PROMISING YOUNG WOMAN Review

“Ibarat kucing disodorin ikan asin..”
 

 
 
Guru Agama di sekolahku dulu pernah ngajarin; cowok itu ibarat duren, sedangkan cewek itu pepaya. Kalo ada kecelakaan atau apapun yang menyebabkan dua buah itu beradu, maka yang rusak adalah pepaya. Ini nunjukin bahwa gimana pun juga, cewek adalah pihak yang akan paling dirugikan. Cewek yang harus mengendure semua perubahan menyakitkan, baik itu pada tubuh maupun mentalnya. Sehingga, kata Guru Agamaku itu, kita semua harus saling menjaga – diri maupun sesama. Jadi pepaya harus bisa menjaga diri dari duren, DAN durenpun kudu mawas diri untuk enggak gasrak gusruk menubruk pepaya-pepaya.
Aku jelas lebih suka analogi tersebut daripada analogi satu lagi yang mengibaratkan cowok dan cewek dengan kucing dan ikan asin. Karena analogi tersebut memberi kesan memaklumkan sikap kucing yang punya nafsu sama ikan asin. Kalo ada ikan asin yang termakan, berarti bukan salah kucingnya. Namun sialnya, analogi ini yang malah berkembang di masyarakat. Di luar sana, karena pada gak tau ikan asin, mereka simply menyebutnya ‘boys will be boys’. Jadilah kebiasaan menyalahkan korban sebagai sebuah kultur. Korban kekerasan seksual ‘males’ ngaku karena nanti mereka sendiri yang bakal balik ditanya duluan. Dicurigai mancing duluan, atau malah dicurigai berbohong. Udah jatuh, tertimpa tangga pula! Sedangkan bagi para cowok yang memang terbukti bersalah, ‘paling cuma’ dipenjarakan. Untuk membuktikannya bersalah itu yang luar biasa tak adil. Kultur gak sehat inilah yang ditilik – dengan komedi yang cukup gelap – oleh Emerald Fennell dalam debut film-panjangnya, Promising Young Woman.
Dalam film ini kita akan mengikuti Cassandra, atau disapa Cassie (she could very well be Carey Mulligan’s best performance to date) yang dengan sengaja menjadi ‘ikan asin’, padahal dia justru adalah seekor piranha! Ya, Cassie setiap malam keluar untuk berburu ‘kucing-kucing’. Modus operandi Cassie adalah dia akan berpura-pura mabok di bar, sampai seorang laki-laki yang mengaku cowok baek-baek datang dan membawanya pulang. Di ‘tempat aman’ itulah Cassie akan mengejutkan si cowok. Supaya mereka semua kapok. Cassie ingin menghukum mereka dengan caranya sendiri, karena sistem hukum dan sosial menolak memberi ganjaran kepada cowok. Cassie sudah melakukan perbuatan demikian lama sekali, sebagai bentuk perlawanannya terhadap trauma atas kehilangan sahabat ceweknya. Dan semakin ke sini, ‘perburuan’ yang dilakukan Cassie semakin kelam. Sampai akhirnya dia bertemu dengan cowok yang adalah teman lamanya di sekolah. Cassie sudah seperti menemukan jalan kembali untuk melanjutkan hidup dengan normal, tapi pertemuan tersebut juga membuka selembar rahasia gelap lagi. Yang membuat Cassie percaya tindakan yang benar-benar ekstrim harus segera ia lakukan.

Kucing disodorin ikan… piranha!!

