THE LITTLE THINGS Review

“Making mistakes is better than faking perfections”
 

 
 
Judul film ini adalah mantra yang terus diucapkan oleh karakter ceritanya; detektif yang dihantui oleh kegagalan terdahulu dalam memecahkan kasus. Sehingga si detektif selalu mengulang-ngulang, “perhatikan hal-hal kecil!”. Karena memang hal-hal yang sekilas tampak tak signifikan itulah, yang biasanya punya peranan besar di kemudian hari. Tapi yang dibicarakan si detektif dalam film ini bukan ‘hal-hal kecil’ semacam menabung kebaikan sedikit lama-lama menjadi bukit. Melainkan hal-hal berupa petunjuk-petunjuk terkecil, yang dapat mengungkap kebenaran di balik misteri kasus. Hal-hal yang berasal dari kesalahan-kesalahan yang tak luput dilakukan oleh manusia. Dan yang ngerinya adalah, kesalahan itu tentu saja tak selamanya dilakukan oleh penjahat.
Inilah yang membuat The Little Things garapan John Lee Hancock menarik untuk kita simak. Drama kriminal ini ngingetin kita pada neo noir detective-nya David Fincher yang berjudul Seven (1995). Sama-sama berupa cerita detektif yang fokus kepada penggalian psikologis karakter detektifnya. The Little Things bermain di area yang tidak hitam-putih, melainkan memperlihatkan cerita kegagalan yang menempatkan tokoh-tokohnya dalam sebuah area abu-abu. Detektif yang melakukan hal tak-terpuji, atau bahkan tersangka yang membuat kita berpikir “hey mungkin dia tidak jahat..”. Namun sayangnya, film The Little Things ini tersandung oleh hal-hal kecil yang sendirinya tak ia perhatikan.
Perhatikan hal-hal kecil, kata film ini. Mantra tersebut tak bisa berdering lebih nyata lagi, sebab begitu kita memperhatikan hal-hal kecil pada film ini, kita tahu bahwa mestinya sang pembuat juga perlu menerapkan mantra tersebut ke dalam karyanya ini. Kelamnya The Little Things ternyata enggak berhenti sampai di psikologis karakter-karakternya saja, melainkan juga merambah hingga ke ranah sosial dan hukum kita di dunia nyata. Film ini memilih ending yang menurutku gak bakal nyaman diterima oleh sebagian besar penonton karena waktu dan kejadian di dunia nyata kita.

Di samping karena misteri siapa-pelakunya yang memang tidak berujung pada resolusi apa-apa

 
 
