THE WILLOUGHBYS Review

“When everything goes to hell, the people who stand by you without flinching — they are your family.”
 

 
 
Alessia Cara main film! Berita tersebut tentu saja langsung membuatku menggelinjang. Tapi kemudian gelisah. Begini, ketika nonton film yang melibatkan either orang yang kita kenal atau orang yang kita sukai, yang kita ngefan abiss, rasanya tuh selalu ngeri-ngeri sedap. Karena kita akan berada di posisi pengen objektif alias gak mau terlalu bias, tapi juga khawatir bakal terlalu kritikal terhadap idola sendiri. Ini sama seperti kepada keluarga, kita berharap mereka gak doing something bad karena kita gak mau terlalu keras kepada mereka; kita berharap mereka doing great supaya punya alasan bagus untuk memujinya tanpa dianggap bias. Untungnya, animasi Netflix The Willoughbys yang memang bercerita tentang menyingkapi keluarga dengan hati ini punya banyak keunikan dan hal unggul alami sehingga aku tidak merasa tidak-enak memujinya.
Yang didirect oleh sutradara Kris Pearns dan Cory Evans ini sungguhlah sebuah cerita yang aneh dan tak biasa diusung dalam bentukan tontonan keluarga. Mimpi yang mereka jual tergolong ‘mengerikan’. Bagaimana jika anak-anak menginginkan orangtua mereka pergi? The Willoughbys mengisahkan Tim dan tiga adiknya – Jane dan si kembar, Barnaby – tinggal bersama orangtua mereka di rumah kuno di tengah kota modern. Seperti bangunannya, keluarga ini juga tergolong ‘old fashioned’. Silsilah Keluarga besar Willoughbys penuh oleh orang-orang dengan pencapaian, dan kumis, luar biasa. Semua itu seakan putus pada ayah Tim yang berkumis tipis. Ayah Tim tak peduli pada banyak hal di luar cintanya kepada ibu Tim. Beliau bahkan tidak peduli sama anak-anaknya. Mereka tak mau berbagi makanan kepada Tim, yang malah dikurung di bawah tanah. Mereka melarang Jane bernyanyi. Mereka enggak mau repot ngasih dua nama – dan dua sweater – untuk si kembar. Tim dan saudaranya merasa diabaikan. Mereka jadi kepengen jadi yatimpiatu supaya bisa bebas. Maka mereka mengirim ayah dan ibu ke sebuah paket travel romantis namun amat berbahaya. Tentu saja harapan mereka adalah kedua orangtua mereka celaka dalam perjalanan.

Dan kemudian Mary Poppins dan Willy Wonka jadian dan berpotensi jadi orangtua angkat Tim dan adik-adiknya