 
Cassie di film ini sungguh karakter unik, yang punya tingkat kesulitan tinggi dalam eksplorasi emosinya. Karena, kalo ada satu kata yang menggambarkan emosi karakter ini, maka itu adalah ironi. Di titik kita berjumpa dengannya, Cassie telah berada pada titik yang benar-benar udah kehilangan simpati ama bukan hanya pria-pria, tapi juga pada perempuan. Yang betah hidup langgeng di dalam sistem yang menyalahkan korban. Cassie kita lihat sebagai pribadi yang cuek dan sinis. Dia gak ingat tanggal ultahnya sendiri, dia gak niat nyari pacar, dan gak sedetikpun dia menyesali berhenti dari kuliah kedokteran dan malah memilih kerja di kafe. Namun di balik itu, Cassie punya luka besar yang menganga. ‘Kecuekan’nya tadi bersumber dari luka tersebut. Cassie begitu tertohok oleh ketidakadilan yang terjadi pada sahabatnya, yang jadi korban kekerasan seksual. Kita gak tahu perjuangan Cassie menuntut keadilan bagi sahabatnya tersebut. Tapi dari sikapnya yang sekarang, kita tahu Cassie sudah menghadapi ribuan ‘boys will be boys’. Dia telah melalui begitu banyak derita dan trauma hanya untuk menuntut cowok pelaku ditindak adil. Ini adalah beban yang sangat berat ditanggung oleh seseorang. Dan beban tersebut dapat kita rasakan merayap, menguar, di balik sikap cuek dan dark Cassie yang sekarang. Emosi dan permainan peran yang sungguh tidak gampang. And Carey Mulligan nails this so perfectly. Di tangan aktor sembarangan, peran Cassie ini gak akan kena.
Selain karakternya, rentang di film ini juga kita jumpai pada visual dan tone secara keseluruhan. Film ditampilkan dalam warna-warna cerah. Kelihatannya persis kayak film komedi romantis. Isu-isu yang menantang lantas dilontarkan dengan lantang oleh Cassie, sehingga kini bukan hanya warna saja yang terasa mencuat keluar dari layar. Film ini begitu mengonfrontasi di balik keceriaan dan kemeriahan visualnya. Film juga enggak ragu untuk membentrokkan tone. Kita akan dibuat ikut menari bersama para karakternya — to a Paris Hilton song! Bayangkan!! Dan momen berikutnya kita akan dibuat merasakan karakternya menghadapi suatu kenyataan yang mengerikan. Arahan film ini berani seperti demikian, seberani Cassie itu sendiri. Film ini memang pantas menuai banyak apresiasi dari visinya ini.
Namun, dari segi materi atau penulisan secara keseluruhan, I gotta be honest; film ini masih terasa sepihak. Penggaliannya masih agenda-ish. Pemilihan endingnya sendiri akan membagi-dua penonton. Dan aku masuk golongan yang menganggap ending film ini sangat buruk. Kalo film ini aku tonton tepat waktu di 2020, maka aku pastilah akan bikin daftar ‘Worst Ending of the Year’, dan film ini akan jadi juaranya.
Analogi kucing dan ikan asin tadi; justru film ini sendiri yang dengan semangatnya melabelkan laki-laki sama dengan kucing. Karakter-karakter cowok di cerita ini semuanya digambarkan punya nafsu bejat. Modus operandi film adalah menampilkan mereka kelihatan seperti orang baik – dan si karakter sendiripun berulang kali menegaskan mereka adalah orang baik – dan pada akhirnya, setelah gak kuat iman melihat kesempatan berwujud Cassie, mereka akan ‘memperlihatkan’ perangai asli mereka. Cowok dalam film ini akan disuruh untuk mengakui mereka enggak sebaik yang mereka bilang ke orang-orang. Bahwa sebenarnya mereka semua ya memang kucing. Yang punya niat jahat, tapi nanti akan terlalu pengecut untuk mengakui telah salah atau gelap mata. Terlalu pengecut dan berlindung di balik ‘kucing disodorin ikan asin, ya makan-lah’. Bahkan love interest Cassie juga ditulis dengan karakter seperti begini. Si Cassie sendiri was having a hard time untuk percaya cowok yang ia taksir tersebut sudah berubah dari hati yang paling dalam. It’s actually really hard untuk melihat apa sebenarnya yang dikejar film ini. Apakah ingin menunjukkan kepada kita Cassie itu salah; karena selama ini Cassie membuang hidupnya dan tenggelam dalam dendam sehingga gak bisa melihat orang lain dalam cahaya yang baik. Atau simply karena memang film ingin nunjukin semua cowok itu, ya, kucing garong.
Kalo ini film Indonesia, pasti yang diorkestrain bukan lagu Toxic, melainkan: “Kumenangiiiiissss…”

 
 
