SOUL Review

“Life starts now.”
.

 
 
Bertahun-tahun pengen jadi bintang jazz, Joe (diisi suaranya oleh Jamie Foxx) yang bekerja jadi guru musik honorer akhirnya diterima untuk nampil bermain musik di klab bersama idolanya. Tentu saja Joe langsung memilih gig ini ketimbang tawaran untuk jadi guru tetap di sekolah dasar. Dalam perjalanan pulang, Joe yang begitu girang sibuk menelpon sehingga tak lagi memperhatikan jalan (itupun kalo dia pernah memperhatikan jalan sebelumnya). Joe mengalami kecelakaan. Dia jatuh tewas. Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai.
EIIIIITTSS, jangan keburu sedih dan depresi dulu. Karena Joe adalah tokoh utama dalam film Soul; film buatan Pixar. Dan jika ada satu hal yang kita ketahui tentang Pixar, maka itu adalah Pixar selalu merancang cerita dengan muatan perasaan yang real, yang nge-tackle masalah yang manusiawi seperti kematian, perpisahan, dibalut dengan konsep yang menyenangkan. Selalu ada lapisan kreatif yang menjadikan ceritanya menarik.
Kecelakaan tadi ternyata belumlah akhir dari semua bagi Joe. Karena dia mendapati dirinya – jiwanya – berada di sebuah tempat yang bisa membawanya hidup kembali. Joe kabur dari jembatan lorong ‘siratal mustaqim’, dan sampai di The Great Before. Tempat pelatihan dan seminar bagi jiwa-jiwa sebelum dilahirkan ke dunia. Joe yang menyamar menjadi salah satu mentor, ditugaskan untuk mengajari unborn soul bernama 22 (disuarakan oleh Tina Fey dengan suara yang menurut si karakter “annoys people”) tentang kehidupan duniawi. Si 22 ini sudah beribu-ribu tahun gagal terus lulus pelatihan, padahal mentor-mentornya adalah orang terkenal semua. Joe dan 22 yang bertualang bersama mencari spark untuk 22, akhirnya saling mengajari soal apa yang sebenarnya paling berharga dari kehidupan.
Film Soul ini digarap oleh Pete Docter yang sebelum ini menggarap Inside Out (2015). Jadi kita bisa mengharapkan eksplorasi dan world-building yang sama imajinatifnya di Soul ini. Dibandingkan dengan Inside Out, memang Soul terasa bahkan lebih ‘dalem’ lagi. Karena alih-alih soal emosi dan kepribadian bekerja, Soul adalah eksplorasi soal eksistensi dan jiwa itu sendiri. Docter dan co-director Kemp Powers menerjemahkan filosofi mengenai kehidupan, afterlife, dan apa yang membuat kita, kita ke dalam dunia ‘kartun’ versi mereka sendiri.

Dan tak lupa juga menampilkan ‘soul music’ alias musik Jazz

 
 
