EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA Review

“It does not do to dwell on dreams and forget to live”
 

 
 
Adalah prestasi yang luar biasa sebenarnya untuk dapat menjadi seperti Lars dalam film Eurovision Song Contest: The Story of Fire Saga. Enggak gampang untuk bisa teguh mengejar passion masa kecil. Untuk terus mendedikasikan diri mengusahakan mimpi, meskipun diremehkan – bahkan diledek – oleh semua orang. Termasuk orangtuamu sendiri. Karena realita tak akan menghantam kita pelan-pelan. Di bawah tekanan kenyataan, enggak semua orang mampu mempertahankan siapa dirinya, seperti Lars. Namun tentu saja, untuk memegang erat passion seperti demikian, kita juga enggak boleh seperti Lars. Yang lupa memperhatikan sekitar karena mimpinya yang terlalu jauh itu.
Sedari kecil, sejak ditertawakan oleh kerabat dan tetangga pada malam pemakaman ibunya, Lars bertekad untuk memenangi kontes nyanyi se-benua Eropa yang tersohor itu. Dia ingin membuat bangga ayahnya yang pelaut. Sekarang usia Lars (Will Ferrell udah sah jadi rajanya underdog-absurd komedi) sudah kepala tiga, dan tetap saja hanya Sigrit (Regina George.. eh, Rachel McAdams jadi ‘wanita desa’ yang lugu dan bersuara indah) seorang yang percaya dan mendukung dirinya. Bersama mereka membentuk band duo Fire Saga, yang nyanyi di kafe dan pesta-pesta di kota – walaupun warga selalu meminta mereka memainkan satu lagu rakyat dan menolak mendengar lagu ciptaan Lars yang lain. Dalam sebuah rentetan kejadian yang kocak – agak sadis, tapi tak pelak konyol – Fire Saga akhirnya kepilih untuk pergi mewakili Islandia ke final Eurovision tahun ini. Berdua saja di ranah showbiz yang glamor dan sarat kepentingan terselubung, Lars yang tak-mampu melihat apapun di luar potensi kemenangan dirinya, dan Sigrit yang akhirnya merasakan perhatian meskipun datang bukan dari partner masa kecilnya, mulai merenggang. Dan setelah satu lagi kecerobohan penampilan musik yang failed dan nyaris berujung petaka, Fire Saga seperti sudah digariskan untuk bubar – membuat malu negara, dan tentu saja ayah Lars di rumah.

Dan percaya atau tidak, film ini juga melibatkan bangsa peri

 
 
