SOUND OF METAL Review

“Hearing loss is less about hearing and more about understanding”
 
 

 
 
Bayangkan kalian mendedikasikan diri untuk menggeluti satu bidang, dan kemudian berhasil di sana, lalu tiba-tiba semua itu direnggut dari kalian. Tentunya sangat devastating. Tapi ternyata ada yang lebih mengenaskan daripada itu. Bayangkan, hal yang kalian geluti tadi itu, adalah satu-satunya hal yang bisa kalian jadikan pelarian. Bayangkan jika hal tersebut actually adalah sesuatu yang kalian butuhkan dalam perjuangan personal untuk menjadi lebih baik. Dan lalu kalian dirampas dari ‘pegangan’ tersebut.
Kehilangan seperti demikianlah yang persisnya menimpa Ruben dalam film Sound of Metal. Ruben yang seorang drummer band rock menemukan zona nyamannya di atas panggung. Ketika dia nampil bersama pacarnya, Lou. Mereka tinggal dalam minibus, sembari tur keliling kota. Heavy metal dan drum itu bagi Ruben bukan sekadar hobi. Melainkan caranya berjuang melawan kecanduan obat-obatan. Musik keras dan hingar bingar kehidupan di jalan adalah kehidupan baru Ruben sebagai seorang yang clean. Namun ‘pajak’ yang harus ia tanggung dari kehidupan semacam itu, dari eksposur terhadap suara-suara lantang setiap hari, sungguhlah berharga tinggi bagi Ruben. Pendengarannya, berangsur-angsur hilang. Memutuskan Ruben dari kehidupan lebih baik yang sedang coba ia bangun. Di dunia tanpa-suaranya kini, Ruben bagaikan anak kecil yang telanjang di tengah rimba. Helpless. Defenseless. Obat-obatan dapat dengan gampang menculiknya kembali.
Sound of Metal, meskipun bicara tentang tokoh yang kehilangan pendengaran, bijak sekali untuk tahu bahwa cerita seperti ini bukan semata soal bagaimana menyembuhkan pendengaran itu sendiri. Melainkan adalah soal membuka telinga untuk sebuah pemahaman yang lebih besar. Pemahaman untuk menerima sebuah kehilangan. Dan nyatanya, itulah yang membuat drama garapan Darius Marder ini begitu manusiawi.

