SWALLOW Review

“Autonomy is the whole thing; it’s what unhappy people are missing.”
 

 
Kita semua pernah ngalamin susahnya menahan diri untuk enggak nyentuh muka di kala pandemi virus corona. Sudah seperti reflek, kita gak kontrol entah sudah berapa kali tangan selalu ringan mengarah ke wajah. Dan ketika nyadar nyentuh wajah bisa membuat virus masuk ke tubuh, seluruh wajah jadi kerasa gatal. Hidung, pipi, semuanya mendadak pengen disentuh. Jadi bisa dibayangkan gimana rasanya jadi wanita hamil seperti Hunter, yang bawaannya pengen makan melulu. Ngidam Hunter di thriller Swallow bukan sembarang ngidam. Bukan makanan asem dan sulit dicari yang pengen wanita muda itu masukkan ke perut. Melainkan justru benda sehari-hari yang bertebaran di rumahnya yang mewah. Kelereng. Baterai. Sampai yang tajam-tajam seperti peniti. Duh.
Swallow membahas disorder yang di dunia nyata nama ilmiahnya adalah ‘pica’. Kelainan psikologis yang menyebabkan seseorang merasa pengen terus memakan benda-benda tak bergizi. Keadaan yang tentu saja berbahaya, karena kita bisa keracunan atau saluran pencernaan terluka. Apalagi untuk ibu hamil seperti Hunter. Sutradara Carlo Mirabella-Davis dengan tepat menggambarkan intensnya dorongan-tak-tertahan yang didera oleh Hunter tatkala rumahnya sepi. Seperti saat adegan Hunter lagi membersihkan lantai dan menemukan jarum pin. Kamera dan cut yang precise, didukung oleh musik senyap dan penampilan akting Haley Bennett (menghidupkan tokoh yang adorable dan sangat patuh) membuat kita serasa ingin menerobos masuk ke layar dan mencegah Hunter untuk menelan. Ada permainan intensitas yang diberikan, tarik ulur; makan atau tidak dimakan, film ini mencengkeram kita seperti demikian.
Aku gak pernah tahu penyakit Pica sebelum film ini, tapi Swallow sukses berat menyampaikan betapa mengerikannya kebiasaan tersebut. Sekaligus betapa candunya. Aftermath dari adegan makan diperlihatkan dengan montase Hunter semakin larut dengan kebiasaannya. Benda-benda yang ditelannya semakin berbahaya, namun musik kini setengah-ceria. Hunter tampak enjoy mengoleksi benda-benda yang ia telan tersebut keluar dari perutnya. Di bagian sini, film jadi horor lagi. There will be blood. Thriller mainstream akan mengeksplorasi cerita ini menjadi bodi-horror dengan memfokuskan pengaruh kebiasaan tersebut terhadap tubuh Hunter. It would be grotesque and superfun. Akan tetapi, Swallow bukan film seperti demikian. Imajinasi kita akan dibiarkan meliar membayangkan kesakitan yang harus dialami Hunter. Kamera hanya memperlihatkan bentuk benda yang ditelannya, kita yang akan membayangkan usaha seperti apa kira-kira yang dilakukan oleh Hunter mengambil kembali benda itu dari dalam perutnya. Mirabella-Davis actually lebih menekankan cerita ini menjadi bernada psikologis. Dia lebih tertarik untuk memperlihatkan konsekuensi yang nyata, dan kemudian membahas dengan mendalam kenapa perbuatan tersebut bisa terjadi. Dalam lapisan yang lebih dalam, film menyampaikan gagasan soal pemberdayaan wanita terhadap kuasa atas dirinya sendiri.

makan gak makan, asal bisa dikumpulkan

 
 
