CUTIES Review

“Just let the kids be kids”
 

 
Seruan untuk meng-cancel Netflix September ini santer terdengar sebagai reaksi dari perilisan film Perancis yang berjudul asli Mignonnes ini. Tahun 2020, tahun yang sendirinya sudah ‘bermasalah’ bagi perfilman – karena pandemi yang memaksa semua film cari alternatif bioskop – nyatanya justru penuh oleh film-film kontroversial. Kita punya The Hunt yang dipermasalahkan karena menyinggung golongan politik di negaranya, ada Red Shoes and the Seven Dwarfs yang disuruh turun karena isu body shaming yang diangkatnya, Jojo Rabbit yang menuai protes berkat penggambaran sosok Hitler serta becandaan seputar Nazi dan Yahudi, dan baru-baru ini giliran Mulan versi live-action dari Disney mendapat teguran keras dari berbagai arah; dicecar sebagai munafik yang gagal merepresentasi Cina dan malah mendukung pemerintah yang ‘salah’. Namun dari semua itu, Mignonnes yang diberi judul Cuties oleh Netflix really takes the cake sebagai film paling kontroversial tahun ini. Film tersebut dikutuk oleh banyak orang; Cuties disebut mengkritik dengan malah turut menjadi sesuatu yang ia kritik tersebut. Cuties yang ingin menyentil tentang dunia modern yang cenderung mengobjektifikasi dan mengseksualisasi anak-anak, justru menampilkan seksualisasi anak-anak tersebut!
Cuties adalah cerita tentang Amy, anak cewek sebelas tahun, dari keluarga muslim Senegal yang pindah tinggal di sebuah apartemen di Prancis. Identitas tersebut penting dan dihadirkan bukan hanya sebagai latar, tapi juga berperan dalam karakterisasi Amy. Hidup di lingkungan yang kuat aturan agama dan tradisi membuat Amy merasa janggal ketika ia berada di luar. Teman-temannya di sekolah tidak ada yang pake kerudung, atau bahkan hoodie yang menutup semua kulit di tubuhnya. Amy pengen sekali berteman dengan satu geng cewek yang jago nari. Mengintip mereka dari jauh dijadikan pelarian oleh Amy; pelarian dari tugas mempersiapkan pesta pernikahan ayahnya dengan istri kedua di rumah. Amy mulai meniru geng cewek tersebut, mengenakan baju-baju minim (Amy actually ‘meminjam’ baju adik cowoknya) dan diam-diam berlatih nari. Dari tontonan musik di internet, Amy belajar tarian ‘dewasa’, dan iniah yang membuka jalannya untuk dapat bergabung dengan geng tersebut.

Kalo di-Indonesia-in, judul film ini simply jadi ‘Cabe’.

