My Dirt Sheet Top-Eight Movies of 2020


 
Kita sudah pernah survive hidup di masa film-film impor telat bahkan dilarang masuk ke bioskop. Malah, abang atau kakak atau orangtua kita pernah ngalamin zaman bioskop yang film-filmnya gak ada yang terpuji. Dan siapa sangka, tahun 2020 ternyata datang beserta ancaman baru bagi para pecinta film; bioskop seluruh dunia harus ditutup demi memutus rantai pandemi! Bukan hanya film impor, film Indonesia pun tak ada yang bisa tayang di bioskop. Bukan hanya film-film bagus, film-film jelek juga harus terpisah dari penggemarnya.
Gak ada lagi yang namanya premier-premier. Gak ada lagi yang bisa nonton bareng. Tempat pemutaran alternatif juga perlahan tutup. Tapi untungnya kita hidup di masa internet yang terbilang cukup jaya. Masa di mana televisi sudah tergantikan oleh platform-platform streaming. Di era bioskop-tutup ini, streaming mencuat sebagai jawaban bagi dunia perfilman. Sebelum pandemi, kehadiran streaming memang sudah banyak, namun Studio/PH masih menomorsatukan bioskop. Karena di situlah pengalaman sinematik yang sebenarnya bisa terasa. Hanya saja, keadaan di 2020 membawa mereka terpaksa harus ‘menyerah’. Daripada film mereka mundur dan tak-tahu kapan bisa rilis karena kondisi pandemi yang tak kunjung menentu, kan. Film Trolls World Tour-lah yang pertama kali  alih-alih memundurkan tanggal tayang, memilih untuk tayang di platform. Dan praktisnya, memulai ‘new normal’ kebiasaan menonton.
Blog ini tentu saja merasakan pengaruh cukup drastis dari perubahaan ini. Pertama, tahun ini aku tidak mengeluarkan daftar ‘Kekecewaan Bioskop’; karena hanya caturwulan pertama yang film-filmnya masih di bioskop. Film-film yang tayang di platform juga banyak yang mengecewakan, sebenarnya, but I don’t feel right menyebut mereka sebuah kekecewaan – karena at least, mereka membuat industri film bisa bertahan, dan karena nonton di platform tidak terasa se-wah dan se-berjuang nonton di bioskop. Kedua, karena nonton di platform, aku jadi kebawa santai. Nonton jadi gak seurgen saat tayang di bioskop, yang perlu ngejar-ngejar sebelum filmnya turun, atau buru-buru beli tiket sebelum kehabisan atau simply sebelum spot kursi favorit diambil orang. Makanya reviewku mulai dari caturwulan kedua kemaren mulai telat-telat. Gak lagi se-on time biasanya. Malah saking banyak dan beragamnya tontonan yang bisa ditonton kapan saja, beberapa film jadi tak terulas. Tahun ini aku hanya mereview 119 film.
On the bright side, waktu nonton yang lebih senggang itu bisa kuisi dengan membuat review video. Ya, mulai tahun ini, youtube My Dirt Sheet sudah aktif ngereview film – dengan konsep sambil main video game! Ahahaha biar gak usah ribet ngurusin copyright tampilan trailer. Jadi yang belum subscribe, silakan lakukan hihihi…
Sisi positif lain dari new-normal nonton ini adalah kualitas yang kureview relatif meningkat. Karena filmnya sedikit, maka tak lagi rame oleh film-film medioker. List tahun ini sangat ketat!
 