Menjelaskan soal filosofis seperti eksistensi ke dalam presentasi atau bentuk yang ringan, jelas adalah sebuah tantangan besar. Bahkan bagi sekelas Pixar. Kita tahu anak kecil memang ada kalanya nanyain hal-hal ‘sulit’; hal-hal yang enggan untuk kita bahas kepada usia mereka. Namun begitu, rasanya jarang sekali ada anak kecil yang nanyain ‘kenapa kita suka mengejar hobi yang dilarang oleh orangtua’. I’m not saying film Soul ini gak cocok untuk selera anak. Karena memang filmnya sendiri didesain untuk bisa ditonton oleh anak kecil. Desain visualnya mengundang. Karakter jiwa-jiwa itu berbentuk lucu, mereka tampak seperti gabungan awan dengan roh. Fluffy sembari garis tubuhnya agak-agak berpendar transparan. Masing-masing jiwa ini punya bentuk yang distinctive, yang sesuai dengan penampakan atau fisik tubuh manusia mereka. Sehingga menyenangkan untuk menebak-nebak atau membandingkan wujud asli dengan wujud jiwa beberapa karakter yang disebutkan. Selain itu ada juga karakter lain yang bentuknya tak kalah unik. Film ini juga punya antagonis, walaupun di sini tokoh antagonis itu tidak benar-benar punya niat jahat, melainkan hanya terlihat sebagai penghalang bagi Joe yang literally kabur dan pengen mengubah nasibnya. So yeah, film ini masih punya pesona khas animasi Pixar yang digemari anak-anak. Dialognya juga masih sempat untuk terdengar lucu dalam sebagian besar porsi adegan.
Hanya saja menu yang disajikan Pixar kali ini memang lebih cocok untuk konsumsi orang dewasa. Pixar mengambil langkah yang berani di sini; membuat tokoh utama yang bukan anak-anak, malah pria dewasa yang bahkan belum punya keluarga/anaknya sendiri. Segala konteks yang berusaha disederhanakan tadi itu juga pada akhirnya akan tetap jauh bagi anak kecil. Menonton film ini bagi anak-anak sekiranya bakal sama seperti ketika kita yang sudah dewasa menyaksikan Tenet (2020). Film Soul ini pun kadang terseok juga oleh kebutuhan untuk menjelaskan konteks dan pembangunan dunianya; itulah terutama yang memberatkan bagi anak yang belum dapat menangkap dengan baik gambaran besar ataupun maksud dari narasi yang diceritakan. Bagi kita orang dewasa, atau bagi penonton yang sudah mengerti permasalahan yang menimpa karakternya, film Soul ini akan jauh lebih emosional. Tidak akan terasa hampa seperti saat nonton Tenet. Karena tokoh utamanya, permasalahan dirinya, begitu universal dan terceritakan dengan baik oleh film. Penyederhanaan konteks filosofis, konsep dunia afterlife yang dijadikan ceria seperti camp pelatihan, tidak mengurangi penekanan kepada konflik emosional dan psikologi yang dirasakan oleh karakter Joe – dan bahkan juga si 22. Film ini pun semakin fleksibel dengan tone-nya, sebab di pertengahan akan ada bagian cerita jiwa yang tertukar tubuh, dan film berhasil untuk tidak tersesat menjadi komedi konyol. Melainkan malah semakin terasa penting sebagai suatu bagian dari perkembangan karakter.
Penulisan film ini luar biasa. Aku suka cara film menyelipkan hal-hal seperti kematian, keputusasaan ke dalam cerita. Hal-hal tersebut penting dan tidak-bisa tidak disebutkan ketika kita bicara tentang persoalan tujuan hidup, eksistensi, dan kebahagiaan seperti ini. Ada banyak aspek dalam film ini yang kalo kita pikirkan lagi ternyata sebenarnya sangat suram. Misalnya soal jiwa-jiwa yang segitu banyaknya muncul di dekat Joe di jembatan ke cahaya itu, menunjukkan segitu banyaknya manusia yang mati setiap hari. Ada yang muncul bertiga pula, mereka mati kecelakaan apa gimana. Dan Joe sendiri, dia gak sadar dirinya tewas karena dia begitu sibuk mengejar passionnya sebagai pemusik Jazz. Kalimat ‘Hidupnya berakhir tepat pada saat dia mengira hidupnya baru saja dimulai’ sesungguhnya sangat naas dan inilah yang jadi gagasan utama penulisan karakter Joe.
Berarti menurut film ini, semua manusia terlahir tanpa jiwa

 
 
Joe adalah seorang yang sangat passionate. Dia mengejar karir, and do what he loves. ‘Kesalahan’ yang harus Joe sadari adalah menyangka bahwa hidupnya baru akan dimulai – baru benar-benar berarti jika passion atau karir impiannya itu sudah tercapai. Film langsung membenturkan ini dengan membuat Joe celaka. Namun Joe gak mau nerima, dia kabur membawa jiwanya keluar dari kematian. Jiwanya berontak, bagaimana mungkin dia mati pada saat hidupnya justru baru dimulai – pada saat karirnya mulai mencapai titik terang. Joe tidak pernah benar-benar peduli pada hidupnya, selain untuk berhasil menjadi pianis jazz. Inilah yang membedakan Joe dengan 22 pada saat si unborn soul itu mencicipi seperti apa hidup untuk pertama kalinya. Joe tidak pernah duduk dan menangkap daun yang jatuh. Joe selalu mengejar karirnya sehingga lupa untuk melihat hidup. Tidak seperti 22 yang berhenti dan menikmati apapun yang ditawarkan kehidupan kepadanya. Ada momen yang sangat menyentuh ditampilkan oleh film ini yaitu ketika Joe melihat visual kehidupannya, yang ternyata sangat hampa. Dia tidak melakukan apa-apa padahal sudah hidup selama itu. Momen ini menunjukkan bahwa mengejar impian meskipun adalah suatu perjuangan hidup, tapi bukan berarti hidup jadi harus tentang itu.
Lebih lanjut film memperlihatkan Joe yang tetap tidak bahagia setelah berhasil menjadi anggota band jazz bareng idolanya. Karena dia ketinggalan semua hal lain kehidupannya. Dalam film ini ada makhluk yang disebut lost-soul. Para jiwa akan berubah menjadi makhluk ini jika tidak lagi senang dalam hidup. Meskipun dalam film ini tidak ditunjukkan, tapi aku yakin jika Joe tetap memilih ngeband dan melupakan 22 dan semua yang ia lalui tadi, maka Joe akan perlahan berubah menjadi lost-soul. Dan ultimately menjadi lost-soul adalah hal yang paling mengerikan yang bisa terjadi kepada sebuah jiwa. Karena yang terpenting adalah untuk menghidupi hidup.

