HILLBILLY ELEGY Review

“My family is my strength and my weakness”
 

 
 
Psst.. pada tau istilah ‘Oscar-bait’ gak? Menjelang akhir tahun kayak sekarang ini tuh, biasanya film-film Oscar bait mulai bermunculan. Sebab Oscar alias Academy Awards, Penghargaan Tertinggi Hollywood, kan biasanya mulai di awal tahun, jadi slot penayangan menjelang akhir musim itu dianggap paling menguntungkan karena filmnya bakal masih ‘segar’ dalam pandangan juri. Maka mulai tuh muncul, film-film sejenis drama, atau biografi, atau sejarah, atau apapunlah kisah dari kisah nyata, yang biasanya juga memuat penokohan yang melibatkan para aktor dari langganan nominasi; dengan peran tipe-tipe karakter disabilitas, atau karakter stereotipe dengan aksen dan bahkan make up yang benar-benar ‘asing’. Film-film Oscar-bait begitu fokus untuk masuk ke Oscar, menguatkan trope-trope tersebut seolah memang cuma itulah yang dicari Oscar. Sehingga tak sedikit dari film-film itu yang ternyata bercerita dengan kurang memuaskan. Parahnya bagi mereka, para kritikus jadi memaki lebih keras daripada seharusnya, karena eksistensi film-film itu so obvious. Dan Hillbilly Elegy garapan sutradara Ron Howard, yang diperankan oleh aktor-aktor langganan nominasi Oscar, adalah contoh yang menarik dari fenomena Oscar-bait ini.
Cerita film ini diangkat dari kisah hidup J.D. Vance dari buku memoir tulisannya. Dan memang ceritanya sebenarnya sangat menginspirasi. Vance adalah seorang penulis dan pengusaha kapitalis sukses yang berangkat dari dinasti keluarga yang termasuk dalam golongan ‘terbelakang’ oleh standar sosial Amerika. Golongan Hillbilly. Kalo di kita mungkin ekivalennya adalah golongan penduduk yang berpandangan sempit, yang hidup beranak pinak di suatu daerah pinggiran (atau pegunungan). Hillbilly juga terkenal galak. Atau bisa dibilang bar-bar, dibandingkan dengan ‘orang kota’.
Film ini menceritakan Vance saat berada dalam posisi paling penting dalam karirnya. Dia yang saat itu masih muda, mahasiswa Yale yang cemerlang, akhirnya dipanggil interview oleh salah satu firma Hukum terkemuka. Namun sehari menjelang interview penting tersebut, teleponnya berdering. Kakaknya mengabari bahwa ibu mereka masuk rumah sakit. Overdosis. Lagi. Vance – dipanggil J.D. di film – mau tak mau harus menempuh sepuluh jam perjalanan, kembali ke kota masa kecilnya, untuk melihat keadaan sang Ibu. Ia sangat sayang kepada ibunya, kepada keluarganya, tapi khususnya si ibu itu bukanlah orang teramah di dunia. Dalam perjalanannya itu, J.D. dari waktu ke waktu flashback ke masa kecil. Ke masa dia hidup bersama ibunya. Masa-masa bertengkar, penuh kekerasan rumah tangga, obat-obatan, dan didikan keras dari nenek (dipanggilnya Mamaw). J.D. sadar, sejauh apapun dia lari, dia tidak bisa lepas dari keluarganya tersebut. Tapi kali ini, hal tersebut bisa jadi bukanlah hal yang buruk seperti yang selama ini dia yakini.

Aduh sialan, si J.D. anak Hillbilly asli!

 
 
Film ini ingin memfokuskan kita kepada lingkungan – keluarga dan sosial – tempat J.D. bertumbuh. Desain dari bangunan ceritanya adalah membuat kita memahami dulu kenapa J.D. ‘kabur’ dari bayang-bayang keluarga, supaya kita bisa melihat pencapaian J.D. dibandingkan keluarganya – bahwa dia bisa jadi orang yang lebih baik – namun di saat yang bersamaan, keluarga tersebut tidak bisa lepas darinya. Ketika film menampilkan lingkungan J.D. yang sekarang – saat ia dewasa, film ingin supaya kita turut merasakan bahwa lingkungan sosial terpelajar yang punya banyak garpu itu sejatinya tidak lantas lebih baik dari lingkungan yang ditinggalkan oleh J.D. Pertanyaan yang ingin digebah oleh film ke dalam benak kita, selama kita mengikuti J.D., adalah bukan semata mentok di apakah J.D. bisa lepas dari keluarga, melainkan juga apakah benar-benar butuh baginya untuk lepas dari keluarga. Ya, keluarganya memang amburadul. Ibunya case on point. Menuruti panggilan menjaga ibu niscaya akan menghambat karirnya, tapi bukankah ia mengejar karir demi mengubah pandangan orang terhadap latar belakangnya. Ikatan keluarga itu digambarkan benar-benar mengikat J.D. Menjadi konflik dalam dirinya. Film ini seharusnya bisa menarik begitu banyak gagasan manusiawi yang dramatis dari penggalian karakter-karakter bermasalah yang saling berketerikatan ini. Namun justru pada bagian penggaliannya itulah film ini malah minim. Sehingga dicecar kanan-kiri oleh kritikus sebagai gambaran yang hanya berupa karikatur. Masih enjoy untuk ditonton, tapi tidak lagi terasa nyata – meskipun memang yang dihadapi oleh J.D. tak pelak adalah kisah yang beneran terjadi pada orang yang benar-benar ada di hidupnya.

