ASIH 2 Review

 

“A real parent is someone who puts their kids above their own selfish wants and needs.”

Cerita Asih 2 menyorot keluarga pasangan dokter Sylvia dan suaminya yang pembuat komik/cerita bergambar. Sylvia yang kehilangan putri cilik mereka yang meninggal dunia empat tahun yang lalu, merasakan emotional attachment kepada seorang gadis kecil misterius yang jadi pasiennya di rumah sakit. Anak itu tertabrak mobil di tengah hutan. Tak ada keluarga yang menjemput. Tak ada siapapun yang tahu siapa orangtua ataupun dari mana asal si anak ini. Maka Sylvia pun membawanya pulang, mengadopsi anak itu. Memberinya nama Ana. Such a close call, sebab Ana ternyata adalah anak pasangan pada film Asih pertama (2018). Tujuh tahun ini, Ana hidup dibesarkan oleh hantu mirip kuntil-ana-k bernama Asih. Tindakan Sylvia mengambil Ana dari dekapan Asih, jelas tindakan yang mengundang malapetaka bagi dirinya dan keluarga.

Jadi, ini adalah konflik antara dua orang perempuan, dua orang ibu yang ingin melindungi anaknya. Sylvia yang bertanggungjawab menyembuhkan Ana, dan Asih yang actually benar-benar merawat Ana sedari bayi. Menariknya adalah bahwa tidak satupun dari mereka berdua yang ibu kandung dari Ana. Bahwa mereka berdua justru adalah ibu yang melihat Ana sebagai kesempatan kedua; kesempatan untuk menebus kesalahannya pada anak kandungnya. Bedanya cuma Sylvia manusia, dan Asih hantu. Tindakan Asih akan naturally lebih mengerikan daripada perbuatan Sylvia. Padahal inilah sebenarnya kontras yang menarik yang ada pada film. Seperti ada komentar mengenai makna sebenarnya dari menjadi orangtua bagi seseorang. Apa yang membuat kita pantas dipanggil ‘ibu’. Penggalian gagasan tersebut bisa membawa film ke level dramatis, ke cerita yang manusiawi sekaligus menginspirasi dan empowering – khususnya karena film ini tayang berdekatan dengan Hari Ibu.

Seorang Ibu tak pelak memang adalah orang yang telah melahirkan anak. Namun melahirkan, atau simply mengadopsi anak tidak serta merta membuat kita pantas disebut sebagai orangtua yang baik. Karena orangtua berarti adalah harus mampu mementingkan anak di atas kepentingan sendiri. Bukan saja harus mampu mengasuh dengan penuh kasih, tapi juga mampu bertindak yang terbaik bagi anak, walaupun itu berarti harus mengikhlaskan mereka.

Namun, sutradara Rizal Mantovani tidak melihat ceritanya seperti itu. Film tidak difokuskannya ke sana. Atau tepatnya, film diarahkannya berjalan lewat aspek yang paling konyol dan paling dangkal, untuk kemudian menjadikan bahasan soal ibu tadi hanya sebagai konklusi yang ditampilkan ujug-ujug di akhir.

Siapa sih yang gak mau jadi anak dokter?

Jika Christopher Landon punya konsep membangun narasi horor dari komedi jadul, maka para filmmaker horor di Indonesia gak mau kalah. Mereka bikin horor dari lagu anak-anak jaman dulu! Mulai dari lagu Boneka Abdi, hingga lagu sepolos ngajak orang naik Kereta Api pun sudah ada film horornya. Tren yang menarik, tapi kasihan juga sih anak-anak Indonesia. Lagu untuk mereka udah punah, udah gak ada yang bikin lagi, eh lagu jadulnya pun diubah jadi materi horor kacangan. Tapinya lagi, memang beberapa lagu anak itu serem kok. Contohnya ya Indung-Indung yang jadi (un)official soundtrack sekaligus plot device dalam Asih 2 ini.
Well, at least, seram buatku waktu kecil.