‘New normal’ bagi Ruben

 
Film yang menyoal seseorang yang hidupnya dipaksa untuk berubah, seseorang yang harus kehilangan semua yang ia butuhkan dalam waktu singkat, akan gampang sekali untuk jadi sangat overdramatis. I mean, cerita begini tuh udah kayak taman-bermainnya drama tragis. Yang diset untuk membuat penonton lomba mewek dan mendorong lajunya penjualan sekotak tisu di pasaran. Di sinetron aja udah sering kan, cerita yang tokohnya tiba-tiba buta, atau tiba-tiba bisu. Ruben bisa saja jadi ‘sinetron’ dengan tokoh yang tiba-tiba tuli. Serius, sepanjang nonton ini aku udah bersiap-sipa nyumpahin kalo-kalo film belok ke arah ‘sinetron’. Kalo-kalo ada satu saja elemen cringe atau lebay. Tapi ternyata tidak ada. Dari awal hingga akhir tak ada. Dan aku senang sekali. Karena; amit-amit. Serius. Amit-amit kalo sampai begitu. Karena cerita dengan arahan seperti begitu tidak akan bisa menggapai dan berlaku hormat kepada karakternya. ‘Misi’ film seperti begini harusnya bukan untuk mempermainkan emosi penonton, melainkan justru memperlihatkan gambaran emosi yang manusiawi terkait persoalan yang terjadi kepada karakter. Gol minimum yang harus dicapai film ini, paling enggak, adalah untuk membuat kita bisa merasakan langsung seperti apa rasanya kehilangan pendengaran.
Marder achieves lebih banyak melampaui gol minimum tersebut. Sound of Metal di tangannya menjelma menjadi cerita yang benar-benar respek dan memanusiakan Ruben. Gak menye-menye maupun overdramatis. Marder telah membuat ini sebagai sebuah perjalanan karakter; sudut pandang yang menarik kita masuk. Membawa kita untuk berempati terhadap karakternya. Ya, lewat permainan sound design, kita jadi tahu langsung apa yang dirasakan oleh Ruben. Ketika Ruben kesulitan untuk mendengar, maka kita pun akan dibuat mendengar kehampaan yang sama. Dan ini bukan hanya soal suara berdering atau hanya ngemute menjadikan adegannya tanpa-suara. Marder enggak memanipulasi emosi lewat absennya suara. Melainkan bercerita dengan absen suara. Ada ritme. Marder membangun kontras sedari awal. Musik rock yang memenuhi setiap adegan, belakangan akan tergantikan oleh dialog-dialog yang teredam. Menimbulkan sensasi ‘kita ingin dengar lebih banyak, tapi tak bisa’. Persis inilah yang dirasakan oleh Ruben. Ketika intensitas naik bagi Ruben, film akan mulai menarik semua suara. Ketika Ruben seperti mulai menyerah, atau saat ia akan mengambil keputusan penting, film akan menampilkan kembali suara-suara percakapan. Membuat Ruben dapat mendengar lewat alat atau membuat lawan bicara Ruben bisa bicara dengan alat. Alias, sebenarnya saat itu Ruben ‘dipertemukan’ kembali dengan cara untuk mengembalikan pendengarannya. This fuels Ruben. Ini menguatkan konflik yang ada pada pertengahan cerita. Konflik saat Ruben masih memandang tuli itu sebagai sesuatu yang harus disembuhkan.
Actually, ini jadi salah satu poin penting yang dibicarakan oleh film. Babak kedua diisi oleh cerita Ruben yang tinggal di sebuah komunitas tuna-rungu. Bagi Ruben, ini adalah tempat untuk menyembuhkan dirinya. Padahal justru merupakan tempat untuk membiasakan dirinya dengan kehidupan tanpa-suara. Kita akan melihat adegan-adegan Ruben diajarin ini itu. Menjalin relasi dengan para anggota; ada yang seperti Ruben kehilangan kemampuan mendengar secara tiba-tiba, ada yang sedari lahir. Kita melihat Ruben melihat anak-anak tuna rungu belajar berkomunikasi, lalu lantas dia sendiri juga belajar bahasa-isyarat. Tempat rehab ini terlihat ramah dan menenangkan, tapi kita bisa melihat Ruben justru tidak melihatnya seperti itu. Di titik ini, Ruben masih belum berdamai dengan keadaannya. Dia percaya bisa sembuh dari yang ia anggap penyakit, sebagaimana dia bisa sembuh dari candunya. Menarik cara film mengomunikasikan argumen bahwa sebenarnya tuli itu sendiri tidak pernah dianggap sebagai penyakit yang harus disembuhkan bagi para pengidapnya. Melainkan tak lebih sebagai ‘cara lain dalam menempuh hidup’. Inilah yang ultimately harus dipelajari oleh Ruben.

Bahwa dengan kehilangan pendengaran, tidak berarti seseorang kehilangan hidup. Melainkan hanya hidup di dunia dan gaya yang baru. Kepositifan orang-orang di komunitas itulah yang dijadikan poin vokal oleh film ini. Gak semua masalah selesai dengan uang, karena dua hal. Uang tidak menjamin, ataupun memang tidak ada masalah. ‘Hanyalah’ soal pemahaman dan penerimaan kita terhadap kondisi.

 
Saat belajar skenario, biasanya kita dikasih tahu untuk merancang kehidupan tokoh utama. Mulai dari ia kecil, hingga ke momen yang akan jadi periode cerita pada film. Rancangan atau karangan kehidupan karakter inilah yang jadi backstory, yang semakin memperkuat karakterisasi tokoh utama yang kita tulis. Backstory tersebut tidak mesti terpampang pada film, tapi harus tersampaikan garis besarnya, supaya penonton bisa mengenali karakter dan bersimpati kepadanya. Backstory Ruben dalam cerita Sound of Metal berperan besar terhadap konflik yang harus ia lalui. Penceritaan yang dilakukan oleh Marder sungguh berhasil menuturkan backstory itu semua tanpa membuat film menjadi bertempo lambat ataupun membuat ceritanya jadi melanglang buana. Marder dengan efektif membuat kita mengerti. Semua hal yang perlu kita ketahui sebagai elemen emosional bagi Ruben dengan sukses tersampaikan. Misalnya, film masih ingat (dan sempat) untuk membahas kenapa pekerjaan sebagai drummer rock itu penting bagi Ruben. Begitupun soal makna dari hubungannya dengan Lou; apa peran Lou sang kekasih itu di hidup Ruben. Semua itu terbahas, menyatu dalam plot-plot poin cerita sehingga keseluruhan narasi film ini terasa sangat padat. Dan somewhat feels real.