Yea, aku tahu realitanya memang pada sebagian besar kasus, cowoklah yang brengsek. Yang terlalu lemah untuk menahan diri dan bertanggungjawab, dan malah balik nyalahin. Tapi dari standpoint materi atau penulisan, film ini tuh bener-bener butuh untuk membuat semua cowok begitu supaya arc Cassie bisa bekerja. Sehingga film ini jadi banal. Ia meninggalkan kepentingan untuk menggali dari dua sisi, atau untuk memanusiakan kedua sisi.
Kita bisa mengerti dari endingnya. Dirancang untuk nunjukin bahwa cowok gak bisa dihukum karena perbuatan yang ia perbuat masa lalunya itu; cowok-cowok lolos dari sistem yang broken. Jadi, tindakan yang diberikan kepada karakter Cassie adalah Cassie harus membuat si pelaku bersalah atas perbuatan lain. Perbuatan itu pun haruslah yang genuinely melekat di diri cowok. Supaya si pelaku bisa dipastikan dihukum kali ini. Maka dari itulah, film ini membuat karakter cowok tanpa ada sisi baik. Dan juga supaya kita melihat tindakan Cassie di akhir itu sebagai pengorbanan terakhirnya. Cassie sudah membuang hidupnya selama ini tidak jadi ikut kita ‘salahkan’ hidupnya karena di akhir itu, dia membuat hidup yang sudah ia buang selama ini jadi berguna. Dengan akhirnya berhasil menjebloskan si pelaku ke penjara.

Kucing disodorin ikan asin pasti mau. Boys will be boys. Jangan buang hidupmu untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Boys will be boys. Cepat atau lambat, toh kesalahan yang sama akan berulang. Tangkap mereka saat itu. Tangkap dan pastikan mereka tak bisa lolos lagi. Begitulah, kurang lebih yang ingin disarankan oleh film ini.

 
 
Akan tetapi, tetap saja, dari cara film ini memperlihatkan adegan-adegannya, Cassie terasa seperti menjebak si cowok. Membuat si cowok kepepet. Seperti kesalahannya itu dicari-cari. Cassie tidak diperlihatkan apakah dia peduli jikalau si pelaku beneran udah insaf atau enggak. Dan yang paling menggelikan dari film ini adalah; Supaya dunia dan orang-orang yang ditinggalkan Cassie sadar akan kesalahan sistem yang mereka anut, supaya mereka sedih, dan Cassie mencuat triumphantly, film ini membuat ending yang konyol dengan elemen ‘pesan dari kubur’! Ha! Cassie bisa menebak kejadian bakal seperti apa, seseorang akan berada di mana, timing kejadian di ending itu begitu tepat ditebak dari jauh hari oleh Cassie. Ini over-the-top sekali. Sudah jauh dari kesan real yang menguar kuat di balik cerita di menit-menit sebelum bagian akhir film ini.
Sesungguhnya cerita Promising Young Woman ini punya kembaran serupa-tapi-tak sama, yakni film Three Billboards Outside Ebbing, Missouri (2017) Kalian pasti masih ingat, karena film itu diunnggulkan untuk Oscar. Film tersebut ceritanya tentang seorang ibu yang menghabiskan umurnya mengejar polisi, menuntut kasus perkosaan yang menyebabkan kematian putrinya diusut tuntas, dan pelakunya dicari – dijebloskan ke penjara. Saat nge-review film itu, aku nulis kayaknya aku bakal lebih suka kalo film tersebut memperlihatkan hasil akhir perjuangan si ibu – kalo nasib pelakunya dituntaskan. Namun, setelah menonton film Promising Young Woman ini, baru terasa bagiku. Baru terasa betapa jauh lebih powerful cerita Three Billboards tersebut dengan membuat protagonisnya mencari kedamaian bagi diri sendiri. Lebih terasa real sehingga lebih emosional dan important.
 
 
 
Sebagai film thriller, ini adalah debut yang cukup menjanjikan dari Emerald Fennel. Menunjukkan ia mampu bermain dengan tone dan karakter untuk menyampaikan sebuah gagasan dan mewujudkan visi yang penting. Tapi tentu saja memuat gagasan yang penting, tak lantas membuat film otomatis bagus. Semua itu bergantung kepada tulang punggung, yakni naskah. Materi film ini masih berupa satu pandangan, sehingga terpaksa dipilih ending yang kurang logis dan maksa secara over-the-top. Ending film ini, jika dilihat dari genrenya, masih mungkin untuk disukai sebagian penonton. Hanya, buatku, endingnya justru break this entire film apart. Mengurangi kepentingannya begitu drastis. Terlebih karena memang film ini punya pembanding yang jauh lebih real dan powerful.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for PROMISING YOUNG WOMAN.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Supaya pria pelaku kejahatan seksual bisa jera dan benar-benar adil bagi perempuan, Indonesia baru-baru ini mengumumkan soal hukum kebiri. Bagaimana pendapat kalian mengenai hukuman tersebut?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Abdi_Khaliq says:

    WOOOWWWW akhirnya requestku di review juga! Hihihihih
    SPOILER!!!
    Aku malah suka banget sama film ini bang, apalagi sama endingnya, beneran di luar pakem Hollywood (yaeyalah secara Emerald Fennell kan orang Inggris), dan justru ending seperti ini tuh yang bikin syok dan rasanya nggak rela banget, sampai jadi kepikirian berhari2… SUMPAH… masih nggak percaya sih!! Beginilah hebatnya naskah yang mampu membuat kita terattached sama karakter yang kuat, segala sesuatu yang menimpanya akan membuat kita cemas dan berharap In the end everything will be okay!!!
    Aku cowok dan aku berada di pihak Cassie sih, menurutku film ini cukup adil dengan agendanya dan tidak berat sebelah. Film ini cukup jelas memberikan gambaran bahwa bukan hanya para pria yang “bersalah” tapi para perempuan juga bisa “bersalah”, begitu pula sebaliknya, di akhir cerita bahkan ada satu kakarter pria yang berubah dari “jahat ke baik” yaitu sang “pengecara pelaku” yang dulu mengancam NINA hingga mencabut tuntutannya. Dan kita lihat si pengecara itu benar2 menyesal saat Cassie berniat memberikan pelajaran, hingga akhrinya Pengecara sendiri kan yang melaporkan pelaku dan barang bukti ke polisi (Bukti terbaik kalau pria juga bisa baik.)
    Untuk ending yang kontroversial itu (terlepas dari over the top/ serba kebetulan), dari pengamatanku Cassie sebenarnya tidak berniat “Ended up like that,” meski bisa dibilang dia tidak optimis menjalai hidup, hanya saja sejak dia dengan mantap melangkahkan kaki ke kabin itu dia jadi orang yang sangat perhitungan dan yakin bahwa aksinya itu pasti berujung 50/50 bisa merenggut nyawanya. Oleh sebab itu dia butuh jaminan dengan mengirim barang bukti ke pengecara dan itu pun ditulis “Jika aku menghilang…”, dan hebatnya lagi Cassie punya bukti cadangan (in case pengecara ternyata masih “jahat”) dengan membuang pelat mobilnya ke semak2 di sekitar area kabin.
    Menurutku ini film balas dendam wanita terbaik sih, benar2 original, jalan ceritanya nggak bisa ditebak, jauh dari tipikal hollywood, karena dia mainin psikologis korban, bukannya main bacok ala2 “Kill Bill”, “I spit on your grave” atau “Revenge”.
    Suka banget saat Cassie memberikan pelajaran sama “dua perempuan bersalah” di film ini dengan meletakkan mereka di “posisi korban”. Dan hebatnya lagi, sadar atau tidak, ini film nggak ada sedikit pun nampilin darah tapi sekalinya ada jatuh korban justru jauh terasa menyakitkan dari film2 horror gore yang selama ini saya tonton.
    Sebenarnya banyak yang bisa dibahas lagi sih di film ini karena aku ngikutin diskusi film ini di Reddit, apalagi kalau membahas makna warna coretan pulpen merah, hitam dan biru di diarynya itu, teorinya lumayan banyak, hingga yang paling ekstrim “Cassie bisa jadi psikopath??” karena dia pernah ngancam calon korbannya kan “I’m not the only one who does this. And some of the other girls, they really are crazy. There is a woman in this city that carries a pair of scissors. Try it out, next time you go out, see what happens.”
    Film ini justru jadi Cautionary tale yang terasa menyakitkan sekaligus realistis sih karena dengan lantang menyuarakan… “Bagaimana pun juga pria lebih kuat secara fisik dari wanita” dan memberikan pelajaran berat… “Batapa pentingnya untuk menatap ke depan dan melanjutkan hidup.”… karena “Dendam dan kesedihan yang berlarut2 hanya akan menggerogotimu hidup2.”
    “Remember, If You Seek Revenge, You Should Always Dig Two Graves!”
    Oleh sebab itu setelah dipikir2…
    Rating pribadiku malah naik satu poin menjadi 8/10 hahaha…