Kita bisa mati kapan pun. Inilah yang diingatkan oleh film. Hidup tidak dimulai ketika kita lulus kuliah, atau ketika kita dapat kerja, atau ketika impian kita tercapai. Hidup sedang berlangsung. Sekarang juga! Maka tunggu apa lagi? Kejarlah yang dicita-citakan, tapi jangan lupa untuk membina hidup. Karena purpose of life is to live the life

 
Sehingga masuk akal jika film ini memberikan kesempatan kedua bagi Joe. Karena perkembangan karakternya diset sebagai orang yang kini mulai belajar untuk dengan benar-benar melihat hidup. Bukan hanya tentang musiknya, tapi juga tentang keluarganya, tentang teman-temannya. Dan kupikir cerita Soul yang dibikin seperti ini justru lebih indah dan mengena sebagai inspirasi ketimbang membuat cerita yang ‘kelam’ dengan membuat Joe benar-benar memutuskan untuk ‘terus’. Nah kembali lagi ke penulisan yang hebat, Soul tidak lantas memberikan kesempatan kedua itu saja dengan cuma-cuma kepada Joe. Dia dibuat pantas untuk mendapatkanya dengan membantu 22. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan telah menyadari apa ‘kesalahannya’ dalam memandang hidup. Dia dibuat pantas untuk mendapatkannya dengan diperlihatkan sudah menerima dan merelakan nasibnya.
Semua aspek sudah dipertimbangkan oleh film ini. Semua yang ditampilkan terasa masuk ke dalam suatu tujuan. Suatu makna. Sehingga membuat film ini semakin berbobot. Satu lagi yang paling aku suka dari cara film ini menangani karakternya adalah dengan bersikap open terhadap ‘ending’ karakter 22. Tokoh ini sangat menarik, awalnya dia gak suka untuk pergi ke bumi, dia menganggap semua kehidupan itu yang sama aja. Not worth, enakan di Great Before. Tapi hidup sesungguhnya benar seperti paradoks Cliche-22 (mungkin dari sini nama 22 itu); kita gak bakal tau seberapa enaknya hidup, tanpa pernah menjalani hidup itu sendiri. Si 22 memang akhirnya terjun untuk dilahirkan ke bumi, dan yang aku suka adalah kita tidak diperlihatkan terlahir atau menjadi siapa si 22 di Bumi. Film tidak memberikan kita adegan Joe bertemu dengan 22 versi manusia, dan menurutku ini sungguh langkah yang bijak. Karena menunjukkan hidup tidak bergantung kepada kita terlahir sebagai apa, bisanya apa, sukanya apa. Itu semua tidak berarti bagi 22, karena dia hanya ingin sekali untuk hidup.
 
 
 
Ini adalah karya Pixar yang paling berbeda. Mulai dari tokoh utamanya yang dibuat dewasa (not to mention merepresentasikan African-American yang belum pernah dijadikan tokoh utama oleh Pixar) hingga ke permasalahan yang berjarak dengan anak-anak. Konteksnya adalah tentang eksistensi yang berusaha diceritakan dengan sederhana. Dan ini memang tidak membuat Pixar keluar dari identitasnya. Yang kita lihat tetaplah sebuah journey yang imajinatif, penuh warna, dengan karakter yang adorable. sehingga nilai hiburannya tetap dipertahankan di balik bobot yang luar biasa. Sungguh sebuah tantangan yang gak ringan. Namun film ini berhasil. Ceritanya menyentuh dan terasa penting. Para karakter pada akhirnya tampil realistis karena bergelut dengan masalah yang sangat relatable. Kebingungan yang mungkin terjadi saat mempelajari konsep dunianya akan tertutupi oleh keunggulan penulisan karakter. Minus poin bagiku cuma minor, yaitu menurutku harusnya film sedikit lebih konklusif terhadap karakter Joe yang mendapat kesempatan kedua. Buatku alih-alih membuatnya hanya terlihat bersyukur dan menikmati hidup, mungkin bisa juga ditambah dia akhirnya mengambil tawaran sebagai guru; just to circle back ke pilihan yang dia dapatkan di awal cerita. Selebihnya buatku film ini beautiful dan penting, if you care about life and your existence. 
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SOUL.
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian sudah menemukan ‘spark’ di dalam hidup?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Aca says:

    Ahhh setuju banget sama review kak arya!! ini karakter filmnya lucu lucu kayak inside out tapi kerasa berat buat ditonton. trus juga bawa tema kematian yang kalau dipikiran anak kecil pasti nyeremin atau nyedihin gitu, hebat emang pixar. kalau untuk aku pribadi ini hit close to home, sih, lol. aku young adult yang gak tau mau ngapain soal hidup, suka mikir kalau gini gini aja apa gak papa? gak punya ‘spark’ dan bingung dalam melangkah. awalnya aku kira film ini bakal ngedikte apa itu passion, pentingnya punya itu di hidup, dan gimana cara dapetinnya, tapi ternyata ini lebih dalem lagi. joe punya passion, dia punya apa yang mau diraih, tapi dia harus masuk lubang dan mati dulu untuk tau kalau hidup gak sekedar passion, gak cuman tentang ngejar mimpi. bahkan untuk duduk sebentar mandang langit dan nangkep daun ditangannya aja harus ganti jiwa dulu sama 22. padahal pasti dia udah ngelewatin belasan musim gugur, udah makan puluhan pizza sama donut, dengerin ratusan lagu tapi yang bener bener ngapresiasi 22. dia yang katanya gak suka bumi dan gak mau hidup. adegan mereka mau naik kereta api itu juga aku suka. 22 pertama kali denger musik, tapi dia yang berhenti dan bener-bener dengerin sedangkan joe yang katanya cinta dan punya passion buat musik malah jalan ngelewatin gitu aja.
    buat aku film ini kayak comfort zone, atau lebih kayak pelukan hangat sama tepukan dibahu yang bilang “its okay, everything is gonna be fine” sesudah curhat soal gak tau hidup harus ngapain dan ngerasa terbebani karnanya. adegan joe yang jawab dia belum tau mau ngapain setelah ditanya jerry mau ngapain sesudah hidup di bumi lagi jadi adegan favorit ku banget, lapisan emosinya disitu bagus dan perfect. aku nonton ini cuman buat ngabisin waktu bosen sebenernya, gak nyangka bakal dibuat lega setidaknya buat nyambut tahun yang baru. thanks, soul!!

    • arya says:

      wah iya tuh, aku suka adegan mereka yang ngeliat pengamen main musik itu, suka aja ngeliat reaksi genuine si 22 — buat si Joe pasti adegan-adegan dia ngeliat 22 jadi dirinya itu eye-opener banget
      Haha aku juga jadi kepikiran, kalo aku yang pake alat kayak di tempat mentor itu, apa isi yang muncul ntar cuma duduk ngetik doang…
      Ngajak komunikasi banget nih memang film Soul ini

  2. arya says:

    Kalo diperhatiin memang pesan-pesan di Inside Out ataupun Soul ini, bahkan Wonder Woman 1984, itu semuanya sederhana dan ‘klise’. “Bahagia bukan berarti gak pernah sedih”, “Jalani hidup dengan bahagia”, “Apa yang kita punya sudah lebih dari cukup” Pesan-pesan gini tuh kayak pesan yang bisa kita dapatin di kartu ucapan atau di belakang sampul buku diari haha.. Tapi yang namanya nasehat, kadang semakin simpel justru semakin sulit untuk kita jalani, we be like, ‘ah udah tau’. Film-filmnya – lewat perjuangan karakter – inilah yang nunjukin ngelaksanainnya gak segampang kelihatannya.
    Kayak di Soul ini. Sebenarnya film ini bukan bilang spark dan passion itu gak perlu. Kita semua butuh itu, harus punya itu sebagai peran, makanya para jiwa itu ada trainingnya dulu sebelum dikirim. Supaya tau di bumi ntar ngapain aja buat ngisi hidup. Karena memang misi mereka itu ya untuk hidup. Bukan hidup dengan misi untuk menjadi sesuatu. Nah ini kayaknya yang penting dalam film ini, kenapa mereka nunjukin ada lost-soul. Nunjukin kalo mencapai misi/passion itu bukan jaminan hidup jadi bahagia, serta nunjukin gagal pun kita mestinya gak boleh untuk gak bahagia (22 jadi lost-soul karena merasa gagal).
    Buatku, film Soul ini ya ngingetin kalo kita bisa bahagia atau bisa ‘hidup’ saat sedang berjuang menggapai passion, gak perlu nunggu berhasil dulu. Dan jikapun gagal, bukan berarti hidup kita berakhir dan kita sedih. Hidup tetap berjalan untuk bisa kita nikmati. Boleh jadi ambisius, asal jangan lupa hidup bahagia. Menurutku ini film pesannya positif sekali. Ngasih semangat banget.
    Tapi ya, kalo dari keseluruhan sebagai sebuah film, Inside Out masih lebih bagus karena pembahasannya udah langsung spesifik ke perasaan bahagia itu, sehingga lebih apa ya.. kalo Soul ini eksistensi dan purpose itu bahasannya lebih abstrak, kalo Inside Out udah langsung ‘padet dan terkotak’ gitu.