“Plok! Plok! Plok!” adalah bunyi metal yang baru

 
Porsi terakhir dari ulasan ini khusus kudedikasikan untuk penampilan akting Riz Ahmed, yang luar biasa emosional – tanpa perlu berteriak-teriak – sebagai Ruben. Supaya cerita yang memfokuskan kepada personal dan kepribadian Ruben ini bisa berhasil, tentu beban itu tersandarkan kepada pemerannya. Tantangan bagi Ahmed di sini adalah menemukan titik-seimbang untuk penonton dapat merasakan emosi karakternya. Titik-seimbang di antara drama soal kehilangan pendengaran yang gak semua orang bisa langsung terkonek, dengan drama tentang manusia yang berusaha menerima kenyataan. Ahmed berhasil, buktinya kita mengerti dan berempati pada setiap keputusan yang diambil oleh Ruben, entah itu soal dia bersikukuh mencari uang untuk operasi, atau ketika dia memilih keluar dari komunitas dan kembali kepada Lou.
Ahmed mengerti bahwa yang diincar sutradara adalah untuk tidak membuat tokohnya ini tampil seperti minta dikasihani, atau mengasihani diri sendiri. Dan sebaliknya, juga tidak ingin tampak seperti sosok yang sempurna bagi kita. Jadi apa yang dilakukan Ahmed untuk mewujudkan semua itu? Permainan emosi. Ahmed membawa kita menyelami reaksi Ruben saat berjuang menerima kenyataan pendengarannya tak akan pernah kembali. Karakter ini tidak dimainkannya sebagai tokoh yang bersikap kasar, ataupun suka berteriak, tapi kita masih tetap merasakan gejolak emosi dan marah dan gak-terima itu di balik dirinya. Ia menggunakan bahasa tubuh dan gerakan mata, terutama saat adegan-adegan dia mengobservasi lingkungan komunitas, sehingga arc Ruben dapat tersampaikan dengan utuh. This is one top level performance. Yang aku dengan sangat senang hati melihatnya mendapat ganjaran piala. Lihat saja adegan fenomenal di ending. Kalo itu tidak memberikan dorongan semangat dan menginspirasi kita untuk berdamai dengan kenyataan, untuk mensyukuri yang terjadi sebagai lanjutan kehidupan; maka aku gak tau lagi yang menginspirasi itu seperti apa.
 
 
 
Dengan penggunaan sound-design, penampilan akting, dan arahan yang benar-benar respek menempatkan karakter sebagai identitas dan subjek – bukannya objek penderita – film ini berhasil menjadikan ini lebih dari cerita tentang orang yang kehilangan indera pendengar. Malahan membawa kita lebih dalam ke persoalan yang lebih relatable dan manusiawi. Menggambarkan dengan penuh hormat bagaimana susah dan perlunya sebuah acceptance terhadap situasi. Beberapa penonton mungkin akan menganggap film ini berat – inner journey Ruben memang demikian kompleks – tapi film ini gak akan bikin bingung. At the end of the movie, kita gak akan dibuat bertanya balik “apa itu tadi?” Percayalah, saat menonton film ini, berat itu ada tapi berat karena konflik karakter, tidak menghambat sama sekali bagi pengalaman menonton. Dan di akhir itu, oh percayalah, kita semua akan merasakan beban itu terangkat sudah dengan perasaan yang sangat melapangkan.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for SOUND OF METAL.

 

 
 

 

That’s all we have for now.
Aku pernah membaca bahwa ternyata penyandang disabilitas pendengaran malah lebih suka disebut tuli ketimbang dengan sebutan tuna rungu. Menurut kalian, kenapa?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

    • arya says:

      Enggak juga sih, tahun ini kayaknya lebih sedikit deh.. Tahun lalu ada sembilan film yang dapat 8 kalo ndak salah.. Yang paling banyak di tahun 2018 kayaknya yang aku kasih 8 – nilai 9 pun ada di tahun itu XD

  1. yobipriyambodo says:

    Belum nonton filmnya..tapi baca ceritanya kok sekilas seperti film ‘it’s all gone pete tong’…tentang DJ yg kehilangan pendengaran juga…

  2. Iman says:

    selain endingnya, yang aku suka scene “penerimaan” Ruben terhadap Lou di akhir itu, gila sih itu main diem2an tapi gesture keduanya membuatku ikut merasakan emosi yang dirasakan mereka berdua soal keputusan yang sangat berat yang harus mereka ambil. Dari awal sampai akhir ceritanya “padat” tapi gak bikin kaya terburu-buru. Aku suka karakter Joe dan komunitasnya. Dan Lou jadi beda dan cantik banget di sesi terakhir. Aku baca review ini sengaja ditunda setelah nonton filmnya. Well said mas, well said.

  3. Bambang says:

    “Ketika intensitas naik bagi Ruben, film akan mulai menarik semua suara. Ketika Ruben seperti mulai menyerah, atau saat ia akan mengambil keputusan penting, film akan menampilkan kembali suara-suara percakapan” kak mau nanya dong maksud dari “intensitas naik bagi ruben” itu apa ya? makasih

Leave a Reply