THE RENTAL Review

“You have nothing to fear if you have nothing to hide”
 

 
 
Membuat film itu adalah kesempatan langka yang sangat berharga. Karena apa? Karena itulah saat suara kita, gagasan – ide – pendapat kita dianggap punya nilai sehingga seseorang mau mengeluarkan uang demi kita bisa menyuarakannya. Aku percaya semua orang yang pengen bikin film sejatinya karena mereka punya sesuatu yang urgen – sesuatu yang menurut mereka penting – untuk disampaikan. Bikin film bukan semata untuk gaya-gayaan. Aktor Dave Franco tidak menyia-nyiakan kesempatan semacam demikian. Dalam debutnya sebagai sutradara, Franco menuangkan ketidaknyamanannya perihal privasi ke dalam cerita peliknya hubungan percintaan, rekanan dan persaudaraan – untuk kemudian diselesaikan dengan aktual horor yang berdarah-darah. Menjadikan The Rental sebagai cerita yang lebih dekat dengan rumah buat sebagian orang.
The Rental adalah tentang dua pasangan yang memutuskan untuk liburan bareng. Melepaskan penat beban kerjaan dengan gila-gilaan di rumah/vila pinggir laut keren yang mereka temukan di internet. Namun ada sesuatu yang gak enakin hati pada pemilik rumah tersebut. Pertama, dia terduga rasis. Dan kedua, mentang-mentang rumahnya, dia keluar masuk begitu saja tanpa sepengetahuan orang-orang yang telah menyewa. Puncak ketidaknyamanan tinggal di sana adalah ketika salah satu dari pasangan yang nyewa rumah itu menemukan kamera tersembunyi, terpasang di kamar mandi. Walau ini sebenarnya justru mempermudah; mereka tinggal lapor polisi, si pemilik yang tadinya rasis kini juga terbukti cabul itu dibekuk, dan mereka bisa dapat ganti rugi. Kan? Well, masalah jadi pelik lantaran dua dari mereka punya rahasia yang tertangkap kamera, dan mereka gak mau ketahuan. Jadi mereka terpaksa tutup mulut. Hanya untuk menemukan bahwa kamera-kamera itu ternyata punya ‘asal-usul’ yang jauh lebih mengerikan. Bukan saja hubungan baik antara mereka berempat yang kini terancam, nyawa mereka semua juga!

horor dari Airbnb!

 
Dengan menutup akses ‘jalan keluar yang mudah’ bagi para tokohnya (dalam keadaan normal cerita ini dengan gampang bakal beres saat mereka menemukan kamera, tapi film membuat tokohnya punya rahasia yang gak boleh ketahuan), The Rental jadi punya cengkeraman yang kuat sekali pada konflik kompleksitas manusia. Set up film ini sangat menarik. Yang dihamparkan oleh film ini adalah empat tokoh (lima, sama si pemilik rumah) yang enggak sebegitu unik, melainkan menarik karena dari hubungan mereka masing-masing kita bisa mengendus bau-bau konflik. Dan film memang benar-benar membawa kita menerobos ke konflik-konflik tersebut.
Dua pasangan yang menjadi pusat cerita adalah Charlie-Michelle dan Josh-Mina. Namun relasi antarmereka enggak sesimpel itu. Pada adegan pembuka kita malah akan menyangka Charlie dan Mina yang berpacaran. Karena mereka berdualah yang dengan akrab memesan rumah. Turns out, Charlie dan Mina adalah rekan kerja, dan mereka memang sahabat dekat. Sementara Josh adalah saudara Charlie. Josh ini dalam hal apapun digambarkan inferior dari Charlie; not to mention dia emosian dan pernah berurusan dengan polisi. Di rumah, kita ketemu pasangan Charlie yang sebenarnya; Istrinya yang ceria, Michelle. Dengan hubungan yang ‘menantang’ seperti itu, kita langsung tahu bahwa mereka sebenarnya gak benar-benar teman, or even cuma-teman. Dan kesadaran kita akan tersebut membuat nontonin mereka semacam nungguin bom waktu yang mau meledak.
Film-film horor terbaik selalu mengerti bahwa persoalan selalu lebih dalam dari sekadar rumah yang ada misterinya. Melainkan terutama adalah soal ketakutan karakter. The Rental untuk awal-awal ini bekerja sebagai thriller psikologi yang menarik. Akar dari ketakutan dan masalah mereka adalah trust. Tokoh-tokoh di sini punya histori, tapi mereka pengen move on dan setuju untuk menjadikan masalalu sebagai privasi. Yang dengan segera mendapat tantangan dari sikap pemilik rumah tempat mereka liburan. Bagi Mina (meskipun tokoh yang diperankan Sheila Vand buatku sangat annoying, tapi dia yang paling dekat sebagai tokoh utama), misalnya, sikap rasis si pemilik sangat menantang posisinya sebagai orang yang bisa dipercaya. Mina sebenarnya memesan rumah itu lebih dulu, tapi ditolak dengan alasan penuh. Beberapa jam kemudian, Charlie (Dan Stevens sepertinya sudah ahli meranin tokoh yang terkesan mendua) mencoba pesan, dan voila! Mina meng-confront alasan penolakan (nama belakang wanita itu adalah Mohamadi, seperti nama Arab) Dan meskipun kita tidak pernah mendapat kepastian si pemilik beneran rasis, kita dapat menyimpulkan sikapnya tersebut mentrigger privasi Mina berkaitan dengan hubungan supereratnya dengan sang partner kerja yang sudah beristri.

