ROH Review

“The unseen enemy is always the most fearsome”
 

 
 
Hidup Mak di hutan, bersama dua orang anak; Along dan Angah, tak repot memikirkan banyak aturan (apalagi protokol kesehatan!). Hukum ‘rimba’ yang mereka amini cuma satu. Jangan percaya pada apapun yang ada di hutan, khususnya pada hal-hal yang tak bisa mereka lihat dan yang tak dapat mereka pegang. Bahkan ketika tau-tau ada rusa yang kena ke perangkap, Along si putri sulung memilih untuk mengabaikan jerit kesenangan Angah, si putra bungsu, yang mengira mereka dapat makanan untuk seminggu. Alih-alih, Along tetap mengumpulkan arang sesuai perintah Mak. Keluarga yang luar biasa ‘sederhana’ dan ekstra berhati-hati ini tampaknya adalah protagonis dalam Roh, gacoan Malaysia untuk Oscar tahun depan. Konflik bagi mereka datang berwujud seorang anak kecil yang tersesat, yang tau-tau memberi peringatan kepada mereka bahwa nyawa mereka semua akan berakhir pada bulan purnama berikutnya. Si anak misterius kemudian bunuh diri dengan mengiris lehernya sendiri! Tess!!!
Sutradara Emir Ezwan membuat cerita ini sebagai horor yang kuat secara atmosfer dan sarat akan lapisan. Film Roh tidak akan menakuti kita dengan membuat jantung copot. Melainkan Ezwan membuat Roh lebih seram daripada itu. Ia berusaha membuat kita turut merasakan keputusasaan yang dialami oleh Mak dan kedua anaknya. Seiring durasi yang tergolong singkat ini berjalan (hanya satu jam dua-puluh menitan) Ezwan meningkatkan bukan hanya stake, melainkan juga semakin banyaknya pertanyaan yang tak bisa Mak dan anak-anaknya ungkap. Karena Mak dan anak-anaknya berada di posisi bak pelanduk di tengah-tengah ‘gajah’ yang berkelahi. Mak sekeluarga berada di dalam situasi di mana mereka tidak tahu siapa yang bisa dipercaya. Di hutan sana ada seorang pria Pemburu yang berkeliaran. Ada pula seorang dukun perempuan (dipanggil Tok) yang senantiasa muncul memberikan peringatan-peringatan. Siapa mereka? Apa hubungan mereka dengan si anak misterius?

Siapa impostor di hutan ini??

 
Cerita dan penceritaan film Roh berangkat dari pengetahuan Islam bahwa syaiton eksis di dunia dengan tujuan untuk menyesatkan umat manusia. Jadi bukan tanpa alasan kalimat penggalan ayat tentang hal tersebut dipajang sebagai pembukaan. Karena memang itulah fondasi bangunan cerita dan pegangan yang jadi kunci untuk kita semua supaya dapat menikmati filmnya secara utuh. Kita akan benar-benar di tempatkan seolah di dalam sarung si Mak dan si kedua anak. Kita turut buta. Turut menerka-nerka. Ada bahaya apa di balik pepohonan lebat itu. Siapa yang mengintai dan berkata jujur, kita – seperti halnya Mak – tak pernah tahu, hingga sudah terlambat nantinya.
Semua elemen penceritaan dikerahkan oleh sang sutradara untuk menutupi kebenaran itu. Menciptakan sensasi kungkungan, menimbulkan intensitas horor dan rasa bahaya di balik setiap keputusan yang dipilih oleh para karakter. Informasi dan eksposisi dibeberkan dengan sedemikian rupa guna mempengaruhi penilaian kita terhadap tokoh. Editing pun bergerak mengikuti, dalam rangka memperkuat, katakanlah, ilusi yang hadir lewat dialog-dialog. Sehingga ketika kita mendengar dongeng tentang pemburu hantu yang berbahaya, seketika kita curiga kepada si Pria Pemburu yang ditampilkan bersisian dengan dialog dongeng tersebut. Namun bahkan dongeng itu sendiri tidak bisa dijadikan pegangan. Segala peringatan yang kita dengar melalui para karakter, bisa jadi hanya tahayul kosong, dan kebenaran justru pada sisi yang lain. Ditambah pula adegan-adegan sureal yang bisa jadi hanya mimpi atau berada dalam kepala tokoh tertentu. Begitulah sebagian besar durasi film ini terisi. Semuanya penuh deceit. Oleh muslihatFilm ini terasa seperti whodunit, yang esktra creepy karena seluruh tokohnya benar-benar tidak ada yang bisa dipegang. Pada akhirnya, kita justru akan merasa lebih tak-berdaya dan lebih sendirian ketimbang si Mak.
Ezwan tidak membuat cerita ini menjadi lebih mudah untuk dicerna. Tapi tentu, dia ingin kita tetap tinggal. Menyaksikan hingga akhir karena di ujung itulah penjelasan – meski tetap samar – dihadirkan. Usaha Ezwan di sinilah yang perlu kita apresiasi. Ruang gerak itu tidak tak-terbatas bagi Ezwan. Kita dapat melihat film ini tidak memiliki budget yang wah. Namun Ezwan berusaha menjadikan hal itu sebagai nilai positif bagi filmnya. Tidak banyak polesan cahaya diharapkan membuat film ini tampak natural. Artistik yang ala kadar diharapkan membuat kita semakin percaya bahwa protagonis benar-benar terpisah dari dunia luar. Dan bahkan properti-properti yang tampak janggal di hutan itu diharapkan semakin memperkuat kesan semua peristiwa ganjil yang mereka alami adalah ‘kerjaan’ seseorang – sesuatu kekuatan yang kontras dengan kodrat alam. Dua unsur yang ditonjolkan sebagai daya tarik visual adalah tanah dan api. Clearly, Ezwan meniatkan supaya penonton langsung menarik perhatian ke sana, karena sesuai dengan kepercayaan Islam bahwa manusia terbuat dari tanah sedangkan setan diciptakan dari api. Dua makhluk yang jadi sentral cerita. Dua dinamika inilah yang sedang diperlihatkan oleh Ezwan.

