ALI & RATU RATU QUEENS Review

“Our life is a one-way journey”

 

Enggak setiap hari kita diajak jalan-jalan ke kota New York oleh film Indonesia. Tujuan destinasi film kita biasanya memang lokasi-lokasi dengan pemandangan eksotis. Bukannya New York tak indah, hanya saja untuk sebagian besar kota tersebut kurang lebih sama dengan kota-kota besar padat yang sibuk dan megah oleh gedung-gedung menjulang. Pemandangan unik yang dilihat Ali dalam film original Netflix Ali & Ratu Ratu Queens ‘cuma’ jalan-jalan satu arah yang ada hampir di setiap persimpangan distrik Queens. Namun bagi Ali, maupun bagi film ini sendiri, pemandangan bukan menjadi persoalan. Karena cerita ini adalah tentang perasaan. Ali bakal menyadari sesuatu tentang kehidupan dari jalan-satu arah yang ia lihat. Ali bakal belajar tentang hubungan keluarga yang sebenarnya. Ali & Ratu Ratu Queens berhasil menguarkan kehangatan pada kota yang bahkan di film-film dan serial televisi luar kerap digambarkan sebagai kota keras yang tidak ramah.

aliCSMh3V7vG
Oase di hutan gedung

 

Cerita film ini seperti sebuah unofficial sekuel dari Dua Garis Biru (2019), yang juga ditulis oleh Gina S. Noer. Enggak exactly berhubungan, tapi tak-urung terasa seperti kelanjutan. Dalam akhir Dua Garis Biru, si ibu-remaja memutuskan untuk terbang ke Korea mengejar mimpi dan menyambung pendidikannya, meninggalkan putranya untuk sementara bersama ayah-remaja di Indonesia. Ali & Ratu Ratu Queens, ceritanya dimulai dengan permasalahan yang mirip. Bedanya, pasangannya bukan remaja, perginya bukan ke Korea. Ali sudah berumur lima-tahun ketika ibunya pamit sebentar ke Amerika. Apa yang tadinya mestinya hanya enam bulan, berlanjut hingga bertahun-tahun. Ali hilang kontak dengan sang ibu. Sepeninggal ayah, Ali yang kini telah lulus sekolah menemukan bukti bahwa Ibu ternyata bukanlah seperti yang dikatakan oleh Om, Tante, dan saudara-saudaranya di Indonesia. Percaya setulus hati bahwa Ibu masih cinta dan menunggunya, Ali memutuskan untuk berangkat ke Amerika. Menjemput ibunya.

When entering this movie, I was thinking about a completely different movie. Materi-materi promosi yang kulihat berseliweran di sosmed/Internet telah sukses menggiringku ke arah yang salah perkara ‘mencari ibu’ yang dilakukan oleh Ali. Tadinya kupikir ini adalah tentang anak yang melakukan road trip ke Amerika, menemukan ibu yang tidak ia tahu pasti keberadaan, atau malah mungkin ‘siapa’ ibunya tersebut. Ternyata Ali & Ratu Ratu Queens enggak really about mencari. Ali dalam cerita ini tahu dan ingat siapa perempuan yang dia sebut ibu, Ali tahu tempat di mana dia harus mencari; dia punya alamat lama dan everything. Perjalanan Ali di sini bakal tampak sebagai sebuah kemudahan, apalagi Ali kemudian ditampung tinggal bersama geng ibu-ibu imigran dari Indonesia yang lagi nyari duit untuk buka bisnis kuliner di sana. Tapi sekali lagi, film ini bukan soal ‘mencari keberadaan’, melainkan soal memaknai keberadaan itu sendiri. Setelah plot poin di akhir babak pertama yang mengejutkan, fokus yang kemudian mengisi cerita adalah mengenai hubungan Ali dengan para ibu-ibu yang menyebut diri mereka Queens-nya kota Queens yang perlahan ikut tumbuh seiring dengan usaha Ali merajut kembali hubungan yang terputus dengan ibunya.

Jika ada yang Ali cari, maka itu adalah mencari makna keluarga. Dan life, in general. Karena film ini lewat perjalanan Ali juga punya muatan soal dalam hidup manusia punya tujuan, yang jalan menempuh tujuan tersebut bakal penuh pengorbanan, dan betapa berat perjuangannya untuk tidak stray away dari jalan tersebut. Jalan-satu-arah di kota Queens tersebut benar-benar tepat melambangkan jalan hidup yang kita lalui. Satu arah. Tidak ada kata mundur kembali dalam perjalanan mengejar mimpi.

