NOMADLAND Review

“Not all who wander are lost”
 

 
Meskipun manusia purba sekarang telah berubah menjadi manusia modern cakap-teknologi semua, tapi kebiasaan hidup nomaden mereka tidak begitu saja hilang. Bedanya, kalo dulu manusia purba nomaden karena hidup tergantung musim dan iklim. Kini, nomaden udah berevolusi menjadi gaya hidup modern. Ada orang-orang yang lebih senang hidup tak-menetap alias traveling, dari satu tempat ke tempat lain, dari negara satu ke negara lain. Nomaden udah sama kayak hobi bagi mereka. Namun ada juga orang-orang yang terpaksa – dan akhirnya – hidup di jalan. Mereka hidup di dalam mobil van yang merangkap menjadi hunian. Menetap untuk bekerja sementara kemudian pindah lagi ke lokasi lain, mencari kerjaan yang lain. Nomadland karya Chloe Zhao adalah tentang para nomaden modern yang ‘tipe B’ ini. Nomaden yang tidak punya lagi tempat tinggal, sehingga mereka menjadikan jalanan panjang, berbatu, dan berdebu sebagai rumahnya.
Ini adalah film yang tergolong pendiem. Yang lebih banyak berekspresi lewat visual. Persis seperti protagonisnya. Fern, adalah perempuan baya yang lebih suka untuk mendengarkan nasihat dan cerita dari para ‘senior’ nomaden, ketimbang bicara terlampau banyak mengenai dirinya sendiri. Itu karena Fern memang ‘anak baru’ dalam kehidupan jalanan ini. Setelah Resesi hebat yang melanda Amerika, kota tempat Fern dan mendiang suaminya membangun rumah tangga seketika menjadi kota hantu. Semua pabrik mata pencaharian di sana tutup. Jadi Fern membawa hidupnya ke jalanan, di dalam van yang ia beri nama Vanguard. Berpindah dari satu kerjaan ke kerjaan lain. Berpindah-pindah dan selalu hadir ke tempat komunal nomad. Fern bermaksud belajar menjalani gaya hidup ini. Gaya hidup yang walaupun ada komunitasnya, tapi tetap saja sebagian besar akan berarti sebuah kesendirian.

Ku berjalan seorang diri, sebagai seorang kelana

 
 
Sekali lihat saja, kita langsung tahu bahwa ini adalah film yang spesial. Penempatan dan pergerakan kamera tampak simpel tapi sungguh bermakna. Menambah banyak sekali ke dalam penceritaan. Antara di awal memperlihatkan Fern bekerja di pabrik dengan di momen-momen berikutnya yang bertempat di lingkungan terbuka, film ini bukan hanya menyuguhkan pemandangan fenomenal. Ya, tentu kita akan terperangah melihat lokasi yang menjadi panggung cerita. Tempat-tempat eksotik wilderness khas Amerika (tampak seperti film koboi!), seringkali dipercantik dengan warna-warna yang mendukung mood, akan menjadi menu santapan utama mata kita. Bahkan sense geologi-ku yang udah lama tertimbun sempat menggelinjang manja melihat penampakan singkapan formasi batuan yang disinggahi oleh Fern. Tapi film ini bukan cuma soal pemandangan visual yang ‘wah’. Melainkan juga soal bagaimana perilaku kamera dalam menampilkannya. Bagaimana Fern – karakternya manusia – ditempatkan; dengan skala yang menggiring pemahaman kita bahwa ada dunia yang either mengukung atau luas pada Fern. Yang kaitannya ada pada soal kapitalisme yang digaungkan sebagai gagasan film. Bahwa tidak ada satupun yang dari gurun atau dataran atau pabrik atau tempat parkir itu yang milik Fern. Semua dimiliki oleh korporasi/manusia lain. Dan ini menciptakan rasa tidak adil.
Kita tak pernah dilepaskan dari apa yang dilihat – dan apa yang dirasakan – oleh Fern, sebab kamera akan terus mengajak kita mengikutinya. Zhao mempercayakan sepenuhnya visinya ini kepada Frances McDormand yang menyambut kamera dengan penampilan aktingnya sebagai Fern. Dan pilihan Zhao ini, tak pelak, adalah pilihan yang akurat. Jikalau dimainkan oleh aktor dengan permainan less dari McDormand, Fern akan jadi karakter yang annoying dan unlikeable. Emosi manusiawi yang menghidupi karakter ini gak akan nyampe kepada kita. But McDormand, dia paham bahwa karakternya ini adalah seorang yang berusaha kuat dan mandiri, pada saat dirinya paling tidak yakin pada dirinya sendiri. Pada saat dirinya justru percaya sebenarnya dia butuh bantuan orang lain. Kita bisa melihat bagaimana Fern tersenyum tipis saat mendengar perbincangan mengenai ‘ide-untuk-pergi’ dari sahabat sesama nomaden yang ia jumpai, dan instantly kita paham Fern saat itu sedang teringat kepada mendiang suaminya.
Selain lewat masalah kapitalisme, film menunjukkan betapa kecil Fern merasa juga melalui momen-momen saat dia ditinggal. Para kaum/society nomaden yang ditemui Fern, yang tinggal bersama dirinya beberapa hari di suatu lokasi, akan menjadi teman bagi Fern. Betapapun kaku tampaknya, tapi Fern ini memang selalu nyari teman. Dia bahkan bacain puisi untuk seorang pemuda yang ia kenal di jalanan. Dan kita paham apa yang dirasakan Fern saat para nomaden itu akhirnya pergi; Saat masing-masing mereka dengan cueknya cabut, Fern tinggal. Kamera akan memfokuskan kepada Fern yang memandangi mobil-mobil itu pergi. Emosi subtil yang ditunjukkan McDormand sebagai Fern justru ternyata bicara banyak kepada kita. Aku rasa aku bahkan gak perlu musik untuk dapat tersentuh oleh apa yang Fern rasakan. Metoda akting McDormand ini cocok sekali dengan niatan/visi sutradara yang membuat luapan emosi film tidak dalam ekspresi yang menggelegar. Tidak ada orang teriak-teriak marah di sini. Tapi yakinlah, kita akan merasakan luapan emosi saat melihat adegan setenang Fern berenang di sungai pada saat menjelang babak akhir film.