Kita sedang dalam peperangan. Melawan musuh yang tidak kelihatan. Kecemburuan. Ketakutan. Prasangka. Hal yang membuat kita terpecah belah, menimbulkan keraguan. Dan dari situlah bisikan-bisikan itu datang. For it is our strongest enemy. Maka kita harus menguatkan iman. Di dalam hati masing-masing kita sebenarnya tahu di dunia yang tak bisa dipercaya, cuma ada satu yang bisa. Roh benar-benar menunjukkan dinamika rimba kehidupan kita. Di tengah kebingungan, kita gampang tersesat oleh bisikan-bisikan.

 

Apa kita harus bertanya kepada Gisel yang bergoy.. eh maksudnya pada rumput yang bergoyang?

 
 
Pun, Roh bukan tontonan yang mudah untuk disaksikan. Untuk beberapa penonton, film ini bisa tergolong sadis. Menampilkan kekerasan yang bersarang pada anak-anak ataupun pada hewan. Memang, kamera selalu mengcut tepat di saat-saat paling sadis, namun tetap adegannya tidak meninggalkan ruang yang banyak untuk gambaran lain dalam kepala penonton. It is still clear dalam benak bahwa ada anak yang digorok dan semacamnya. Melihat tampilan horor berdarahnya ini membuat kita sedikit teringat dengan gaya-gaya horor dari tanah Asia lain seperti Jepang atau Thailand.
Representasi kelokalan memang penting. Terlebih untuk film yang diniatkan ke Oscar, karena memang Oscar sedari awal tahun sudah menyebarkan poin-poin yang mereka cari di dalam suatu film. Ezwan dalam karya debutnya ini sepertinya paham dan melihat hal sebagai gelas yang setengah penuh. Dalam artian dia melihat dengan optimis dan menjadikan poin tersebut sebagai ruang untuk menggeliatkan kreativitas. Film Roh tidak malu untuk menampilkan ajaran agama. Film Roh tidak latah untuk merasa diri progresif jika dirinya meng-subvert sesuatu. Dalam film ini diperlihatkan unsur Islam yang menjadi agama mayoritas di Malaysia, secara subtil film memberitahu bahwa jawaban bagi Mak sebenarnya sudah ada. Yaitu bersujud, meminta kepada-Nya. Namun manusia-manusia itu begitu tersesat sehingga cerita ini berubah menjadi cerita kegagalan. Untuk narasi kekiniannya, Ezwan menyelipkan lapisan narasi tambahan. Ada satu peraturan tak-tertulis lagi di bawah atap rumah Mak. Yakni jangan menyebutkan soal ayah. Mak seperti ke-trigger setiap kali anak-anaknya mempertanyakan soal ayah. Kita bisa menarik pemahaman perihal absennya sosok kepala keluarga di rumah mereka sebagai akar dari karakter Mak. Soal ayah/suami/pria ini lantas dijalin ke dalam konflik utama; ia menjadi ‘minyak’ yang menyebabkan si Mak lebih susah untuk percaya kepada perkataan si Pria Pemburu.
 
