WRONG TURN Review

“The ultimate tendency of civilization is towards barbarism.”
 

 
 
Sekelompok anak muda yang lagi travelling, salah belok, dan lantas tersesat di hutan. Membuat mereka jadi buruan dan dibunuh satu persatu oleh keluarga kanibal. Penulis Alan B. McElroy telah menetapkan konsep tersebut sebagai fondasi franchise Wrong Turn sejak 2003. Empat sekuel lahir dari film original tersebut, bukan karena bagus, melainkan karena kesimpelan trope ‘Remaja bego vs. Kelompok pembunuh sadis’ yang terus dipertahankan. Dan setelah bertahun-tahun mempertontonkan mindless torture dan kebrutalan bunuh-bunuhan, McElroy tampaknya tobat. Kini – hampir satu dekade dari film pertamanya – McElroy bersama sutradara Mike P. Nelson membanting stir franchise ini. Wrong Turn distart ulang, lalu dibelokkan arahnya ke tontonan yang lebih berisi. ‘Remaja bego vs. Kelompok pembunuh sadis’ tadi diberikan lapisan dan bobot. Sehingga kini mereka menjadi ‘Remaja vs. Kelompok Pembunuh” dengan lebih banyak depth di balik benturan di antara keduanya. Dengan ‘sadis’ dijadikan pertanyaan yang digunakan untuk menantang gagasan kita terhadapnya.

Akhirnya kita dapat reboot yang benar-benar dilakukan untuk memperbaiki kualitasnya

 
 
Slasher bunuh-bunuhan itu ditinggalkan jauh di belakang, salah satunya karena zaman yang memang sudah berubah. Sehingga film harus berevolusi guna menunjukkan fungsinya sebagai penanda zaman itu sendiri. Dan ini bukan hanya soal tren saat itu. You know, 2000an awal memang genre slasher lagi ngehits, film-film penyiksaan lagi sangat bergairah saat itu.Ā Namun tentu saja semua itu berkaitan erat dengan subjek pelaku tren itu sendiri. Dalam hal ini, pelaku itu adalah anak muda. Nelson dan McElroy paham ada perbedaan signifikan antara perilaku dan gaya hidup anak muda atau remaja sekarang dengan anak muda yang hidup di 2000an (Yang bilang bedanya adalah anak muda sekarang masih remaja, anak muda dulu udah jadi tua-tua, aku jitak!) Meskipun masih sama suka hura-hura, tapi anak muda sekarang lebih cepat melek dan lebih mantap dalam mengenali apa yang mereka inginkan dalam hidup. Berkat teknologi yang semakin memegang peranan penting dalam kehidupan mereka.
Aspek itulah yang kini digali oleh Nelson dan McElroy dan dijadikan fondasi bangunan cerita mereka. Kelompok anak muda dalam Wrong Turn terbaru ini terdiri dari Jen (Charlotte Vega juggling antara cerdas, annoying, dan bad-ass) yang berbangga menjadi seorang barista dengan double degree seni tari dan art history, pacar Jen – si Darius – bekerja di lembaga sumberdaya nonprofit, teman-teman mereka pun semuanya punya keahlian. Ada yang menggeluti medis, ada yang ngembangin app, dan ada yang bisnis restoran-cabang kecil-kecilan. Mereka semua masih muda, suka hura-hura, tapi juga sudah berkontribusi kepada masyarakat dengan bekerja. Untuk membuat kelompok ini lebih kekinian dan ‘woke’ lagi, McElroy membuat karakter mereka terdiri dari pasangan antar-ras dan pasangan LGBT. Jen dan kelompoknya merepresentasikan generasi modern. Di film ini mereka akan mendapat tantangan dari older generation yang masih memegang ‘cara’ lama, yang memandang anak muda seperti mereka dengan sebelah mata. As in, mereka dianggap cuma tahu bersuka ria dan gak mau bekerja. Tapi konflik utama – clash utama – yang disajikan film ini bukanlah tentang Milenial melawan Boomer. Melainkan adalah ketika cara pandang dan gaya hidup modern mereka dituding sadis oleh kelompok penduduk yang memutuskan hidup terpencil di dalam hutan belantara.
Tema modern vs. barbar; penduduk kota lawan suku tradisional, merupakan tema yang bisa dibilang timeless. Tema ini bahkan sudah dieksplorasi pada 80an. Bagi genre bunuh-bunuhan, tema ini memang sudah seperti soulmate. It’s easy bikin cerita anak kota nyasar kemudian menemukan horor berupa kehidupan suku liar. Sudah banyak slasher yang hadir dari situ. Wrong Turn ini bahkan enggak lantas conform ke arah sana. Pertanyaan apakah sebenarnya manusia modern-lah yang lebih barbar dan sadis itu diajukan ke permukaan dengan lebih elegan.
Jen dan teman-teman hiking menyusur hutan hendak melihat-lihat trail atau jejak peradaban penduduk Appalachia jaman dahulu kala. Tapi mereka salah belok, mereka malah masuk ke wilayah komunitas yang menyebut diri sebagai The Foundation. Yakni komunitas yang memilih untuk tinggal di hutan, tinggal dengan alam, guna mempersiapkan rakyat baru. Komunitas itu percaya bahwa Amerika yang sekarang sudah semakin bobrok dan terbelakang, jadi mereka menyepi ke hutan untuk menjadi cikal bakal masyarakat yang lebih manusiawi. Jadi, antagonis Jen di film ini bukanlah penduduk kanibal terbelakang, melainkan manusia yang sama-sama modern, hanya saja berpandangan berbeda. Film membangun benturan kedua sisi ini dengan abu-abu. Pembunuhan pertama yang terjadi di dalam cerita, actually dilakukan oleh kelompok Jen terhadap anggota komunitas The Foundation. Kok bisa? karena Jen dan teman-teman sangat kebingungan di hutan yang penuh perangkap dan jebakan mematikan. Mereka terluka, mereka panik. Sehingga ketika bertemu dengan anggota The Foundation yang berpakaian bulu dan bertopeng tengkorak hewan, yang berbicara bahasa lokal, Jen dan teman-temannya semakin ketakutan dan menyangka yang enggak-enggak.
Jadi, ya, film ini sebenarnya adalah konflik dari dua sudut pandang mengenai cara hidup masyarakat yang dibalut oleh kejadian-kejadian yang mengenaskan. Film memposisikan diri persis berada di tengah-tengah. Bersama film, kita ikut setuju ketika kepala kelompok The Foundation bilang masyarakat normal-lah yang barbar dengan uang, eksploitasi, gaya hidup yang semakin individualis, dengan ketimpangan hidup yang semakin besar. Tapi kita juga setuju bareng Jen, bahwa hukuman mati, Ā dan memasang jebakan untuk membahayakan manusia lain – menganggap manusia enggak beda banyak ama binatang buruan, tak pelak merupakan perilaku barbaric.