Fern belajar banyak dari komunitas nomaden. Dan yang ia pelajari itu akan lantas membuat kita lebih menghargai gaya hidup ini. Karena tidak semua yang berkelana tanpa arah itu tersesat. Bagi kaum nomaden itu, mereka dengan bebas dan bangga mengenali dunia sebagai rumah. Mungkin kita semua sesekali harus nyobain berkelana.

 

Enggak, nonton The Avengers sendirian gak sedih kok

 
Komunitas nomaden ini memang yang bikin film semakin terasa unik. Zhao melepas McDormand ke tengah-tengah kaum nomaden beneran. Ada tiga tokoh nomaden yang berperan sebagai diri mereka sendiri, difungsikan untuk bercerita – sebagai supporting – untuk karakter Fern. Aku gak yakin apakah istilahnya tepat, tapi berkat campuran karakter cerita dengan tokoh asli ini film jadi terasa seperti semi-dokumenter buatku. Dan unfortunately for this film, bagiku porsi bincang-bincang dan gaya hidup nomaden beneran itu tampak lebih menarik dan otentik. I kinda wished cerita film ini ada versi dokumenternya. Aku mau tahu tentang para nomaden itu lebih banyak. Fern-nya McDormand tampak hidup, dengan emosi yang manusiawi, dengan penampilan akting level dewa. Tidak akan ada yang mengecilkan karakter ini. Hanya saja, dibandingkan dengan keotentikan yang ditawarkan para nomaden asli yang bukan aktor tersebut, aspek melankoli yang jadi karakter Fern membuat dirinya jadi kalah menarik. Fern ini jadi kayak spirit-artifisial; semua kesedihan ada padanya, sementara yang bahagia-bahagianya ada pada para nomaden asli. Film seperti enggan memperlihatkan kesedihan di balik hidup nomaden yang sebenarnya sehingga Fern ini dijadikan sebagai perwujudan dari itu. Yang nantinya si sedih ini akan belajar untuk lebih menghargai dan merayakan gaya hidup ini.
Sehingga pada akhirnya, film ini meninggalkan kesan yang bercampur aduk. And not exactly dalam artian bagus. Kalimat “bukan homeless tapi houseless” itu lebih cocok diucapkan Fern di akhir. Karena dengan mengucapkan di awal, jadi tidak jelas. Kalo ini adalah story tentang orang awalnya terpaksa kemudian jatuh cinta sama life on the road, maka apakah itu berarti di awal itu Fern sudah complete arc-nya? Tapi ini juga menunjukkan film hanya mengangkat rintangan dari desain karakter Fern. Film tidak benar-benar menilik dari rintangan hidup di jalan itu sendiri. Semua tampak mudah bagi Fern. Jadi jika cerita ini sedari awal adalah selebrasi dari kehidupan nomad, apa berarti filmnya hanya tok menggali dari sisi yang bagus-bagus aja? Soal kapitalis juga tidak benar-benar tergali dari sini. Aku tidak merasa ada sikap yang kuat dari film ini. In the end, aku tidak benar-benar merasa terkonek dengan ‘apa sesungguhnya’ film ini.
 
 
 
Tidak ada sangkalan film ini tampaknya bakal jadi powerhouse di Oscar tahun ini. Teknis dan arahan, serta penampilan aktingnya luar biasa. Istimewa semua. Jika film adalah ‘show, don’t tell’ maka film ini menjuarai apsek ‘show’ tersebut. Adegan demi adegannya bicara banyak dengan apa yang ditampilkan. Aspek yang paling menarik adalah menggunakan non-actor sebagai karakter pendukung. Namun untukku, aspek ini sedikit menjadi bumerang. Karena menyebabkan protagonis cerita yang manusiawi itu bagaimanapun juga jadi tampak artifisial jika dibandingkan dengan mereka. Kalah menarik. Narasi yang merayap subtil di balik itu semua pun jadi tampak mixed.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for NOMADLAND
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apa yang paling kalian khawatirkan jika hidup di jalanan, di dunia yang luas, tanpa-rumah?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

Comments

  1. Iksan says:

    Di indonesia ada gak ya nomad spt di film ini. Jadi pgen tau? Negri kita blm terlalu cocok kyknya buat gaya hidup spt ini. Film ini mngajarkan penontonnya bhwa rumah yg sebenarnya adlah hunian yg membuat org di dlmnya merasa nyaman.

Leave a Reply