ALONE Review

“The coward does not know what it means to be alone…”

 

 

 

Menyendiri kadang memang perlu. Karena sesekali kita memang perlu untuk dapat ruang untuk menenangkan diri. Untuk menghimpun kembali diri kita yang mungkin sudah berkeping-keping didera stress dan masalah. Pun tidaklah egois jika kita merasa butuh untuk menjauh dari kebisingan sosial dan hiruk pikuk drama. Memisahkan diri dari keluarga atau teman-teman sementara. Dan certainly, ‘ngilang’ seperti demikian bukanlah perbuatan pengecut. Kalian yang belum mengerti kenapa, bisa menemukan jawabannya dengan menonton thriller kucing-kucingan karya John Hyams yang berjudul Alone ini.

Dibagi menjadi lima chapter, Alone memperlihatkan perjalanan yang berubah menjadi petaka bagi seorang wanita bernama Jessica. Sepeninggal sang suami, Jessica menemukan hidupnya dalam keadaan yang sulit, sehingga dia bermaksud untuk pindah rumah. Meninggalkan kehidupannya yang lama. Jessica bahkan sengaja tidak memberitahu ibu dan ayahnya di rumah. Dia benar-benar butuh waktu dan tempat untuk sendiri. Jalanan yang panjang dan sepi itu pun kemudian ditempuhnya. ‘Teror’ yang dialami Jessica awalnya cuma telfon dari orangtua yang mencari dirinya. Namun hal berkelok menjadi semakin mengerikan tatkala janda ini dibuntuti oleh pria sok-akrab dengan mobil hitamnya.

Bayangkan Ned Flanders, with more straight-up creep and less  -ookily dookily

 

 

Tiga puluh menit pertama, saat masih di chapter ‘The Road’, cerita seperti sebuah thriller psikologis. Dan itu seru sekali, I really enjoyed it. Alone punya naskah yang sangat bijak untuk tidak membeberkan seluruhnya sejak awal (bahkan hingga film berakhir masih banyak backstory yang dibiarkan terungkap tak lebih banyak daripada seperlunya). Jadi di awal itu ada berbagai lapisan misteri yang terasa oleh penonton. Kita masih figure out apa yang terjadi dan siapa si Jessica. Kita juga harus menelisik benarkah si Pria itu orang jahat dan pertemuan-pertemuan mereka murni kebetulan dan semuanya hanyalah kecurigaan Jessica semata. Tapi makin berlanjut, perihal niat dan kelakukan si Pria semakin obvious, dan di sinilah kepiawaian cerita mulai tampil. Ada build up tensi yang benar-benar terasa. Mengalun merayap di balik cerita sehingga kita seolah berada di kursi depan di sebelah Jessica.

Jessicanya juga ditulis bukan seperti karakter korban pada umumnya. Wanita ini boleh aja terlihat curigaan, tapi dia curiga-dan-pintar. Sikapnya ini berhasil mempengaruhi kita sehingga kita benar-benar peduli. Tensi pada film ini bukan terjadi karena sesimpel karakter cewek yang diburu oleh cowok – mangsa lemah melawan pemburu yang lebih kuat. Film berhasil mengeluarkan diri dari perangkap gender tersebut. Ketika ketegangan cerita seperti distarter ulang saat kita masuk ke chapter berikutnya – Jessica dikurung di ruang bawah tanah kabin di tengah hutan – kupikir cerita berubah dangkal dengan menjelma menjadi semacam horor siksaan yang mengeksploitasi kekerasan ataupun seksualitas. Ternyata tidak. Momen tersebut justru digunakan film untuk memperkenalkan dua karakter ini secara lebih fokus kepada kita, dengan tetap menyimpan beberapa hal. Di sinilah kita mendapat penyadaran bahwa kedua tokoh ini punya kesamaan, sekaligus perbedaan pandang dari kesamaan tersebut. Di sini jualah kita akan mendapat momen paling mengerikan dari si Pria. Momen yang adegannya dirancang sedemikian rupa sehingga seperti gabungan menakutkan dari sebuah eksposisi dan eksplorasi karakter.

