MULAN Review

“You’re created not to conform”
 

 
 
Mulan adalah seorang anak yang gesit. Berani. Dia jago bela diri. Kekuatan chi-nya tergolong kuat, selevel dengan kekuatan seorang warrior. Namun Mulan tidak membuat orangtuanya bangga. Karena ada satu masalah. Mulan ini ‘cah wedok!
Anak cewek gak pantes lari-larian ngejar ayam di atas genteng. Kata ibunya, anak cewek ngasih kehormatan bagi keluarganya ya dengan bersikap lemah lembut, anggun, elegan, kalem, sopan, dan patuh, supaya kalo udah gede bisa langsung dijodohin. Bukan dengan berperang mengangkat senjata. Seperti yang persis dilakukan oleh Mulan begitu titah dari kaisar datang mengharuskan setiap keluarga ‘menyumbang’  satu pria untuk jadi pejuang memberantas pasukan pemberontak di garis depan peperangan. Menggantikan ayahnya yang sudah terlalu tua dan pincang untuk berperang, Mulan pergi diam-diam di tengah malam. Mengambil pedang, baju zirah, dan kuda sang ayah. Melanggar tiga kode kehormatan seorang pejuang. Setia, Berani, dan Jujur.
Aku masih terlalu kecil untuk dapat menyadari pentingnya cerita Mulan sewaktu menonton versi animasinya dulu. For me it was; cewek yang nyamar jadi cowok dan ada naga lucu, I’m sold! Jadi menonton Mulan versi live-action ini kurang lebih seperti benar-benar pengalaman baru bagiku, karena sekarang aku melihatnya dengan pemahaman dan konteks yang lebih mendalam daripada nonton animasinya dulu. Disney patut diapresiasi karena melakukan tindakan yang berani. Mereka tidak mengambil adegan per adegan dengan sama persis ama versi animasi. Mulan kali ini diarahkan untuk jadi lebih serius. Tidak ada lagi naga yang bisa bicara di sini, bahkan adegan musikal juga gak ada. Sayangnya, tidak semua pilihan yang diambil oleh Disney di film ini membuahkan hasil yang manis.

Yang lucunya, kesan pertamaku saat menonton ini adalah betapa Mulan ini seperti cerita Kartini, jika Kartini bisa kung-fu.

 
 
Film Mulan kali ini beneran terasa seperti film-film kung-fu. Sutradara Niki Caro tampak mengincar ke gaya yang lebih realis, walau dengan masih menggunakan elemen-elemen fantasi sebagai device dalam cerita. Absennya naga diisi oleh penyihir dengan segala kekuatannya mulai dari menjelma jadi makhluk lain hingga jurus-jurus berantem yang penuh muslihat. Padahal tokoh penyihir ini menarik, dia punya kesamaan dengan Mulan. Dan tentunya hubungan di antara keduanya jadi elemen fresh yang dipunya oleh cerita. Namun ternyata tokoh atau karakter ini memang hanya device saja. Tak banyak berbeda dengan beberapa penampakan burung phoenix sebagai simbol dari kekuatan Mulan. Jadi aku tidak yakin gaya realis itu benar-benar tercapai. Film ini juga malah menggunakan efek-efek cahaya yang membuat film semakin lebih ‘bo’ongan’ lagi. Misalnya, lensa blur/flare yang digunakan saat menyorot Mulan pada salah satu momen di pertarungan terakhir. Efek di momen itu berfungsi untuk membuat Mulan tergambar menjadi sosok yang bahkan lebih spesial lagi. Namun sesungguhnya dijadikan ‘spesial’ itu justru hal terakhir yang dibutuhkan oleh Mulan.
Gagasan cerita ini boleh saja berakar dari pandangan bahwa perempuan itu sejajar dengan laki-laki. Dalam pengembangannya, Mulan jadi mengusung banyak pesan moral yang sangat relatable buat semua penonton, tak terbatas pada penonton perempuan saja. Adegan ketika Mulan bangkit, dia membuka semua penyamaran; menggerai rambut dan kini hanya bertempur dengan robe merah tanpa armor apapun bisa kita terjemahkan sebagai pesan untuk menjadi diri. Untuk tidak lagi meredam diri, tidak mengikuti tuntunan sosial yang mengeja kita harus seperti apa, dan jadi siapa diri kita.