 
Gagasan yang berupa kita bisa memilih keluarga kita sendiri, ataupun gagasan untuk tidak merasa terikat oleh orang yang harus kita pedulikan hanya karena punya hubungan darah dengan mereka, tentunya adalah bahasan yang lumayan kompleks dan bisa dibilang cukup kelam untuk anak kecil. Secara bahasa memang tidak ada yang sadis, vulgar, atau gimana. Melainkan film ini punya humor yang receh, dan mirip seperti kartun-kartun konyol di televisi. Namun secara topik, film ini bersuara dewasa. Ia menyinggung kekerasan anak, abandonment, perihal merencanakan kematian. Dan memang akan ada tokoh-tokoh yang menemui ajal, yang dipresentasikan sebagai komedi. Saat membahas cinta laki-laki kepada wanita, film juga tidak mendaratkan kepada anak, ia menghamparkannya sebagaimana anak-anak melihat cinta. Sesuatu hal rahasia yang dilakukan oleh orangtua. Film menampilkan banyak gestur terselubung, but again, dalam sorotan cahaya dark jokes.
Jadi film ini sebenarnya masih satu kotak sama animasi seperti Coraline (2009), atau Frankenweenie (2012), karena sama-sama film anak/keluarga yang horor. The Willoughbys, however, dapat terasa lebih seram karena bahasannya yang sangat dekat. Gak sembarang anak-anak yang aman menonton ini. Paling enggak harus ngerti konsep sarkas dulu, karena jika tidak bisa dengan gampang ketrigger ke arah yang enggak-enggak. Karena di film ini kita akan melihat hal-hal yang mengundang pertanyaan berat bagi anak-anak polos seperti kenapa orangtua benci kepada anaknya, kenapa anak-anak itu enggak dikasih makan, boleh tidak anak benci kepada orangtua dan mengirimnya ke tempat berbahaya.
Di pihak lain, film ini juga lebih warna-warni dan lebih cerah. Berkat visual yang imajinatif dan sangat kreatif. Film ini menggunakan animasi CGI dengan konsep pergerakan yang menyerupai stop-motion. Seperti yang kita nikmati pada film-film LEGO. Dunia yang dihadirkan sangat kartun, rambut para Willoughby ini misalnya, berserat kayak benang. Awannya kayak gula kapas. Dan ada pelangi sebagai pengganti asap dari pabrik permen. Film ini berusaha menyinari elemen kelam ceritanya dengan penampakan dan tone yang ceria. Hebatnya, dua elemen tersebut; cerita yang kelam dan tone yang konyol cartoonish, akan jarang sekali terasa bertabrakan. Ini karena film berhasil mengeset pemahaman kita terhadap logika yang bekerja pada dunianya. Belum apa-apa kita disambut oleh kucing yang bisa berbicara, sebagai narator. Untuk merangkum semuanya, pengalaman nonton film ini sama seperti kita sedang dibacain dongeng, dan kita melihat lembar-per lembar buku dongeng yang penuh warna dan hal-hal unik.
“my kind of fun doesn’t make any sense”

 
Kita semua tahu, dongeng-dongeng klasik sekalipun memang semuanya punya ‘keseraman’. Film ini bertindak sebagai dongeng modern yang gak shy away dari aspek mengerikan yang terkandung dalam gagasan tak-biasanya. Karena film tahu dia punya pesan yang hangat untuk disampaikan. Film ingin berdiri sebagai mercusuar harapan bagi anak-anak yang merasa orangtuanya jahat first, dan kepada anak yang orangtuanya beneran jahat second. Things could get that ugly. Maka anak-anak seperti Tim perlu untuk melihat semua sudut supaya mereka bisa belajar untuk kembali percaya kepada orang dewasa. Karena setiap anak butuh pendamping, baik itu wali maupun orangtua.
Sepanjang cerita kita akan melihat perjalanan Tim dan Jane dan Kembar Barnaby. Kita dipahamkan akar dari mereka jadi bisa berpikir untuk lebih baik hidup tanpa ada orangtua. Kita mengerti kenapa mereka awalnya tidak percaya kepada Nanny yang datang untuk mengasuh mereka. Kita melihat Tim pelan-pelan belajar bahwa punya keluarga itu adalah suatu berkah. Belajar bahwa makna dari keluarga bukan sekadar kesamaan fisik dan tradisi. Melainkan saling menerima perbedaan dan saling menyintai. Alur cerita film ini dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan pengembangan pola pikir Tim, tokoh yang difungsikan sebagai wakil dari anak-anak dalam keluarga yang broken atau disfungsional. Kepercayaannya terhadap peran masing-masing dalam sistem keluarga perlahan timbul. Hampir seperti ia menyerah, kelihatannya bagi kita, saat Tim memutuskan untuk menempuh perjalanan jauh demi menjemput dan menyelamatkan nyawa orangtua mereka. Tapi sekaligus kita lega. Karena itulah satu-satunya cara. Anak butuh orangtua. Kemudian film mendaratkan kita kembali bahwa kadang keluarga itu just not working. Kadang orangtua memang begitu egois. Kadang mereka memang jahat. Tapi pada saat itu, Tim dan adek-adeknya sudah paham nilai sebuah keluarga. Perjalanan mereka telah sempurna, maka cerita memberikan mereka ‘hadiah’. Resolusi yang diberikan film ini sungguhlah manis. Kita mungkin sudah bisa melihat hal ini datang, tapi endingnya akan tetap nonjok karena kita sudah terinvest sama tokoh-tokoh colorful yang dihadirkan.