HONORABLE MENTIONS

  • 1917 (jika film adalah sebuah experience, maka film ini nawarin experience perang terbaik di tahun ini)
  • Borat Subsequent Moviefilm (Borat kembali menyentil lewat komedi ‘pura-pura udik’, yang benar-benar sebagai reality check buat kita semua. Plus narasinya kini lebih berdrama. Very nice!!)
  • His House (persoalan hidup imigran dijadikan horor nyeni yang luar biasa manusiawi!)
  • Little Women (begini nih bikin film feminis yang gak agenda-ish; cantik dan respek!!)
  • Mank (penggemar sinema bisa belajar banyak dari film ini)
  • Nocturne (horor yang ngasih audio secreepy visual, menguatkan konflik psikologisnya)
  • Soul (film Pixar paling dewasa yang membahas filosofi keberadaan dengan ringan, lewat world-building yang kreatif!)
  • Sound of Metal (sound design luar biasa, cerita dan karakter manusiawi, akting juara, ending powerful — film ini punya semua!!)
  • Swallow (cara bertutur yang deep creep membuat cerita wanita memperjuangkan otonominya ini menjadi berkali lipat lebih thoughtful, naas, dan mengerikan)
  • The Assistant (pendekatan berceritanya realistis sekali sehingga film ini jadi luar biasa efektif menyampaikan gagasannya)
  • The Invisible Man (fenomenal opening dan fenomenal akting bikin thriller ini menjuarai caturwulan pertama film 2020)
  • The King of Staten Island (Kuat oleh sense of realism, film ini berhasil sebagai drama-komedi semi-otobiografi tanpa terpeleset menjadi sebuah parodi)
  • The Science of Fictions (film ini harusnya dikirim ke Oscar, harusnya menang Citra. Yang banyak!)
  • The Vast of Night (horor fenomena UFO dengan arahan yang sangat menarik dan menginspirasi buat filmmaker muda)
  • The Willoughbys (animasi dengan cerita yang unik, aku suka film ini mainly karena ada Alessia Cara ngisi suara karakter sentralnya!)

Tak lupa pula, Special Mention dihaturkan kepada film Vivarium yang ulasannya paling banyak dibaca tahun 2020 di blog ini.
 
Bersama dengan spoiler warning buat film-film yang masuk delapan-besar ini, aku juga ngingetin kalo daftar ini completely subjective. Ini not-exactly daftar film terbaik. Ini adalah delapan-besar film 2020 versi ku. Kesukaan-ku. Jadi isinya bisa berbeda dengan daftar versi kalian. Akan berbeda dengan daftar terbaik di web atau blog lain. Malah, daftar ini akan berbeda dengan Rapor Film My Dirt Sheet – karena penilaian rapor tersebut berusaha kubikin seobjektif mungkin.
So yea, inilah TOP-EIGHT MOVIES ANGKATAN CORONA!!
 
 

8. EUROVISION SONG CONTEST: THE STORY OF FIRE SAGA

Director: David Dobkin
Stars: Will Ferrell, Rachel McAdams, Dan Stevens, Pierce Brosnan
MPAA: PG-13 for crude sexual material including full nude sculptures, some comic violent images, and language
IMDB Ratings: 6.5/10
“IT WILL NEVER BE ENOUGH! I ONLY WANT TO HEAR JA JA DING DONG!”
Totally hiburan di tengah pandemi!
Ketika baru nonton ini, aku tahu ini bakal jadi cerita underdog dalam sebuah kompetisi. Seperti film-film serupa; ia ringan, formulaic, tapi bisa sedikit menginspirasi. Yang aku tidak tahu adalah… bahwa film ini ternyata luar biasa asik dan menghibur!
Ini film yang paling banyak aku tonton sepanjang. Bengong mau nulis apa lagi saat ngulas film? Aku berhenti dan setel film ini. Lagi pengen ngemil? Aku putar film ini sebagai teman ngunyah. Boring nunggu render-an video? Aku mainkan film ini dan dijamin tak akan bosan lagi. Well, sebenarnya filmnya sendiri banyak kekurangan. Ada bagian gajelas banget, yang gak aku suka di tengah, yakni adegan nyanyi bareng para juara eurovision beneran. Tapi bisa diskip dan nonton yang ada Lars dan Sigritnya aja. Karena memang keasikan film ini datang dari dua karakter sentral tersebut. Mereka lucu, mereka awkward, penampilan akting Rachel McAdams dan Will Ferrell kocak banget – and they sure can perform!
My Favorite Scene:
Adegan nyanyinya keren dan kocak semua. Aku suka Double Trouble, aku suka Ja Ja Ding Dong, aku bahkan suka lagu Running with the Wolves. Namun sebagai puncak, I’ll give the cake to Husavik.