Waktu kecil, sekitaran umur 6-7 tahun, aku takut banget sama lagu ini. Kalian pasti tau dong lirik lagu Indung-Indung itu ada kelanjutannya (gak kayak karakter-karakter dalam film ini yang nyanyiinnya muter-muter di situ melulu). Soal perempuan bernama Siti Aisyah yang mandi di kali rambutnya basah. Nah, dulu waktu kecil kalo di rumah nenek, aku selalu ditidursiangkan ortu di kamar Om. Seluruh tembok kamar itu dicat oleh beliau sendiri, digambarin aneka rupa. Mulai dari tokoh kartun Donal Bebek hingga tokoh zodiak. Salah satu gambarnya itu berupa perempuan yang mengenakan handuk merah, dengan rambut yang seperti…basah!! Satu kali, pas lagi dininaboboin pake lagu Indung-Indung, mataku natap si gambar cewek itu. Dan aku mimpi buruk si cewek itu hidup, dia lah Siti Aisyah dalam lagu, dan rambutnya basah ternyata oleh darah sampe ke anduk!!! Sejak saat itu aku trauma sama lagu Indung-Indung.
Sehingga nonton Asih 2 di kala bioskop sepi masih pandemi benar-benar pengalaman menantang buatku. Aku bisa ngerasain keseraman masa kecil itu menguar setiap kali lagu tersebut muncul di film. Dan buatku yang punya kisah personal, hanya lagu itu sajalah yang jadi titik kedekatan dalam film ini. Selebihnya film ini sama sekali enggak menakutkan. Tokoh hantunya, si Asih; aku malah berempati dan kasihan padanya. Aku justru rooting for her. Itu karena memang Cerita Asih 2 punya potensi drama horor untuk digali. Film ini bisa jauh lebih bagus daripada sodara-sodaranya di Danur Universe JIKASAJA pembuatnya enggak obses ke lagu yang cuma serem untuk dipake nakutin anak kecil.

Alih-alih fokus kepada penggalian drama dan trauma orangtua yang bergulat dengan kematian anak mereka – lewat sudut pandang perempuan yang mengadopsi, film malah menitikberatkan kepada misteri asal muasal dan lirik lagu. Adegan seram di Asih 2 sebagian besar berupa seseorang mendengar lantunan lirih “Indung indung kepala lindung” dan kemudian mereka melihat sosok mengerikan somewhere di latar belakang.

Pernah gak ngalamin kejadian mendengar satu lagu, lalu kemudian lagu tersebut mendadak muncul di mana-mana; ke mana pergi, ada lagunya. Kurang lebih kayak gitulah film ini; mendadak semua tokoh dalam cerita nyanyiin dan ketemu sama lagu ini. Film kemudian lanjut mempersoalkan itu lagu apa. Ada misteri yang kuncinya ada pada lagu tersebut. Film mengerahkan semua kepada lagu ini. Bahkan bonding ibu dan anak dilakukan dengan memperlihatkan Sylvia belajar nyanyiin lagu tersebut karena lagu itu merupakan lagu favorit Ana. Yang paling konyol adalah adegan ‘fight’ Sylvia dengan Asih. Mereka rebutan Ana “Ini anakku!” pake tarik-tarikan, daaann mereka lantas ‘lomba nyanyi’. Gantian nyanyiin Indung Indung demi menarik perhatian dan kasih sayang Ana.
Kasihan sekali melihat Marsha Timothy dan Ario Bayu yang jadi pasangan suami istri di film ini. Mereka adalah aktor yang pernah mengantongi piala penghargaan. Aktor yang mumpuni, dengan range drama yang luas. Dan cerita film ini actually terbuka untuk ruang drama tersebut. Sebagai suami istri yang pengen punya anak lagi, move on dari trauma-lah yang harusnya digali dalam film ini. Bikin mereka benar-benar butuh Ana. Buat kita yakin mereka beneran peduli sama anak sebagai person, bukan sebagai penebus dosa. Hanya ada satu adegan yang mengarah ke pembahasan ini, padahal narasi harusnya dibangun di sekitar persoalan ini. Bukannya malah memfokuskan kepada ‘lagu seram’. Akibatnya drama dan karakter itu gak kena. Kita gak ngerasa apa-apa, kita gak ngerasain urgensi Sylvia harus dapatin Ana. Atau bahkan kita gak sedih ketika Ana hilang dari Sylvia. Karena film gagal melandaskan kepentingan Ana secara nyata dan emosional buat Sylvia dan suaminya. Kita gak melihat mereka ‘rugi’ apapun jika Asih mengambil Ana. Karena memang si Asih toh did a pretty great job gedein Ana. Anak itu sehat, dia celaka karena ditabrak mobil di hutan. Mobil. Di hutan. Come on! itu odd-nya kecil banget hahaha… Dan di luar kebiasannya saat makan yang aneh, anak itu toh gak tumbuh jadi psikopat. Dalam pandangan kita, film malah seperti memperlihatkan Sylvia-lah yang menculik Ana dari Asih.