 
Malaysia tampaknya memberikan kontender yang cukup kuat di ajang Oscar. Horor filmnya ini tampil tidak ke arah genre-is, melainkan ke arah ‘drama berat’ yang lebih menghujam dan berbobot. Penceritaan yang dipilihnya untuk mengangkut gagasan sebenarnya bukan tanpa cela. Buatku sendiri, sebenarnya cenderung lemah dan masih bisa diperkuat lagi. Yang kerasa jelas tentu saja adalah perspektif atau tokoh utamanya siapa. Film ini tidak pernah benar-benar klir soal itu. Membuat kita bingung dan semakin susah mengikuti cerita. Kebanyakan bakal terjebak dalam tebak-menebak yang tak bakal pernah terpuaskan. Menonton ini dapat jadi melelahkan, dan akhirnya tidak lagi menarik bagi penonton. Tapinya lagi, memang justru hal tersebut yang diincar oleh film ini, yang merupakan sebuah dongeng mengerikan tentang muslihat dan tipu daya yang menyerang manusia.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for ROH.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian merasa film ini punya identitas yang kuat sebagai film dari Malaysia? Apakah kalian menemukan perbedaan representasi antara film ini dengan horor-horor lokal modern selain dari bahasa dan gaya arthousenya? Bagaimana seharusnya supaya film memiliki ruh yang kuat menurut kalian?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Ark says:

    Film ini kyk the witch+the wailing dgn kearifan lokal yg lebih lemah mnrtku…
    Baru awal bgt pas si mak cerita tentang pria jahat di hutan, aku udh otomatis langsung tau pasti dia sebenarnya baik, trus waktu si dukun ‘baik’ itu datang, aku jg otomatis langsung tahu dia jahat. Mirip bgt kyk twist nya the wailing.
    Dan makanya cerita film udh gak ngena diaku setelah nya. Makin kesel pas tebakan ku soal siapa yg jaht/baik ternyata bener. Duuuh…
    Tapi Btw, filmnya niat sih, sintog ya cangtip, pdhl katanya budget nya minim, tp tetep bisa ngasih hasil yg bagus.

    • arya says:

      Waktu nonton aku juga langsung teringat The Witch dan lalu Wailing saat mulai ada dukun2an. Perbedaan besar antara Roh ini dengan kedua film itu ya perspektifnya sih, Roh lemah di situ. Terlalu fokus ke teknik mengelabui, malah pada di pengungkapan justru jadi seolah lebih baik kalo cerita ini langsung dari sudut si Pemburu aja. Karena misteri tebak-tebakannya buat penonton yang jam terbang udah tinggi; enggak efektif. Kayak mas yang langsung bisa menebak karena udah pengalaman nonton film serupa yang lebih bagus.
      Haha iya, apresiasi terbesar buat film ini karena effortnya di budget minim

        • arya says:

          Pertanyaan menarik nih haha.. Kayaknya PTJ terlalu genre buat Oscar, I mean Oscar kan bukan spesifik festival film horror. Tapi gak tau juga, siapa tau selera Oscar tahun ini berubah xD
          Terus soal timing, mengumumkan PTJ sebelum FFI beres buatku jadi bikin si acara FFI ini obsolete sih, FFI jadi terpojok karena logikanya mereka pasti bakal memenangkan PTJ untuk ngepush ke Oscar. Acaranya jadi ketebak, dan kasian film-film lain jadi seperti penggembira saja di FFI

  2. Yolanda says:

    belum nonton tapi baca review bang Arya, udah setengah2 ngeh ngebatin “kok kayak The Wailing?”
    tapi setidaknya bang Arya tetep kasi 7 dan itu tinggiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii ..
    nice review bang..

    • arya says:

      Hahaha iya, ini versi mini dari Wailing lah bisa dibilang. Versi yang lebih minimalis hahaha.
      Indonesia mestinya bisa lebih jago bikin cerita kayak gini yaa, folklore kita di dukun2an lebih banyak xD

Leave a Reply