“Gra-med-DIAAAA!!!”
 
 
 
 

7. THE TRIAL OF THE CHICAGO 7

Director: Aaron Sorkin
Stars: Eddie Redmayne, Joseph Gordon-Levitt, Sacha Baron Cohen, Michael Keaton
MPAA: R for language throughout, some violence, bloody images and drug use
IMDB Ratings: 7.8/10
“Let us make sure that if blood is going to flow, let it flow all over this city.”
Makjaaaaaangg!! Adegan persidangan di film ini adalah sidang terheboh yang pernah aku lihat di dalam film. Bahkan lebih bikin geram dibandingkan sidang yang pernah kutonton di televisi – dan aku udah lihat sidang kopi sianida dan sidangnya Steven Avery!
Film ini memang sukses mengaduk-aduk emosi. Debat sidang yang ada di film ini begitu sensasional. Dan begitu kita sadar bahwa adegan-adegan dalam sidang ini tuh beneran kejadian di dunia nyata karena film ini diangkat berdasarkan peristiwa beneran. Yah, meskipun yang namanya film, ada beberapa hal yang diubah alias didramatisasi. Namun demikian, film ini berhasil tampil tidak seperti parodi ataupun lebay. Malahan powerful dan mampu membuat kita berefleksi terhadap masa kini.
Aaron Sorkin berhasil membuat film ini sebagai tontonan yang seru, meskipun sebagian besar isinya adalah orang ngomong aja.
My Favorite Scene:
Punchline film ini di ending itu kuat banget. Tapi paling terbayang-bayang itu, yang paling bikin geregetan bahkan ketika filmnya udah beres, adalah kelakukan hakimnya.

 
 
 
 

6. BLACK BEAR

Director: Lawrence Michael Levine
Stars: Aubrey Plaza, Christopher Abbott, Sarah Gadon 
MPAA: R for language throughout, sexual content, drug use and some nudity
IMDB Ratings: 6.5/10
“Hey, I think feminism is fucked up.”
Aku suka nonton film. Aku suka nulis. Aku selalu ingin tahu bagaimana satu film itu ditulis – bagaimana film itu dibuat. Black Bear memuat hal tersebut. Karena film ini memvisualkan proses penulisan sebuah film – bagaimana ide-ide personal bisa ditarik untuk menjadi sebuah cerita, yang menghormati penonton dan penulisnya sendiri.
Film ini punya banyak kesamaan dengan film terfavoritku sepanjang masa, Mulholland Drive. Sama-sama aneh. Sama-sama nunjukin adegan syuting film (this is my soft spot for movies), sama-sama dihidupi oleh karakter yang nanti direveal sebagai orang yang bukan kita kenal sebelumnya. Sama-sama bikin bingung, tapi bingung yang membuat kita peduli karena ceritanya berakar pada konflik personal. Bedanya, Black Bear actually adalah berakhir dengan nada yang positif. Karena karakternya adalah penulis, dia menulis, maka yang ia lakukan sebenarnya adalah sebuah proses healing.
Black Bear disangga oleh penampilan akting yang luar biasa natural dari tiga aktor sentralnya. Kalo kalian belum ngefans sama Aubrey Plaza, kalian bakal jadi ngefans sama aktor ini. She’s weird, she’s funny. Dia nunjukin range emosi yang menakjubkan. Kalian perlu melihat Aubrey pada adegan ketika dia disuruh berakting pada bagian kedua cerita film ini. Tapi, untukku,
My Favorite Scene adalah:
Pas dialog debat soal feminis di cerita bagian pertama. Dialog film ini memang berisi banyak argumen yang menantang kita untuk diskusi, dan salah satunya – dialog dengan argumen paling menarik dan relevan – adalah ketika Aubrey harus memilih sikap di antara seorang suami yang berpikiran lebih tradisional dengan istri yang lebih ‘woke’, namun kedua orang ini sama-sama annoying.
 
