RED SHOES AND THE SEVEN DWARFS Review

 

“Beauty is about being comfortable in your own skin.”

Sekilas Red Shoes and the Seven Dwarfs tampak sebagai parodi harmless dari dongeng Snow White dan Princess-Princess lainnya. Namun jika ditilik dari segi cerita, film ini sebenarnya lebih mirip Beauty and The Beast sebab membahas seputar tokoh yang dihukum menjadi makhluk bertampang ‘mengerikan’ sebagai akibat dari terlalu mementingkan fisik dan sudah judgmental terhadap penampilan-luar orang. Namunnya lagi, begitu kita mengingat bahwa animasi ini dibuat oleh Locus Animation yang merupakan studio asal Korea Selatan, you know, negara yang terkenal dengan ‘budaya’; kita tahu parodi film ini berada dalam tingkatan yang lain.

Tujuh kurcaci yang ada pada film ini bukanlah pekerja tambang bertubuh mungil yang dipanggil berdasarkan emosi yang mereka tampilkan. Di Negeri Dongeng ini mereka bukan emoji berjalan. Melainkan tujuh pangeran yang membasmi kejahatan. Mereka superhero. Pandang mereka tak ubahnya sebagai Boyband K-Pop. Lincah, keren, dan tampan. Mereka juga punya nama grup: Fearless Seven. Dan mereka sangat menyombongkan ke-goodlooking-an mereka, terutama Merlin. Akibat ulah Merlin yang salah serang Putri Peri (“Tampangnya kayak Penyihir!”) mereka semua dikutuk menjadi kurcaci kontet. Penawar kutukan tersebut adalah ciuman dari seorang gadis cantik jelita. Masalahnya adalah; cewek cakep mana yang mau nyium mereka dengan wujud enggak keren seperti itu. Setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Merlin yang tampak paling merindukan wujud aslinya.

Mereka lantas bertemu dengan Snow White – jauhkan imajinasimu dari Putri Salju Disney, karena di sini Snow White adalah seorang gadis baik hati berbodi tambun. Cewek ini buron karena mencuri sepatu ajaib milik ibu tirinya yang seorang penyihir jahat. Sepatu itu mengubah penampilan Snow White menjadi kutilang alias kurus – tinggi – langsing. Snow White yang ingin mencari ayahnya memilih untuk tetap menyamar, ia menamai dirinya yang ala model itu Red Shoes, simply karena Merlin dan teman-teman hanya semangat menolong cewek dengan rupa seperti demikian. Jadi mulailah petualangan – penuh sihir dan makhluk fantasi – dua pihak yang sama-sama bukan berada di tubuh asli dengan buah pelajaran ‘inner beauty jauh lebih penting ketimbang penampilan fisik’ yang siap untuk dipetik.

Aku akan membantu apapun yang bersuara seperti suara Chloe Grace Moretz

 

Salah satu film yang berhasil dengan baik dan dengan penuh hormat mengangkat pesan kecantikan-itu-berasal-dari-dalam dan jangan mau takluk oleh standar kecantikan masyarakat adalah Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan (2019). Imperfect sebenarnya berusaha tampil seimbang dengan tokoh kekasih sang tokoh utama, hanya saja tokoh tersebut agak sedikit terlalu ideal. Tetap saja ‘hanya’ berangkat dari sudut pandang cewek dalam permasalahan kecantikan tersebut. Ketika kita berceloteh tentang standar kecantikan, biasanya cewek-lah yang kita bebankan untuk harus menerima dan menghargai diri apa adanya. Cewek jangan diet berlebihan biar kurus, nanti malah sakit. Cewek jangan kebanyakan pake make up, gak baik untuk kulit. Cewek jangan ini, cewek jangan itu. Gak harus begini, gak harus begitu. Kalian cantik apa adanya. Kita jarang sekali mengeksplorasi dari sudut satunya. Bahwa penawaran itu ada karena ada permintaan. The rest of the world toh memang menunjukkan keberpihakan terhadap yang telah disepakati sebagai ‘cantik’. ‘The rest of the world’ ini tentu saja adalah cowok-cowok. Dan merekalah yang dijadikan fokus pada film ini.

Bagaimana dengan usaha cowok yang selalu mendahulukan versi mereka terhadap cantik. Cowoklah yang membuat versi tersebut, meresmikan, dan dijadikan tuntunan. Maka lewat film ini, giliran cowoklah untuk mengenali kecantikan tersebut sebenarnya, apa adanya. Merlin si tokoh utama kita fakboi banget awalnya. Jangankan cewek atau orang lain, dirinya yang sekarang aja ia rendahkan karena berkebalikan total dengan ‘rupa keren’nya yang asli.  Di awal-awal akan ada banyak sekali dialog-dialog merendahkan keluar dari mulut Merlin dan teman-temannya. Mereka menjadikan bodi-shaming sebagai candaan. Ketika bertemu Red Shoes yang meminta pertolongan, para Kurcaci ini mengobjektifikasi cewek itu. Mereka tidak tulus membantunya, tidak tulus menyambutnya. Melainkan mencari-cari kesempatan untuk menarik hati, demi sebuah ciuman yang bakal mengangkat kutukan mereka. Kita melihat Merlin dan teman-temannya semacam berlomba untuk mendapatkan ciuman Red Shoes. Bagi mereka, cewek tersebut bukan teman, melainkan sesuatu untuk dimenangkan, dan alat untuk mendapatkan tubuh mereka yang sempurna.