 
Melihat dari segi ceritanya aja, aku harus bilang, Cuties ini adalah film yang bagus. Journey Amy yang ingin fit in dan tidak dianggap bocah – dia juga bisa dianggap sedikit memberontak –  diceritakan logis dengan sangat kuat. Ini adalah cerita pendewasaan yang sangat relate buat penonton, karena kita tentu antara pernah mengalami ingin dianggap dewasa atau sedang mengalaminya sekarang. Kritikku buat cerita ini hanya soal penggambaran Islam yang masih sebatas gambaran kontras dalam hidup Amy. Untuk membuat karakter Amy yang ingin bebas, cerita butuh untuk menempatkan Amy di antara dua hal; lingkungan yang bebas dan lingkungan yang mengekang. Identitas keluarga Islam yang dimiliki Amy, oleh film ini hanya difungsikan sebagai wujud dari ‘lingkungan yang mengekang’ itu. Tidak dieksplorasi dimensinya lebih jauh. Begitupun juga dengan keluarganya. Amy dibuat cenderung untuk mengantagoniskan keluarga. But maybe, that is the part of the problem. Bahwa anak sulit untuk membuka diri kepada keluarga, dan lebih suka menjauh, sehingga mereka rentan untuk terjerumus, apalagi karena mereka masih polos belum sepenuhnya bisa menimbang mana yang baik dan yang tidak.
Jika benar demikian, maka film ini menggambarkan dengan tepat sebab-dan-akibat masalah yang menimpa anak-anak, khususnya anak perempuan, di dunia modern. Amy dan geng Cuties, dan banyak anak perempuan, di luar sana yang tumbuh terlalu cepat. Figur orangtua bagi mereka diambil alih oleh media, karena di sanalah mereka bisa bebas mengekspresikan diri. Sosial mengkondisikan anak-anak ini harus mengejar tren, supaya tidak kolot seperti orangtua di rumah. Masalahnya adalah, sosial dan media yang jadi pengasuh mereka itu punya penyakit akut yakni gatal untuk mengobjektifikasi wanita. Amy dan anak-anak perempuan ini jadi kebawa-bawa. Melakukan sesuatu yang dilakukan oleh orang dewasa – sesuatu yang bahkan sebenarnya orang dewasa sendiri tidak pantas melakukan itu di ruang publik – tanpa benar-benar ada pemahaman kecuali ya karena mereka ingin dianggap serius dan bukan bocah aja. Tidak ada yang melindungi anak-anak ini. Dunia justru mengeksploitasi. Orangtua tidak tahu karena hubungan mereka renggang. Yang terjadi pada film ini berdering benar ke kehidupan nyata kita. Anak-anak menirukan tarian K-Pop, bermain TikTok dengan joged orang dewasa, tontonan di televisi yang pilihannya cuma cinta-cintaan atau bully-bullyan.
Film Cuties menyugestikan suatu solusi yang menurutku cukup mengerikan, yakni harus si anak itu sendirilah yang sadar dan mengeluarkan dirinya sendiri dari sana dan kembali kepada keluarga. And it is such an impossible task. Amy adalah karakter kuat yang pantasnya dijadikan teladan, tetapi dia ‘hanyalah’ karakter dalam film yang sudah diberikan situasi dan kondisi yang memungkinkannya untuk berubah. Sepertinya inilah kenapa sutradara Maimouna Doucoure memilih untuk menghadirkan film ini dengan begitu kontroversial. Karena ia menyasar kepada para orangtua dan orang dewasa. Seperti dia mau bilang “Begini loh kondisi anak-anak pre-teen kita, mereka dituntut untuk cepat dewasa, lihat tontonan mereka, lihat apa yang mereka tiru. Di mana kita?” Ibarat jika ada bunga yang salah mekar, maka yang harus dibenahi adalah lingkungan tempatnya tumbuh, bukan si bunga itu sendiri.

Ending film ini mengatakan biarkanlah anak-anak menjadi anak-anak. Kitalah yang membuat mereka tumbuh lebih cepat. Padahal biarkanlah mereka tumbuh sebagaimana mestinya. Pake baju biasa daripada dipaksa mengenakan tradisi dan adat. Bermain lompat tali alih-alih menari ala girlband atau artis hiphop di televisi. 

 
Pada beberapa momen, Doucoure memperlihatkan kepada kita bahwa sebenarnya ia mampu menggarap adegan dengan nada surealis. Ketika adegan ending yang seolah Amy terbang, atau adegan ketika Amy menatap gaun pesta yang harus ia kenakan tergantung di lemari, lalu sesuatu terjadi pada gaun tersebut; paralel dengan yang terjadi pada Amy. Dengan melihat itu, adegan-adegan pada film ini yang menyulut kontroversi – seperti tarian erotis anak-anak dengan ngezoom ke bagian-bagian aurat – tentu saja kita anggap Doucoure mampu untuk menampilkannya secara surealis juga. Bahkan besar kemungkinan tarian yang dibuat lebih surealis akan membuat film jadi lebih elegan. Namun Doucoure tetap menampilkannya dengan banal (kalo gak mau dibilang binal), karena ia ingin menekankan kepada perasaan gak nyaman kita dalam menontonnya. Dia ingin membuat kita merasa ingin menghentikan tayangan, karena gagasannya adalah memang supaya kita-kita ya harus menyetop itu semua di dunia nyata juga. Aku bisa melihat bahwa bagi Doucoure menampilkan lebih less daripada yang ia tampilkan di film ini akan mengurangi intensitas dari poin yang ingin ia sampaikan.

