AFFLICTION Review

“The second time you make it, it’s no longer a mistake.”
 

 
 
Horor selalu merupakan subyek yang menarik. Sebagai penonton kita akan selalu penasaran akan misteri-misteri, atau juga wujud-wujud seram tragedi yang berakar dari sisi gelap manusia itu sendiri. Karena berasal dari perasaan dan trauma manusia itulah, maka horor juga senantiasa berkembang. Manusia yang kompleks, menyebabkan horor juga ikut kompleks. Dan tampaknya horor bukan cuma menarik bagi penonton. Kita tentu banyak mendengar pemain film yang ingin ‘menguji nyali’ bermain horor. Di sisi pembuat film, horor dilihat juga sebagai tantangan.
Bagi sutradara Teddy Soeriaatmadja, horor jelas adalah sebuah ‘new realm’. Film Affliction sebagai horor perdananya ini, ia arahkan lebih sebagai thriller, karena film ini memang lebih menekankan kepada suspens dan intensitas pembangunan misteri dan drama antarkarakter. Yang belakangan disebut; tak ayal adalah elemen kuat yang membuat nama Teddy bergaung di kalangan pecinta film. Namun sayangnya, secara keseluruhan, film Affliction atau Pulang (judul versi Indonesia) ini never really hits home sebagai cerita horor atau thriller yang menyangkut manusia. Teddy tidak benar-benar memberikan sesuatu yang baru, baik kepada genre itu sendiri maupun kepada jam terbangnya sebagai sutradara kawakan. Karena arahan dan cerita Affliction ini begitu basic dan penuh oleh elemen-elemen yang sudah pernah kita lihat dalam horor-horor mainstream. Yang sepertinya memang ke mainstream itulah kiblat Teddy dalam menggarap film ini.
Cerita film ini bermula dengan cukup menarik dan menjanjikan. Setidaknya bagiku, karena Affliction mirip sama Relic (2020) – film horor yang masuk daftar top-8 ku tahun lalu. Tentang keluarga yang harus berurusan dengan penyakit Alzheimer yang diderita nenek yang selama ini tinggal seorang diri. Affliction ini bercerita dari sudut Nina, perempuan yang merasa bersalah karena ibu kandungnya baru saja tewas bunuh diri. Nina merasa kurang memberikan perhatian – apalagi karena keluarga Nina dan sang ibu tinggal serumah. Jadi untuk menebus dosanya itu, Nina beralih ke suaminya. Hasan. Hasan punya ibu yang tak pernah Nina kenal karena Hasan memang tidak pernah menyebut-nyebutnya. Maka itulah, ketika Nina mendengar kabar bahwa ibu Hasan di kampung tinggal seorang diri tanpa ada yang mengurus – belum lagi menderita Alzheimer yang membuat si ibu dipandang sebagai orang aneh, Nina lantas memaksa suaminya untuk pulang kampung. “Aku ingin mengurus Bunda”, kata Nina. Tapi begitu Nina, suami, dan kedua anak mereka tiba di kampung, keadaan Bunda dan misteri di rumah itu dengan cepat menjadi terlalu besar dan mengerikan, dan menyedihkan, untuk dihadapi oleh Nina.

Semua akan bikin horor pada waktunya

 
Bikin narasi horor atau thriller yang seram itu gak gampang ternyata. Horror should not means to scare people, but rather to make people feel terrible. Seram itu enggak selamanya berarti untuk menakuti orang. Di sinilah kebanyakan orang sering salah. Begitu juga dengan Teddy di Affliction. Di film ini Teddy tampak begitu keras berusaha menakut-nakuti kita (melalui jumpscare dan lain-lain), sehingga dia sendiri lupa ada peristiwa naas yang terjadi pada karakter-karakter di dalam naskahnya. Alih-alih menggali psikis Nina yang termotivasi untuk menjaga Bunda, film ini malah menutupi kita dari segitu banyak emosi dan pikiran dari para karakternya. Menjadikan mereka sebagai revealing untuk bikin kita lebih kaget lagi. Well, padahal penonton film kan bukan presiden yang seneng merasa kaget atau bingung. kita ingin merasakan perjalanan emosional yang humanis. Kita ingin merasakan betapa devastatingnya punya ibu yang digerogoti Alzheimer – yang kian hari kian terasa seperti orang asing. Kita ingin merasakan betapa kalutnya hidup yang gede bersama rahasia kelam. Kita tidak merasakan semua itu, karena film tidak mengeksplor. Semuanya hanya dijadikan plot poin semata. Dan by the time film akan berakhir, lapisan emosional itu baru diungkap sebagai twist, completely menyia-nyiakan emosi dan kengerian real-lagi-grounded. Padahal inilah horor sebenarnya yang dikandung oleh cerita, bukan hantu anak kecil atau arti Ari Kiba. Sebagai pembanding, Relic walau juga punya hantu beneran tapi tetap mewujudkan horor dari Alzheimer dan perasaan keluarga itu sendiri. Dalam Affliction, Alzheimer itu bahkan tidak lagi jadi soal di akhir cerita.