 
 
 
 

5. RELIC

Director: Natalie Erika James
Stars: Robyn Nevin, Emily Mortimer, Bella Heathcote
MPAA: R for some horror violence/disturbing images, and language
IMDB Ratings: 5.9/10
“Do you ever get lonely out here by yourself?”
Dari sekian banyak horor bagus yang tayang di tahun 2020, aku memilih Relic sebagai favorit. Relic bukan hanya superseram, tapi juga sarat oleh makna. Dan ceritanya gampang untuk relate kepada siapa saja, karena kita semua punya orangtua – dan sendirinya akan menjadi orang tua.
Seluruh kejadian dalam film ini dirancang sebagai perumpamaan dari dampak demensia kepada si pasien, sekaligus juga kepada keluarganya. Nonton film ini akan bikin kita takut tua dan tinggal sendirian, sebegitu berhasilnya metafora itu diwujudkan oleh film. Perasaan mengerikan seperti ketika orang yang kita kenal berubah menjadi orang lain karena tidak lagi mengingat siapa kita, ataupun ketika kita mulai kehilangan ingatan itu satu persatu, inilah yang jadi bahan bakar horor cerita.
Dan semua itu berhasil berkat arahan yang visioner dari sutradara yang baru sekali ini bikin film. Cerita ini seperti personal baginya. Ending film ini juga jadi salah satu ending paling powerful yang bisa kita tonton di 2020. Tepuk tangan untuk Australia sekali lagi menelurkan sutradara horor yang hebat. I can’t wait to see Natalie Erika James’s next projects.
My Favorite Scene:
Ketika karakter dalam film ini mulai tersesat di dalam rumah mereka sendiri! Gila ini adegannya serem karena terasa banget panik dan mengukungnya rumah yang dibikin ‘bertambah ruangan’ itu.

 
 
 
 
 

4. THE PLATFORM

Director: Galder Gaztelu-Urrutia
Stars: Ivan Massague, Zorion Eguileor, Antonia San Juan
MPAA: TV-MA
IMDB Ratings: 7.0/10
“There are 3 kinds of people; the ones above, the ones below, and the ones who fall.”
Perfect banget ditonton saat awal pandemi kemaren. Nonton ini tuh jadi kejawab kenapa orang-orang pada sibuk menimbun masker (atau menimbun tisu toilet di luar negeri sana). Lebih universal lagi, menjawab kenapa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin melarat.
Film ini berhasil menjelaskan itu lewat konsep dunia-cerita yang diciptakan dengan baik. Perlambangan di balik mekanisme platform dan lantai-lantainya itu benar-benar terasa mewakili keadaan di dunia kita. Ini adalah film yang penting bagi kemanusiaan, tapi sekaligus menjadikan film ini sangat susah untuk ditonton.
Darah, muntah, kotoran, kerakusan dan moral bobrok; itulah lima elemen dasar film ini. Secara simbolik maupun literal, film ini sungguh akan membuat kita mual.
My Favorite Scene:
Adegan yang menabrakkan persiapan masak sebegitu banyak dan enak makanan, dengan bagaimana makanan tersebut akhirnya dimakan

 
 
 
 
 
 

