penasaran sama karakternya yang misterius tapi loveble (ea)
    2. plot ceritanya ngehe banget. ga ketebak. agak anti klimaks, tapi ya emang gitu sih. tau2 ada humor2 terselip. kaya adegan pas berantem di ending yang buka pintu dulu. karena sebelumnya udah mecahin pintu kaca. haha. ea banget.
    3. overall klo boleh bandingin jadi inget “Mandy” nya Nic Cage, sama favorit gue Revenge. ini sama banyak selipan gore nya, tapi tetap fun. bukan yg bikin ngilu.
    Secara kesuluruhan resensinya asik seperti biasa. gue menikmati baca berbagai latar belakang film ini jadi ngerti.

    • arya says:

      Ntar ada sekuel Gilpin jadi kembar, Crystal May vs Crystal Mae ahahahaa
      Kocak banget tuh yang pintu kaca, kayak sahabat beneran berantem. Kalo Mandy aku belum nonton, tapi Revenge udah dan jelas itu lebih ‘serius’, walau sama-sama berselipan gore, makanya lebih ngilu. Hunt ini kalo aku kayak nonton MTV Celebrity Deathmatch – sadis tapi ya buat lucu-lucuan
      Tengkyuu

  3. Revan says:

    Waktu di awal2 gw jingkrak2 liat emma roberts cantik pake banget. Mirip pevita pearce nggak sih?.LOL.
    WAHHHH inii nih kayaknya emma bakalan mandi darah bunuhin musuhnya kaya samara weaving di ready or not
    20 menit kemudian, DUARR!. Llhahhh anjir margot mati, padahal belum nglawan sama sekali.
    Oh tenanggg positif thingking aja, mungkin itu cuman mimpi buruknya Emma Gw tunggu2 beneran mati donggg. Wah gilaa emma udah dandan cantik banget malah matinya awal sendiri lagi. Kurang ajar. Untung karakter crystal bisa menebus kematiannya Emma .Kalo nggak udah gw kutuk nih film.

    • arya says:

      HAHAHAHA NAH IYA! Sejak pertama liat Emma, di Scream 4, aku udah kepikiran; ni orang kayak versi barat Pevita deh ahahaha.. akhirnya ada juga yang sepaham ‘mirip-miripan’ xD
      Ternyata gak lebih lama dari cameo ya dia di sini, telak banget sih ‘twist’ film ini.. aku juga udah langsung ngebayangin gila khasnya Emma eh taunya distop. Mau marah juga, tapi ya kocak sih, benar-benar surprise. Setuju, untung si Crystal gak kalah badass dan gila

  4. arya says:

    Sucker Punch! ahahaha… apa ya, Guns Akimbo juga ada Samara Weaving jadi badass… Atomic Blonde, Red Sparrow, atau film Saoirse Ronan jadul Hanna ama Violet & Daisy

Leave a Reply