Kita tidak diciptakan untuk mengikuti aturan ‘cewek harus begini, cowok bagiannya itu’. Tentu, ada batasan alami yang tidak bisa dilanggar oleh keduanya. Namun batasan tersebut tidak pernah berarti kita harus mengecilkan diri jika kita bisa melakukan sesuatu melebihi dari harapan atau kebiasaan sosial. Kita bisa jadi apapun yang kita ‘mampu’. Masalahnya justru pada seberapa ‘mau’ kita?

 
Maka menjadikan atau menampilkan Mulan sebagai makhluk spesial, justru menjauhkannya dari kita. Sebab pesannya jadi seolah Mulan bisa setara seperti itu ya karena dia bukan manusia sembarangan. Padahal gak semua orang kayak Mulan; gak semua orang dianugerahi chi yang luar biasa dan disuruh meredam kekuatannya sedari kecil. Inilah pilihan paling aneh yang dibuat oleh sutradara Niki Caro yang jadi sumber masalah pada film ini: Membuat Mulan spesial alih-alih manusia biasa seperti pada animasinya dulu. Mulan kuat sedari awal. Momen-momen latihan perang tempat dia nyamar jadi cowok itu tidak lagi dalem dan emosional karena dari sudut pandangnya, cerita kali ini simply adalah soal dia bohong saja. Tidak seperti pada versi animasi. Di sana Mulannya adalah soal orang normal yang bekerja keras biar dapat diterima, biar dia membuktikan dirinya mampu mendobrak dinding yang menolak mengakui ekualitas itu. Mulan terasa seperti kita semua yang berjuang keras untuk bisa berhasil. Sedangkan pada Mulan yang baru, ini adalah soal orang yang gak boleh maju karena gender-nya tidak mengharapkan dia untuk begitu, jadi dia ngerepres siapa dirinya. Perkembangan tokoh di sini adalah tentang Mulan yang belajar untuk berani mengakui siapa dirinya di hadapan semua orang, melawan semua pandangan sosial yang mungkin mengekangnya. Perbedaan besar antara Mulan versi animasi dan versi live-action ini adalah soal normal dan spesial tersebut. Pada Mulan yang sekarang ini pesannya jadi terlemahkan oleh agenda ‘spesial’ itu. Bagaimana dengan ‘kerja keras’ itu sendiri?

Kamulah makhluk Tuhan yang paling sakti

 
Semua aspek dalam film ini terasa tidak natural. Tadi aku sempat nyebut mirip Kartini, dan memang Mulan (si Yifei Liu yang meraninnya aja kadang-kadang sekilas mirip Dian Sastro hihi) mengalami ‘kekangan’ yang sama – bahkan ia juga disuruh kawin. Namun tentu saja wanita yang tidak boleh mengecam pendidikan tinggi terasa lebih alami ketimbang wanita tidak boleh berjuang dengan kung-fu jurus tenaga dalam. Dampaknya cerita Mulan jadi tidak dramatis. Stakenya enggak kuat karena kita tahu Mulan tidak dalam bahaya, toh dia sedari kecil sudah jauh lebih hebat daripada siapapun di layar. Film juga dengan lincahnya melompati adegan-adegan yang mestinya bisa membantu Mulan untuk lebih beresonansi ke kita. Dalam film ini tidak lagi kita mendapati adegan sedramatis Mulan mengambil pedang diam-diam, memotong rambutnya, bimbang sebelum memutuskan pilihan paling penting sehubungan dengan kehormatan keluarga. Adegan Mulan memilih untuk menggantikan ayahnya dalam film ini terasa sangat datar, dengan pengadeganan sesederhana Mulan menunjuk kamera dengan pedang itu lalu kemudian fade out bentar dan voila dia sudah siap berangkat dengan baju zirah terpasang.
Karena ini basically udah jadi film kung-fu, maka mau tak mau kita harus membandingkan aspek action-nya dengan film kung-fu hebat semacam Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000), which triumphantly kick Mulan action’s in the ass. Ada beberapa momen keren, tapi adegan-adegan berantem di film Mulan ini dilakukan dengan terlalu cepat dan terlalu banyak editing. Sehingga kesannya hingar-bingar. Di sini juga film menunjukkan kekurangtajaman matanya terhadap penggalian kesan dramatis. Mulan berpindah tempat gitu aja, tidak benar-benar diperlihatkan perjuangan dan pemikirannya soal strategi seperti ketika dia begitu saja (dan begitu mudahnya) dapat taktik melongsorkan gunung es. Yang sekali lagi juga menunjukkan membuat Mulan seorang yang berkekuatan spesial hanya membuahkan kegampangan pada cerita. Film semakin tak alami, apalagi dengan beberapa batasan produksi yang harus dipatuhi oleh film. Seperti soal violence, atau darah: agak aneh menyaksikan film yang basically tentang perang, dengan banyak adegan aksi berantem pake jurus-jurus kung-fu fantastis, tetapi terasa jinak karena didesain untuk tampil ‘aman untuk tontonan keluarga’. Ataupun batasan seperti bahasa. Dengan cast nyaris semuanya Asia (ada Jet Li!), dan bersetting di Asia, terdengarnya aneh saja film memilih menggunakan dialog bahasa Inggris. Normalnya, bahasa enggak pernah jadi masalah buatku, hanya saja di momen menangnya Parasite – film berbahasa asing – di Best Picture Oscar kupikir film-film akan lebih terbuka atau setidaknya lebih berani dalam menggunakan bahasa.
 