3. I’M THINKING OF ENDING THINGS

Director: Charlie Kaufman
Stars: Jesse Plemons, Jessie Buckley, Toni Collette, David Thewlis, Guy Boyd
MPAA: R for language including some sexual references 
IMDB Ratings: 6.6/10
“Other animals live in the present. Humans cannot, so they invented hope.”
Satu lagi film 2020 yang ngingetin sama Mulholland Drive, dan bahkan punya general-idea yang mirip. Film ini secara konflik juga mirip dengan Black Bear – tentang orang yang memutar ulang cerita hidup di dalam kepalanya. Tapi film ini menohok karena memperlihatkan kegagalan.
Aku lebih suka film ini karena lebih aneh, pengadeganannya lebih menekankan kepada hal sureal. Film ini juga banyak dialog, tapi gak akan bikin bosan karena surrounding dialognya itu yang menarik. Kita melihat tokoh-tokoh yang berubah namanya, bajunya — begitu unsettling, random, dan sedikit mengerikan.
Awalnya memang film ini terasa distant. Kita gak yakin tentang apa sebenarnya. Di sinilah letak pesona film. Kaufman merangkai dialog, karakter, adegan, dan penyimbolan dengan luar biasa detil sehingga tanpa disadari film ini akan berakhir dengan terasa begitu dekat. Begitu nyata. Kenapa jadi kayak iklan provider…
My Favorite Scene: Adegan balet di menjelang akhir itu sampai sekarang bikin aku kepikiran. Apakah ini kejadian yang sebenarnya? Apakah ini harapan si tokoh? Yang jelas begitu weird dan beautiful

 
 
 
 
 

2. JOJO RABBIT

Director: Taika Waititi
Stars: Roman Griffin Davis, Thomasin McKenzie, Scarlett Johansson, Taika Waititi
MPAA: PG-13 for mature thematic content, some disturbing images, violence, and language
IMDB Ratings: 7.9/10
“Not everyone is lucky enough to look stupid.”
Film yang berada di posisi limbo sebenarnya; keluar tahun 2019, tapi berkat Indonesia yang gak mau masukin film ini ke bioskop, aku baru bisa nontonnya di tahun 2020. Sering sih kondisi gini terjadi. Biasanya film-film limbo palingan hanya kumasukin ke ‘honorable mentions’. Namun Jojo Rabbit ini begitu bagus, sehingga sayang rasanya untuk tidak mencatatkan namanya di daftar top-eightku.
Bahkan, objectively, film ini tetap dengan nilai tertinggi di antara film-film 2020. Naskahnya keren banget. Mengadaptasi cerita ‘muram’ menjadi komedi satir, yang enggak pretentious. Film ini tetap terasa sangat penting, bicara tentang ‘sebarkan cinta, bukan kebencian’ di balik nada konyolnya itu. Ini menunjukkan permainan hati dan komedi yang sangat presisi dari pembuatnya.
Progresi ceritanya benar-benar menyenangkan untuk diikuti. Membuat film terasa padat, dan membuat kita merasa sayang ketika film berakhir karena gak mau berpisah dengan karakter-karakternya.
My Favorite Scene:
Film ini punya banyak adegan top. Kita minta sedih, ada. Lucu, ada (Yorki paling bikin ngakak!). Sweet pun ada. Weird, apalagi! Tapi seperti biasa, the best part adalah ending. Dan adegan di ending Jojo Rabbit seperti mewakili semua perasaan yang sudah memuncak dari filmnya.

 
 
 
 

Pandemi memang telah sukses mengubah skena nonton kita. Beda dengan bioskop, nonton streaming-an di hp atau laptop atau tv masing-masing membuat nonton terasa lebih spiritualis lagi.  Film-film pun ternyata banyak yang menggali eksistensi, merefleksi diri, dan sebagian lagi mengajak kita untuk menikmati hidup walau dalam keadaan tak-biasa.
Perubahan yang tampak jelas di daftar ini adalah, sudah sejauh ini tapi belum ada film superhero. Padahal biasanya, film superhero pasti nongol – setidaknya mengisi di ‘honorable mentions’. Dalam kondisi dunia di mana kita butuh pahlawan, apakah superhero malah absen dalam daftar tahun ini?

Siapkan terompet tahun baru kalian – karena inilah, FILM NOMOR SATU PILIHANKU DI TAHUN 2020!
*tiup terompet: “teteteret-teret-tenettereneett!!”
 