 

Dalam prosesnya menceritakan jalan satu-arah, film ini mendobrak pandangan di sana-sini. Pertama, pandangan tradisional orang-kita yang berakar pada agama dan (sedikit terlalu banyak) patriarki terhadap gaya hidup Amerika dan kebebasan perempuan mengejar karir menentukan sendiri hidupnya. Ini dicerminkan oleh film lewat sikap menentang yang ditunjukkan oleh keluarga besar Ali di Indonesia. Mia, ibunda Ali yang sudah lama mia (alias ‘missing in action’ dalam urusan ibu rumahtangga) mereka anggap berdosa besar, dan itulah sebabnya Ali berusaha mereka jauhkan darinya. Karakter Ali di sini berfungsi sebagai perwakilan kita untuk mau/open melihat lebih dekat sebelum ngejudge. Ali langsung terjun ke Amerika. Merasakan sendiri perbedaan yang dianggap negatif ternyata reasonable secara manusiawi. Dan meskipun hal menjadi berat dan pedih bagi dirinya, Ali jadi mengerti kenapa ibunya melakukan yang ia lakukan tersebut. In turn, Ali paham dia juga harus menapaki jalannya sendiri karena dia adalah anak muda yang haruslah siap menghadapi dunia.

Kedua, pandangan stereotipe kota New York pada film dan serial televisi. Yang sering dieksplor dari Kota New York dalam media adalah kekerasannya. Dari The Simpsons hingga New Girl hingga ke film-film kriminal, New York lebih sering diperlihatkan sebagai daerah berbahaya, dengan penduduk yang cuek. Brookyn, Bronx, Staten Island; kota-kota “ghetto” aja yang terus dibahas. Film Ali & Ratu Ratu Queens ini tentunya asing bagi penonton Netflix di luar sana. Dan bagi orang Amerika, film ini bisa jadi pembuka mata. Karena bagi para pendatang atau imigran asing tersebut, Queens – kota di New York yang mereka bentuk sendiri sebagai tempat-keras – justru jadi tempat berlindung yang ramah. Ali dan para ibu-ibu tidak pernah diperlihatkan mendapat ancaman atau diskriminasi. Bahkan ada adegan ketika Ali mendapat simpati dan bantuan dari penduduk lokal. Bagi Ali, mungkin ibunya jauh lebih ‘kejam’ dibandingkan Queens. Bagi Ali dan ibunya dan ibu-ibu Queens, kota itu dengan jalan satu-arahnya adalah peluang untuk mewujudkan mimpi dan passion.

aliAli-Ratu-Ratu-Queens-4-750x422
Sepertinya benar juga kalo judul film ini adalah wordplay Alien the Queens. Imigran di Queens.

 

Jadi, natural (dan perlu banget) bagi film ini untuk menguatkan interaksi dan hubungan antara Ali, baik dengan ibu kandungnya, maupun dengan ibu-ibu yang nama gengnya disandingkan dengan namanya sendiri sebagai judul film. Marissa Anita sebagai ibu Ali mencuat di sini berkat tuntutan akting yang mengharuskannya bergulat dengan emosi. Baginya ini adalah menjadi ibu yang bertanggungjawab kepada keluarga sekaligus menjadi seorang perempuan yang bertanggungjawab terhadap dirinya sebagai manusia. Marissa nails this, khususnya pada dialog supermenyentuh ketika dia harus benar-benar ‘mengakui kesalahannya’ kepada Ali di menjelang akhir film. Suara tercekat yang emosional terdengar sangat genuine, seperti ia benar-benar terluka dan menyesal saat mengucapkannya. Momen-momen heartfelt memang datang dari interaksi Mia dan Ali, berkat how good dan pahamnya Marissa terhadap psikologis perannya.

Ali, on the other hand, tampak agak on dan off. Kita mengerti arc Ali, we’ve come to understand apa yang harus dimengerti oleh Ali. Namun Iqbaal Ramadhan tidak terasa begitu konsisten dalam menyampaikan apa yang seharusnya dirasakan oleh karakternya. Karakter Ali punya tuntutan range yang lumayan, kadang dia berupa seperti anak kecil yang belum mengerti dan masih harus banyak dididik oleh ibu-ibunya. Kadang dia harus bermain-main dengan mereka. Kadang dia harus confront emosi terdalamnya. Iqbaal tampak perlu full-guidance to get through all of this, one by one. Sayangnya, skrip film ini bukanlah skrip yang benar-benar seimbang. Babak pertama dan pada sebagian besar babak keduanya, difungsikan untuk membangun hubungan antara Ali dengan para ratu. Namun tidak banyak yang diberikan kepada Ali di sini. Dia tidak selalu ada di driver-seat. Keputusan-keputusan besar diserahkan kepada para ratu. Malah, Ali tinggal bareng mereka saja, bukan Ali yang memutuskan. Instead, Ali dapat bagian untuk memutuskan hal-hal seperti melarang para ratu pergi melabrak ibunya. Film ini seperti memberikan tone yang membingungkan bagi Iqbaal to play with. Karena para ratu itu – walaupun ingin dibagi adil porsinya dengan Ali – tapi tetap sebagian besar difungsikan sebagai penghibur suasana.