Manusia memang banyak melakukan kesalahan dalam durasi hidupnya. Kesalahan itu dimaksudkan sebagai pembelajaran untuk menjadikan kita pribadi yang lebih baik. Maka dari itu, kita tidak boleh melakukan kesalahan yang sama dua kali. Karena kesalahan yang sama untuk kedua kalinya itu, bukan lagi sebuah kesalahan. Melainkan sebuah pilihan. Inilah hal paling mengerikan yang bisa kita bawa tidur setelah menonton film ini. Kontras antara Nina yang ingin kesalahannya tidak terulang sehingga ingin menjaga Bunda, dengan Hasan yang enggak mau belajar dan owning to his mistake, melainkan untuk merahasiakan dan menipu semua orang.

 
Akting Raihaanun Soeriaatmadja sebagai Nina cukup bagus. Ketika memarahi anaknya, Raihaanun natural kayak pas di Twivortiare (2019). But that’s about it. Ketika ngehandle drama dan ketakutan itu sendiri, terasa biasa aja, karena memang tidak banyak emosi yang bisa ia gali dan tarik dari karakternya. Secara keseluruhan akting dan dialog film ini pretty basic. Gak sampai ke level haunting dan creepy kayak pada horor-horor semacam Hereditary (2018). Karakter anak-anak yang hadir juga masih dangkal dan keberadaan mereka pun masih sebagai objek untuk ditakuti-takuti semata.  Mereka gak kayak anak kecil yang real, melainkan anak kecil di semesta horor kacangan Indonesia. Yang sulung kerjaannya cuma main hape, dan yang paling kecil kerjaannya menggambar. Film juga gak ngasih sesuatu yang baru terhadap trope klise anak-kecil ini (coba tebak anak bungsu itu menggambar apa!) Gak banyak yang dihasilkan dari hobi mereka tersebut. Hanya ada satu kali hape si anak dikasih ‘peran’, sementara si bungsu yang di awal-awal cukup menarik dengan smart-mouthnya, tapi toh tidak berperan apa-apa di dalam cerita. Hubungan mereka dengan nenek juga gak pernah disentuh.
Terkadang malah, dialog dan pengadeganannya dibikin kayak sang sutradara sengaja becandain trope horor yang ia pakai. Kayak Nina yang udah hampir berhasil kabur tapi balik lagi ke rumah karena ada yang ketinggalan. Atau soal anak misterius yang disangka bernama Ari Kiba tapi juga Nina yakin anak itu bernama Dimas Rangga, sehingga adegan Nina mengungkapkan teorinya itu jadi bukannya terasa penuh misteri melainkan kayak konyol. Ibnu Jamil sebagai Hasan gak menolong banyak karena karakternya sengaja dibikin terbatas, dan sebagian besar dia stuck di trope ‘suami-yang-keras-kepala-tak-percaya’. Pembawaan Ibnu yang sinetron banget membuat karakternya sering tampak nyaris over-the-top. Bagian yang cukup amusing bagiku adalah ketika Bunda alias si nenek ngetawain kerjaan Hasan yang psikolog anak. Adegan itu seperti membuktikan bahwa film ini punya selera humor, karena memang ada sebab musababnya si Bunda tertawa seperti itu; sebagai part of building the disturbing revelation. Tutie Kirana sama seperti Raihaanun, berusaha menggali emosi karakter di sumur yang dangkal. Beliau berusaha membuat Bunda tampil creepy. Tapi sekali lagi karena film ini penggaliannya cetek sementara cukup punya selera humor, adegan saat Bunda tiba-tiba lupa sama Nina dan cucu-cucu yang jadi lawan bicaranya jadi malah terasa weird karena itu mereka ngobrolnya tadi sambil senyam-senyum di meja makan. Sila bandingkan lagi dengan Relic, yang nampilin adegan nenek yang tiba-tiba lupa siapa lawan bicaranya itu dalam setting dan pengadeganan yang benar-benar menyokong untuk terasa serem.