Kita yang tinggal di Indonesia mungkin belum banyak yang pernah mendengar – apalagi yang gak ngikutin musik kayak aku – Eurovision yang merupakan kontes musik yang beneran ada di Eropa sana. Acara ini ternyata udah diberlangsungkan semenjak pertengahan 1950, dan sudah menelurkan tren-tren musik mulai dari ABBA hingga ke Celine Dion. Film garapan David Dobkin ini pun tadinya diniatkan rilis bersamaan dengan pagelaran Eurovision tahun 2020, tapi urung karena pandemi korona. Kenapa komedi musik ini menjadi seperti begitu urgen? Kenapa tokoh fiksi harus diciptakan ke dalam show nyata yang sudah jadi tradisi? Itu karena film Eurovision ini difungsikan bukan hanya sebagai tribute, melainkan sekaligus sebagai parodi untuk mengingatkan acara itu sendiri yang semakin modern malah semakin konyol. Eurovision adalah kontes musik yang kini bukan semata adu-kemerduan suara, namun lebih sebagai adu-aksi panggung. Kembang api, efek video, kostum-kostum ‘unik’. Acara itu udah jadi selebrasi unjuk-gigi negara-negara terlibat. Di belakang panggung, ada strategi dan permainan politik bahkan sedari pengiriman delegasinya. Semua itu ditampilkan dalam nada ringan oleh film Eurovision Fire Saga ini. Kita mendengar komentar soal kostum, dan aksi panggung, yang diwakilkan oleh tingkah polah Lars yang jadi laughing stock seluruh kota. Kejadian seputar Lars dan Sigrit kepilih oleh produser dibuat sebagai kebetulan yang sebenarnya direncanakan oleh pihak-pihak tertentu.
Formulanya, ini merupakan cerita underdog. Lars dan Sigrit diremehkan. Namun bukan karena kemampuan nyanyi mereka yang buruk. Tonton sendiri dan biarkan mereka membuatmu terpana oleh ballad-ballad pop yang nendang abis. Penyebab mereka tidak-ada yang menjagokan adalah karena mereka selalu melakukan aksi-aksi panggung yang norak dan berlebihan. Penampilan musik mereka gagal selalu karena hal tersebut. Ini lantas dikaitkan oleh film dengan heart-of-the-story, yakni hubungan antara Lars dengan Sigrit. Yang satu punya mimpi besar, yang satu punya talenta tak-terukur. Ada cinta di antara mereka. Dan hanya ada sepihak saja yang melihat ini. Cerita dan karakter mereka dibangun supaya kita menginginkan mereka berhasil. Dengan stake bubaran yang memang berhasil membuat kita peduli. Walaupun formula film ini standar sekali – it fits to both our usual underdog and childhood lover story – film ini masih berhasil untuk tampil segar berkat karakter. Dan visual Islandia dan panggung Eurovision yang gemerlap. Dan tentu saja lagu-lagunya.
Aku menikmati penampilan di film ini. Ferrell dan McAdams jadi center-piece yang sempurna untuk cerita, meski kadang terlihat aneh juga mereka sebaya tapi Lars kadang seperti terlalu tua (apalagi film kerap mengingatkan kita dengan running joke ‘mungkin-bukan-kakak-adik’ itu). Aku terutama suka sekali sama penampilan McAdams di sini, karakternya hampir seperti magical. Apalagi pas nyanyi. Wuih! Lagu ‘Double Trouble’ yang mereka bawakan dengan naas itu sudah hampir bisa kupastikan bakal masuk jadi nominee buat kategori Best Musical Perfomance di My Dirt Sheet Awards tahun depan. In fact, dalam film ini akan ada banyak penampilan musikal yang memukau. Lagu finale-nya bakal bikin merinding. Dibawakan dengan lip sync oleh McAdams tidak lantas membuat penampilan terasa ‘plastik’. They played it off so good, dan salut juga buat Ferrell yang beneran menyanyikan semua lagu bagiannya.
Dengan sifatnya yang jengkelin, kadang Lars terlihat seperti Matt Riddle versi tua

 
 
Cerita underdog dalam sebuah kompetisi bisa kita maklumi taat kepada formula yang sama. Seperti setiap cerita tinju ‘blueprint’ bakal selalu formula cerita-cerita Rocky. Eurovision Fire Saga ini pun sebenarnya buatku tak masalah diceritakan dengan formulaic. It has a clear-cut plot. Tahun kemaren kita dapat Fighting with My Family (2019) yang berceritanya standar tapi tetap enak dan segar untuk diikuti karena punya cerita yang padet tersusun rapat di samping punya karakter yang unik sekaligus manusiawi. Eurovision Fire Saga ini, however, tidak terasa serapi itu. Untuk mengisi formula tersebut, cerita ini punya banyak jejelan yang sebagian terasa tidak perlu. Dua-jam-lebih film ini memang bikin geram. Bukan karena kepanjangan, melainkan lebih karena kita bisa melihat mana bagian yang mestinya bisa dipotong, atau dihilangkan, atau diganti, untuk membuat penceritaan jadi lebih efisien.
Misalnya, soal perjalanan Lars. Kita paham yang dia butuhkan adalah mendapat ‘anggukan’ dari ayahnya. Sehingga dia butuh untuk ketemu lagi dengan sang ayah, untuk mengonfrontasikan segala uneg-uneg. Pelajaran yang ia harus sadari datangnya dari sini. Hanya saja usaha film terasa sangat minimal dalam menceritakan ini karena film – yang sudah merasa dengan memasang Will Ferrell sebagai bintang utama maka mereka sudah otomatis melandaskan film ini sebagai komedi absurd – tidak merancang konfrontasi itu dengan benar-benar ‘masuk akal’. Film melakukannya dengan membuat Lars menempuh perjalanan bolak-balik naik pesawat, mereka memasukkan skit komedi dengan turis Amerika, yang sesungguhnya hanya memperpanjang waktu. Bukan cuma sekali itu film ini terasa ngedrag. Eurovision punya agenda untuk menampilkan kameo-kameo mulai dari artis hingga pemenang kontes Eurovision beneran (which make them ‘artis’ juga kalo dipikir-pikir), yang penempatannya memang kurang begitu menambah bobot cerita. Sekuen ‘song-along’; various tokoh saling nyambungin nyanyian tidak ditempatkan dengan mulus sehingga tampak seperti adegan selipan yang setengah hati niru-niruin Riff-off nya Pitch Perfect.