Tema berulang yang dapat kita jumpai, entah itu disebutkan lewat ucapan tokoh ataupun tersirat di balik aksi buru-memburu, adalah soal cowardice. Sifat kepengecutan. Setidaknya ada tiga peristiwa yang bisa terlingkup ke dalam konteks ‘pengecut’ yang dapat kita lihat sepanjang film ini. Jessica yang menghindari – tidak mengangkat – telfon ibunya. Pria yang bohong sedang liburan di hotel kepada istri dan anaknya di telefon. Dan suami Jessica yang memilih mati bunuh diri. Tiga tindakan ini dilakukan oleh para tokoh, dan mereka memerlukan kesendirian untuk melakukannya. Tapi kesendirian itu sendiri bukanlah bentuk sebuah kepengecutan. Inilah yang diargumentasikan oleh film lewat para karakter. Pria yang mencerca suami Jessica sebagai seorang pengecut, padahal si Pria itu sendiri memakai kedok dan memilih untuk sendiri supaya bisa melampiaskan perangai dirinya yang asli. Sedangkan Jessica, sebagai tokoh utama, dia berada di antara keduanya. Boleh jadi dia memang menghindar karena takut menghadapi drama dengan orangtuanya, namun pada akhirnya lewat perjuangan berdarah-darah yang dihadapinya sendiri sepanjang cerita ini, kita bisa melihat – dan Jessica herself akhirnya menyadari – bahwa dia adalah seorang yang pemberani. Seorang penyintas.

Memilih untuk menyendiri bukan lantas berarti kita adalah seorang pengecut. Malah sebaliknya. Pengecut justru adalah seseorang yang tidak mengerti makna dari kesendirian. Orang-orang paling berani pasti pernah memilih untuk sendirian, dan mereka menjadi lebih baik setelah pengalaman saat sendiri tersebut.

 

 

Film lantas mulai terasa klise ketika panggung kejar-kejaran bergeser ke hutan. Cerita memasukkan satu karakter lagi untuk menambah dramatis ke trik thriller, tetapi tidak ada yang spesial di sini. Melainkan hanya karakter baik, tipikal, yang ujung-ujungnya kita semua tahu bakal mati. Alone bekerja terbaik saat dua karakter protagonis dan antagonisnya ‘berduel’ sendirian tanpa harus dicampuri oleh karakter lain. Puncak ketegangan tertinggi buatku adalah saat Jessica kabur, dan setelah ketemu tokoh satu lagi ini, film tidak berhasil mencapai ketinggian yang sama lagi bahkan dengan konfrontasi terakhir yang ditarik dari dalam mobil hingga ke lapangan penuh lumpur itu.

Robert menunjukkan bahwa di tangan orang baik, senjata tidaklah berguna

 

 

Yang ada malah seperti film mulai mengincar ke arah yang over-the-top. Demi kepentingan circle-back ke momen awal, film membuat Jessica malah menelpon istri Pria ketimbang menelepon polisi begitu berhasil mendapatkan handphone. Kinda silly kalo dipikir-pikir. Misalnya lagi; dialog Pria kepada hutan, meneriakkan kata-kata provokasi ke Jessica, terdengar tidak demikian mengancam. Padahal penampilan akting di sini sudah cukup meyakinkan. Baik Jules Willcox yang jadi Jessica maupun Marc Menchaca yang jadi si Pria bermain sesuai dengan standar horor dengan genre seperti ini. Range di antara ketakutan, bingung, kesakitan, dan marah – dan kedua aktor ini delivered. Masalahnya terletak di arahan; taktik build up tarik ulur yang konsisten diterapkan tersebut saat mendekati akhir tidak menemukan pijakan yang klop terhadap arah over-the-top. Sehingga film jadi terasa gak lagi nyampe, atau pay-off nya tidak seperti yang diancang-ancangkan. Misalnya di dialog malam tadi, Pria meletakkan senjata ke tanah. Kamera fokus ke mata Jessica yang mengintip dan tampak mengincar senjata. Namun tidak ada kelanjutan terhadap build up tersebut.

Begitupun dengan chapter-chapter yang ada. Pembagian cerita yang muncul setiap kali panggung berpindah (The Road saat di jalanan, The River saat di sungai, dsb) semakin ke ujung semakin terasa kurang signifikan. Melainkan kepentingannya hanya seperti nunjukin nama tempat aja. Film kurang berhasil menghujamkan bobot chapter ke struktur cerita secara keseluruhan. Jika memang ada makna paralel tersembunyi, gaungnya jadi kecil karena fokus yang sudah membesar menjadi over. Buatku pilihan ini aneh aja. It’s either filmnya gak konsisten atau filmnya gak tahu aja cara yang tepat untuk menonjolkan diri. Karena film ini sedari awal tampak seperti sengaja gak menonjol. Judulnya aja udah generik sekali. Kalo kita cek Google, dalam sepuluh tahun terakhir setidaknya sudah ada lima film selain ini yang berjudul Alone. Tahun 2020 ini aja ada dua film Alone. Tapi kemudian isi filmnya sendiri tampak pengen beda dengan struktur chapter, konfrontasi tokoh, dan sebagainya. Hanya saja, gak semuanya yang punya pay off yang gede dan tak terasa over-the-top.