Kesuksesan kita akan menjadi bagian dari kesuksesan keluarga. Begitu pun kegagalan. Karena keluarga, bagaimanapun juga adalah kelemahan sekaligus kekuatan yang kita miliki. Keluarga adalah landasan, dan bukan tidak mungkin, alasan utama kita untuk berjuang. Makanya, J.D. tidak bisa lepas dari keluarga. Dia tidak perlu melepaskan diri dari dinasti yang turut membentuk sekaligus yang sedang berusaha untuk ia bentuk ulang.

 
Dalam lapisan yang lebih dalam, film ini tidak berhasil membahas keluarga J.D. yang dibingkai sebagai ‘sumber drama’ bagi si tokoh utama dalam cahaya yang manusiawi. Kita tidak diperlihatkan bagaimana struggle sebenarnya dari sang ibu. Bagaimana Mamaw berjuang dan apa yang melandasinya. Baik Amy Adams (sebagai ibu) dan Glenn Close (sebagai Mamaw — yang pada kredit penutup diperlihatkan ternyata wujudnya jadi mirip banget dengan Mamaw yang asli) menyuguhkan penampilan maksimal mereka. Sayangnya, karakter mereka bergerak di ruang yang sempit. Seluruh komunitas Hillbilly sepertinya dilambangkan oleh mereka berdua, namun kedua karakter tersebut hanya tampil terbatas sebagai flashback dari sudut pandang J.D. Mamaw dan si Ibu hanyalah eksis sebagaimana J.D. mengingat mereka. Dan dalam film ini, J.D. hanya mengingat mereka dalam waktu-waktu yang tergolong sengsara dan nyusahin bagi dirinya. Sehingga gambaran tersebut jatuhnya jadi super-stereotipe dan cenderung mencuat gak-respect terhadap jati diri karakter yang mereka mainkan.
Kita tidak akan pernah mendukung si ibu karena dalam setiap kesempatan tokohnya dihadirkan selalu sebagai si pembuat keputusan yang salah. Dia yang suster malah main sepatu roda di lorong rumah sakit (emangnya Olga Sepatu Roda!). Dia ujug-ujug mukulin anaknya. Bertengkar dengan Mamaw. Ganti-ganti pasangan. Semua tindakannya itu, karena dari sudut pandang J.D., jadi tak terjelaskan. Film seolah menjadikan tokoh ini sebagai poster-girl untuk sikap-sikap buruk manusia – dan karena latar karakternya sebagai hillbilly, film seperti ingin membuat kita merasa bersyukur bahwa kita bukan hillbilly seperti dirinya. Sementara, si Mamaw digambarkan terlalu standar; nenek galak yang sebenarnya baik. Namun bahkan gambaran tersebut tidak benar-benar mewakili karena, sekali lagi, semuanya hanya sudut pandang dari J.D. If anything, karakter yang dituliskan dengan baik justru adalah kakak si J.D. (diperankan oleh Haley Bennett). Karakter Lindsay ini tampil lebih subtil, dia menangani ‘drama’ keluarga dengan caranya sendiri, dalam lingkup kehidupannya sendiri. Basically, tokoh ini sudah jauh lebih dulu menyadari pembelajaran yang dialami J.D. di akhir cerita nanti.

Menyusahkan dan gak mau dibilangin? yup.. that’s our family

 
Memang, struktur bercerita flashback bolak-balik inilah yang menjadi sumber masalah utama bagi Hillbilly Elegy. Aku gak ngerti kenapa bercerita begini udah kayak jadi tren belakangan ini, padahal belum satu pun aku nemu cerita dengan banyak flashback yang berhasil mencuat menjadi benar-benar bagus. Dalam Hillbilly Elegy, flashback-flashback itu tidak diolah dengan maksimal, karena antara kilasan satu dengan yang lain sebenarnya seringkali memiliki muatan emosi dan kejadian yang sama. J.D. konflik dengan ibunya yang mendadak teriak-teriak. Sehingga sebagian besar durasi film terisi dengan repetitif. Film ini padahal punya dua cerita; J.D. dewasa dan J.D. kecil, tapi dengan menyatukan keduanya lewat sulaman flashback setiap kali ada konflik, cerita film ini justru jadi gak maju-maju. Tidak pula menambah apa-apa terhadap pandangan kita terhadap karakternya. Jadi begitu banyak waktu yang terbuang oleh penceritaannya. Waktu yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan karakter dengan natural, menggali setiap konflik personal mereka – lebih jauh dari pencapain J.D. – jika film tidak sibuk bolak-balik dan memilih berjalan dengan linear.
 