“Lu ambil anak gue! Lu ambil lagu gue!!”

 

Shareefa Daanish sekali lagi hanya dipakai untuk jadi hantu yang teriak-teriak ngejumpscare orang. Padahal potensi drama dan permainan karakter bisa ia lakukan di sini. Too bad pembuat film cuek dengan ini. Justru Asih-lah di sini yang cocok sebagai protagonis. Dialah yang kehilangan sesuatu – meskipun awalnya juga curian. Dialah yang pada akhirnya berbesar hati. Yang menunjukkan bahwa Asih-lah yang mengalami perkembangan karakter – yang actually punya plot dalam cerita ini. Cerita bahkan menyimpan satu kejutan menarik lagi berupa kehadiran seseorang dari masa lalu Asih; orang yang mengenal Asih saat masih seorang manusia. Jika memang begitu, toh kerja film sangat buruk dalam memperlihatkan Asih sebagai tokoh utama. Karena porsi paling gede ya ada pada Sylvia dan keluarga. Sylvia, yang tak ngalamin perkembangan apa-apa. Yang gak ada stake. Yang bahkan tidak membuktikan kepada kita dia bisa jadi orangtua yang baik; karena yang film perlihatkan hanyalah dia yang selalu pulang malam hanya dekat dengan Ana saat mandi dan saat belajar lagu.

Dan si Ana itu sendiri… Memanglah, film horor Indonesia hanya melihat anak kecil sebagai objek. Setelah lagu mereka diambil jadi materi horor, tokoh yang mewakili mereka pun di sini hanya jadi objek rebutan. Ana dihidupkan sebagai trope ‘anak setan’, alias anak berkelakuan aneh yang suka ngobrol sama sesuatu yang tak terlihat. Film ini tak memberikan Ana kesempatan untuk bersuara, untuk punya pendapat dan pandangan sendiri. Literally, Ana ditulis sebagai karakter yang gak bisa bicara. For no reasons at all, kecuali ya dengan alasan untuk memudahkan penulis naskah bermalas-malasan. Ana yang tak bisa bicara berarti tidak perlu digali sudut pandang dan sisi dramatisnya. Ana hanya dijadikan jalan keluar ala deus ex machina saja. Di akhir tiba-tiba dia sadar dan ngasih pandangan ke ibunya. Karakter Ana yang dibikin seperti inilah yang menjadi penanda keras betapa film ini males dan memang menghindari penggalian karakter. Arahannya dibuat khusus untuk memfasilitasi jumpscare-jumpscarean saja. Menyia-nyiakan potensi karakter yang ada.