 
 
Pilihan yang diambil oleh Disney untuk membuat film ini jadi sedikit berbeda dari versi animasinya pada akhirnya menyebabkan film ini terasa tidak alami. Tokoh utamanya yang sedari awal kuat dan spesial menjadikan development flawed-nya – dan gagasan cerita – kurang ngena, kalo gak mau dibilang tereduksi dan gak fit lagi. Hubungan tokoh utama dengan tokoh-tokoh lain sesama prajurit juga dikurangi sehingga semakin menjauhkan si tokoh dengan ‘kenormalan’ yang beresonansi dengan kita. Versi animasinya masih jauh lebih superior, bercerita dengan lebih baik, dan terasa lebih natural. Disney seperti mengulangi kesalahan yang sama pada sebagian besar live-action-nya yang gagal: membuat sebuah fantasi menjadi realis.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for MULAN.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian adakah batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar ketika kita membicarakan perihal sesuatu yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. arya says:

    Ya itulah maksudku dengan kemampuan istimewa; kasus legenda Mulan ini kita bawa konteksnya seperti ketika seorang anak perempuan pintar dari keluarga kurang berada, dia tidak diharapkan untuk melanjutkan sekolah tinggi melainkan langsung nikah untuk membantu keluarganya. Mulan, katakanlah , memilih untuk nyamar jadi laki-laki supaya bisa terus sekolah. Nah sampai sini, perbedaan antara Mulan animasi dengan Mulan live-action ini datang.
    Ketika di Mulan animasi ceritanya adalah tentang si Mulan yang menyamar tadi harus bekerja keras, menggunakan kesempatannya ‘dapat sekolah’ itu untuk benar-benar diakui – maka inline dengan katakanlah agenda kesetaraan gender bahwa perempuan bisa sama dengan lelaki jika diberi kesempatan yang sama.
    Sedangkan di Mulan yang ini ceritanya jadi tentang si Mulan yang menyamar justru memilih untuk tak memperlihatkan kepintarannya di sekolah karena seperti yang diwakilkan oleh si penyihir-elang; ada judgmen dari Mulan bahwa dia gak bakal diterima. Mulan lalu belajar membuka diri, gak takut sama judgmen tersebut, dan voila, orang kagum sama kehebatannya sehingga ia diterima. Menurutku di sini dengan agenda tadi, jadinya kayak cerita yang full-of-herself. Seolah pesannya kalo kita udah pintar, ya jangan mau tunduk dan mengecilkan diri. Tentu saja itu pesan yang kuat dan juga benar. Tapi kan siapa kita yang bisa tahu kita pintar. Kita masih harus belajar, bekerja keras, mau kita anak pejabat atau presiden pun ya kita harus buktikan diri sendiri. Kita semua gak kayak Mulan yang baru; yang dia gak butuh kesempatan untuk belajar/training, dia udah jago, si Mulan ini bisa langsung terjun ke medan perang cuma dilarang karena dia cewek.
    Padahal kan sebenarnya bisa dibuat simpel aja; Mulan bisa dibikin remaja pekerja keras lalu nyamar jadi cowok, dan belajar hingga menguasai chi di training prajurit itu. Pesannya jadi sama dengan Mulan animasi, grounded dan included ke kita semua. Menjadikannya kuat dan spesial sedari awal, menghilangkan effort dan menjauhkan Mulan yang ini dari kita.