 

 

Aku suka paruh awal film ini. Sensasi ngeri saat sendiri di jalanan itu berhasil banget tersampaikan. Penampilan akting dua tokohnya tidak ternodai oleh karakter yang bego. Aku hanya enggak cocok dengan pilihan-pilihan berikutanya yang dilakukan oleh film. Yang tampak seperti geliat untuk keluar dari sesuatu yang generic tapi tidak berhasil. Over-the-top yang dihasilkan jadi terasa awkward. Film ini masih seru untuk dimasukkan ke daftar tontonan pengisi Halloween nanti. Tapi jika kalian mengincar sesuatu yang lebih unik, maka film ini bakal terasa biasa-biasa aja. Jangan khawatir. Kalian gak sendirian soal itu.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ALONE

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Bagaimana kalian memaknai kesendirian? Pernahkah kalian menghilang dari semua orang beberapa waktu untuk menenangkan diri atau semacamnya?

Share  with us in the comments 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Abdi_khaliq says:

    SPOILER ALERT!!!
    Suka banget sama film ini. 7/10 dari penggemar horror awam sejati seperti aku.
    Protaganisnya tampak vulnerable (in a good way) tapi dia nggak bodoh dan kita benar2 dibuat peduli karena setiap keputusannya sangat realistis, misal adegan dia buka jendela kaca mobil ke orang asing, kalau di film lain pasti dibuka selebar-lebarnya, nah di film ini enggak, dia buka jendela dikit banget. Terus yang aku paling suka pas adegan mobil orang asing mogok di tengah jalan, kalau di film lain sudah pasti protagonis kita bakalan sok-sokan keluar mobil dan mencoba membantu, tapi di sini enggak, dia jalan terus, dan aku suka sama keputusannya.
    Antaganisnya juga sangat intimidatif dan bikin emosi tanpa harus tampil lebai dengan teriakan annoying.
    Cuman ada beberapa adegan sih yang agak mengganggu, salah satunya sudah disebutin bang Arya, saat protagonis lebih memilih menelepon keluarga antagonis ketimbang polisi. Saya sih ngerti adegan ini bikin antagonis jadi cemas dan takut sama istrinya, ceritanya jadi suami2 takut istri!! hahaha
    Terus adegan protagonis yang diam-diam masuk ke mobil antagonis dan sembunyi di bagasi mobil, itu si antagonis saat kembali ke mobil, sekop buat gali lobang kenapa gak disimpan kembali ke bagasi mobil?? Kok tiba2 hilang? Atau dibuang gitu aja dekat kuburan buat clue biar polisi lebih mudah nemuin korban??? Hahahaha…
    Lalu beberapa adegan yang memang sudah menjadi resep konyol film horror, yaitu respons polisi yang tidak jauh2 dari “Maaf aku tak bisa mendengarmu! Bisa bicara lebih keras dan jelas!” Meski di film ini protagonis kita memang tidak mungkin bicara keras pas adegan telepon di mobil, tapi ini tetap aneh, mengingat operator 911 biasanya sangat tanggap dalam menerima panggilan, bahkan panggilan putus2 yang tidak jelas atau prank sekali pun akan mereka tindaklanjuti dengan melacak sumber telepon.
    Terakhir dan ini sering banget ditemuin di film horror, ninggalin antagonis pergi hanya karena dia pingsan atau sekedar mengalami cedera, ini kejadian pas adegan mobil terbalik, si protagonis berhasil keluar, tapi dia malah pergi gitu aja, bukannya memastikan si antagonis di dalam mobil sudah mati apa belum! XD
    Yah mungkin beginilah resiko nonton hiburan tapi terlalu pakai otak kali ya, akhirnya jadi insatiable!! hahahaha

    • arya says:

      Aku suka tokoh utamanya tu cerdas, jadi nontonnya gak perlu teriak-teriakin stres nyuruh dia lari atau apa gitu hahaha… apalagi yang pas terakhir mobil mereka kebalik itu, Jessica keluar sambil masih memegang erat senjatanya. Enggak ditinggal di dalam mobil atau hilang gitu aja kayak sekop si Pria. Nonton dia tu jadi makin greget gak sih hahaha, malah makin salut ama tokohnya.
      Kalo hiburan horor/thriller kejar-kejaran gini mah kita pasti langsung mengasosiasikan diri sebagai yang dikejar, jadi kalo tokohnya bego-bego, ngelakuin hal yang beda dengan yang kita bakal lakuin di posisi itu, pasti langsung kepikiran hahaha. Buatku di situ sih enak/menghiburnya film-film kayak gini. Alone ini pinter, karena tokohnya pinter, dia masih ngisipin yang bego-bego kayak polisi atau si robert untuk kita teriak-teriakin wkwkwk
      Polisi memang di mana-mana selalu nyebelin kayaknya yaa XD

  2. Vin says:

    Buatku ganti aja judulnya jd THE ROAD dan chapter the road nya ambil aja jd jantung cerita. It’s gonna be perfect for me.

Leave a Reply