The Rental menjadikan pembunuh berkamera sebagai hukuman, penebar ketakutan bagi orang-orang yang menutupi suatu keburukan. Namun film ini berlaku dua arah, karena kamera tersebut juga ditunjukkan sebagai penjahat yang mengerikan. Orang bilang kalo kau benar, maka tidak ada yang perlu kau sembunyikan. Namun tentu saja itu bukan berarti semua orang yang merasa dirinya benar harus membuktikan dirinya dengan buka-bukaan. Membiarkan dirinya direkam kamera atau apa. Kita semua harus percaya dan menjunjung privasi. Kita tidak punya hak untuk merekam dan menginvasi privasi orang lain, entah itu ada yang mereka tutupi atau tidak.

 

after all of this, sepertinya keputusan pemilik menolak Mina adalah langkah yang tepat

 
 
Kita sudah terinvest oleh karakter dan peduli sama ketakutan mereka. Kita bahkan sudah mengantisipasi keributan di antara mereka. Para aktor film ini menampilkan permainan akting yang meyakinkan, mereka seperti sahabat beneran. Mereka telah membuktikan sanggup mengemban beban tensi dan drama emosional yang diberikan. Namun Franco seperti tidak mampu mempertahankan tone somber yang sudah terbangun. Or worse, buatku Franco sengaja untuk mengubah tone cerita menjadi horor slasher yang membuat The Rental malah jadi kehilangan kekhususan. Franco seperti tidak dapat menemukan ending yang tepat dari cerita yang bermuatan gagasan soal ‘pasang kamera tidak boleh, but we all have something bad yang ditutupi’. Pilihannya dalam mengakhiri film tampak seperti usaha-terakhir karena he pushed himself into the corner dengan gagasan tersebut.
Untuk menyampaikan kedua pihak sama-sama bersalah, The Rental dibuat jadi berakhir, untuk tidak ngespoiler banyak, katakanlah ‘tragis’. Tanpa resolusi. Tanpa perubahan arc dari tokoh-tokohnya. Mereka tidak (sempat) belajar apapun dari kejadian di film ini. Untuk melakukan hal tersebut, babak terakhir film ini dibelokkan menjadi slasher. Horor yang main fisik. Dan untuk sampai ke sana, sebagai transisi dari teror psikologis, film bicara sebagai drama relationship. Tiga elemen utama yang membangun film menjadi disebut horor ini enggak bercampur dengan benar. Menjadikannya opposite dari yang diniatkan. Horor yang enggak-seram. Dengan tokoh-tokoh yang enggak benar-benar bikin peduli karena kita tahu salah merekalah semua itu terjadi. Dan untuk membuat film semakin tidak konsisten lagi, Franco memasukkan elemen komedi stoner receh andalan geng dia dan abangnya. Yang sama sekali gak lucu ataupun bikin film jadi menyenangkan untuk diikuti. Aku bener-bener kasihan sama Alison Brie disuruh berakting sedekat itu dengan garis celengan bapak-bapak.
 
 
 
Franco tampak punya gaya dan mengapresiasi horor, dan karakter-karakter yang dinaunginya. Untuk menit-menit awal film ini bahkan sempat terasa seperti horor art di festival. Tapi kemudian film ini stop working. Tidak mampu mencapai ending dengan resolusi, Franco mengakhiri ceritanya dengan membuat film menjadi slasher generic, dengan beberapa bumbu komedi receh di sana sini. Hal yang paling menakutkan di sini buatku adalah dengan ending tersebut film ini hanya akan diingat sebagai cerita tentang pembunuh yang merekam orang dengan kamera. Enggak unik. Enggak baru. Padahal dia punya sesuatu yang menarik di awal. Cerita ini butuh untuk digodok lebih jauh. Atau mungkin feature-horor terlalu besar bagi Franco sebagai langkah awal?
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE RENTAL.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pandangan kalian soal privasi tempat tinggal? Pernahkah kalian merasa risih saat menginap di hotel/Airbnb dan mengetahui kamar dimasuki oleh pemilik saat kalian tidak ada, untuk dibersihkan atau semacamnya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Ravi says:

    Reviewnya bagus. Semua yg aku pikir dan rasakan kyk tertuang dari tulisan ini, wkwk
    Setuju berat dgn reviewnya. Iya, aku juga kasian sm alison brie yg harus ‘begitu’ ke si bapak. Lucu enggak, aneh iya, wkwk

    • arya says:

      Franco tega bener ngerjain bininya sendiri hahahaha.. cakep-cakep disuruh ledekin pantat orang. It’s weird di film bernada serius begini mereka masukin efek high yang segitu konyolnya, padahal kalo mau in-line dengan tone ceritanya, orang ‘mabok’ gitu bisa dimanfaatkan untuk diberikan adegan horor kayak dia ngeliat bayangan orang atau apa.

  2. iksan says:

    Ini Film kyaknya sih mau dibikin sekuelnya sperti “Vacancy 2007” yg ceritanya mirip2 lah. Yg jadi pertanyaan sy motif si antagonis ini apa ya? Main bunuh2 org gitu aja.

    • arya says:

      Haha iya gajelas banget ya, tau-tau muncul bunuh2…. kukira dia adiknya si penjaga alias yang punya rumah dan mereka kompakan, ternyata enggak gitu juga

        • arya says:

          hahaha dijadiin konten ya.. but seriously padahal kalo dibikin mereka jadi bunuh-bunuhan karena saling prasangka aja pasti lebih seru, gak usah ada pembunuh sakit jiwa segala kalo penjelasannya gak ada, bikin aja ternyata yang di shower itu bukan kamera cuma salah liat

  3. arya says:

    oiya! hahhaha, lupa aku soal secret room itu.. ternyata di dalamnya gak ada apa-apa wkwkwk
    sekali tendang jebol ya kalo ndak salah, so much for hi-tech lock xD

Leave a Reply