Para ratu tidak banyak diberikan ruang untuk pengembangan karakter. Mereka, katakanlah, sudah tercetak langsung jadi. Tika Panggabean sebagai ibu galak dengan anak gadis yang cantik, Happy Salma sebagai oddball, Nirina Zubir sebagai penengah, dan Asri Welas sebagai peran dirinya yang biasa. Sedikit kekhasan masing-masing tidak pernah benar-benar dijadikan sebagai sesuatu bahasan yang relevan untuk cerita. Hubungan Ali dengan mereka pun sebagian besar dilakukan lewat montase. Aku tidak merasa ada persahabatan yang benar-benar tumbuh di luar hubungan seperti antara anak muda dengan guardiannya. Sehingga pula, interaksi dengan mereka di dua babak awal malah jadi tampak sebagai distraksi buat permainan emosi yang harus dilakukan Iqbaal.

Sutradara Lucky Kuswandi pun sepertinya memang lebih lihai dalam adegan relationship yang lebih ‘intim’ antara dua karakter ketimbang antara banyak-karakter. Pada bagian akhir ketika cerita memfokuskan kepada hubungan Ali dengan karakter yang diperankan Aurora Ribero, film terasa lebih stabil. Ini juga adalah waktu ketika Ali yang berusaha memperbaiki banyak hal mulai berada dalam full-komando. Akting Iqbaal pun jadi lebih konsisten di sini. Aku sih pengennya film bisa sekonsisten ini dari awal hingga akhir. Tapi kalo memang filmnya sudah merasa cukup dengan memuaskan penonton lewat bagian akhir saja, well, this is just one-way to do it.

 

 

True, film ini adalah salah satu ‘good movie’ yang berhasil diproduksi oleh perfilman tanah air di tahun-tahun yang mencekik ini. Feel good dan sangat menghangatkan. Membawa kita jalan-jalan dan membawa oleh-oleh yang berbobot untuk dibawa pulang ke hati masing-masing. Film ini juga punya suara dan berani untuk mengoarkannya. Tapi, aku pikir ini bisa mencapai lebih banyak lagi. Karakter utamanya, Ali, bisa lebih diperkuat lagi. Para Queen-nya bisa lebih didalemi lagi. Tone quirky dengan dramatisnya bisa dibuat lebih ngeblend lagi. Jika itu semua tercapai, aku yakin film ini gak butuh untuk bersandar pada lagu-lagu populer. Really, bahkan di film ini yang sekarang pun, lagu-lagu tersebut terasa over. At this point, mereka itu ada terasa seperti film ini lagi flexing budget yang dipunya aja kepada kita.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ALI & RATU RATU QUEENS.

 

 

That’s all we have for now.

Karakter Ratu mana yang jadi favorit kalian? Kenapa?

Share with us in the comments yaa

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

We?

We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA

Comments

  1. arya says:

    Kayak gampang banget hidup di NY itu yaa haha, modal bisa desain doang xD
    Tipikal film Indonesia nih. Harus ada salah satu antara: cinta-cintaan, atau ada orang yang jahat banget. Kalo bisa malah harus ada keduanya wkwkwk… Bener sih, Ali sama cewek itu sebenarnya gak mesti dibuat jadi pacaran. Jadi kayak hubungan sahabat aja udah cukup sebenarnya

  2. Indra says:

    Penggunaan bahasa inggrisnya Marissa Anita berlebihan ga si? Harus banget ya ngomong bahasa inggris ke Ali, padahal kan itu anaknya sendiri dari Indonesia, ditambah harus ngomong bahasa inggrisnya lagi ke sirkel Queens. Padahal kayaknya cukup Marissa Anita ngomong bahasa inggris ke suami dan anak barunya.