Makanya film ini banyak mendapatkan backlash saat pertama kali promosi ke publik dan festival tahun 2017 yang lalu. Tokohnya disebut pahlawan tapi mengglorifikasi body-shaming. Padahal cerita menyiapkan pembelajaran bagi tokoh ini di akhir, dan memang begitulah film; sebuah perjalanan seseorang menjadi dirinya yang lebih baik. Dengan konsep tersebut, film ini memenuhi fungsinya. Merlin menyadari kesalahannya dalam memperlakukan setiap makhluk. But still, masalah film ini terletak pada kita susah ngikut di belakang tokoh utama, karena kita tahu lebih baik daripada dia. Sedari awal kita tidak belajar bersamanya, melainkan kita tahu bahwa dia salah. Dan melihat sikapnya memang bisa jadi turn off bagi penonton. Kita tidak dibuat cukup peduli sehingga menginginkan dia untuk menjadi lebih baik. Penyebab kita susah melihat dia sebagai ‘orang malang yang salah sepanjang hidupnya’ adalah Merlin dan teman-temannya kurang penggalian. Kita tidak benar-benar mengenal siapa mereka, apa latar belakang yang melandasi kenapa mereka begitu narsis dan memandang dari fisik semata. Bahkan, meskipun jumlahnya tujuh, tiga di antara mereka punya wujud yang sama persis dan gak distinctive – triplet ini suka mesin, praktisnya tiga tokoh ini sebenarnya satu karakter yang sama; nama mereka aja berupa nama Pinokio dibagi tiga. Kelompok mereka ini hanya kita kenal sebatas pahlawan,yang kebetulan mereka gorgeous semua.
Snow White digambarkan sedikit lebih ‘terhormat’, dia tidak diperlihatkan mengincar untuk jadi cantik. Ketika menyadari dirinya berbeda karena pengaruh sepatu, bagi Snow White, iya itu adalah impian, tetapi ia melihatnya lebih sebagai sebuah kesempatan. Dia sepertinya paham dan lumrah; dia merasa lebih nyaman sebagai Red Shoes karena dia tahu persis cuma itulah cara dia bisa dibantu oleh orang lain. Namun bahkan Snow White pun tidak bisa sepenuhnya kita idolakan sebab walaupun dia yang jadi pemicu pembelajaran Merlin mengenai menilai orang, dia juga sekaligus part of the problem. Begini, sebenarnya bisa aja film membuat dia yang asli datang minta tolong dan Merlin bonding dengan Snow White apa adanya sedari awal – pembelajaran bagi Merlin akan sama saja, tapi film toh membuat cewek ini ‘cantik’ dulu karena persepsi itulah yang dibangun dan dijadikan kerangka gagasan film. Bahwa ‘cantik itu langsing dan semampai – jelek itu gendut dan pendek’ dipilih untuk jadi bingkai dan ditanamkan demi membuat pelajarannya nanti bisa bekerja.

Standar kecantikan itu sebenarnya berasal dari pikiran bahwa ada yang lebih baik dari diri sendiri, sehingga dijadikan tujuan untuk berubah. Orang gendut akan merasa pengen kurus, dan sebaliknya orang kurus pengen badannya berisi sedikit. Kita tidak pernah puas dengan diri sendiri. Inilah sebenarnya gagasan utama film, makanya kedua tokohnya dibuat berurusan dengan wujud sihiran dan wujud asli masing-masing. Karena apapun bentuk kita, warna kulit, dan segala macam, hal yang penting adalah sifat dan sikap kita. Semua orang akan terlihat menarik dari yang ia pancarkan kepada sekitar, tidak peduli apakah fisiknya bercacat atau gimana. Orang cakep pun bisa beneran cakep kalo gak sombong dengan kecakepannya. Ini adalah soal menerima diri sendiri apa adanya.