Di usia 11 aku masih nonton film kartun anak-anak, sementara Amy and the genk udah bahas bikin anak

 
 
Tapi juga tentu saja kita semua bisa mengerti kenapa bisa ada yang menyebut film ini ‘tontonan gratis bagi pedophilia’. Ada beberapa adegan yang menurutku juga sebenarnya tidak perlu ada dan bisa dibuang atau setidaknya ditampilkan dengan lebih tersirat atau elegan dengan tanpa mengurangi poin utama yang ingin disampaikan. Adegan seperti tokoh anak cewek yang meniup kondom bekas dan kemudian mereka ramai-ramai menggosok lidah si tokoh supaya bersih misalnya, hanya dimainkan sebagai komedi dan tidak benar-benar berkepentingan karena untuk memperlihatkan geng Cuties itu ‘belajar otodidak’ hal dewasa pun sudah ada adegan yang mewakilkannya. Jadi adegan ini sebenarnya tidak perlu lagi. Adegan mereka menari di tangga juga gak perlu untuk direkam seclose up dan selama itu, karena toh kepentingan adegan tersebut sebenarnya untuk memperlihatkan Amy sudah populer sejak dia bertingkah dewasa bersama geng Cuties. Film bisa saja menyampaikan poin ini hanya dengan menampilkan adegan buka sosmed dan melihat akunnya banyak menuai komen atau likes.
So yea, buatku film ini pantas mendapatkan kontroversi seheboh yang ia terima sekarang ini. Karena dengan beberapa adegan yang ditampilkan dengan arahan untuk berjalan di batasan antara kontroversi dan tidak itu, film ini memang jatohnya ada di ranah film-film disturbing. Melihat anak-anak itu menari, disyut dengan treatment sedemikian rupa menonjolkan seksualitas, sama berat dan mengganggu dan gak nyamannya dengan saat melihat adegan motong kura-kura sungai hidup-hidup dalam film Cannibal Holocaust (1980) Dan bagaimana dengan aktor-aktor cilik itu sendiri, aku gak bisa ngebayangin gimana ngedirect mereka untuk beradegan seperti itu.
 
 
 
Ada berbagai cara untuk menyampaikan komentar atau kritik. Yang paling ampuh biasanya adalah dengan komedi. Kita sudah pernah melihat pesan yang mirip disampaikan dengan aman oleh Bad Grandpa (2013) dan Little Miss Sunshine (2006) ketika menyinggung soal beauty pageant untuk bocah-bocah. Atau, kita juga bisa menyampaikan kritik dengan cara yang lebih elegen, dengan tidak terlalu literal. Film debut sutradara Doucoure yang ia sebut berdasarkan pengalaman dan pengakuan asli banyak anak-anak ini memilih untuk bersuara dengan kontroversi. Efeknya boleh jadi langsung terasa dan tepat sasaran. Like, banyak yang protes berarti misi filmnya tercapai (sebaliknya, jika ada yang merasa biasa aja maka itu berarti si penonton ini antara tidak peka atau tidak mengerti cara nonton yang benar), tapi tentu buatku itu semua kembali ke film itu sendiri. Ada banyak perbaikan yang mestinya bisa dilakukan oleh film dalam menampilkan gagasannya. Mempercayakan kepada kontroversi alih-alih kesadaran penonton yang menjadi terbuka saat menonton film yang benar-benar hormat kepada subjeknya, bagiku ya terlalu sensasional dan bukan about si film itu sendiri. Menunjukkan pembuatnya belum sepenuhnya matang dan belum mengeksplorasi dengan maksimal.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for CUTIES.

 

 
 
 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana pendapat kalian tentang kontroversi film ini? Apakah menurut kalian tayangan seperti music video atau sinetron atau film yang trendi di masa sekarang aman untuk konsumsi anak-anak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Miaw says:

    Agak kaget pas nonton ini ternyata emang relate dengan daily pre-teen life, termasuk masa kecilku juga seperti itu yg membuat kita tumbuh seperti ini. Dan memang publikasi yang menuai kontravesi inilah yg bikin aku penasaran cepet-cepet pengen nonton Cuties takut keburu filmnya ditarik dari peredaran wkwkwkw, gegara masuk di headline “L*ne Tudey”. Artinya, tim mereka berhasil membuat kita nonton ini.
    Awalnya sempet mikir “Apanya yg bikin kontraversi ya? Perasaan diluaran sana apalagi US dan eropa banyak anak terutama pre-teenager yang dandanan dan kelakuannya lebih binal deh dan memang semua yang ada di film itu ada FAKTA, tapi kenapa pemerintah US sampai koar-koar menentang film ini, tagar #CancelNetflix dan kena isu pedofilia segala?”. Baru dpt pencerahan setelahnya, Oh iya pas syuting ya termasuk ekploitasi anak-anak sih untuk melakukan twerking segala, pdhl ya disana jg banyak anak2 yg lebih hebat twerking dari yang difilm.
    Tayangan seperti music video atau sinetron atau film yang trendi di masa sekarang aman untuk konsumsi anak-anak? Ya jelas tidak, tapi apa mau dikata, tuntutan zaman memaksa kita untuk KUY, minimal supaya kita menyesuaikan ‘keadaan’, minimal tau diluaran ada apa.