 
 
 
 

1. DA 5 BLOODS

Director: Spike Lee
Stars: Delroy Lindo, Jonathan Majors, Melanie Thierry, Chadwick Boseman
MPAA: R for strong violence, grisly images and pervasive language
IMDB Ratings: 6.5/10
“We fought in an immoral war that wasn’t ours for rights we didn’t have.”
In the wake of #BlackLivesMatter, Spike Lee menghadirkan film ini ke tengah-tengah kita.
Da 5 Bloods menggambarkan bagaimana persisnya menjadi serdadu kulit hitam yang disuruh berperang di Vietnam. Horor perang yang seumur idup gak ilang itu dipotret oleh Lee, disebar ke lima perspektif karakter, dan kita melihat seperti apa perang membekas ke dalam hidup mereka. Selipan flashback adegan perang, ditambah cuplikan klip perang yang nyata, membuat film ini dapat jadi disturbing untuk ditonton. Aku merinding sendiri nonton ini, bahkan lebih merinding daripada nonton film-film horor yang bagus-bagus itu.
Tapi jangan bayangkan arahan Lee kaku dan one-tone seperti film-film agenda-ish. Film ini tidak tampil murni mengerikan. Juga tidak murni menuding siapa-siapa. Ada hati yang begitu menguar soal persahabatan dan keluarga. Ada kelucuan yang dihadirkan. Film ini punya segalanya. Ia bermula dari petualangan dan berakhir ke action menegangkan.
Di film ini kita bisa melihat salah satu penampilan terakhir dari Chadwick Boseman (rip) – nonton film ini sekarang akan membuat Boseman semakin fenomenal lagi karena karakternya di sini begitu kharismatik, perfectly mirroring him in real life.
My Favorite Scene:
Monolog Delroy Lindo. That’s it. Aku angkat kupluk banget. Beautiful, daunting, kita takut dan kasihan melihatnya saat bersamaan. Jika aku yang punya, aku akan ngasih Oscar untuk Delroy di adegan ini.

 
 
 
 
 
So, that’s all we have for now.
Akhir 2020, bioskop mulai menggeliat bangun. Semoga pandemi segera berakhir. Semoga perfilman segera pulih. Semoga Indonesia gak terjebak dan ikut-ikutan dalam perang platform, karena pada titik ini perfilman kita belum sanggup untuk bersaing di sana – platform tidak banyak membantu perfilman kita dalam jangka panjang, melainkan hanya membuat film-film jadi cenderung seperti ftv. Semoga tahun 2021, kita sudah bisa menikmati ngejar-ngejar film di bioskop kembali!
Apa film favorit kalian di tahun 2020? Apa harapan kalian untuk film di tahun 2021?
Share with us in the comments 
 
Remember, in life there are winners.
And there are…
… karena tahun 2020 ini gak ada Kekecewaan Bioskop, maka aku mau paradein losers lain. Ya kalian; Mulan, Tenet, Milea, dan…

We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

Comments

  1. Arif says:

    Terkejut Da5Bloods ada di no1. Gk nyangka kalo mas arya bakal se suka itu. Krn mnrt ku sih filmnya rada underwhelming, apalagi abis Blackkkklansman yg bagus bgt.
    Btw, top 8 2020 versi ku :
    1. Nomadland
    2. Another Round
    3. The Trial of the Chicago 7
    4. Minari
    5. Soul
    6. Beasts Clawing at Straws
    7. Promising Young Woman
    8. The Wolf of Snow Hollow

    • arya says:

      Haha iya aku suka cerita yang rentangnya luas kayak gini, yang kayak berevolusi alias beda banget di awal ama di akhir – tapi tentu saja dengan naskah yang gak ‘tau-tau berubah’. Maka tadinya aku udah pertimbangkan nilai 9 untuk Da 5 Bloods, tapi urung karena tokoh utamanya gak clear siapa.. jadi nilainya sama aja ama Blakckkklansman
      Yang di list-mu aku cuma nonton tiga film huhuuu… Nomadland, Minari, ama Promising kayaknya bakal masuk limbo 2021 di aku. Semoga nanti bisa breakthru kayak Jojo Rabbit sekarang