Kehidupan Hunter sebagai seorang wanita dihamparkan dengan jelas. Kita tahu dia punya semua; suami jutawan, rumah nyaman, rumah tangga yang bahkan lebih manis daripada mimpi Cinderella. Hanya ada satu yang tidak dia punya. Film menunjukkan bagaimana suara Hunter adalah yang paling ‘kecil’ di rumah tersebut, penampilannya sering diatur, dan kini dia punya bayi di dalam perutnya. Hal menarik yang diperlihatkan film ini adalah reaksi kontras antara Hunter dengan suaminya saat mengetahui kehamilan. Sang suami langsung memberitahu orangtuanya dengan bersemangat “kami hamil!”. Sedangkan Hunter; terduduk diam. Tidak bergairah. Seolah ia baru saja divonis dipenjara selama sembilan bulan. Film dengan spektakuler mengangat pertanyaan apakah Hunter benar-benar pengen hamil. Pertanyaan yang tidak terburu-buru untuk dijawab, melainkan dibiarkan terus berkembang menjadi pertanyaan-pertanyaan lain, yang mengawal kita ke konflik sebenarnya cerita ini. Seberapa besar peran Hunter dalam hidup sempurnanya tersebut – apakah Hunter menginginkan semua itu? Kenapa?
Itulah akar dari perilaku Pica; Perilaku yang kemudian jadi pelarian bagi Hunter. Dia yang terbiasa menelan perasaan, merasa jadi pegang kendali saat memasukkan kelereng dan benda-benda itu ke dalam mulut, merasakan dengan lidah, dan kemudian menelannya. Tindakan yang merusak diri sendiri ini diambil oleh Hunter sebagai perlawanan. Kecantikan, kepatuhan, dan sikap lembut welas asihnya kepada suami dan keluarga adalah perwujudan dari pengorbanan yang ia lakukan. Jika kesempurnaan adalah demi orang lain, maka pengrusakan dan kesalahan Hunter lakukan demi dirinya sendiri. Ada dialog Hunter dengan suaminya yang menjadi kunci dari ketakutan dan permasalahan dalam dirinya. Yakni ketika sang suami mengatakan Hunter gak pernah salah, dia begitu sempurna sebagai seorang istri yang taat, sehingga jika mau buat salah aja, dia gak bakal bisa. Perilaku Pica yang Hunter lakukan seolah pengen untuk membuktikan bahwa dia bisa melakukan kesalahan, sebagai bukti dirinya masih manusia yang punya kehendak. Bukan robot istri orang kaya, bukan alat pencetak anak. Cerita akan semakin menggelap tatkala kita mempelajari masa lalu Hunter – kehidupan masa kecilnya. Aku gak ingin membocorkan soal itu, tapi aku pikir  satu hal yang perlu untuk dikasih tahu supaya motivasi dan kelakuan Hunter ini bisa lebih kita pahami adalah bahwa peristiwa yang terjadi di masa lalunya berperan besar membentuk diri Hunter yang sekarang. Peristiwa tersebutlah yang membuat dia percaya dirinya adalah sebuah kesalahan. Maka ketika ia dituntut untuk jadi sempurna, dan dikatain gak bisa salah saat menjadi istri dan calon ibu – Hunter merasa amat sangat dikekang

Seringkali dalam hidup, kita terpaksa untuk menelan banyak hal. Keinginan. Perasaan. Rasa sakit. Hal yang paling membuat nelangsa adalah ketika kita dipaksa untuk menelan siapa sesungguhnya diri kita. Ketidakbahagiaan berasal dari sini, membuat kita merasa less- terhadap diri sendiri. Yang film ini tunjukkan adalah betapa lingkungan sekitar dapat mempengaruhi atau memaksa bukan hanya tindakan sehingga kita merasa bukan diri sendiri, melainkan juga membuat kita percaya sesuatu yang bukan adalah diri kita. Jadi jangan telan semua itu bulat-bulat.