Keluarga bukan soal rumah. Bukan juga semata soal darah. Terkadang, keluarga adalah soal orang-orang yang memilih untuk bersamamu. Orang-orang yang ada di dekatmu tanpa diminta. Terkadang, memang orang pilihanlah yang membuat keluarga terbaik.

 
Tokoh-tokoh tersebut sekilas memang tampak satu dimensi. Tapi jika kita teliti, film sebenarnya memberikan mereka lapisan, hanya saja elemen komedi yang membungkusnya terlalu menghalangi. Orangtua Tim saling cinta, mereka bisa survive dari apa aja berkat kekuatan cinta mereka. Tapi mereka jahat kepada anak-anaknya, dan kepositifan dari cinta itu terhalangi karena film menunjukkannya sebagai ‘kekuatan’ jahat – orang-orang actually celaka di sekitar cinta mereka. Nanny yang baik hati juga dibeberkan punya masa lalu sebagai anak yatim sehingga kita punya ruang untuk mengenali emosinya. Commander Melanoff juga diperlihatkan bukan sekadar sebagai orang aneh yang punya pabrik permen, selalu ada sesuatu di balik penokohan, meskipun memang sebagian besar dimainkan sebagai komedi oleh film ini. Sehingga bisa dengan mudah teroverlook dan membuat tokohnya satu dimensi. Aku sih berharapnya mereka ngecilin sedikit volume kekonyolan agar karakter dapat bersinar. Namun justru ekstrimnya rentang konyol dan dark-nya itulah yang menjadi appeal dan gaya film ini.
And finally, saatnya membahas Alessia Cara yang memulai debutnya sebagai bermain akting pengisi suara. Film ini berisi jejeran seperti Maya Rudolph (yang enerjinya menghidupkan film ini ke level maksimal) ataupun Tim Forte, dan even Ricky Gervais yang terdengar natural sebagai kucing pemalas. Alessia paling muda di sini. But I gotta say, suaranya cocok sekali dengan karakter Jane. Terdengar ringan dan sedih bersamaan. Juga penuh optimisme. Salah satu ciri Jane adalah kalimat ‘what if’. Dialah yang pertama kali mengajukan ide ‘membuang’ orangtua mereka. Tokoh ini penuh oleh ide liar, yang dihidupkan dengan klop oleh akting suara Alessia. Lagu yang dinyanyikan oleh tokoh ini kupikir bakal bisa ngehits karena sangat efektif sebagai klimaks emosional dalam cerita.
 
 
 
 
Dark jokes pada elemen cerita – anak yang pengen jadi yatimpiatu biar bebas – berusaha disamarkan film lewat kekonyolan dan warna-warni pelangi khas kartun. Campuran dua tone inilah yang menjadikan film unik. Visual dan design karakter dan dunianya jelas santapan bagi mata dan imajinasi. Film ini juga punya cerita yang manis tentang menemukan sebuah keluarga. Memahami makna sebuah keluarga. Tapi aku juga bisa melihat film yang diadaptasi dari buku ini bakal membuat penonton terbagi dua. Atau setidaknya merasa was-was dan berpikir dua kali untuk menayangkan ini kepada buah hati. But oh boy, animasi berani seperti ini sedang ‘menang’ ketimbang animasi ‘isi angin’. Dari sisi yang lebih aman, kita sudah dapat Onward (2020), lalu yang sedikit kontroversial dan berani seperti ini ada Red Shoes and The Seven Dwarfs (2020). Yang sebenarnya diminta oleh film-film seperti ini adalah duduk menonton bersama keluarga, sebab pertanyaan berat akan mereka hadirkan, dan diskusi terhadap itulah yang coba dihadirkan
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for THE WILLOUGHBYS.

 

 
 
That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian film ini cocok ditonton untuk anak-anak?
Dulu waktu kecil aku kalo ngambek sering berangan-angan minggat dan kabur jadi anak keluarga lain yang lebih keren. Apakah kalian pernah mengalami hal yang sama? Pernahkah kalian menganggap orangtua jahat?
 
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 
 
 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

  1. arya says:

    wahahaha, aku pernah minggat nginep di rumah temen tapi baru dua hari, kok ya gak dicariin – hape sepi-sepi aja gak ada yang nelponin.. akhirnya pulang sendiri xD

Leave a Reply