Kalo ada yang nanya film apa yang bisa narik penonton ke bioskop, dalam situasi pandemi kayak sekarang ini, maka aku percaya jawabannya adalah film horor. Dan film ini, aku juga sama yakinnya, mampu untuk melakukan hal tersebut. Karena memang didesain untuk memfasilitasi ‘hiburan’ netijen. Penuh jumpscare, ada yang kesurupan, dan flashback backstory. Peningkatannya sedikit di visual kemunculan penampakan, seru juga melihat hantu yang perlahan nampak dari transparan ke memadat. Dengan durasi yang lebih panjang tiga-puluh menit dari film pertamanya, kupikir film ini bakal lebih berisi. Cerita dan karakter penyusunnya akan benar-benar memiliki sesuatu. Tidak dangkal seperti film pertama. Tapi ternyata film ini tidak tertarik menggarap semua itu. Melainkan hanya berkutat pada menghantu-hantukan lagu. Sehingga akhirnya ya jadi sama saja dangkalnya. Such a waste potential.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH 2.




That’s all we have for now.
Apakah kalian juga punya pengalaman seram dengan lagu anak-anak?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA



Comments

  1. Fir says:

    Aku yg iseng-iseng beli tiket nih pilm buat ngebunuh bosen, malah dibuat tambah bosen setengah mati selama nonton , aku kira awalnya pun film ini bakal jd film yg kebegeon dan jump-scares receh nya bakal menghibur, ternyata aku salah besar. Film ini emg cuma ngebosenin doang gara2 ketololan nya.
    Btw, masih kagum ama mas yg bisa nangkep esensi cerita yg lebih dalem dr film horor kacangan kyk gini yg bahkan pembuat nya pun gak sadar mrk punya ide dasar yg mumpuni.

    • arya says:

      Soalnya kebiasaan nonton horor barat, kan mereka sering bikin tokoh ibu-ibu, dan pasti ada yang diceritain.. bahasannya pasti di ibu-ibunya. Pasti ada dosa si ibu-ibu yang jadi perwujudannya. Pas nonton Asih 2 ini langsung kerasa, wah mantep ini udah kayak film barat. Etapi kok bukan Sylvianya yang dibahas. Kenapa malah pada nyanyi-nyanyi ahahaha

  2. Albert says:

    Review Mas membuatku ingat horror lama yang dulu aku suka banget nontonnya. Judulnya Mama. Aku lihat lagi di Wiki supaya ingat lagi ceritanya. Ceritanya tentang 2 anak yang tinggal di rumah di tengah hutan gitu. Sebetulnya bapaknya bawa mereka ke sana mau dibunuh, tapi si bapak mati dibunuh setan Mama. sehingga 2 anak ini tinggal bertahun2 dirawat Mama di rumah itu.
    Sampai beberapa tahun kemudian tim penyelamat datang lalu mereka dibawa dan diasuh pamannya. Yang mana pamannya tinggal sama pacarnya yang enggak suka anak kecil. Dari wiki ini aku jadi ingat pamannya diserang mama sampai koma. Sehingga 2 anak ini dirawat pacar pamannya ini. Anak yang kedua itu masih bayi pas pertama dibawa bapaknya ke hutan, sehingga sampai sekarang udah jadi anak kecil ya dia enggak bisa ngomong.
    Perkembangan karakter si pacar yang tadinya ga suka anak2 terus peran jadi ibu, dan hubungannya sama anak, terutama anak pertama, terasa kuat. Ternyata di Wiki juga masa lalu Mama ada di flashback kenapa dia bisa jadi setan gitu. Aku ingat sih klimaksnya mengharukan pas si pacar dan Mama berebutan 2 anak itu di sungai kayaknya.
    Ya kalau liat reviewnya ini kayaknya besok batallah nonton Asih, padahal tempat lain kayaknya lumayan reviewnya. Cukuplah kayaknya Wonder Woman aja tadi.