So yea, ulasan kali ini akan memuat spoiler yang lebih gamblang daripada biasanya. Karena kita akan membahas elemen yang ‘bermasalah’ dari cerita film ini, yang tak bisa dilakukan tanpa mengungkap character-arc dari tokoh-tokohnya secara nyaris total. Aku akan tetap berusaha supaya gak terlalu to-the-point amat supaya gak merampas misteri dari yang belum nonton. Tapi meskipun begitu, tetaplah anggap paragraf ini sebagai peringatan.
Karakter jagoan dalam The Little Things adalah dua orang detektif; Joe Deacon yang diperankan oleh Denzel Washington, dan satu lagi detektif yang lebih muda bernama Jim Baxter; diperankan oleh Rami Malek. Kedua karakter ini punya reputasi yang kontras. Karir Deacon actually terjun bebas dan dia pun tampak sedikit dijauhi oleh polisi-polisi lain karena peristiwa yang terjadi di masa kerjanya dahulu. Sedangkan Baxter dianggap sebagai detektif yang menjanjikan, terpercaya, dan brilian. Mereka lantas menjadi bekerja sama saat rangkaian kasus penculikan/pembunuhan perempuan-muda terjadi terus-menerus. Sementara Deacon perlahan menyadari kasus ini mirip dengan kasus tak-terpecahkan di masa lalunya, Baxter belajar tentang kenyataan di balik kasus dan trauma Deacon tersebut. Dan dengan sedikitnya petunjuk dan menipisnya waktu, pertanyaan paling penting bukan lagi soal siapa pelaku yang coba mereka tangkap. Melainkan apakah Baxter akan menapaki jejak kegagalan dan ‘kehancuran’ yang sama dengan Deacon.
Naskah yang ia tulis sejak 1993 ini agaknya menjadi terlalu rumit bagi Hancock sendiri. Ia tampak tak berhasil menemukan cara yang tepat untuk membungkus ceritanya dalam arahan yang efektif. Pengembangan selama dua jam lebih durasi terasa sia-sia karena saat cerita akhirnya tuntas, kita enggak merasakan apa-apa. Build-upnya seperti mengempis menjadi angin. Karena kita dibuat melenggang terlalu jauh dari apa yang diniatkan oleh Hancock dalam cerita ini. Permasalahan utama yang terasa dari film ini memang soal pergantian fokus cerita dari mencari pelaku ke membahas psikologi Baxter. Kita kecele dibuat oleh cerita yang tadinya seperti menyambung dari psikologi Deacon hingga tuntas ke redemption dengan menangkap pelaku, yang ternyata malah berujung ke psikologi karakter lain tanpa benar-benar memberikan penyelesaian pada kasus yang sedari awal ditampilkan seolah sebagai main attraction di film ini. Di sinilah memang letak miss-nya arahan Hancock.
Sah-sah saja membuat cerita detektif yang menonjolkan kegagalan ketimbang menangkap pelaku. Hanya saja, untuk membuat seperti itu, ceritanya harusnya fokus nge-lead penonton ke arah psikologis karakter saja. Namun film ini sudah menyesatkan sedari opening. Di awal itu yang diperlihatkan kepada kita adalah aksi si penjahat-misterius. Kita melihat dia mengejar salah satu korbannya. Dengan menonjolkan ini di awal, kita penonton jadi fokus ke sosok pelaku, penyelesaian film yang membuka dengan seperti ini haruslah dengan memberi jawaban tegas siapa dan bagaimana nanti nasib pelaku. Padahal film membicarakan bukan tentang ke siapa si pelaku, melainkan soal gimana mental detektif yang gagal mengungkap pelaku. Seharusnya film ini membuka cerita dari kedua karakter detektif. Malah menurutku mungkin bisa lebih baik kalo paralel alias sedari awal langsung saja diperlihatkan peristiwa malam kegagalan Deacon, lalu setelahnya bisa jump ke timeline yang sekarang. Intinya adalah film harusnya fokus langsung ke tragedi yang menonjolkan karakter karena memang ke situlah cerita akhirnya berlabuh; untuk apa ngeliatin kerjaan pelaku kalo pelakunya gak bakal dijawab.
I mean, lihat saja film crime-thriller Korea Memories of Murder (2003); dalam film itu, detektifnya gagal menangkap pelaku yang tak pernah diketahui siapa, tapi kita enggak kesal dan merasa kosong setelah film itu usai. Itu karena penceritaannya dimulai dengan langsung fokus ke tokoh utama. Film itu dibuka tidak dengan memperlihatkan aksi pelakunya, melainkan memperlihatkan elemen-elemen yang memfokuskan kita ke gagasannya (soal gaze, si detektif, dsb).
Tentu merupakan konflik yang menarik ketika ada detektif atau polisi seperti Deacon yang tenggelam amat dalam ke kesalahan masa lalu. Kita melihat dia literally dihantui oleh korban-korban yang ia anggap ia kecewakan, as in Deacon duduk di dalam ruangan bersama tiga korban dan Deacon yang ngobrol dengan mayat. Adegan begini sangat menarik, tapi sayangnya terasa kosong karena pada titik itu kita belum diberi kesempatan mengerti. Kita gak merasakan rasa bersalah bareng Deacon, kita hanya menontonnya dikelilingi ‘hantu’. Makanya, terasa lebih menarik ngikutin Baxter. Kita benar-benar mengikutinya sedari awal. Sedari Baxter tampak begitu percaya diri. Namun seiring waktu kita merasakan dirinya runtuh. Dia semakin desperate, ketidakmampuannya terhadap kasus ini terefleksikan olehnya kepada keluarganya. Baxter semakin ‘mirip’ dengan Deacon. Kita juga paham kenapa pada akhirnya Baxter butuh si tersangka utama, Albert Sparma (diperankan oleh Jared Leto) benar-benar keluar sebagai pelaku. Dan ketika Sparma ini eventually menjadi kejatuhan bagi Baxter, kita ikut merasakan nelangsa dan desperadonya.
Dia yang desperate akan menggali lubang berkali-kali

 

Semakin seseorang berkubang dan tidak bisa menerima kesalahan dan kegagalan dirinya, maka semakin berat juga beban yang menghantuinya. Film ini sesungguhnya punya gagasan yang menantang soal seberapa jauh orang akan melangkah demi membetulkan kesalahan yang ia perbuat.