    • azhoma says:

      Noted mas. Memang pesan soul positif dan adegannya mampu membuat kita tertampar. Semoga sesuai pesan soul ini kita gak lupa bahagia atau jadi lost soul karena terlalu mengedepankan ambisi ☺️. Semoga kita selalu menghargai kehidupan yang kita punya hari ini.

  3. sursursurusur says:

    Mungkin karena aku yg belom masuk usia nya si Joe jadi ga terlalu relate sama quarter life crisis, haha. Terus karena aku ngarep ending yang emosional kayak inside out, selesai nonton ini kayak perasaan ngambang aja gitu, selain itu yg bisa kunikmatin secara penuh cuma visual animasi nya, keren parah

    • arya says:

      Kalo soal endingnya aku juga berpikir gitu sih, ada yang kurang, gitu.. padahal bisa aja Pixar bikin endingnya ngikat ke awal, dengan misalnya ngasih momen Joe yang baru dengan ibu, sobat barber, atau dengan si anak murid itu, atau misalnya bikin si Joe milih jadi guru tetap dan dengan berbahagia cerita dan mainmusik bersama murid-muridnya – pokoknya apa kek yang ngasih emosional connection Joe dengan orang sekitar supaya bisa nyampe ke kita.
      Tapi Pixar memilih ending yang sepertinya diniatkan supaya lebih kontemplatif dengan Joe sendiri aja.. sepertinya dilakukan untuk ‘mendekatkan’ Joe dengan hidup itu sendiri.

  4. garonk says:

    Terasa familiar cerita terkait perjalanan jiwa, sma kehidupan sebelum dan sesudah…
    Awal aku nonton gegara jazz/ musiknya malah, ga ngeeh sama judul “soul”nya yang kukira bagian dari sebuah genre musik.. hahahaha tertipu..

  5. Miyanov says:

    I am late to the party tapi suka sekali sama filmya.
    Memang kita harus “hidup” ya sebelum mati :”
    Adega fav aku ps di barber. Singkat tp padet. In my opinion, barber scene countains :
    1. U can failed to.achieve ur main goal and move to plan b, but u can still be happy. Ga semua org bisa dapetin yg dia mau, tapi rasa rasanya bisa utk berusaha bahagia dgn yg ada di depan mata
    2. How self centered Joe was. Dia sibuk cerita soal jazz dan ga aware kalo org2 d sekitar dia pny cerita dn perjuangannya sendiri.
    3. Bahagia itu sederhana. Ssderhana 22 yg bahagia makan lollipop. :3
    Overall ini bner2 heartwarming dan relatable. Even aku stuju kata Mas Arya soal ending yg akan lbh greget kl dia nerima jd guru. Hsil belajar soal penerimaan dan mnikmati hidup dr 22 hehe

    • arya says:

      Adegan barbershop ini lucu, ngingetin aku sama film Barbershop-nya Ice Cube. Nunjukin identitas yang kuat juga adegan tersebut, karena tempat pangkas rambut itu memang pusat dari komunitas colored.
      Haha jadi kayak kurang ya endingnya

  6. Miyanov says:

    Wah, belum nonton nih film Barbershop~
    Iya bner, nunjukin interaksi sehari-hari secara wajar dan ga berat ke agenda juga. Menunggu lebih byk animasi yang eksploratif kayak gini. Menurut Mas Arya, ide film Soul cukup original kah?
    Iya kurang huhu

    • arya says:

      Coba aja nonton kalo senggang, filmnya ringan kok.. sekuelnya ada 2, ketiga-tiganya aku suka. Yang paling bagus tetep yang pertama sih hahaha Aku sampe pengen buka tempat pangkas sendiri pas abis nonton pertama kali.
      Ide Soul sih gak original2 amat ya, kalo gak salah malah episode Kera Sakti ada yang tentang beforelife juga, pas bagian Patkai reinkarnasi berkali-kali. Cuma konsep Soul kan menjadikannya camp seminar/pelatihan; itu yang bikin beda, trus ada lost-soul juga, ada gayahidup meditasi yang bisa ke dunia jiwa. Eksplorasinya yang bikin Soul ini unik.

Leave a Reply