 

Framework cerita film yang demikian tersebut sangat beresonansi dengan masyarakat Korea Selatan, yang sudah rahasia umum punya kegandrungan terhadap operasi plastik demi penampilan luar. Negara tersebut punya pandangan homogen terhadap mana yang cantik dan mana yang tidak, yang semuanya berakar dari kelas sosial. Putih dinilai cantik karena berkulit gelap diidentikan dengan pekerjaan yang langsung di bawah sinar matahari. Ini senada dalam film, bahwa putri raja dan pangeran berkulit cerah sementara kurcaci dan peri berkulit hijau, atau lebih gelap. Bahkan ada satu dialog Merlin yang menegaskan hijau adalah warna kelas rendah. Jadi, Red Shoes and the Seven Dwarf ini clearly memparodikan masyarakat Korea Selatan itu sendiri; yang selalu ‘bicara’ tentang tren kecantikan yang satu dimensi, berlomba-lomba untuk jadi cantik seperti demikian dengan mengubah diri. Jadi kita bisa memahami pesan film soal penampilan luar itu tidak penting akan terasa kuat sekali bagi penonton dari negara asli filmnya. Makanya juga jadi wajar, jika film ini memang diniatkan oleh sutradaranya sebagai tontonan keluarga. Sebab penanaman cantik/tampan dan tekanan untuk menjadi cantik/tampan itu berawal dari ruang-ruang keluarga mereka.

Film turut bicara soal maskulinitas yang terbantu oleh understanding dan menerima wanita juga bisa lebih-kuat

 

Walaupun memang sebenarnya humor dan fun film ini tidak benar-benar tepat untuk sajian anak-anak. Paling tidak, anak-anak menonton ini harus bersama orangtua yang dapat menjelaskan pandangan sempit tokoh-tokoh cerita dan mencuatkan pembelajaran yang nantinya mereka dapatkan. Itupun kalo orangtua bersiap menghadapi banyak adegan dan dialog yang bisa bikin gak nyaman jika ditonton bersama anak-anak. Kurang lebih samalah kayak lihat adegan-adegan ngerayu cewek di film komedi kayak Dono dan sebagainya. Beberapa parodi ada juga yang cerdas, kayak saat satu tokoh bermain-main dengan menyebutkan sifat Princess-Princess Disney yang ingin ia undang ke pesta ulangtahun. Namun beberapa ada juga yang konyol dan maksa, misalnya kayak pohon ajaib berbuah apel yang kemudian apelnya berubah menjadi sepatu. Sepatu tumbuh di pohon, sedongeng-dongengnya cerita mestinya ada hal yang lebih magical lagi yang bisa dipakai untuk film yang bercerita tentang sepatu ajaib. Dan karena ini adalah film dari negara yang cukup hits lagu-lagu popnya, maka kita akan menemukan beberapa adegan yang menyisipkan lagu-lagu. Hanya saja, sisipan ini kesannya selalu entah-dari-mana; karakter tau-tau bernyanyi sebagai transisi antaradegan. Aku gak tau aslinya gimana, tapi nyanyian di film yang sudah disulih suara bahasa Inggris ini enggak ada yang catchy sama sekali.

Membawa pesan yang menekankan pentingnya kecantikan dari dalam hati, film ini hadir sebagai tantangan terhadap masyarakat yang penuh dengan prasangka sosial yang terkait dengan standar kecantikan fisik. Kali ini cowok dan masyarakatlah yang disuruh untuk berusaha membuka hatinya terhadap mana yang cantik-mana yang tidak. Buat cewek, film ini persis seperti penggalan lagu Alessia Cara, “You don’t have to change a thing, the world could change its heart”. Menuju pembelajaran dan momen penyadaran tokoh utama, cerita film ini sayangnya dapat hadir sangat mengganggu. Tokoh utama yang kurang digali membuat kita susah peduli sehingga menimbulkan kesan film ini sangat merendahkan dan mendukung body-shaming. Aku suka konsepnya, aku mengerti tujuan filmnya, tapi memang penceritaan mestinya bisa dilakukan dengan lebih baik – mungkin dengan lebih subtil sehingga tidak begitu menyinggung dan memberikan ruang bagi penonton untuk masuk dan memahami tokoh utamanya yang bercacat hati itu.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for RED SHOES AND THE SEVEN DWARFS.

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang trend operasi plastik di Korea? Apakah menurut kalian K-Pop dan drama-drama Korea bakal mendapat sukses yang sama secara internasional jika tidak ada istilah operasi plastik di sana?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

  1. Cookie says:

    Waah ada yg senada mengenai film Imperfect, walaupun berusaha dibuat seimbang, tapi tetap aja sosok cowonya terlalu ideal. Dan kebanyakan film2 korea juga cewenya sering digambarkan clumsy dll tapi tetap mengharapkan cowo yang ideal. Atau dulu di film remaja Hollywood seringnya cowonya yg underdog tapi mengincar cewe kembang sekolah. Mungkin cuma film Shrek ya yang kedua2nya baik cewe dan cowo menerima apa adanya.

    • arya says:

      Iya karena fokusnya ke cewek, dalam artian cewek yang harus menyadari dirinya gak perlu berubah penampilan karena cantik dari dalam dst dst. Red Shoes simply offer sudut pandang dari sisi cowok dan menyorot ke pelaku standar kecantikan itu.
      Haha tiap negara beda-beda teenage dreamnya berarti ya, kalo di indonesia yang laku biasanya anak jelata jatuh cinta ama anak orang kaya

Leave a Reply