    • arya says:

      Kalo aku sih ngeliatnya itu secara psikologis dia masih membentengi diri dari Ali. Akarnya dari rasa bersalah juga, jadi dia ‘malu’ muncul sebagai dirinya yang ibu dari Ali. Dia jadi nunjukin kayak bilang “Ali, Ibu udah bukan ibu kamu yang dulu”. Bahasa Inggris itu jadi topeng buat Mia, topeng perasaan, supaya dirinya bisa lebih nyaman. Waktu adegan dia nangis di depan Ali di gang dekat tong sampah, itu baru kan semuanya keluar.
      Kalo sama temen-temennya, aku gak tau deh. Soalnya sering juga aku lihat teman-teman lamaku yang sama-sama merantau, kalo ketemuan di Bandung, ngobrolnya kadang ya pake bahasa gaul juga, udah gak melulu pake bahasa daerah kita lagi.

  3. Ark says:

    Marissa Anita sumpah setiap jadi supporting role di film pasti selalu kerasa jauh lebih bagus dari tokoh utama nya. Kmrn di PTJ gitu, di Galih & Ratna juga, dan disini gila sih dia. Semua momen emosional rasanya bersumber dari dia, sampe aku ngerasa lebih bagus aja kalo filmnya soal karakter dia yg berusaha ngejar mimpi di New York, kayaknya menarik sih liat proses bertahun2 knp dia sampe tega ninggalin anaknya, trus ngebiarin mimpinya gt aja.
    Btw, setuju sih ama gmn ratu2 Queens itu malah cuma kerasa kyk karakter2 komedik doang, kayak di tambahin aja ke cerita biar keliatan fun.

    • arya says:

      Tapi bener juga sih yang lagi rame di Twitter, si Marissa suka meranin ibu-ibu yang ninggalin anaknya ahahaha..
      Kalo jadi series kayaknya bisa seru ya, bisa bahas mendalam ratu-ratunya. Kayak dulu ada serial Life Unexpected, tentang anak yang nyari orangtua kandungnya, dan dia juga jalin hubungan antara si ortu kandung dengan ortu asuhnya

  4. Irfan says:

    Halo Mas, akhirnya ada juga film yg aku tonton lagi dan direview di sini hehe
    Menurutku film ini agak terlalu banyak “digampangkan” ya mas. Rasanya kita butuh penjelasan yg lebih dalam mengapa tokoh ibu smp rela jauh2 meninggalkan suami dan anak hingga ke Amerika, juga aku kurang dapet koneksi antara Ali sm 4 orang tante2nya di sana. Karakter tante2nya kurang bisa bikin kita attached, terlalu selapis gitu menurutku.
    Hubungan antara Ali dan tokoh Aurora Ribero (aku kok lupa namanya yak wkwk) terasa lebih menyenangkan utk diikuti, meskipun ga perlu utk jadi cinta2an juga hehe
    Btw apakah Mas Arya juga ngerasa Ali di sini mirip Desy Anwar? wkwk

    • arya says:

      Hahhaha iya mirip banget, karena rambutnya sih ya xD
      Iya tuh, aku aja kaget pas ujug-ujug pindah ngeliatin ratu-ratu itu. Kurang diperdalam mereka itu siapa, kenapa bisa temenan. Masalah mereka masing-masing juga gak ada kan. Masalah duit ternyata cuma untuk mengikat mereka dengan Ali aja. Kuranglah, malah kelihatannya mereka ini gak lebih kayak satu karakter yang dibagi jadi empat bodi aja hahaha

  5. Mira says:

    Mimin kamu coba dong review serial HITAM buatan falconpictures itu film zombie penuh drama bngt wkwkwk kali aja mimin suka

    • arya says:

      Serial itu mah. Kemaren itu aku udah siap-siap mau nonton eh ternyata 4 episode.. Agak susah komit aku kalo nonton serial hahaha, suka ga sampe abis kalo ternyata bener-bener gak cocok xD

  6. BukanAnakFilm says:

    Berat di hype via sosmed dan sineas2 lain yg memuji2 film ini berlebihan pas nonton langsung jomplang rasanya
    Imo singkatnya kira2 gini
    Serba kebetulan, serba cepet, serba mudah, karakter utama dan pendukung ora menyatu terkesan filler cerita, sepanjanng film akting iqbaal mostly pd posisi confused,
    Curiga film ini kekurangan stock shoot

    • arya says:

      Walaupun kayak sudah berusaha mendalami satu emosi, tapi si Iqbaal ini kurang arahan banget sih sepertinya. Proses suting pasti gak sesuai urutan adegan cerita kan, beresin yang di rumah dulu misalnya, atau di jalanan dulu.. nah si Iqbaal ini kayak bingung konek ke perannya yang kadang nyante, kadang sedih, kadang becanda.