    • arya says:

      Haha iya niih, akhirnya nontooonn
      Endingnya yang dia mati, 50/50 chance, sehingga dia menyiapkan jaminan gitu2 itu sebenarnya gak masalah. Justru Cassie memang harus mati, arcnya ngelingker kalo dia mati. Hidup yang ia buang itu jadi berguna dengan si pelaku akhirnya dipenjara. Cuma cara film memperlihatkannya itu loh. Dengan message yang dibaca di eksak momen, Yang ngebaca pas lagi ada di sana, seperti sudah diprediksi, dan triumphantly menang. It’s too much. Enggak grounded lagi.
      Si Pengacara insaf itu cuma berfungsi sebagai piece dari rencana si Cassie. Sama kayak si Ryan juga. Di naskah pun, Karakter mereka itu buat ngasih info turning2 point aja. Kenapa cuma sama si pengacara si cassie mudah percaya. Kalo benar mereka untuk mengimbangkan, berarti peran dan eksplorasi diperbesar lagi. Kayak ketika di Three Billboards, tokohnya jadi percaya dan bahkan temenan sama si polisi – nah itu baru eksplorasi dari karakter yang jadi penyeimbang. Pengacara di film ini masih pion cerita aja.
      Wah jadi 8, good for the movie 😀

  2. Mark says:

    Aku rasa ini review pertama yg aku tahu ngasih judge jelek ke film ini. Kyknya mas arya dendam sekali ya dgn film bertokoh utama perempuan yg di kelilingi cowok brengsek. Padahal menurut aku, film kyk gini gak harus jd seimbang dgn jg ngeliatin cowok baik, kan ini cerita dari satu sudut pandang, poin nya ada di objektifitas satu sisi. Ini murni film soal redemption, gak penting lagi gmn tokoh2 cowok nya dibuat, toh kita jg diliatin kalo Casey bkn cewek baik2. Dan itu gak semata-mata ngebuat film ini jd agenda-ish, gagasan cerita nya masih ngasih statement. Aku masih heran apa sih tolak ukur mas nyebut film jd agenda-ish?
    Dan buat hal komen mas soal skrip, aku sangat gak setuju. Aku rasa ini merupakan salah satu contoh skrip paling powerful tahun ini, gmn dia bisa ngebuat kita ngerasa ada di sepatu yg sama ama si tokoh utama, bikin kita peduli ama perjuangan dia. Aku rasa cara film ini ditulis ngena hampir di semua org, termasuk aku, terbukti jg ama respon super positif penonton general sampe kritikus, dan filmnya yg jg mulai panen piala Best Screenplay di berbagai awards.
    Dan kyknya krn mas enggak di buat care ama tokoh utama nya, makanya mas gak ngerasain betapa kuat efek dan keputusan di akhir cerita. Menurut ku, ending film ini impactful sekali. Emosional tapi sangat memuaskan.

    • arya says:

      Ya, kalo nonton superhero aja kita pasti ngerasa kurang kalo villainnya gak dikembangin, cuma jahat tok. Nah buatku film ini semuanya – terlepas film cewek atau cowok – harus gitu; protagonis dan antagonis harus sama-sama dikembangin; jadi dua sisi.. Naskah atau skrip itu aku ngeliatnya dari sini. Bukan dari seberapa besar mengena karakternya — itu dari arahan yang berhasil, dari permainan akting yang meyakinkan.
      Menang Best Screenplay itu wajar, karena gagasan dan isunya penting dan relevan. Karena award biasanya memang mencampurkan penilaian untuk ide dan penulisan naskah. Soalnya nanti lucu kalo ada kategori Best Idea. Padahal ide/gagasan/moral itu beda ama skrip/naskah. Nulis naskah kan ada ilmunya, nah bagus-atau-tidak naskah itu ya seberapa besar poin yang sesuai dengan ilmu penulisannya. Baca kritik-kritik yang muji, juga aku ngelihatnya muji dari gagasan yang relevan ini.
      Tiga film yang kusebut agenda-ish itu contohnya: Never Rarely Sometime Always, Shadow in the Cloud, sama Promising Young Woman. Tambah satu lagi deh, Mulan terbaru. Coba kira-kira persamaan empat film itu apa.
      Pertama, ada isu feminisme. Nah ini gak masalah – film kekinian justru perlu woke dan gak perlu melulu soal pacar-pacaran.
      Keempatnya itu jadi agenda-ish karena ketiganya nunjukin tokoh cewek, di dunia yang gak berimbang, yang journey mereka itu nunjukin betapa mereka itu benar sedari awal. Yang filmnya tuh kayak mengkampanyekan tokoh ceweknya yang benar, yang hebat, tapi mereka justru yang menderita. Kupikir agenda-ish kaitannya dengan penulisan naskah. Karena kan teorinya, naskah itu nunjukin perkembangan karakter dari yang tadinya berpikir a berubah menjadi berpikir b (mau itu dia jadi pribadi yang lebih atau lebih buruk, pokoknya berubah aja). Nah, di film agenda-ish karakternya gak ada perubahan itu. Gitu deh kira-kiraaa
      Aku care, aku bersorak girang waktu Cassie mengkonfrontasi kepala sekolah sama si Alison Brie, berani dia memposisikan mereka begitu. Dia mati aku juga suka, karena ngerti kan kita, dengan membunuh Cassie, si cowok itu udah gak bisa ngelak lagi dari kesalahan. Cuma, bagian pesan-pesannya itu yang blerrghh. Film membuat kayak semua itu udah rencana Cassie, jadi kayak dia hebat banget bisa mikirin rentet kejadian yang pas