 
 
Ketika film membahas masalah penanganan disorder Hunter oleh keluarga suaminya, konflik yang hadir dapat terkesan terlalu banal. Ini satu hal yang kurang kusuka dari film ini. Aspek psikologis, studi karakter Hunter sangat kuat, akan tetapi pembahasan dari sisi keluarga suaminya enggak begitu seimbang. Untuk menguatkan konteks Hunter terasing dari sekitar dan dia dipaksa untuk menjadi merasa bukan seperti ‘orang’, film butuh untuk membuat sang suami benar-benar terlihat jahat. Di paruh awal sebenarnya suami ini cukup berlapis. Namun di akhir, film membuat sangat jelas bahwa pria tersebut hanya peduli kepada anaknya yang dalam kandungan, dan terbukti hanya bermanis-manis ria terhadap Hunter. Penggambaran yang demikian membuat film seperti tidak mampu mengulik seperti apa sih kekangan patriarki dan kompleksitasnya bagi wanita dengan benar-benar geunine. Seolah, jika tokoh wanita salah, maka tokoh pria harus salah juga karena bagaimanapun juga ini adalah perihal pemberdayaan dan perjuangan wanita atas dirinya.

tapi ada bapak-bapak yang lebih hebat dari Hunter; katanya mau nelen corona

 
 
 
Hal paling cantik dari film ini adalah cara ia bercerita tentang wanita meraih autonomi. Memperlihatkan dunia simetris nan mewah, warna-warna hangat, sebagai kesempurnaan yang mengekang. Wanita yang jadi istri orang kaya bukan serta merta bahagia, karena yang terpenting adalah apa yang sebenarnya ia minta – seberapa besar dia merasa semua hal adalah pilihan dirinya. Sekilas film ini tampak seperti akan menempuh jalur body horror – dan dia bisa saja menjadi itu dengan sangat gampang karena film ini seputar wanita hamil yang memakan benda-benda berbahaya. Namun film ini punya sesuatu yang lebih dalem sebagai body-goal. Sehingga Swallow menjadi berkali lipat lebih thoughtful, naas, dan mengerikan.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for SWALLOW

 
 
 
That’s all we have for now.
Hal paling pahit apa yang pernah kalian telan?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

  1. Arif says:

    Akhirnya nemu orang yg suka juga ama film ini. Dari kmrn aku rekomendasi ke temen2 justru malah di cerca.
    Tapi tadi kaget loh filmnya dapet 8. Angka yg tinggi bgt di blog ini.

    • arya says:

      hahahaha dicerca kenapa, apa karena kurang sadis kali ya? aku pas awal nonton ini juga mikirnya bakal horor sadis-sadisan gitu karena dia nelan macem-macem, tapi ternyata bukan dan jadi kejutan yang positif buatku

  2. Arif says:

    Iya mungkin krn kurang sadis, tapi temen bilang filmnya rada ngebosenin, tapi ya krn mrk belum biasa nntn film thriller slow-burn kali ya.
    Eh tapi aku masih penasaran, kok filmnya bisa dapet skor tinggi bgt di sini? Sepanjang aku ngikutin blog ini kyknya angka 8 cuman keluar buat film2 festival atau horor yg lebih superior

    • arya says:

      Filmnya memang superior kok, Thor Ragnarok juga aku kasih 8, 8 setengah malah; it’s got nothing to do with festival atau horor hehehe..
      Buatku, eligible dikasih 8 itu syaratnya original ama penulisannya bener. Swallow ini kalo jadinya bodi-horor atau sadis kayak biasa, aku bakal ngasih maksimal 7.5. Tapi ternyata enggak. Dia membahas psikologis dan karakter dengan lebih dalam lagi. Pada ending film ini jadi a very strong character study Dia sekaligus juga bergulat dengan gagasan otonomi perempuan. Cara bercerita film ini jauh dari kesan ‘terlalu genre’ ataupun annoying ala film SJW. Plus, baru sekali ini aku nonton film tentang orang pengidap Pica – aku bahkan baru tahu ada istilah Pica dari sini. Buatku, this is eight material right from the start, dan sepanjang durasi film konsisten dan gak melakukan banyak pilihan yang mengurangi nilainya.

Leave a Reply