 
 
 
Tiga belas nominasi Oscar di antara Amy Adams dan Glenn Close tidak jadi jaminan film yang dibintangi mereka lantas jadi bagus. Walau penampilan akting mereka memang tidak mengecewakan, tapi karakter yang mereka perankan tidak mendapatkan pengembangan. Cerita film ini dibiarkan sempit, terbatas oleh struktur pengisahan bolak-balik, yang menjadikan film ini bermuatan emosi yang bukan hanya repetitif melainkan juga tidak lagi terasa natural. Film ini boleh jadi tetap dapat menghibur karena dimeriahkan oleh konflik demi konflik – kita semua suka melihat keributan, kan – hanya saja semestinya cerita menginspirasi seperti ini haruslah mencapai level yang lebih dalam. Dengan karakter-karakter yang mencuat di atas stereotipe dan karikatur dari manusia-manusia yang mereka lambangkan.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for HILLBILLY ELEGY.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian merasa malu terhadap keluarga sendiri, atau menganggap keluarga besar terkadang norak dan malu-maluin? Pernahkah kalian berada dalam kondisi sosial di mana kalian memilih berbohong mengenai keluarga sendiri?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

Comments

  1. yolanda says:

    masa iya sih, bang kalo tipikal film oscar bait itu ada? apa itu artinya jadi film2 dan aktor2 yang menang oscar itu sebenarnya ga sehebat itu? maaf OOT dari review-nya hehe… btw saya pengen tau dong, bang Arya kalo milih film yang bakal ditonton itu petimbangannya apa? contoh kayak film ini misalnya..
    btw suka banget quotes tentang keluarga di review ini bang… sangat menyentuh 🙂

    • arya says:

      Haha iya makasih..
      Ada sih memang Oscar bait itu, basically semua film-film ‘berat’ yang muncul pada bulan-bulan menjelang Oscar (akhir dan awal tahun) bisa dibilang memang ngincer masuk nominasi – maka dibilanglah Oscar bait. Strategi produser-lah. Dan memang gak semuanya jelek, ada juga yang beneran masuk Oscar, kayak Revenant. Namun lama-kelamaan memang istilah Oscar Bait itu sendiri berubah jadi cenderung konotasi negatif, karena yang gak bagus tentu lebih banyak. Tentu banyak yang ‘ikut-ikutan’ dan salah kaprah. Jadi weh bikin niru-niruin formula film yang berhasil masuk. Cats tahun kemaren kan masuk Oscar Bait juga hihi.. Kita kalo tinggal di luar dan tahu langsung jadwal tayang bioskop mereka, pasti bakal ngerasa juga tren kemunculan film-film yang begitu..
      Aku biasanya nonton aja apa yang ada di hari waktu aku pengen nonton.. tapi misalnya kalo filmnya ada banyak dan duitku cuma dikit, pertimbangan prioritas aku nonton biasanya sih pemainnya haha.. apalagi kalo ada aktris cakep, biasanya aku tonton duluan xD

      • Yolanda says:

        iya juga ya..jadi ingat Cats. Itu Cats pastinya ngerasa bakalan jadi film “bermuatan” lah ya karena diangkat dari cerita klasik yang udah famous…
        btw maaf nih manjang2in pembahasannya bang.. gimana dengan Green Book yang menang award pas 2019/18 lupa… itu juga tipe oscar bait kah kira2? karena ceritanya bagusss menurut saya…
        oh, ternyata simply karena liat aktor/aktris juga ya bang Arya.. lumrah aja yeee hehe.. soalnya saya juga gitu kadang kalo milih tontonan XDDDDD

        • arya says:

          Oiya, Green Book tuh, salah satu Oscar Bait yang beneran bagus dan sukses. Menarik itu, soalnya waktu tayang kan banyak juga yang memandang sebelah mata, tapi mainly karena konsep filmnya sudah pernah dilakukan. Untungnya bahasannya gak stereotipe ke minority, sehingga cocok dengan agenda Oscar tahun itu, sehingga dimenangkanlah filmnya
          Kalo Cats mah memang udah aneh dari sononya hahaha, dari visualnya aja penonton udah ‘waspada’ wkwkwk
          Itulah makanya milih tontonan juga aku ngeliat penampakannya aja sebagai prioritas.. bintang filmnya kalo cakep ya ditonton duluan hehehe, paling enggak kalo ceritanya jelek atau bosen, masih ada yang bisa dilihat, gitu XD

  2. arya says:

    Wah menarik ya filmnya? kemaren itu aku sempat udah mau nonton, tapi urung karena nyangka bakal tipikal adventure fantasy young adult ala-aka Mortal Engines, Maze Runner, dll haha

    • Yolanda says:

      maaf nimbrung, hehe. Filmnya cukup sampe ke kesan “menghibur” saja menurut saya, sih…karena setuju sama opini bang Arya, tipikal dystopia, yang terutama Maze Runner yaaa karena literally Thomas, eh salah, pokonya si Dylan-nya di situ mostly banyakan lari-lari dengan ekspresi yang sama pas dia lari2 di trilogi Maze Runner 😀

Leave a Reply