  3. Mark says:

    Aku rasa film kyk gini gak bisa di sama in ama film super hero, krn dia punya struktur yg beda bahkan dr ide ampe eksekusi detil nya gak sama. Even film Joker pun basically mirip ama film ini, sama-sama soal tokoh yg bobrok memperjuangkan hak di dunia dgn sistem yg udh bobrok. Bahkan film ini ngelakuin dgn cara yg lebih elegan, dan gak kerasa dangkal dgn males berlindung dibalik isu mental-health yg sok realistis.
    Film ini menang Awrds gak semata-mata hanya krn ia punya isu yg relevan, tp krn dia emg punya penulisan yg bagus. Nge deliver tokoh jd simpatik dan ngebuat journey dia keras otentik itu bkn hal yg gampang. Film ini ngelakuin tugas yang sempurna di situ menurut ku (dan banyak org juga, kyknya). Lagian jg awards yg berjalan skrng pun, cuma festival2 kecil, yg gak sekedar mentingin political issues kyk Oscar atau GG. Dan yeah, film ini jg jelas gak cuma stuck di ide, krn kalo ngomongin orisinalitas, film ini gak kerasa baru2 amat. Aku ngeliat film ini ada di proses nya dia berkembang, dan dia berhasil banget ngegaet atensi kita.
    Dan kalo soal ending, kyknya berarti balik lagi ke selera masing-masing, kalo mas emg ngerasa kyk gitu gpp. Aku mikir nya sih, ending nya dibuat kyk gitu buat nunjukin kemenangan karakter, krn meski dia mati, penonton yg peduli ama arc dia, pasti bakal dibuat bersorak bahagia.

    • arya says:

      Nah iya, itu maksudku endingnya.. Kemenangan karakter dia tu gak mesti ditunjukin dengan dia hebat bisa kayak mengatur/menebak semua. Kan intinya dia mati, dibunuh, dan si pembunuh ini akhirnya ditangkap – misi dia menghukum pelaku jadi berhasil. Makanya kubilang dia mati itu perlu, arcnya nutup di situ. Pilihan dia menang/ngontrol segala itu yang bikin film ini jadi agenda-ish. Kenapa gak bikin dia gagal aja; dia mati – rencana revenge-nya gagal, tapi ternyata kematiannya justru membawa kemenangan untuk perjuangannya. Si pelaku akhirnya tertangkap juga, tanpa mesti kayak dia yang ngendalikan. Karena toh ada tokoh pengacara dan Ryan kan, eksplorasi mereka bisa dijadikan pembungkus yang manis untuk perjuangan Cassie. Ke kita pun mestinya bisa lebih emosional, karena hasil perjuangan Cassie jadi benar-benar terasa berpengaruh. Hidupnya yang dikira semua orang habis sia-sia, ternyata jadi berguna. Goalnya kan sebenarnya sama, cuma film lebih memilih sensasional dengan membuat Cassie ngatur semua.
      Buatku dia yang udah nyiapin semua, sampe ngest time ngirim pesan, kemudian diperlihatkan film timingnya pas banget literally karakter-karakter lain di sepuluh menit terakhir film ini jadi pionnya dia itu, bukan elegan. Tapi udah berubah jadi konyol, maksa.
      Inilah agenda salah kaprah itu. Perempuan kuat itu kan bukan mesti dia serbabisa, gak butuh bantuan lelaki, atau apa. Karakter Cassie memang ditulis sangat bagus, sangat terlalu bagus malah. Itulah yang membuatnya agenda-ish. Karena karakter lain jadi buat ngebagusin dia aja. Makanya kubilang penulisannya masih satu pihak.
      Semua film kalo dari penulisan naskah ya sama lah. Mau horor, superhero , drama, thriller. Kan film ini bukan eksperimental. Semua pasti mengacu pada tiga-babak, development karakter, dan segala macam. Penilaian angkaku selalu konsisten mengacu ke sana, jadi gak bakal standar ganda. Gak bakal ada film yang satu gak boleh kurang development, sementara yang satunya boleh karena punya isu bagus.
      Secara penulisan naskah, film ini udah benar sampai sekuen ‘false resolution’ (Cassie mati, seolah film akan sudah berakhir). Sekuen ‘resolusi benar’ film ini yang bikin semua jadi konyol. Alasan kenapa film milih yang konyol itulah yang kita amati dan pikirkan sebagai penilai film, kayak yang udah kujelaskan. Itulah yang jadinya penentu ‘make or break the film’. Karena akar pilihannya itu biasanya ada dua; resiko kreatif dan resiko agenda. But hey, that’s just how my ratings work. Kalo awards dan banyak orang lain yang ngikut seperti awards tidak seperti itu ya gak papa juga. Dunia butuh lebih banyak pikiran yang beragam daripada yang seragam 😀

      • Mark says:

        Haha iya sih acceptable bgt argumen mas, aku sebenarnya jg seneng krn bisa nemu org yg gak suka ama filmnya dan ngasih opini yg oke. Keberagamn dlm penilaian sebuah film kan emg pasti terjadi, dan kyknya mas jg setuju bahwa itu yg bikin dunia sinema jd asyik.
        Dan kalo pun film ini emg dibuat sbgai agenda, aku gak ngerasa ke ganggu, krn mrk mengemas nya jd satu cerita yg koheren. Agenda nya melebur jd plot, dan gak ngerusak narasi, dia justru bagiku kerasa jd bangunan nya yg utama.
        Soal pilihan film ngebuat Cassie kyk nge kontrol semua nya itu aku bisa ngerti kalo bagi sebagian org kerasa too much. Tp mnrt ku ini lebih jd semacam selebrasi di arc dia. Aku nyebut ini sebagai puncak keberhasilan dan aku jg yakin ini mrpkn plan B yg berjalan sempurna. Which is fine, krn banyak jg kok film2 lain yg gk cuma tokoh utama cewek yg bisa ngedapetin keberhasilan solid dr plan mrk.

        • arya says:

          Haha iya, sebenarnya memang tergantung konteksnya atau build upnya juga. Kalo udah dibangun sedari awal bahwa suatu hal mungkin untuk dilakukan, atau sudah dilandaskan sejauh apa sih konteks logika film ini – ya gak masalah. Asal jangan tiba-tiba build up tadi di-betray, atau diganti jadi ternyata rulenya jadi berubah, atau tiba-tiba film membelokkan tonenya, gitu-gitu itu baru namanya revealing yang maksa atau make-believe/world-building yang maksa. Apalagi kalo dibikinnya si karakter serbabisa dari awal, kayak si Mulan, dan sepanjang durasi kepandaiannya nambah terus tanpa belajar, like ternyata dia bisa gini, ternyata dia bisa ilmu itu, hahah udah deh kalo gitu mah.

  4. Iksan says:

    Tragic, Provocative Movie. Kalo ending sih menurutku mmg betul biasa2 wae alias bisa ditebak. Harusnya sih plot twist akan lebih bagus .