Mungkin memang, Hukum Rimba – makan atau dimakan itu – sesungguhnya masih akan terus ada dalam peradaban manusia. Hanya bentuknya saja yang berbeda. Mungkin, benar kata Nikolas Tesla. Yang kita perlukan sebenarnya adalah kontak dan pemahaman yang lebih baik, yang lebih dekat, antara individu dan komunitas. Film ini pun punya resolusi serupa dengan ide ‘penghapusan kebanggaan nasional dan pengabdian fanatik’ yang diajukan oleh Tesla tersebut.

 
Pilihan yang dibuat oleh Jen di menjelang akhir babak kedua film, membuat cerita tetap menarik. Membuat film ini terasa semakin fresh lagi di dalam genrenya sendiri. Kedalaman itu terus digali. In fact, dari penceritaannya, kita bisa melihat betapa film kali ini memang memfokuskan kepada kedalaman. Seolah sutradara ingin membuktikan bahwa film bunuh-bunuhan bisa kok punya kedalaman yang berarti. Wrong Turn actually dibuka pada periode Jen sudah menghilang selama enam minggu. Yang kita lihat pertama kali justru adalah ayah Jen yang berkeliling mencari putri semata wayangnya itu. Alur bercerita seperti ini mengingatkanku pada film bunuh-bunuhan dari Polandia yang kutonton baru-baru ini, All My Friends are Dead (2021). Film itu juga dibuka dengan adegan penyelidikan, untuk mengedepankan misteri pada cerita, dan kemudian di babak kedua kita dibawa flashback melihat apa yang sebenarnya terjadi. I’m not a fan of style like this. Namun, penceritaan pada Wrong Turn dilakukan dengan lebih baik daripada film tersebut. Karena ayah Jen nantinya akan kembali dibahas. karakter ayah Jen bukan hanya difungsikan sebagai pengantar, tapi juga menambah banyak ke dalam konteks dan untuk karakter Jen itu sendiri. Relasi Jen dengan ayahnya juga dibahas, dan didesain sebagai bentuk dari bagaimana generasi muda berkontra dengan generasi tua. Singkatnya, karakter ayah Jen membuat film ini jadi punya lapisan lebih banyak lagi.