Lars sesungguhnya relatable untuk banyak orang, terutama sepertinya generasi milenial. Generasi pengejar mimpi. Kegagalan Lars bagi mereka bisa dijadikan sebagai cautionary tale. Mengejar passion bukan serta merta jadi alasan untuk bersikap egois. Tetaplah perhatikan orang-orang di sekelilingmu. After all, sedikit banyaknya pasti ada mereka pada mimpi yang coba kita wujudkan itu.

 
Bahan-bahan untuk meracik tayangan komedi yang lucu dan kuat dari segi drama sebenarnya sudah ada di atas meja. Produser yang gak mau Islandia menang karena ekonomi yang gak siap – atau mungkin dia gak mau berbagi. Dua sahabat yang terancam berpisah. Bentrokan ide kreatif. Konflik perasaan. Satu tambah satu itu bisa dijadikan dua dengan dengan gampang. Namun film ini merasa content dengan aspek-aspek seperti hantu ataupun invisible elves sebagai bagian utama dari plot. Sekalipun film ini diniatkan sebagai parodi, tetap saja hal tersebut menjadi overkill. Karena toh cerita enggak perlu untuk menjadi sesuatu yang katakanlah ‘impossible silly’. Malah, mestinya film ini bisa jadi lebih magical. Kayak elemen mitos Speorg Note yang dipunya oleh film – not yang hanya bisa dicapai oleh peri – ini aku suka; melihat tokoh percaya pada hal ini untuk membuatnya bernyanyi lebih baik, ini adalah keajaiban yang menambah untuk cerita. Tapi hantu yang terlambat memperingatkan, dan peri yang low-key melakukan kriminal, not so much. Cuma candaan receh – tidak esensial – yang dipaksa masuk supaya cerita bisa stay di jalur formula yang sudah ditetapkan.
 
 
 
Mungkin memang seperti inilah kontes Eurovision jika wujudnya adalah sebuah film. Tayangan menghibur, dengan formula yang terbukti-bisa-berhasil dan jejeran penampil yang meyakinkan. Hanya saja semua itu diisi penuh dengan penampilan-penampilan yang konyol. Kita tahu ini gak bagus tapi kita menikmati tayangannya. Kita gak perlu elves, hantu, antagonis – or seemingly so – yang gak jelas motivasinya apa, ataupun deretan kameo yang menambah-nambah durasi. Namun kita tetap peduli sama Fire Saga. Dan lagu mereka dengan tepat menyimpulkan film ini. “How come something so wrong feels so right?”
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA.

 

 
 
That’s all we have for now.
Pernahkan kalian mendengar tentang kontes Eurovision sebelumnya? Siapa kontestan favorit kalian di sana?

Dan bagaimana pendapat kalian tentang kontes menyanyi yang berkonsep pencarian bakat seperti ini?

Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

Leave a Reply