  2. newadityaap says:

    Ya betul, 2020 emang mengubah kebiasaan menonton. Kalau saya bahkan sempat 1 bulan absen gak menonton film apapun karena sempat hampir ga waras 1 bulan dipaksa diem di rumah. Jumlah film baru yg ditonton pastinya lebih sedikit, tapi saya berhasil menahan diri buat gak menonton film secara ilegal meski penasaran (misal dari situs indo onoh yg technically cuma ganti IP address) – yang mana adalah resolusi sejak awal tahun lalu. Waktu nulis di blog juga cuma bisa mention film favorit dari Indonesia karena sedikit menonton film luar negeri (dapetnya juga cuma 4 judul). Tapi kalau disuruh nyebut film luar yg terfavorit, The Invisible Man sama Little Women pasti masuk list!
    Sampai hari ini memang udah gak ke bioskop lagi sejak bulan Maret, kebiasaan menonton pasti berubah dari yang semula nonton di layar lebar jadi lewat layar laptop/HP. Tapi hikmahnya, tahun 2020 kemarin bisa menemukan banyak film di layanan streaming yang dulu belum sempet nonton dan sekarang udah bisa nonton secara legal (contoh: Jojo Rabbit yg emang bagus banget). Buat film Indonesia juga, taun kemarin udah meng-approve film-film lama yg kata orang bagus dan emang bagus (misal: Keramat – 2009, Surat dari Praha – 2016).
    Kalau saya agak ga setuju platform bikin film-film lokal kita bakal memperbanyak film panjang rasa FTV. Karena toh film rasa FTV tapi masuk bioskop udah banyak sejak 2-3 tahun yg lalu, apalagi yg tokoh utamanya anak-anak SMA. Lagipula kalau gak ada pandemi, film-film yg masuk platform akhirnya bakal ikut masuk bioskop juga kan? Karena mindset produsernya pasti “Daripada gak ditayangin sama sekali, gak dapet untung, mana keadaan lagi susah, mending masuk platform aja deh.”

    • arya says:

      Platform untuk saat ini masih jadi tempat film-film ‘buangan’ alias film kebut-kebutan biar phnya eksis aja majang film di platform setiap bulan. Karena sekarang aja kita lihat, produser masih mengutamakan bioskop. Film-film unggulan kayak KKN Desa Penari ditahan nunggu lampu hijau bioskop. Riskan, naroh film bagus yang potensi jutaan penonton ditarok ke platform; riskan dibajak. Mana siap industri kita digempur bajakan yang ontime karena aslinya tayang di platform. Makanya yang diterbitin ph KKN ke platform; horor-horor gaje mereka. Liat Falcon, ‘film-film’ macam apa yang dikeluarkannya ke Hotstar. Di sisi ini aku senang, karena bioskop berarti akan nyiarin yang bagus-bagus aja. Gak perlu lagi nonton rasa ftv di bioskop. Dan sukurnya bioskop udah mulai buka. Itulah, ketika mindsetnya masih ‘memindahtayangkan yang tadinya untuk ke bioskop ke platform daripada gak tayang sama sekali’, hasilnya mungkin masih bisa oke.
      Tapi di sisi lain, nanti kalo platform sudah dijadikan sebagai jalur penayangan utama – ketika perilaku nonton itu udah beneran berubah (orang jadi males ke bioskop karena terbiasa platform – terlebih film barat mulai melakukan gebrakan jahat ngerilis film bioskop baru di platform), aku ragu kualitas film itu sendiri akan membaik. I mean, di bioskop aja udah mulai banyak film rasa ftv, gimana platform yang basically bisa dibilang tv-dgn-internet. Takutnya beneran jadi kayak ftv, mulai dari hasil ampe industrinya.
      Menurutku memang film indonesia belum siap bersaing di perang platform kayak film-film luar. Terbaiknya ya platform digunakan sebagai librari karya-karya lama yang bagus-bagus aja dulu

Leave a Reply