Berbelok kembali ke jalan yang benar

 
 
Sementara telinga kita terus terbuka demi mendengar lebih banyak konflik dan bentrokan sudut pandang, mata kita mungkin akan lumayan kesulitan untuk tetap melotot. Karena sutradara enggak lupa dengan identitas dan legacy yang dibawa oleh filmnya ini. Wrong Turn masih meriah oleh banyak adegan kematian yang brutal. Absennya pembunuh kanibal digantikan oleh perangkap-perangkap maut tak-pandang bulu. Kamera akan menatap korban-korban mengenaskan itu tanpa segan, kalian mungkin harus mikir dua kali jika berniat nonton ini sebagai teman makan malam. Bagian awal film saat menceritakan ayah Jen mencari putrinya itu terasa lebih tenang dan misterius, sedangkan bagian tengahnya terasa sangat frantic dan berdarah-darah. Sesuai dengan kebutuhan cerita. Semua hal di hutan itu sukses dibuat mengerikan, bahkan pohon aja ternyata bukan pohon biasa di sana! Bagian akhir film ini, hebohnya, terasa sureal. Aku suka. Yang tidak aku suka adalah proses antara bagian tengah menuju bagian akhir. Terasa kurang banyak ruang untuk pengembangan yang maksimal, alias terasa agak terlalu cepat. Time skip dari cara bercerita yang membuatnya harus seperti itu, jadi mungkin kita masih bisa maklum.
Yang gak bisa dimaklumi itu adalah, karakter-karakter anak muda – yang demi identitas dan legacy tadi – dibuat tetep bego. Ketika mereka disebutkan mereka punya pekerjaan dan actually serius dalam menjalani hidup, kita agak kurang percaya. Karena yang kita lihat nanti adalah aksi-aksi dan pilihan yang terlalu sukar dipercaya. Reaksi yang terlalu berlebihan. Mereka sebagian besar masih tampak sama dengan karakter-karakter film slasher tahun 90-2000an. Kita tidak pernah melihat mereka sebagai karakter yang bakal survive. Sekiranya film juga melakukan pembenahan dari bentukan karakter mereka, maka tentu film ini akan jadi lebih baik lagi.
 
 
 
McElroy dan Nelson tidak salah belok saat mereka memutuskan untuk mengubah haluan franchise ini. Karena yang kita dapatkan adalah cerita bunuh-bunuhan yang lebih berisi. Enggak sekadar mati yang sadis dan karakter yang bego. Melainkan ada gagasan yang membalut kuat di balik aspek horor atau thrillernya tersebut. Ceritanya punya banyak lapisan, dan terkadang cukup terasa juga perjuangan film untuk menyeimbangkan dan mengikat semuanya. Usaha yang belum maksimal, tapi seenggaknya pantas sekali untuk diapresiasi. Karena sudah lama sekali kita selalu bertanya-tanya dalam protes, kenapa film bunuh-bunuhan selalu simpel dan dungu. Film ini hadir sebagai salah satu bukti bahwa jika pembuatnya berusaha, film genre tersebut ternyata mampu untuk jadi berbobot.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for WRONG TURN
 
 
 
 

 

Thatā€™s all we have for now.
Apakah kalian setuju bahwa sekarang kita hidup dalam masyarakat yang sadis dan barbar?
Share Ā with us in the commentsĀ 
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
 

 
 
We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. Iksan says:

    Akhirnya di review jg. Sbnarnya kalo mau dikembangkan latar ceritanya di sekuelnya nanti biar g monoton di hutan. Savana, gurun, mngkin bisa jd pilihan. Bahkan padang rumputpun jadi horor kayak di “In The Tall Grass”.

Leave a Reply