    • arya says:

      Aku pun baca-baca argumen para protes di luar dan nangkep inti dari protesnya adalah soal perlindungan terhadap anak, film ini dianggap jadi sama aja mempromosikan eksploitasi dan seksualisasi anak. Ada juga yang menawarkan solusi bahwa mestinya gak usah anak kecil beneran yang jadi pemerannya. Concern soal anak ini memang udah jadi problem sejak lama sih, seingatku tahun lalu ada iklan eskrim/yogurt dari korea yang diprotes juga karena menampilkan anak kecil sebagai bintangnya, yang dianggap berakting ‘menggoda’.
      Buatku ya memang keadaan dunia entertainment sekarang agak aneh sih. Yang dijual sekarang ini ya kebanyakan sex-appeal. Itu yang dianggap keren. Misalnya di Smekdon aja nih, karakter heronya pada twerking, joget perut, dsb, sementara tokoh antagonisnya adalah karakter-karakter yang menentang itu semua. Buatku memang messagenya jadi kebalik karena Smekdon sekarang heavily promoted sebagai tontonan keluarga. Ini mestinya yang perlu dikaji, dan kayaknya film ini memang mengkritiknya ke arah sana, kenapa dunia hiburan sekarang itu – music video, film/sinetron, acara tv, iklan – semuanya sekarang normalized sexualization. Film ngambil tokoh/sudut pandang anak-anak biar kita yang dewasa bisa langsung ngerasain gimana ‘dampak’ hidup di dunia sekarang ini bagi pertumbuhan anak-anak – gimana ‘susahnya’ mereka hidup di dua dunia (keluarga yang strict dan ada norma dengan sosial yang lebih bebas)

  2. Abdi_khaliq says:

    Menurut saya pribadi film ini nggak akan sekontroversi ini sih kalau saja filmnya diberi judul “Parent’s nightmare” dengan tagline “Every Child is reflection of their parents!” tanpa embel-embel komedi.
    Saya ngerti alasan kontroversi film ini tapi anehnya acara show macam “Dance Moms” di sana kenapa masih tayang sampai sekarang? Soalnya saya pernah nggak sengaja nonton acara ini dan oh man…. Acara itu jelas2 memperlihatkan orang tua yang mengeksploitasi anak dan mengajarkan mereka untuk bersaing tidak sehat, salah satunya dengan teriakan adu mulut yang super annoying.

    • arya says:

      Nah itu, film ini diprotes karena menurut orang-orang ia mengkritik tapi jadi sama dengan yang dikritik. Jadi kritikan filmnya jadi lemah. Aku sih percaya acara-acara kayak Dance Moms itu banyak yang protes, soalnya udah ada Little Miss Sunshine atau Bad Grandpa yang udah duluan ngritik yang kayak2 gitu dengan cara masing-masing. Tapi acara gitu tetep ada, ya berarti protes dan suara-suara itu belum cukup kuat untuk mengguncang industrinya. Dan jika Bad Grandpa nyindir pake komedi aja gagal, maka ketika muncul satu usaha baru lagi – film Cuties ini – yang menjanjikan potret kritikan terhadap hal tersebut, orang-orang tentu menaruh harapan. Namun ternyata yang mereka lihat filmnya sama aja nampilin hal yang sama kayak acara yang dikritik. Jadi buatku protes terhadap film ini tuh ya luapan kekecewaan orang-orang aja
      Aku harap sih dengan adanya film ini beserta kontroversinya – aku tidak menyayangkan film ini kena kontroversi karena itu merupakan bagian dari perjuangannya; setidaknya film ini membuktikan masyarakat masih peka – awareness terhadap isu seksualisasi dan objektifikasi anak semakin meningkat dan Dance Moms dkk akhirnya bisa hilang. But for now, ya perjuangan itu masih panjang.

Leave a Reply