  2. Ark says:

    Mulan disini ngingetin aku ama Rey di starwrs yg tau2 udh maha kuat. Tapi dgn arc n development karakter yg lebih kacau lagi. Sumpah aku benci bgt ama tambahan cerita soal Mulan yg punya Chi,(btw, pening scene Mulan ngejer2 ayam, itu konyol bgt), nih pilm pngen tampil serius, dgn ngurangin hal2 yg ikonik kyk Mushu(one of my fav character di Disney) eeh malah narok poin baru yg sampah, kyk si the witch yg meh itu ama ilmu Chi yg g jelas.
    Film nya kerasa serius bgt, kyk pengen bgt disama2in ama film2 epik China kyk Hero dkk,dan kyk yg mas bilang, action scenes disini payah bgt, si ibu sutradara cuman bisa nampilin buaanyakk bgt cut ama slow mo ampe kasian saya ngeliatnya. Bukannya keliatan epik, malah makin keliatan kalo ini tuh nihil gaya.
    Tapi seenggaknya sih visualnya cantik bgt, tiap set ama kostum super detil, suka ngeliat desain produksi filmnya yg niat. Kalo nntn dibioskop ini sih bakal lebih wah lagi keliatannya.

    • arya says:

      Dari awal kemunculannya, buatku semua tindakan si witch itu konyol sih haha.. lalu ada beberapa editing yang aneh karena jadi kayak si phoenix itu si witch juga… penambahan karakternya masih kayak tempelan, mending Mushu aja sekalian ya hahaha
      Tapi bener juga sih, karakter Mulan jadi mirip Rey.. polanya sama; tau-tau udah jago aja. Malah ada adegan yang kayak ending Star Wars kan kalo gak salah.. Mulan ditanya who are you; ini kalo di bioskop aku pasti udah teriak kenceng Mulan Skywalker!! bodo amat kalo dimarahin penonton lain wkwkwk

  3. FIRDAUS says:

    Suka aja sih Ama konsep Disney tapi WTF pening juga pas liat battlenya,beruntung visualnya bagus + aku nonton cuma mau liat jet Li