  7. Naya says:

    Setelah posesif dan Aruna, saya jadi suka film2 nya Palari.
    Apalagi film Ali dan RRQ ditulis sama mbk Gina, berdasarkan pengalaman produsernya sendiri waktu tinggal di NY. Sampek direview Joko Anwar pula, kan saya makin penasaran.
    Bisa dibilang film ini nggak bagus2 amat, nggak jelek2 amat, ya rata-rata lah.
    Scene terbaik, waktu Marissa bilang “i’m a bad mother” itu ngena banget sih.
    Marissa disitu actingnya keren parah. Iqbaal ok juga.
    Cuma ya gitu, iqbaal tu kalau dikasih adegan sedih kadang suka nggak pas mimik mukanya. Aku jadi canggung sendiri liatnya..he..he…
    Buat ke 4 Ratu2 Queens, you guys are amazing. Boleh dong dibikin spin off atau series. Kurang puas rasanya kalau cuma gitu doang.
    Btw, setelah melihat review2 yang bertebaran di sosmed, ku kira film ini bakal dikasih skor 7, ternyata cukup puas dengan skor 6 aja ya mas arya he..he..

    • arya says:

      Yang Ali ngelarang ratu-ratu marah ke ibunya aja aku gimana gitu ngeliat ekspresinya..
      Iya sih, berharap ada seriesnya keempat ratu itu.. pasti seru lihat kehidupan mereka sehari-hari hahaha
      Cukuplah 6 untuk rata-rata XD

  8. Naya says:

    Setelah posesif dan Aruna, saya jadi suka film2 nya Palari.
    Apalagi film Ali dan RRQ ditulis sama mbk Gina & sampek direview Joko Anwar, kan saya jadi makin penasaran.
    Bisa dibilang film ini nggak bagus2 amat, nggak jelek2 amat, ya rata2 lah.
    Paling suka pas bagian Marissa bilang “i’m a bad mother” itu ngena banget sih.
    Marissa, aku padamu pokoknya. Tapi, kenapa alasan ke NY karena pengen jadi penyanyi sih? Kurang realistis aja gitu.
    Buat ke 4 Ratu2 Queens, you guys are amazing. Boleh dong dibikin spin off atau seriesnya. Kurang puas rasanya kalau cuma gitu doang.
    Btw, sebelum nonton, ku kira film ini bakal dikasih skor 7 kayak Keluarga Cemara, ternyata cukup puas dengan skor 6 aja ya mas arya he..he..

    • Farrah says:

      Iya mas, menurutku si mirip2 sama Joker model ceritanya. Filmnya bercerita dari sudut pandang si Balram, sedangkan Balram ini salah satu warga kasta terendah di India, yg akhirnya bisa naik kasta, dengan berbagai cara ‘licik’nya (fyi ini bukan spoiler, emg dari awal udah diceritain kayak gt wkwk incase takut dispoiler-in) cm aku nontonnya capek, apa krn terlalu banyak dialognya ya… ayo mas reviewwww!!! Hahaha

  9. arya says:

    Ntar aku kirim pertanyaan-pertanyaan kayak wawancara gitu ke email, gitu aja sih hahaha.. Jawaban2 itu yang aku godok nanti jadi artikel. Pertanyaannya tergantung filmnya sih, tapi gak susah kok. Gak ngarah ke teknis film banget. Paling cuma bagaimana pendapat/perasaanmu saat adegan ini, adegan itu

  10. Silvia says:

    Reviewnya detail banget! Personally saya lumayan suka sama characternya Happy Salma. I think she is really funny (laughed so hard when she said the word Chakra while massaging the client). On the other hand, saya rasa filmnya kurang menjelaskan motif mamanya kenapa ninggalin anaknya sih. Maybe nanti ada Ali and ratu ratu queens part 2? Hahahaha. Btw, kita juga ada review filmnya di blog kami. Kalo interested, feel free to check it out at retinareview.id (https://bit.ly/genzmillenial4)

    • arya says:

      Kalo motif ibunya kayaknya sudah cukup banyak disebar untuk bisa kita simpulkan; Ibunya ke amerika (sepertinya pengen jadi penyanyi di broadway), tapi ternyata gak segampang itu, tapi si ibu masih berusaha because that was her dream. Tapi bapaknya gak suka, at some point keluarga besar kayaknya ikut campur, ada slek, sehingga ibunya move on.
      Terima kasih, sama-sama, aku sudah baca dan menarik juga soal Ratu-Ratu yang gak keliatan terlalu ‘amerika’. Aku juga ngerasanya film belum netapin benar mereka ini sudah berapa lama di Amerika, mungkin memang karakter mereka perlu dapat sorotan lagi

Leave a Reply