Jika diceritakan dengan benar, maka film ini menurutku memang benar-benar sangat menantang. Aku percaya film gak harus politically correct atau film boleh saja (dan sebagian besar memang lebih menarik jika) menunjukkan kegagalan atau malah sekalian membuat tokohnya jadi jahat. The Little Things tampak mengincar kesan tersebut tapi, kembali lagi, film ini tidak memperhatikan hal-hal kecil. Penceritaan dan ending yang dipilih, justru membuat film ini seperti tone-deaf dan terkesan dangkal. Implikasinya adalah Deacon si tokoh utama tampak seperti orang yang jadi bersedia melakukan apapun untuk menutupi kesalahan yang dilakukan oleh sejawat detektif/polisi, sementara Baxter yang jadi protagonis gak pernah sadar apa yang ia lakukan itu membuatnya bersalah; mungkin saja dia malah jadi menyangka dirinya pahlawan, padahal dirinya sendiri sedang dibohongi.
Sekilas, akhiran film ini memang tampak tak memuaskan. Gak delivered resolusi apapun. Namun di balik itu semua, film ini bahkan bisa terasa lebih ‘disturbing’ lagi. Karena endingnya memuat hal yang lebih kelam soal polisi yang melakukan kesalahan – yang menghilangkan nyawa orang yang belum tentu bersalah – tapi kesalahan tersebut ditutupi demi kebaikan sang polisi itu sendiri. Masalah kekerasan oleh polisi merupakan salah satu masalah utama yang melanda kita di tahun kemaren, and it might still going on, dan hari ini kita menonton film yang enggak jelas sikapnya terhadap persoalan tersebut. Melainkan seperti memperlihatkan praktek yang demikian bobrok dari protagonis ceritanya. Film seharusnya lebih tegas dalam memilih sikap, atau setidaknya lebih klir dalam memberikan entah itu redemption, atau ganjaran, atau bahkan menjawab siapa sebenarnya pelaku. Namun ia membiarkan kita dalam kebingungan. Bahkan bukan kita aja, para aktor pun seperti dibiarkan bermain sendiri-sendiri. Washington, Malek, dan Leto jadi jualan utama karena mereka pernah meraih Oscar. Hanya saja dalam film ini mereka tidak tampak klop bermain. Mereka seperti ada pada zona yang saling terpisah. Deacon yang subtil dan bicara lewat gestur dan ekspresi kayak berada di film yang berbeda dengan Sparma yang terlalu over, sementara Baxter ada di tengah-tengah.
 
 
 
 
Aku akan lebih suka, aku yakin ceritanya akan lebih ngena, jika fokusnya memang pada Baxter saja. Tentu saja dengan ending yang lebih menghormati karakter dan penonton. Karena secara jiwa, film ini adalah psikologikal thriller yang nunjukin kegagalan detektif. Namun bagaimana itu semua tercapai jika si detektif tidak menyadari bahwa dia gagal? Arahan film ini tidak berhasil menghantarkan visi secara keseluruhan. Malahan, akan membuat kita salah sangka. Jika kita mengira ini akan menjawab siapa pelaku, maka film ini akan terasa super tidak memuaskan. Bukan salah eskpektasi kita, melainkan salah film dalam menebar petunjuk-petunjuk kecil dalam penceritaannya.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for THE LITTLE THINGS.
 
 
 
 

 

That’s all we have for now.
Pekerjaan polisi cukup berat, dan ternyata kasus yang gagal dipecahkan saja mampu membuat seorang polisi trauma dan terbebani seumur-umur.
Bagaimana pendapat kalian tentang ending film ini? Apakah Baxter pantas mendapatkannya?
Share  with us in the comments 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Bro says:

    Masih emosi ama Golden globe yg nominasiin Jared Leto buat peran kosong dia disini, rasanya cuma kyk Jared Leto main jadi Jared Leto aja, gak ada yg spesial sama sekali. Dan krn itu mereka dgn teganya ngerebut slot nominasi buat aktor yg jauh lebih pantes dapet kyk Paul Raci yg kereeen banget di Sound of Metal yg seharusnya juga bisa menang!!!

    • arya says:

      Haha iya tuh, banyak ngaco Globe sekarang.. kayak mereka prioritasin milih yang populer-populer aja. Glenn Close di Hillbilly Elegy aja dimasukin wkwkwk

  2. arya says:

    Oya gitu banyak prediksi? Aneh juga… Soalnya aku ya kaget, karena peran dan akting si Glenn Close ama Jared Leto di dua film itu sebenarnya setipe, pendekatan aktor meraninnya kan juga sama-sama ke arah over. Jadi buatku dua-duanya itu kurang layak masuk, Glen Close aja udah gitu, gimana Leto yang penampilannya cuma sebentar kan haha

  3. Green says:

    Coba kalo jepit rambut warna merah yg di kasih ke bexter itu bener bener ikat rambut punya korban, pasti terasa beda perasaan gw setelah abis nonton nih film…
    Nga tau nya ikat rambut beli di Indomaret, HHahaha…