  5. Iman says:

    aku sangat suka build the story dari awal, pertengahan sampai mendekati akhir , keren dan sangat convincing. akting Carrey Mulligan tanpa cacat, sampai aku takut kl gak sengaja ketemu dia ((gak sengaja)). soal gak ada satupun tokoh laki2 yang bisa diandalkan disini memang agak gimana gitu, bukan berarti saya cowo, tapi tidak harus sepeti itu menurutku. dan yang bikin drop itu memang endingnya, ada pesan, warna pink dari nina dan cassey….apaan sih?? duh sayang bgt film sudah bagus2 diakhiri oleh scene yang jatuhnya jadi film kacangan

    • arya says:

      Haha bener juga, aku ngeri ngebayangin gimana kalo gak sengaja ketemu Cassie; jangankan waktu dia hunting, waktu dia jaga cafe aja salah-salah minuman bisa diludahi.. at that point di mata dia cowok udah pada gak bener semua sih

      • Jone says:

        Yakin? Lalu pria yang di maafin dia gmn? Bukankah pria yang di maafkan itu membantu Cassie jg di akhir ceritanya?anda kira point’ yang dibawakan di film ini hanya satu sudut pandang saja?

        • arya says:

          Ya, aku kira film ini cukup fair dengan memasukkan karakter seperti si pengacara atau si cowoknya. Tapi ternyata penyelesaian/ending yang dipilih oleh film ini menghancurkan semuanya. Dua karakter yang mestinya sebagai penyeimbang itu ternyata hanya sebagai pion-pion untuk ‘rencana besar’ protagonis cewek yang agung.
          Film ini juara di ide, di nyali, dan segala macam. Tapi pilihan endingnya menurunkan nilai film ini buatku.

    • arya says:

      Arc itu ‘cerita’, aduh susah juga sih jelasinnya ahaha..
      Film itu kan punya alur/plot ya. Kejadian-kejadiannya runutnya apa. Nah, plot-plot itu membentuk suatu arc/cerita/narasi. Misalnya film ini, kita lihat alurnya kan pertama, ada cowok ngangkut cewek mabok di bar; kedua, ceweknya ternyata ngejebak; ketiga kejadiannya apa dan seterusnya sampai tamat. Semua kejadian itu membentuk arc tentang cewek yang menuntut justice terhadap kematian sahabatnya.
      Dalam film, selain ada arc narasi – cerita umumnya, ada juga yang namanya character arc. Ini tergantung naskah filmnya; ada film yang ngasih character arc untuk seorang tokoh utamanya saja, ada yang ngasih character arc ke beberapa karakter lain. Character arc ini spesifik buat yang dirasain oleh karakter dalam cerita.
      Untuk contoh gampangnya, kamu tahu ‘Five Steps of Grief’ gak? Katanya kalo orang yang kehilangan atau berduka, akan lewatin lima proses: denial, anger, bargaining, depression, acceptance (awalnya dia nyangkal, terus marah sama nasib, lalu mulai berusaha cari alternatif atau penghiburan, kemudian jadi depresi, dan akhirnya barulah bisa menerima kenyataan). Nah, lima proses itu bisa kita anggap plot/alur perkembangan karakter dalam film, yang membentuk character arc (Grief)
      Arc dan Character Arc dalam satu film, bisa gak sejalan. Contohnya ya di film Promising Young Woman. Arc narasinya uplifting banget – pejuangan menuntut justice yang berhasil. Namun Character Arc-nya adalah sebuah cerita ‘kehancuran’ karena ini adalah perjalanan Cassie yang menyadari selama ini dia udah membuang hidupnya sendiri demi mengejar justice. Keadaan dua arc yang seperti ini kan mestinya bagus, karena memberikan ironi yang emosional. Tapi untuk melakukan hal tersebut, ternyata film harus ‘memaksakan’ beberapa hal. Supaya character arc Cassie bisa terjaga – dengan kata lain supaya semangatnya berjuang terus berkobar, maka film harus membuat karakter-karakter cowok yang ditemui Cassie brengsek semua. Hal kedua yang ‘dipaksakan’ adalah agenda; film ingin nunjukin kekuatan perempuan, sehingga mereka mempertimbangkan Cassie gak boleh terlihat hancur banget. Jadi ujungnya mereka ubah, Cassie ternyata sudah mengatur semuanya, udah ada plan kalo-kalo dia mati. Dan itu tuh membuatnya melenceng dari desain Character Arc Cassie, dengan desain arc film secara keseluruhan.
      Begitulah kira-kira soal Arc, semoga bisa dimengerti 😀

Leave a Reply