  4. Yohanes Setiawan says:

    Karena reviewnya banyak yang jelek, mulai dari Rotten Tomatoes sampai disini, maka aku menurunkan ekspektasi serendah-rendah-nya biar ga berakhir luka (haha, apaan sih).
    Tapi, ternyata aku ga se-terluka itu kok wkwk.
    Memang, tidak semua orang dianugerahi chi, tetapi aku percaya bahwa semua orang punya talenta-nya masing-masing dari Tuhan.
    Talenta itu tidak harus berupa chi, tapi bisa merupakan segala hal yang Tuhan
    berikan di dunia ini (studi, pekerjaan, etc).
    Mulan mengajarkan bahwa selain kita harus tampil apa adanya sesuai diri sendiri,
    tetapi “chi” atau talenta yang Tuhan berikan itu juga digunakan untuk
    kepentingan bangsa dan negara (nasionalisme Mulan jg kentara saat Xian Lang
    berusaha ngajak Mulan buat gabung sama dia jd pengkhianat!).
    Xian Lang, si penyihir elang, adalah seorang wanita yang dianugerahi Tuhan kesaktian namun terluka oleh masa lalunya yang ditolak, sehingga dia ingin dihargai meski melalui cara yang salah: membantu Bori Khan dalam memenuhi nafsu jahatnya.
    Kemudian Mulan muncul untuk membuktikan dirinya bahwa “There’s a place for people like us”, itu dialog yang paling aku inget haha, yang membuat Xian Lang kembali lagi untuk tujuan yang mulia sehingga plot twist pengorbananpun muncul.
    Adegan paling berkesan saat Mulan menyadari dia harus tampil apa adanya dengan membuka ikatan rambut untuk tampil sebagai perempuan, dan mengakui sendiri bahwa dia adalah Hua Mulan. Berbeda dengan animasinya yang mana dia sekadar “kepergok” setelah terluka lalu dirawat di tenda dan ternyata tubuhnya bukan tubuh
    laki-laki. Improved banget sih menurut aku hehe.
    Lalu adegan matchmaker-nya ya tetap memorable bahkan di-endingnya si nyonya matchmaker-nya sampe pingsan karena ternyata Mulan “brings honour to us all” melalui cara yang unik: menjadi pahlawan perempuan.
    Finally, tidak sempurna, karena: phoenix nya hanya sekadar pemanis dan pendalaman karakterkurang karena hanya melalui basis dialog saja (spt kita tahu karakternya Xian Lang hanya melalui dialognya saja dengan Bori Khan, lalu karakter Ling, Po, Yao— temen2 seangkatan latihan perang sama Mulan yang dari animasinya — juga harusnya bisa dibuat lebih lucu lagi di live action ini sehingga bisa diingat. Sedikit yg sadar kalo di live action-nya ini mereka muncul karena jarang di-tag juga di dialog wkwkwk).
    Aku tidak terlalu puas, tapi gak sampe terluka banget haha.
    Masih layak ditonton sama keluarga sih.
    Makasih mas buat reviewnya, suka baca review dulu sih sebelum nonton supaya ekspetasi bisa kekontrol hahahah><

    • arya says:

      Mulan yang ini merupakan penurunan dari Mulan animasi, karena meniadakan aspek yang paling penting yang membuat Mulan itu manusia; Perjuangan, kerja keras. Di animasi, Mulan yang ‘kepergok’ akhirnya diterima oleh seperjuangannya karena mereka sadar dan menghargai bahwa inilah wanita yang sudah bekerja keras meruntuhkan batas dan membuktikan pemberdayaan wanita. Mulan mendapatkan itu semua dari segala usaha dan keringat yang ia lakukan. Di Mulan Baru, dia gak punya momen ini, dia diterima oleh seperjuangan karena simply dia cewek yang jago.
      The thing about talent atau yang dilambangkan oleh film ini sebagai chi adalah harus diasah. Ada saying yang bilang “sukses itu 10 persen bakat, 90 persen kerja keras”. Bahkan chi atau qi yang beneran menurut pengetahuan China aja, merupakan kekuatan yang harus ditekuni, dikembangkan, dilatih – menurut kepercayaan China tidak ada orang yang punya superpower chi sedari lahir. Karena legenda China semua berpusat pada kerjakeras. Mulan yang dibuat merepresentasikan China malah mengabaikan semua itu dengan membuat tokoh yang tidak perlu belajar atau mengembangkan diri dan kekuatan lagi sejak kecil. Padahal kalo mau bikin Mulan dengan chi/talent, ya sebenarnya Disney tinggal bikin cerita Mulannya belajar mengendalikan atau mengembangkan kekuatan tersebut, tapi kan tidak. Dia bisa naik gunung bawa air itu ya karena dia manusia super, bukan karena dia berjuang lebih keras dari teman-temannya. Inilah yang bikin Mulan baru ini dangkal, dan jelas bukan improved dari Mulan animasi yang benar-benar grounded.
      Kalo dibawa ke analogi yang lebih nyata, Mulan itu kayak cewek cerdas yang pengen lanjutin sekolah tapi disuruh nikah, maka dia nyamar jadi cowok supaya bisa terus belajar. Mulan animasi belajar gigih untuk membuktikan diri tak-kalah dari cowok. Mulan yang baru malah pura-pura bego, karena dia sudah begitu pintar, lalu setelah capek bego, dia akhirnya membuka penyamaran. Aneh kan ceritanya, gak klop natural lagi dengan kisah Mulan yang asli, maksa; kenapa pula dia nyembunyiin kekuatannya padahal udah nyamar jadi cowok, tidakbisakah dia sekalian aja nyamar jadi superhero cowok haha

Leave a Reply