  4. Green says:

    Tapi gw menonton film ini sekali lagi, banyak petunjuk sebener nya yg menyakinkan kalo si sparma itu pelaku nya, pertama, mobil dia punya kilometer yg gede, Dia kedapatan beli daging di drive thru (korban di apartemen di katakan ada sisa daging di perut nya, padahal dia vegen), sparma menunjukan sifat psikopat ketika di interogasi sambil di tunjukan foto foto korban, dia menyimpan kliping kliping pembunuhan di kotak rahasia, 467( ini tanda mile di jalan tol, tempat sparma memberhentikan mobil nya ketika di intai sama deke)
    Tapi ada jg yg membuat dia bukan pelaku nya, cetakan gigi di mayat berbeda dari cetakan gigi yg ada di pizza (tapi ini bisa saja soal nya makan pizza nya bisa jadi di tekuk) dan sidik jari sama sekali tidak di temukan, kurang bukti buat membuktikan dia pelaku nya untuk polisi didalam film, tapi kita sebagai penonton lah juri nya, walaupun dalam akhir nya tidak di jelaskan pasti siapa pelaku sebenarnya, tapi ya sekali lagi, kita sebagai penonton lah yg membuat kesimpulan…
    Inget soal jepit rambut warna merah? Coba puter lagi bagian ketika ronda (korban penculikan) sedang joging malam dengan seorang pria, perhatikan dengan seksama, jepit rambut nya sama dengan apa yg dake kasih ke Dexter di akhir akhir scene, pertanyaan nya, bagaimana bisa ko sama? Sedangkan yg tau bentuk nya cuman orang tua nya ronda, dan si dexter cuman di kasih tau sama orangtua nya ronda, kalo anak nya selalu pake jepit rambut warna merah untuk menahan rambut nya ketika joging, itu aja, dan dexter pun memberi tau deke hanya sekedar kata “jepit rambut warna merah”…
    Sebenarnya deke itu detektif yg hebat, kalo dia nga salah menembak dan menyebabkan satu satu nya saksi mata tewas sehingga membuat dia depresi (liat bagaimana cara dia menyelidiki kasus kematian di apartemen, menyelidiki perusahaan AAA dan ABC) dia mempunyai cara berfikir “the real detective”
    Well, mungkin itu bagian bagian “the little things” nya yg gw dapet…
    Lee bikin gw nostalgia akan se7en…
    Correct me if i’m wrong…
    Tau nga mitos yg beredar di bagian pembunuhan di indonesia? Kalo mau tau pembunuh yg sebenernya, coba anda tanyakan pada mayat nya, nanti mayat nya akan memberi tau anda…
    Tapi, jika kepala korban di tutup sebelum dibunuh, dia tidak bisa memberi tahu anda, karna dia tidak tahu siapa yg membunuh nya…
    Mungkin penjahat dalam film ini mengetahui mitos itu, HHahaha…

    • arya says:

      Kalo menurut aku, si Sparma itu freak aja sih. Dia punya kelainan jiwa (presumably sexual) suka ngeliatin mayat atau mungkin malah nonton tindak kejahatan. Jadi dia getol banget ngikutin kasus dan tahu banyak seluk beluk kasus. Mayat cewek di apartemen itu dipindahin orang, nah kayaknya yang mindahin ya si Sparma. Dia posisikan supaya bisa kelihatan dari jendela kamar lain (kamar di mana dia jerk off sambil ngeliatin mayat itu kayaknya). Freak, tapi aku yakin bukan dia yang bunuh.
      Soal jepit rambut, menurutku ya ‘kebetulan’ aja Deke memberi Dexter jepit rambut yang bentuknya sama dengan yang dipakai Ronda. Memang, apapun bentuk jepit yang diberi oleh Deke, asal warnanya merah, si Dexter pasti percaya bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Tapi kurasa secara konteks, karena film ini pengen membuat akhirnya ambigu (pelakunya gak dibuat jelas siapa) maka jepit yang dibeli itu harus sama dengan jepit rambut Ronda yang kita lihat. Karena kalo beda, nanti kitalah yang langsung tahu, sensasi ambigunya jadi berkurang.
      Wah mirip berarti sama pelajaran di Geologi. Waktu kuliahlapangan kami dikasih kertas dan pulpen, terus dosen ngomong “Mau tau keadaan alam dan lingkungan di masa lalu daerah ini? Silakan Anda sekalian tanyakan pada bebatuan, nanti batu-batu itu akan memberi tau Anda” XD

Leave a Reply