    • arya says:

      Wah menarik itu cerita filmnya, aku langsung search haha.. Yang mainnya Jessica Chastain bukan? Aku mau nonton, kayaknya seru kalo dibandingin ama Asih 2 ini.
      Atau bisa jadi film ini ngambil inspirasi dari Mama itu. Cuma ya satu perbedaannya itu kayaknya yang bikin Mama bisa emosional sedang Asih enggak; karakter ibu/marsha timothy dengan karakter si pacar. Tokoh utamanya si pacar itu ya? si Chastain yang mainin bukan sih?
      Kalo dari yang mas tulis, kan keliatan tuh ada perkembangan karakternya. Dari yang gasuka anak-anak ke jadinya cinta sama anak-anak. Kalo tokoh di Asih 2 gak kayak gitu. Dia suka anak-anak, akhirannya juga sama aja. Dia gak kelihatan tambah responsibility atau apapun. Perbedaan sesimpel itu ternyata memang membawa pengaruh besar buat experience cerita ya haha

      • Albert says:

        Oh ya Jessica Chastain mas. Ini kulihat lagi di Wiki. Iya reviewnya aku langsung ingat Mama sih, kan sama2 diasuh setan. Anaknya ya enggak bisa omong. Apalagi yang kecil dari bayi udah diasuh, itu anak sendiri udah seram hehehe.

  3. Irfan says:

    Ke mana perginya Rizal Mantovani sutradara Jelangkung tahun 2001 yg pernah kita kenal? :’)
    Sekarang tiap mau nonton film horor indonesia ngeceknya sutradaranya dulu ya mas wkwk

    • arya says:

      tbh aku belum pernah nonton Jelangkung 2001. Aku cuma dengar reputasinya. Pengen banget nonton, tapi dari karya-karya terbarunya yang kutonton, aku pikir baiknya biarlah film itu kujadikan legenda yang tak pernah kutonton aja hahaha… Karena bayangkan kalo ternyata film itu gak ‘sehebat’ reputasinya, gak sehebat yang diingat orang, wah rusak ntar… bisa-bisa malah aku yang disangka cari sensari xD
      Tapi beside that, kayaknya memang cukup sering kasus sutradara yang film pertama/awalnya bagus tapi kelamaan jadi menurun – karena pengaruh banyak hal seperti tuntutan studio atau semacamnya

      • Irfan says:

        Haha milih ga nonton aja agar tidak terbukti kebenarannya ya mas, bagaikan mitos wkwk
        Jujur sih aku nonton Jelangkung 2001 mungkin di saat referensi filmku belum sebanyak sekarang, tp smp sekarang aku masih inget kesannya waktu nonton itu. Setidaknya seandainya Mas Arya nonton sekarang, nilainya ada di atas 5 lah (ga doremi kaya sekarang ini wkwk) but i really hope you’re willing to watch so we can discuss it haha
        Btw aku masih inget bgt, berdua sm ibu, suka nonton film2 horor Rizal Mantovani di bioskop (based on how good Jelangkung was imo) dari yg memaafkan smp yg udah ga tau mau komentar apa saking anehnya :’)
        kl aktor dg pattern yg sama, dr aku sm ibu ngefans, smp akhirnya cenderung menghindari, i have to say Nicholas Cage wkwk

        • arya says:

          Asik sih kayaknya kalo dijadiin konten review bareng hahaa
          Nicholas Cage itu kadang bingung juga ngeliat aktingnya, apa jenius terpendam atau memang makin lebay gak jelas xD

      • Aaron says:

        Berarti untuk film-film MD, bisa jadi karena faktor produser atau naskah yang menghalangi visi sutradara untuk all out, hasilnya jadi gak maksimal yang penting menjual. Di Mati Suri sebenarnya punya potensi tapi naskahnya banyak plot hole sama cast kurang oke

        • arya says:

          Ya bisa jadi, karena secara teori kan PH atau produsen itu punya pasar yang sudah terbentuk, karena mereka sudah punya formula tertentu pada produknya yang maksimal untuk menggaet pasar itu. ‘Formula’ ini tu yang jadi, katakanlah, penghalang atau limitasi dari visi filmmaker. Kuranglebih kayak kenapa TV gak mau perbaiki kualitas sinetron prime time-lah

  4. Bin Murarka says:

    Film Mama memang cukup seram dan dramatis, penggalian karakternya memang baik.
    Terkait Jelangkung 2001 itu memang bagus dan patut jadi legend horor.

Leave a Reply