Tukang Exorcist-nya siang sempakan, malam tasbihan

 
Gak klop seperti begitu itu juga kurasakan saat melihat ke visualnya. Aku suka warna-warna film ini. Banyak tone ungu atau lembayung jadi kayak suasana surealis, terutama karena film ini dibuka oleh adegan yang diedit seolah karakter melihat suatu peristiwa di dalam mimpinya. Hanya saja, warna film yang konsisten seperti ini hingga ke akhir tersebut terasa enggak klik dengan nuansa horor yang ingin dicapai. Terlebih ketika di babak ketiga film ngegas menjadi thriller bunuh-bunuhan. Cerita yang dangkal dan gak emosional di pertengahan juga membuat warna-warna tersebut kehilangan fungsinya. So it doesn’t really work for me. Karena film malah terasa kayak main aman. Semuanya terlalu bersih dan gak chaos. Padahal jika memang mengincar thriller mainstream yang berdarah-darah (seperti yang diset oleh adegan bunuh diri di opening), film harusnya jor-joran aja. Bangkitkan suasana seram dengan warna gelap. Gunakan properti, kalo perlu hancur-hancurin aja rumahnya. Aneh sekali melihat film yang beradegan kejar-kejaran dan bunuh-bunuhan tapi karakternya itu jatoh pingsan dengan sopan banget, di antara kursi-kursi. Tidak ada intensitas yang naik di final confrontation karena semuanya diadegankan dengan ‘aman’. Adegan Nina maculin tanah pake pickaxe aja tampak letoy banget. Padahal itu udah menjelang final. Untuk mainin ketegangan kita, film malah bikin Nina bolak-balik ngambil barang yang ketinggalan. Kan lucu!
Jika melihat dari naskah dan setting yang tertampilkan, film ini sepertinya bukan terlalu main aman. Bisa jadi malah, film ini hanya kurang usaha aja. Misalnya pertama soal kota dan desa yang perbedaannya gak kelihatan. Film ini memang memperlihatkan Nina berjalan di desa, tapi suasana desa itu gak ada pembanding. Karena saat di kota, kita hanya diperlihatkan mereka di rumah saja; yang bahkan gordennya ditutup. Sehingga kontras suasana itu gak terasa. Selebihnya, semua set di dalam rumah. Pindahnya mereka dari rumah di kota ke rumah nenek nunjauh di sana itu gak terasa dari suasana. Usaha film ini buat memperlihatkan set rumah nenek itu beneran di desa cuma dengan memposisikan termos jadul dan keranjang tradisional dalam warna dan penempatan yang mencolok. Selain itu, tidak ada lagi yang ‘dimainkan’. Setting film ini tidak pernah tampak hidup. Gak ada tempelan kertas berisi memo pengingat untuk nenek yang mulai sering hilang memori, yang jika dibaca bikin bulu kuduk kita merinding, kayak Relic. Film ini cuma punya botol obat sebagai penanda bahwa Bunda beneran sakit.
Kedua adalah dari naskahnya sendiri, yang terasa banyak lubang serta hal-hal yang sengaja didangkalkan. Misalnya soal pintu kamar yang terkunci. Film gak pernah bikin alasan yang jelas kenapa Bunda harus mengunci pintu kamar itu. Pintu itu hanya dikunci oleh naskah, sebab naskah gak mau bahas itu sebelum waktunya nanti. Padahal gak banyak juga revealing yang berarti di dalam kamar tersebut. Terus, soal melihat ‘doppelganger’. Jika melihat kembaran seseorang itu berarti si orang itu akan mati, kenapa dari tiga adegan melihat kembaran ini, hanya dua yang nantinya akan beneran mati. Apakah itu hanya berlaku buat Nina saja? Kalo iya, kenapa? Emang si Nina sebenarnya siapa? Nah rule soal ini gak pernah dibangun oleh film. Kita juga enggak pernah mengenal Nina lebih jauh. Lubang yang menurutku paling parah adalah soal Narsih, orang yang actually ngasih tahu kabar Bunda ke Nina. Si Narsih ini gak jelas darimana bisa tahu rumah Hasan, yang padahal si Hasan itu gak kenal dia karena gak pernah pulang ke kampung. Ini kejanggalan yang sama kayak di Perempuan Tanah Jahanam (2019) saat karakter Teuku Rifnu bisa nemuin wanita dewasa di kota gede, padahal dia hanya tahu wanita itu sebagai balita yang pergi dari kampung. Dan kayak gini itu sesungguhnya adalah masalah besar – sebuah red flag – pada naskah. Karena jika cerita kita bergantung kepada inciting inciden yang logikanya selemah itu, maka cerita tersebut niscaya akan susah untuk berkembang menjadi cerita yang exciting dan masuk akal. Semua pasti akan terasa dibuat-buat saja nantinya.
 
 
Dalam horor/thriller pertamanya ini, Teddy Soeriaatmadja tampak bermain terlalu aman. Dia seperti ingin mencoba membuat sesuatu yang appealing untuk mainstream, tapi juga tidak ingin jadi terlalu receh. Sehingga ini tampak jadi beban, karena filmnya ternyata jadi tampil setengah-setengah. Ceritanya penuh elemen-elemen horor mainstream yang juga mengandalkan jumpscare – meski tidak terlalu sering. Dengan suasana yang berusaha dibuat seperti surealis. Tapi ini jadi gak klop, sehingga filmnya malah terasa datar. Hiburanku nonton ini datang dari kelucuan yang anehnya jadi ikut tersaji dari beberapa pengadeganan film ini. Dari pengembangan plot dan karakter, film ini tidak lebih baik daripada horor Danur-Danuran, Asih-Asihan, dan Doll-Dollan. Raihaanun dan Tutie Kirana bermain bagus tapi kita dapat melihat betapa kemampuan mereka yang sesungguhnya disiakan di sini, karena film enggak mengeksplor karakter mereka. Sebagai cerita horor yang menilik penderita Alzheimer, film ini juga gak tampil kuat dan benar-benar ke arah sana. For that, we better watch Relic (2020) instead.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for AFFLICTION.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Apakah kalian punya kiat pribadi untuk membantu memastikan diri tak mengulangi lagi kesalahan yang sama untuk kedua kali?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA
 

Comments

Leave a Reply